Anda di halaman 1dari 78

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS TETRAPARESE ET


CAUSE SPINAL CORD INJURY UNTUK MENINGKATKAN
KEKUATAN OTOT DAN KEMAMPUAN TRANSFER
WEIGHT BEARING DALAM PERBAIKAN
POLA JALAN

Diajukan sebagai salah satu pemenuhan syarat praktek klinik

oleh :
Kelompok 1
ANDRIANA YULI KURNIAWATI (1406550232)
FANNY AULIA (1406550200)
JIHAN SARGUMA ARFENDI (1406550251)
MUZAKKY FATHURRAHMAN (1406626532)
SELA MAUDIA (1406626274)

PROGRAM VOKASI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA,

Oktober 2016
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM VOKASI
BIDANG STUDI KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

LEMBAR PENGESAHAN

Makalah konferensi kasus telah dikoreksi, disetujui, dan diterima


Pembimbing Praktek Klinik Program Studi Fisioterapi Neuromuskular (FT. C) di
RSCM untuk melengkapi tugas Praktek Klinik I Tahun 2016.

Pada hari : Kamis

Tanggal : 27 Oktober 2016

Pembimbing,

Titin Sumarni, AMF

i | Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah konferensi kasus Fisioterapi Neuromuscular (FT C) dengan tepat waktu.
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas dalam Praktek Klinik I
Semester V.
Kami sebagai tim penulis mengucapkan terima kasih kepada para instruktur
praktek klinik atau fisioterapis di RSPUN Dr. Cipto Mangunkusumo, terutama
instruktur fisioterapi neuromuscular yang telah memberikan waktu untuk
membimbing dan mendukung kami selama pembuatan makalah ini. Tak lupa pula
kami ucapkan terimakasih kepada orang tua, pasien dan teman-teman mahasiswa
Fisioterapi Universitas Indonesia yang telah memberi bantuan baik material
maupun spiritual karena tanpa bantuan mereka makalah ini tidak dapat selesai
dengan baik.
Kami menyadari tanpa bimbingan dan pengarahan dari semua pihak, maka
laporan ini tidak akan tersusun dengan baik. Pada kesempatan kali ini kami
mengucapkan pula terima kasih kepada dokter, dosen mata ajar fisioterapi
neuromuscular, seluruh pembimbing praktek klinik fisioterapi di Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dan teman-teman mahasiswa
fisioterapi Universitas Indonesia.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah konferensi ini. Oleh sebab itu, penulis mengaharapkan saran dan kritik
yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya dan rekan-rekan
fisioterapis pada khususnya.
Makalah ini belum atau tidak bisa dijadikan acuan sebelum disetujui dosen
pembimbing dan dikonferensikan atau dipresentasikan.

Jakarta, Oktober 2016

Penulis

ii | Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Identifikasi Masalah......................................................................................3
C. Pembatasan Masalah.....................................................................................3
D. Rumusan Masalah.........................................................................................4
E. Metode Penulisan..........................................................................................4
F. Tujuan Penulisan...........................................................................................4
G. Manfaat Penulisan.........................................................................................5
H. Sitematika Penulisan.....................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................7
A. Spinal Cord Injury, Tumor Intradural Extramedular, Laminectomy.............7
B. Anatomi dan Fisiologi Vertebra....................................................................9
C. Biomekanik Vertebra........................................................................................13
D. Etiologi Spinal Cord Injury.........................................................................14
E. Patofisiologi Spinal Cord Injury.................................................................14
F. Manifestasi Klinis Spinal Cord Injury........................................................16
G. Prognosa Spinal Cord Injury......................................................................18
H. Teknologi / intervensi fisioterapi pada Penatalaksanaan Fisioterapi untuk
Meningkatkan Kekuatan Otot dan Kemampuan Transfer Weight Bearing
dalam Perbaikan Pola Jalan Pada Kasus Tetraparese et cause Spinal Cord
Injury C4-C5 Tumor Intradural Extramedular 18
I. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Tetraparese et causa Spinal Cord
Injury C4-C5 Tumor Intradural Extramedular...........................................30
J. Underlying Proccess Umum........................................................................ 49
BAB III ISI..................................................................................................................50
Underlying Proccess Khusus............................................................................ 65
BAB IV PENUTUP....................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 68
LAMPIRAN................................................................................................................71

