KAJIAN PUSTAKA
Traumatic Brain Injury (TBI) adalah cedera otak akut akibat energi
mekanik terhadap kepala dari kekuatan eksternal. Identifikasi klinis TBI meliputi
satu atau lebih kriteria berikut: bingung atau disorientasi, kehilangan kesadaran,
amnesia pasca trauma, atau abnormalitas neurologi lain (tanda fokal neurologis,
GCS 13-15, durasi amnesia pasca trauma <24 jam; Sedang dengan GCS 9-12,
durasi amnesia pasca trauma 1- 6 hari; dan Berat dengan GCS 3-8, durasi amnesia
Gejala TBI ringan dapat berupa sakit kepala; bingung; penglihatan kabur;
pikir. Sedangkan pada TBI derajat sedang dan berat gejala tersebut tetap dapat
ditemukan, namun sakit kepala yang dirasakan bertambah berat atau menetap;
mual dan muntah berulang; kejang; dilatasi pupil; kelemahan ekstremitas; agitasi;
13
14
2. Fraktur depressed tulang kepala terjadi ketika bagian tulang kepala yang patah
4. Contusion, memar pada otak akibat fraktur tulang kepala. Kontusio dapat
darah yang berasal dari pembuluh darah yang rusak. Hal ini juga dapat
5. Diffuse axonal injury atau shearing melibatkan kerusakan pada sel saraf dan
yaitu (1) Epidural hematoma (EDH), perdarahan di antara tulang kepala dan
yang adekuat (diestimasi dari CPP = MAP-TIK, MAP = 1/3 tekanan sistolik + 2/3
untuk membentuk jendela pada atap tengkorak adalah intervensi yang paling
diffuse berat yang menyebabkan deteriorasi klinis yang cepat dan tidak respon
terhadap penanganan secara agresif. Hal ini sering dilihat pada pasien dengan
cedera kepala berat tipe III, aneurisma SAH, dan infark otak massif (Wani dkk.,
2009). Manifestasi klinis pasien ini yaitu sindrom hemisphere berat yakni
hemiplegi, deviasi mata dan kepala, dan penurunan kesadaran dalam 48 jam.
gyrus normal, dan diferensiasi materi alba dengan grasia yang buruk dapat
terlihat. Kematian terjadi akibat herniasi ketika TIK meningkat dan kapasitas
dkk., 2009).
meningkat secara refraktori dan terdapat tanda radiologis (CT scan) herniasi
cerebri. DC bifrontal dipilih apabila lesi diffuse dan TIK meningkat secara
refraktori tanpa herniasi cerebri pada CT scan jika operasi dilakukan dalam 48
jam pertama. Namun, hasil ini masih kontroversi (Balan dkk., 2010). Di antara
banyak masalah yang timbul sebagai akibat TBI, hipertensi intrakranial (IHT)
merupakan penyebab utama komplikasi dan kematian. Salah satu upaya untuk
mengendalikan TIK pada pasien dengan TBI adalah dengan melakukan tindakan
DC (Alvis dkk., 2013). Studi yang sama pada anak menyebutkan DC pada anak
dengan TIK refraktori memberi hasil neurologis lebih baik, lama rawat lebih
singkat, TIK lebih terkontrol baik. Akan tetapi, karena keterbatasan jumlah
pasien yang diikutsertakan dalam studi ini, data ini masih belum signifikan secara
maligna dan herniasi otak yang terjadi karena infark serebri, perdarahan intra
kranial, dan CKB. Pasien dengan Skor GCS 8 ke bawah yang mempunyai lesi
yang luas pada gambaran CT Scan tanpa kontras adalah kandidat untuk evakuasi
belum ada standar guidelines untuk melakukan DC. Banyak pilihan seperti hing
ukuran tulang yang dihilangkan. Kontroversi lainnya adalah tentang perlu dibuka
persisten dan adanya pergeseran garis tengah pada pasien TBI. DC adalah langkah
pertama dari dua langkah prosedur, dimana pasien yang selamat akan diperbaiki
defek tulangnya dengan tulang original atau implant prostetik. Risiko DC tidak
hanya terbatas pada operasi awal, tetapi juga bisa terjadi pada saat operasi
Cranioplasty yang kedua. Risiko saat cranioplasty seperti cedera pada kortek,
infeksi, CSF Fistula, Epidural hematoma atau Subdural hematoma, dan Intra
serebral hematoma. Hal ini disebabkan kesulitan pada saaat diseksi jaringan lunak
untuk mengekspos dan preparasi defek kranialnya. Dan signifikan berat pada
pasien dengan fibrosis atau perlengketan antara permukaan otak dengan galea
kaku’ yang diisi oleh ‘otak yang hampir tidak dapat dikompresi’ dan volume
totalnya cenderung tetap konstan (Farahvar dkk., 2012). Tulang kepala pada
menyebabkan peningkatan TIK pula. Terlebih lagi, apabila salah satu dari ketiga
pernyataan Monroe. Ketika otak mengalami cedera dan mulai mengembang atau
teori Monroe-Kellie, yaitu dengan memperluas ‘kotak kaku’ maka TIK dapat
kranial yang besar, sering berhubungan dengan pengangkatan lesi seperti SDH
dewasa, TIK normal yaitu 10 – 15 mmHg, pada bayi matur 1,5 – 6 mmHg, dan
bisa menjadi subatmosphere pada bayi baru lahir. Ambang batas TIK bervariasi
mulai dari anak-anak, yang mampu mentoleransi nilai lebih besar saat sutura
masih terbuka, hingga dewasa. Batas toleransi TIK dan penurunan CPP bervariasi
dari 18-20 mmHg untuk SAH; 20-22 mmHg untuk malignant sylvian stroke; 25
mmHg untuk trauma; serta 30 mmHg untuk tumor dan hidrosefalus (Balan dkk.,
loop diuretic.