iii | Universitas Indonesia


DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Efek cedera berdasarkan tingkat Spinal Cord Injury (SCI)...................16
Tabel 2. 2 Manifestasi Klinik Spinal Cord Injury Berdasarkan Lokasi Lesi.........17
Tabel 2. 3 Tekanan Darah Normal.........................................................................33
Tabel 2. 4 Respiratory Rate Normal.......................................................................33
Tabel 2. 5 Kategori IMT Normal...........................................................................35
Tabel 2. 6 Manual Muscle Testing (MMT)............................................................39
Tabel 2. 7 Indeks Barthel.......................................................................................46

iv | Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Klaisfikasi ASIA.................................................................................8


Gambar 2. 2 Anatomi Vertebra.................................................................................9
Gambar 2. 3 Superficial muscles of back..............................................................10
Gambar 2. 4 Sistem Saraf Otonom........................................................................12
Gambar 2. 5 Spinal Cord.......................................................................................17
Gambar 2. 6 Gait Cycle..........................................................................................28
Gambar 2. 7 Dermatom..........................................................................................42

v | Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Spinal Cord Injury (SCI) merupakan salah satu kasus yang cukup
besar menimpa masyarakat kota pada masa sekarang ini. Apabila kasus ini
tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan penurunan
kualitas hidup seseorang atau bahkan kematian. Seseorang yang mengalami
spinal cord injury seringkali mengalami ketidakmampuan dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, bekerja, bersosialisasi, dan kehilangan rasa
percaya diri yang semuanya itu jika tidak diatasi dapat membawa penderita
tersebut mengalami masalah yang lebih besar lagi yang menurunkan
kualitas hidupnya, juga dapat berakibat kepada keluarga, serta orang-orang
disekitarnya (Dohar AL. Tobing, 2012).
Spinal Cord Injury (SCI) merupakan gangguan pada medula spinalis
yang menyebabkan kerusakan medulla spinalis dan saraf sehingga terjadi
defisit neurologis parsial atau total di bawah level lesi berupa gangguan
persepsi sensori, paralisis atau keduanya. SCI dapat disebabkan karena
faktor trauma dan non trauma. Trauma dapat disebabkan karena kecelakaan,
sedangkan non trauma dapat disebabkan karena tumor medulla spinalis.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan
penelitian untuk mengetahui epidemiologi penderita Spinal Cord Injury
(SCI) dan yang mengalami paralisis di Amerika Serikat. Hasilnya yaitu
sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000 orang
melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang
digunakan dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi Amerika
Serikat atau sekitar 1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis
dikarenakan oleh Spinal Cord Injury (SCI) . (Christopher & Dana Reeve
Foundation, 2004)
Jumlah penderita tumor medula spinalis di Indonesia belum diketahui
secara pasti. Jumah kasus tumor medula spinalis di Amerika Serikat

| Universitas Indonesia
mencapai 15% dari total jumlah tumor yang terjadi pada susunan saraf pusat
dengan perkiraan insidensi sekitar 0,5-2,5% kasus per 100.000 penduduk
per tahun. Jumlah penderita pria hampir sama dengan wanita dengan
sebaran usia antara 30 hingga 50 tahun. Penyebaran 25% tumor terletak di
segmen servikal, 55% di segmen thorakal dan 20% terletak di segmen
lumbosakral. (Briggs AM, dkk. 2009)
Permasalahan yang terkait dengan Spinal Cord Injury yaitu: 1)
kerusakan dan ketidakstabilan tulang belakang, 2) spinal shock, 3) paralisis
ileus, 4) deep venous thrombosis dan embolus paru, 5) spastisitas, 6)
disrefleksia otonom, 7) hipotensi postural, 8) gangguan kandung kemih, 9)
pencernaan dan fungsi seksual, dan 10) osteoporosis.
Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada kasus SCI tergantung
pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma dan kecepatan mendapat
perawatan medis setelah trauma. Trauma pada cervical dapat mengakibatkan
seseorang mengalami penurunan kemampuan bernafas dan kelemahan pada
lengan, tungkai dan trunk atau yang disebut tetraparese. Trauma pada bagian
bawah dari vertebra dapat menyebabkan hilang atau berkurangnya fungsi
motorik serta sensoris pada tungkai dan bagian bawah dari tubuh disebut
paraplegi. Pada kasus trauma yang berat, kesembuhan tergantung pada
luasnya derajat kerusakan, prognosis akan semakin baik bila pasien mampu
melakukan gerakan yang disadari atau dapat merasakan sensasi dalam
waktu yang singkat.
Definisi fisioterapi menurut KepMenKes 1363 Pasal 1 ayat 2 adalah
“Bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau
kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan
fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan
secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan
mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi”.
Fisioterapi sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan dapat
memberikan sumbangan ilmu dan kemampuannya dalam meningkatkan
kualitas hidup penderita spinal cord injury. Hal ini dapat dilakukan karena
bidang kajian pelayanan fisioterapi dan masalah yang ditangani fisioterapi