2.2.2 Indikasi DC
5. Meningitis berat.
6. Usia< 50 tahun.
8. Tidak terdapat cedera otak primer yang fatal dengan gejala batang otak
10. Hipertensi intrakranial dengan deteriorasi status klinis (GCS 4 atau lebih,
11. Intervensi bedah sebelum kerusakan batang otak ireversibel atau iskemia otak
general.
meliputi ICP 25 – 30 mmHg pada orang dewasa dan 24 mmHg selama lebih dari
30 menit pada anak-anak yang susah disembuhkan dengan terapi medis; CPP <60
mmHg; usia <50 tahun; midline shift >1 cm tanpa ada masa intrakranial
sebelum operasi
Pasien dengan cedera batang otak primer yang fatal, GCS awal atau menetap 3,
dan pupil dilatasi bilateral, fixed bukan kandidat operasi (Wani dkk., 2009).
2.2.3 Tipe DC
Dekompresi serebelum adalah tindakan standar bedah saraf terhadap berbagai lesi
berguna pada populasi pasien pediatri, prosedur ini dilakukan dimana posisi
pasien adalah supinasi, posisi Trendelenberg yang terbalik, insisi kulit bicoronal
tetap di atas sinus sagitalis superior untuk menghindari ligasi falx dan sinus.
Setelah dura dibuka, dan mulai pada basis temporal, dura diperlebar dengan
menyambung fascia temporalis diikuti oleh penutupan kedap air dari dura dan
fascia graft. Bone flap lalu disimpan pada kondisi steril suhu -800C atau disimpan
hingga 3 bulan. Semakin besar bone flap yang diangkat, semakin besar pula
Prosedur operasi
difiksasi pada pemegang kepala Mayfield dengan dua sekrup di area oksipital dan
dasar. Sedangkan bila Mayfield tidak tersedia, posisi supinasi lateral dapat
diterapkan untuk fiksasi kepala terhadap meja operasi tanpa reduksi lapang
operasi.
analog dengan flap ‘tanda tanya’ (gambar 2.4) yang digunakan pada patologi
trauma tetapi lebih meluas ke posterior. Insisi dimulai pada level temporal lalu ke
superior agar melindungi suplai darah flap dari arteri temporalis superfisial. Otot
nantinya). Keuntungan insisi ini yaitu kebanyakan ahli lebih terbiasa dengan
struktur anatomisnya namun, pada segmen posterior flap, suplai darah sedikit dan
dehiscence. Jika secara tidak sengaja arteri temporalis superfisial terpotong ketika
memulai insisi dengan pilhan pertama ini, lakukan insisi yang kedua (gambar 2.5).
Durameter di insisi radial atau dengan pedikel pada arteri meningea media
dan duroplasti dengan periosteum, fascia otot, atau lebih cepat dengan substitusi
25
dura. Duramater tidak dibiarkan intak karena bersifat tidak elastis, mengurangi
tujuan operasi; serta tidak dibiarkan bebas karena akan lebih sulit mengetahui
Bone flap dipertahankan, dengan menyimpannya di abdominal fat dimana hal ini
Gambar 2.4 Insisi berbentuk seperti ‘tanda tanya’ (Balan dkk., 2010).
Gambar 2.5 Insisi kedua (saat a.temporalis superficial tidak sengaja terpotong)
tehnik pertama. Prosedur yang lebih jarang lagi dilakukan yaitu DC bifrontal,
dilakukan apabila terdapat edema serebri difus atau lesi kontusio bifrontal. Dura
inferior (temporal).
Gambar 2.10 Posisi pasien dan sayatan kulit garis di bifrontal craniectomy
Gambar 2.11 Bicoronal myocutaneous dan flap periosteal dengan garis besar
craniectomy: A - flap periosteal terpisah dapat digunakan untuk menutupi sinus
udara frontal jika terkena selama kraniotomi; B - garis kraniotomi pilihan untuk
memungkinkan pengangkatan tulang yang lebih aman menjadi dua fragmen; C -
ekstensi subtemporal untuk dekompresi kutub temporal
(Timofeev dkk., 2012).
29
Komplikasi DC
ke nilai normal, perdarahan dari kapiler anterior (tekanan awal yang tinggi
(‘jamur’), akibat ukuran bone flap tidak cukup besar; hematom kontralateral.
vein’ atau fraktur tulang; wound dehiscence sering terjadi oleh karena tekanan
tinggi dari interior yang menyebabkan jahitan tegang dan fenomena iskemia atau
nekrosis akibat suplai darah yang rendah untuk flap. Komplikasi ini lebih sering
akibat secara tidak sengaja terjadi koagulasi arteri temporalis superfisial ketika
cairan serebrospinal oleh SAH dan modifikasi tekanan dan aliran cairan
akibat blok mekanik atau inflamasi granulasi araknoid oleh debris pasca operasi;
infeksi akibat tirah baring yang terlalu lama, dengan posisi kepala hanya satu,
muncul dehiscence luka. Bahkan, setelah beberapa bulan, kadang muncul fistula
sindrom trephined. Manifestasi berupa gejala fokal neurologis 3-6 bulan setelah
operasi awal, tanpa ada lesi pada CT maupun MRI (Balan dkk., 2010).
Komplikasi lain DC dapat berupa resorpsi bone flap oleh nekrosis aseptic;
2.2.4 Cranioplasty
pasien dapat menjadi kandidat prosedur ini, dan semua resiko dan indikasi harus
trepanasi (Coralo dkk., 2015). Akhir akhir ini indikasi dari cranioplasty berubah
dari hanya sekedar kosmetik dan protektif menjadi terapeutik (Tasiou dkk., 2014).
Salah satu indikasi cranioplasty adalah defek kranium yang luas, dalam praktek
karena risiko infeksi atau pembengkakan otak yang belum kunjung sembuh
dilakukan > 2 bulan (lambat) segera setelah DC, Flap tulang dibekukan dan
disimpan dalam keadaan steril (-80 C). Selama cranioplasty lapisan untuk
penggantian fragmen tulang didiseksi antara flap miokutaneus dan lapisan mirip
dura yang menyelubungi otak. Batas tulang yang mengelilingi lubang kraniektomi
dibiarkan terbuka. Flap tulang autolog difiksasi dengan plat titanium dan mur
(plate and screw). Otot temporalis didiseksi sebagai lapisan yang terpisah dan
waktu atau interval dari cranioplasty, material graft, atau ukuran defek tulang,
penumpukan cairan sub galeal preoperative, dan waktu operasi > 120 menit, dan
32
gangguan terhadap luka pasca operasi (Kim dkk., 2013). Pada prosedur DC otot
temporalis dan fascia menjadi faktor yang paling signifikan dalam membatasi
herniasi eksternal dari otak yang edema. Beberapa ahli bedah, melakukan DC dan
duraplasty yang ekstensif digabung dengan reseksi otot temporal dan fasia.
Reseksi otot temporalis pada DC menunjukkan dekompresi yang lebih luas dan
hasil yang lebih baik pada infark hemisfer maligna, dengan hasil yang cukup
merugikan yaitu disfungsi mastikasi minimal dan kosmetik. .Selain itu reseksi dari
otot temporal membutuhkan koagulasi arteri temporal anterior dan posterior yang
berasal dari arteri maksilaris interna dan arteri temporalis medialis yang berasal
Prinsip dasar dari cranioplasty adalah: memilih material yang sesuai untuk
jenis dan ukuran defek, material harus mempunyai tingkat infeksi yang rendah,
konduksi panas yang rendah, non magnetic, radiolusen, dapat diterima oleh
jaringan, kuat, dapat dibentuk dengan mudah, dan tidak mahal. Sebelum mencapai
penutupan tulang, batas tulang yang jelas harus didapatkan, SCALP harus
dipisahkan dari dura. Robekan dura harus segera ditutup secara tidak tembus air
(water tight). Tulang dan material cranioplasty harus menempel satu sama lain
dan mortalitas. Dalam usaha untuk menurunkan beban akibat luka, dibutuhkan
teknologi untuk manajemen luka akut dan jangka panjang (Velnar dkk., 2009).
Pengaruh luka ini di seluruh dunia terhadap sosial dan ekonomi sangat
besar akibat banyaknya kejadian luka secara umum dan frekuensinya meningkat
pada populasi tua. Selain luka yang akut, juga terdapat banyak luka kronik, luka
yang sulit sembuh akibat penyakit dan abnormalitas yang secara langsung maupun
tidak langsung menimbulkan kerusakan termasuk arteri, vena, ulkus diabetik dan
ulkus dekubitus. Prevalensi dari luka kronik ini bertambah dengan meningkatnya
usia. Luka kronik ini diperkirakan mengenai 120 per 100.000 orang yang berusia
antara 45 – 65 tahun dan meningkat menjadi 800 per 100.000 orang berusia lebih
dari 75 tahun. Lebih lanjut, karena komplikasi yang menyertai luka akut, dimana
proses penyembuhan tidak terjadi sebagaimana mestinya, maka luka tersebut akan
menjadi luka kronik, dimana manajemennya menjadi sulit (Velnar dkk., 2009).
dan maturasi memberikan kerangka untuk mengerti mengenai prinsip dasar dari
Luka per definisi adalah kerusakan atau gangguan pada struktur anatomi
normal dan fungsinya. Luka ini dapat bervariasi dari kerusakan pada intergitas
epithelial kulit atau mengenai struktur yang lebih dalam, meluas ke jaringan
subkutan dengan kerusakan pada struktur yang lain seperti tendon, otot, pembuluh
Luka dapat berasal dari proses patologik yang berasal dari eksternal atau
internal. Luka dapat terjadi secara tidak sengaja atau sengaja atau sebagai hasil
dari proses penyakit. Proses seperti perdarahan, koagulasi, respon inflamasi akut
terhadap cedera, regenerasi, migrasi, dan proliferasi dari jaringan ikat dan sel
pembentukan parut dan remodeling dari parut. Ini merupakan respon umum
terhadap cedera. Yang kedua adalah excessive healing dimana terdapat deposisi
menghilang. Contoh dari excessive healing adalah fibrosis, striktur, adhesi, dan
kontraktur. Yang ketiga adalah deficient healing dimana deposisi dari matriks
jaringan ikat tidak cukup dan jaringan yang terbentuk tidak kuat sehingga mudah
rusak. Contoh dari deficient healing adalah luka kronis. Yang keempat adalah
struktur dan fungsi yang hilang tetapi masih mempunyai kemampuan untuk
menggantikan struktur yang rusak tersebut dengan struktur dan fungsi yang
Gambar 2.13 Empat respon terhadap cedera (Diegelmann dan Evan, 2004).
waktu penyembuhannya luka dapat diklasifikasikan menjadi luka akut dan kronik
Luka Akut
Luka akut adalah luka yang membaik dengan sendirinya dan melalui
proses penyembuhan normal dengan hasil akhirnya restorasi dari fungsi dan
dari 5–10 hari atau dalam 30 hari. Luka akut dapat terjadi secara acquired karena
36
proses trauma atau karena prosedur operasi. Dapat hanya mengenai jaringan lunak
saja atau mungkin berhubungan dengan fraktur tulang (Velnar dkk., 2009).
Luka Kronik
faktor yang menyebabkan pemanjangan satu lebih fase penyembuhan luka baik
mempengaruhi antara lain infeksi, hipoksia jaringan, nekrosis, eksudat, dan kadar
sitokin inflamasi yang berlebih. Luka kronik juga terjadi karena naturopatik,
tekanan, insufisiensi arterial dan vena, luka bakar, dan vaskulitis (Velnar dkk.,
2009).
berdasarkan fakor penyebabnya antara lain kontusio, abrasi, avulsi, laserasi, luka
potong, luka tusuk, kecelakaan, luka tembak, dan luka bakar. Berdasarkan tingkat
kontaminasinya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : luka aseptic (operasi
tulang dan sendi), luka kontaminasi (operasi abdominal dan paru), Luka septik
(abses, operasi usus, dll). Luka juga dapat dibedakan menjadi luka tertutup bila
jaringan yang mengalami trauma masih tertutup oleh lapisan kulit, atau terbuka
37
bila tidak ada kulit yang menutup sehingga jaringan di dalamnya tampak (Velnar
maupun yang tidak disengaja. Tabel 2.1 menunjukkan beberapa penyebab yang
Luka dan proses penyembuhan luka terjadi pada semua jaringan dan organ
di seluruh tubuh. Meskipun proses penyembuhan luka ini merupakan proses yang
yang berbeda pada suatu waktu. Waktu dan interaksi antara komponen-komponen
proses penyembuhan luka berbeda antara proses yang akut dan kronik (Velnar
dkk., 2009).
Terdapat empat fase dari proses penyembuhan luka yaitu : Fase koagulasi dan
hemostasis, Fase inflamasi, Fase proliferasi, dan Fase remodeling (Velnar dkk.,
vasokonstriksi dan aktivasi dari mekanisme clotting. Proses ini bertujuan untuk
menjaga sistem vaskular tetap intak sehingga fungsi dari organ vital tidak
jangka panjang dimana akan dihasilkan matriks untuk penempelan sel yang
diperlukan pada fase selanjutnya dari penyembuhan. Proses ini dimulai segera
setelah terjadinya cedera (Nabavian dan Garner, 2002; Velnar dkk., 2009).
itu juga berperan pada epitelisasi dan angiogenesis (Nabavian dan Garner, 2002).
menyebabkan adhesi dan migrasi dari sel inflamasi dan epithelial. Fibroblas, sel
endothelial, dan otot polos vaskular dapat mensekresi, mengikat, dan mengubah
selular. Fibronektin berperan sebagai ligand untuk platelet integrin yang berperan
terhadap adhesi platelet dan agregasi platelet (Nabavian dan Garner, 2002).
jalur intrinsik, ekstrinsik, melalui peranan dari platelet. Jalur intrinsic (Contact
endothelial menyebabkan jaringan sub-endotelial akan terpapar darah, hal ini akan
mengaktifkan faktor XII (faktor Hageman). Aktifnya faktor XII ini akan
terhadap sirkulasi darah. Hal ini menyebabkan aktivasi faktor VII dan kemudian
hasil akhirnya adalah aktivasi dari thrombin (Young dan Mcnaught , 2011).
kolagen pada pembuluh darah yang terluka dan dermis menstimulasi agregasi
molekul sudah diisolasi dari platelet yang aktif, dimana molekul-molekul tersebut
41
mempengaruhi dan memodulasi fungsi dari platelet, leukosit dan sel endothelial.
Cara kerja dari platelet-derived molecule dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah
pembengkakan, dan rasa hangat serta nyeri. Tanda inflamasi ini sering dikenal
dengan “rubor et tumor cum calore et dolore”. Fase ini berlangsung sampai 4 hari
setelah terjadinya cedera. Tujuan dari fase inflamasi ini adalah untuk memberikan
infeksi pada luka (Velnar dkk., 2009; Orsted dkk., 2011; Young dan Mcnaught,
2011).
Fase inflamasi ini dibagi menjadi dua fase yaitu fase inflamatori awal dan
fase inflamatori lanjut (Velnar dkk., 2009). Fase inflamatori awal dimulai pada
akhir fase koagulasi dan segera setelah fase koagulasi selesai. Pada fase ini akan
tempat terjadinya luka dalam waktu 24-36 jam setelah cedera. Migrasi dari
Proses ini dinamakan kemotaksis (Velnar dkk., 2009; Young dan Mcnaught,
2011).
kromatin dan protease yang akan menangkap dan membunuh bakteri di ruang
radikal bebas oksigen dengan klorin akan mensterilkan luka (Young dan
Mcnaught, 2011).
apoptosis yang kemudian akan difagositosis oleh makrofag (Velnar dkk., 2009;
Fase inflamatori lanjut terjadi 48-72 jam setelah cedera, dimana akan
dikeluarkan makrofag dan proses fagositosis terus berlanjut. Makrofag ini akan
komplemen, sitokin seperti PDGF, TGF-β, leukotriene B4, platelet factor IV,
elastin, produk pemecahan kolagen. Hal ini akan menstimulasi angiogenesis dan
luka dapat dilihat pada tabel 2.3 (Velnar dkk., 2009; Young dan Mcnaught,
2011).
44
Sel terakhir yang menuju ke tempat luka adalah limfosit. Limfosit akan
menuju ke tempat luka 72 jam setelah cedera. Migrasi dari limfosit ini
IL-1 ini mempunyai peran penting dalam regulasi kolagenase yang dibutuhkan
45
Fase proliferasi dimulai sekitar hari keempat setelah terjadinya luka dan
biasanya berlangsung sampai 21 hari pada luka akut, tergantung dari ukuran luka
dan status kesehatan penderita. Fase ini dimulai setelah hemostasis telah tercapai,
respon inflamasi telah seimbang, dan luka telah bebas dari debris. Pada fase ini
terjadi migrasi dari fibroblas dan pembentukan matriks ekstraselular yang baru.
granulasi, deposisi dari kolagen, epitelisasi dan retraksi luka, dimana proses
Mcnaught, 2011).
Ada empat tahapan dari proses neovaskularisasi tersebut antara lain : (I)
produksi protease oleh sel endothelial, (II) kemotaksis, (III) proliferasi, (IV)
46
remodeling dan diferensiasi. PGF dan VEGF mempunyai peranan sentral dalam
pembuluh darah kapiler yang kaya akan vaskularisasi yang didapat dari pembuluh
darah yang normal. Pada awalnya kapiler yang dibentuk masih rapuh dan bersifat
oleh cedera. Fibroblas ini kemudian akan mengalami migrasi ke dalam luka.
Proses ini distimulasi oleh TGF-β dan PDGF yang dihasilkan oleh sel-sel
inflamasi dan platelet. Pada hari yang ketiga, luka akan banyak mengandung
proteoglikan, serta tipe1 dan tipe3 dari procollagen sehingga dihasilkan jaringan
fibrous yang berwarna merah muda dan mengandung pembuluh darah yang
kemudian akan terbentuk jaringan granulasi. Setelah matriks yang terbentuk sudah
untuk berhubungan dengan protein fibronectin dan kolagen yang ada disekitarnya
dan membantu dalam kontraksi luka. Kolagen yang disintesis oleh fibroblas
merupakan komponen utama untuk penguatan jaringan (Velnar dkk., 2009; Young
Epitelisasi
Sel epitel melakukan migrasi dari sisi luka ke dalam luka dalam waktu
yang cepat (beberapa jam) sampai semua luka tertutup oleh sel epitel dan
mesenchymal transition (EMT) akan menambah motilitas sel epitel untuk migrasi
ke permukaan luka. Proses epitelisasi ini selesai dalam waktu 24 jam pada luka
Retraksi Luka
Luka mulai mengalami kontraksi dalam waktu tujuh hari setelah cedera
terjadi. Proses ini dimediasi oleh fibroblas. Interaksi antara aktin dan myosin akan
menarik sel saling mendekat dan mengurangi area yang diperlukan untuk
ukuran luka, dimana luka yang berbentuk linear akan berkontraksi lebih cepat
sedangkan luka yang berbentuk sirkular lebih lambat. Gangguan pada proses ini
2011).
Ini merupakan fase terakhir dari penyembuhan luka. Fase ini dapat
berlangsung sampai dua tahun atau lebih. Pada fase ini akan dihasilkan epitelium
yang baru dan maturasi dari jaringan parut. Fase ini bertujuan untuk
penyembuhan yang normal. Meskipun demikian, luka tidak akan pernah mencapai
48
keadaan jaringan yang sama seperti sebelumnya, rerata dalam tiga bulan hanya
50% saja dari keadaan sebelumnya dan hanya 80% dalam waktu yang lebih lama
kemudian pertumbuhan kapiler berhenti, aliran darah ke area luka dan aktifitas
metabolik akan menurun. Hasil akhirnya adalah jaringan parut matur yang
Pelepasan TGF-β1 pada fase awal proses penyembuhan luka dengan cepat
merekrut sel inflamasi ke daerah luka, kemudian terlibat dalam umpan balik
perekrutan fibroblas dan sel imun dari sirkulasi dan tepi luka ke area luka. TGF-
yang berbeda dalam proses penyembuhan luka bila dibandingkan dengan TGF-β1
sel karena jalur ini dapat mengaktifkan Bone Morphogenetic Protein (BMP),
aktivin, dan inhibin yang efeknya berbeda beda. Pada hewan mamalia, TGF-β1
merupakan TGF yang paling banyak ditemukan dan karena itu TGF inilah yang
oleh berbagai jenis sel seperti platelet, endotel, limfosit, dan makrofag. TGF
melalui proses proteolisis oleh enzim proteolitik. TGF- β yang aktif berikatan
dikenal dengan nama Smads yang terdiri atas beberapa bentuk ( Smad 1, 2, 3, 5,
dan 8). Smad yang terfosforilasi kemudian membentuk heterodimer dengan Smad
4 yang memasuki inti sel dan berikatan dengan DNA pada regio promoter dari
beberapa gen. Ikatan ini kemudian memicu aktivasi dan hambatan proses
50
transkripsi berbagai gen. Efek dari transkripsi tersebut sering berlawanan satu
sama lainnya bergantung pada jaringan, sel dan jenis kerusakan sel akibat luka.
Karena berbagai efeknya yang berbeda beda dan seringkali berlawanan ini, TGF-β
epitel dengan cara menghambat siklus sel. Penghambatan siklus sel dilakukan
Namun efek TGF-β pada sel mesenkim bergantung pada kondisi lingkungan sel.
Pada sel fibroblas, TGF-β memicu proliferasi dengan mengaktifkan CTGF. Efek
inilah yang sering memicu fibrosis pada organ yang mengalami proses inflamasi
Molekul TGF-β terdiri atas tiga isoform (TGF-β1, β2, dan β3) yang
disandi oleh tiga gen yang berbeda. TGF-β1 merupakan isoform yang paling
banyak ditemukan dan hampir diekspresikan oleh semua jenis sel dalam bentuk
kompleks laten besar yang inaktif yang tidak dapat berikatan dengan reseptornya
pada permukaan sel target. Untuk dapat menjadi aktif, kompleks laten besar dari
TGF-β harus diubah menjadi aktif. Molekul yang dapat mengaktifkan TGF-β
dan molekul TGF-β dalam kompleks laten besar. ROS juga dapat menginduksi
Gambar 2.15 Sistem signal TGF-β yang tergantung dan tidak tergantung pada
melalui protein Smad ke inti sel. Ikatan TGF-β dengan reseptornya memicu
kinase (ALK)5 dan ALK1. Selain melalui protein Smad, TGF-β juga
(MAPK).
2) pada membrane sel memicu transfosforilasi segmen GS dari reseptor tipe I oleh
tipe II. Reseptor II yang teraktivasi memfosforilasi Smad tertentu. Smad yang
bermigrasi ke inti sel untuk mengatur transkripsi gen target. Protein Smad lainnya,
yaitu Smad 6 dan 7, menghambat proses sistem signal TGF-β. Selain itu, system
signal TGF-β lainnya yang tidak tergantung pada protein Smad mengaktifkan
makrofag dan limfosit T merupakan sinyal yang sangat penting. TGF-ß diyakini
sebagai regulator fungsi fibroblas pada host. TGF-β merupakan kelompok sitokin
pluripoten yang terdiri dari tiga isoform meliputi TGF-β1, TGF-β2, TGF-β3.
Ketiga isoform ini disekresikan dalam bentuk laten dan diaktivasi melalui
proteolisis untuk melepas TGF-β matur. TGF-β bekerja secara autokrin dan
parakrin yang kemudian berikatan dengan reseptor pada membran sel. Reseptor
TGF-β terdiri dari dua glikoprotein transmembran yang terpisah bernama TGF-
1RI dan TGF-jRII; suatu reseptor tirosin kinase. Fosforilasi reseptor memicu jalur
pensinyalan yang melibatkan protein Smads. Target akhir dari kaskade ini adalah
ekspresi gen target. Modulasi ekspresi gen target, menimbulkan tiga efek penting
53
matriks. Pada saat yang sama TGF-ß menekan sekresi protease yang bertanggung
lebih rendah dengan penggunaan mesh dan berbagai jenis mesh telah
hernia dapat berupa bahan yang tidak dapat diserap, komposit (kombinasi dari
serat yang dapat diserap dan tidak dapat diserap) atau berupa barrier yang mudah
digunakan saat ini untuk memperbaiki hernia adalah polypropylene, polyester dan
ePTFE.
Mesh ini terbuat dari serat polypropylene yang tersusun dalam jaringan dengan
pori-pori dengan ukuran yang berbeda. Produk ini berbeda dengan produsen yang
54
kelenturan dan susutnya. Mereka dikenal sebagai Marlex (Davol Inc, Cranston,
AS), PROLENE (Johnson dan Johnson, India), PROLENE Soft (Johnson dan
Stoppa.
tidak bersentuhan dengan viscera perut, yaitu untuk laparoskopi hernia inguinalis
penempatan intra-abdomen untuk memperbaiki hernia ventral dan insisi, hal ini
tidak dianjurkan karena laporan literatur tentang komplikasi adhesi usus, obstruksi
usus, fistulisasi dan erosi ke dalam kulit perut bahkan setelah bertahun-tahun.
Kemajuan teknologi terbaru kini telah menyediakan bahan buatan yang mencegah
without barrier)
55
hernia inguinalis terbuka dan juga pada laparaskopi TAPP atau TEP. Mereka
terdiri dari filamen tipis VICRYL dan PROLENE (Johnson dan Johnson, India)
atau MONOCRYL (Johnson dan Johnson, India) dan PROLENE (Johnson dan
Johnson, India). Filamen ini dipelintir bersama dan kemudian dirajut untuk
makropor, ukuran pori 4,5 mm dan ini menginduksi jaringan yang lebih baik dari
jaringan serat kolagen tiga dimensi yang kuat. Konstruksi ini menghasilkan
hampir 70% pengurangan benda asing yang ditanamkan dan menghasilkan 'scar-
mesh' yang bertentangan dengan 'scar-plate'. Mesh ini cukup memberi kekuatan
Perbaikan hernia ventral dan insisional saat ini dilakukan dengan operasi
pertumbuhan tinggi ke arah dinding perut dan nonadhesiveness di sisi lain untuk
komposit dengan barrier yang dapat diserap dan tidak dapat diserap direkayasa.
Dalam semua mesh komposit ini, lapisan yang menghadap rongga perut mencegah
adhesi dengan usus sementara lapisan yang bersentuhan dengan dinding perut
composite meshes)
pasca operasi. Barrier yang diserap berubah menjadi gel dalam 48 jam, tetap tetap
berada di jala selama 7 hari dan dibersihkan dari tubuh dalam 28 hari. Bahan
57
antiadhesive ini membentuk barrier fisik pada permukaan yang rusak untuk
Barrer fisik harus member kesempatan jaringan yang luka untuk sembuh secara
terpisah satu sama lain. Selain itu, natrium hyaluronate dan karboksimetil selulosa
yang dilapisi oleh film antiadhesi polietilen glikol dan gliserol. Polietilen glikol
menurunkan reaksi jaringan fibrosa pada material 'asing' (mesh). Film kolagen,
polietilen glikol dan gliserol diserap dalam 3 minggu. Mesh parientene composite
terdiri dari barrer antiadhesive yang sama namun dilapisi dengan polypropylene.
steril berlapis, tipis, fleksibel terdiri dari lapisan oxidized regenerated cellulose
jaringan dan organ yang mendasar selama periode penyembuhan luka untuk
ikatan pada lapisan ORC. Mesh ini memiliki konstruksi mesh makroporous
ringan, risiko minimal sisa benda asing, memungkinkan cairan mengalir dengan
(Doctor, 2006).
polypropylene yang memiliki lapisan tipis ePTFE di satu sisi untuk mencegah
adhesi usus. Introduksi melalui port laparoskopi sulit dilakukan karena tidak bisa
memampatkan mesh dan karenanya membutuhkan port yang lebih besar (12 mm)
untuk introduksi.
permukaan; satu sangat halus (micropores 3 mm) dan yang lainnya kasar
halus terhadap organ viseral - jaringan yang tidak memerlukan adhesi minimal
59
atau minimal - dan permukaan lainnya yang sesuai dengan penggabungan jaringan
yang diinginkan. Dual mesh hadir dalam dua pilihan: pertama adalah lembaran
lebih besar. Sebuah inovasi baru saat ini adalah penggabungan perak dan
Penggunaan barrier baru yang mudah diserap dan tidak dapat diserap
pada mesh komposit mengurangi kejadian adhesi dan komplikasi terkait adhesi
telah dievaluasi pada model hewan dan beberapa studi klinis telah dilaporkan.
Insiden adhesi berkurang untuk semua mesh dengan barrier dibandingkan dengan
yang dapat diserap dan tidak dapat diserap untuk pencegahan adhesi setelah
PROCEED, Bard Composix dan Gore-Tex Dual mesh akan mengurangi kejadian
(Doctor, 2006).
60
untuk mencegah epidural fibrosis. Dari 52 pasien DC sejak tahun 1998, 23 pasien
dilakukan pemasangan PTPE di antara duramater dan galea tanpa dijahit. Pada
pasien tanpa PTPE saat diseksi hati-hati didapatkan rata-rata waktu operasi 79,66
±18,9 menit, jumlah darah 92,41±37 ml. 2 kasus mengalami cedera dura saat
diseksi. Pada 23 pasien dengan PTPE, Cranioplasty lebih mudah karena adanya
PTPE memudahkan memisahkan jaringan subkutis dari duramater dan tidak ada
ml. tidak ada cedera pada duramater. Perbedaan lama operasi dan jumlah darah
otot temporal dan galea. Perlengketan / formasi adhesi ini dapat menimbulkan
masalah sulitnya diseksi /memisahkan jaringan sehingga waktu operasi lebih lama
dan resiko perforasi duramater menjadi lebih besar. Selain itu pada adhesi lebih
jaringan yang menutup flap tulang kurang jaringan sehingga kosmetik kurang
digunakan seperti PTPE atau non absorbable membrane yang lain untuk berbagai
Selain PTPE, digunakan silicon sheet, dari 16 pasien yang dilakukan, tidak
Otot, flap galea kontak langsung dengan duramater atau implant atau
kortek, dimana mudah terjadi adhesi. Pada saat cranioplasty, otot temporal
dipisahkan dari duramater, kadang-kadang sangat sulit dan perlu waktu lama,
resiko terjadi efusi cairan CSF dengan potensial terjadi komplikasi pasca operasi.
Bermacam material dicoba untuk mengurangi adhesi antara flap otot-galea dengan
subgaleal CSF 33% (4 pasien) yang menghilang setelah 8 minggu (Horaczek dkk.,
2008).
pada operasi cranioplasty berikutnya, waktu operasi lebih lama, kehilangan darah
lebih banyak dan cedera pada duramater. Untuk mencegah komplikasi ini,
beberapa tehnik telah dicoba, contohnya penggunaan PTPE dural substitusi untuk
otak pertama kali dilakukan oleh Kawaguci dkk pada 10 pasien SAH karena
oleh Huang, 2011 fokus pada Neuropatch (B Braun) suatu non absorbable
substitusi dura yang sering digunakan oleh Bedah Saraf. Sebagai kesimpulan,
penggunaan Neuro-Patch sebagai bahan anti adhesi pada DC untuk TBI tidak