2 | Universitas Indonesia
dalam praktek sehari-hari adalah masalah atau gangguan gerak dan fungsi.
Seperti kita ketahui bersama bahwa masalah penurunan kualitas hidup
penderita spinal cord injury ini lebih banyak diakibatkan karena
ketidakmampuan untuk bergerak karena adanya kelemahan otot, pola jalan
yang abnormal.
Pada kasus spinal cord unjury yang kami bahas, fisioterapi
memberikan intervensi Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)
untuk merangsang jumlah maksimum dari motor unit dalam aktifitas dan
membuat hypertrophy seluruh serabut otot yang ada, menimbulkan,
menaikkan, memperbaiki tonus postural, memperbaiki koordinasi gerak,
dan mengajarkan pola gerak yang benar. Intervensi selanjutnya adalah gait
training yang merupakan suatu cara untuk latihan berjalan dengan pola jalan
yang benar, biasanya diberikan pada seorang anak atau orang dewasa yang
mengalami cedera atau cacat dengan fasilitasi atau bantuan fisioterapis.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka


kami sebagai penulis dapat mengidentifikasikan masalah Penatalaksanaan
Fisioterapi untuk Meningkatkan Kekuatan Otot dan Kemampuan Transfer
Weight Bearing Dalam Perbaikan Pola Jalan Pada Kasus Tetraparese Et
Causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor Intradural Extramedular.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan banyaknya masalah yang timbul pada kasus Tetraparese


Et Causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor Intradural Extramedular, maka
kami akan membatasi permasalahan yang akan dibahas dalam laporan kasus
ini. Adapun masalah yang akan dibahas pada laporan kasus ini adalah
Penatalaksanaan Fisioterapi untuk Meningkatkan Kekuatan Otot dan
Kemampuan Transfer Weight Bearing Dalam Perbaikan Pola Jalan Pada
Kasus Tetraparese Et Causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor Intradural
Extramedular.

3 | Universitas Indonesia
D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada kasus ini adalah:


1. Apa defenisi dari Spinal Cord Injury, Tumor Intradular Extramedular,
dan Laminektomi?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari Vertebra?
3. Bagaimana biomekanik dari Vertebra?
4. Bagaimana epidemiologi Spinal Cord Injury?
5. Bagaimna etiologi dari Spinal Cord Injury?
6. Bagaimana patofisiologi Spinal Cord Injury?
7. Bagaimana manifestas klinis dari Spinal Cord Injury?
8. Bagaimana prognosa dari Spinal Cord Injury?
9. Bagaimana Teknologi / intervensi fisioterapi pada Penatalaksanaan
Fisioterapi untuk Meningkatkan Kekuatan Otot dan Kemampuan
Transfer Weight Bearing dalam Perbaikan Pola Jalan Pada Kasus
Tetraparese et causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor Intradural
Extramedular?
10. Bagaimana Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Tetraparese et
causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor Intradural Extramedular?

E. Metode Penulisan

Dalam penyusunan laporan kasus ini, metode yang penulis gunakan


adalah metode kepustakaan yaitu dengan membaca buku, jurnal dan juga
literatur dari internet yang berkaitan dengan kasus yang diangkat serta
melakukan observasi langsung pada pasien.

F. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini dibagi menjadi dua, yakni:
1. Tujuan Umum
Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi persyaratan kelulusan
dalam praktek klinik untuk mengaplikasikan pengetahuan kami dalam
Penatalaksanaan Fisioterapi untuk Meningkatkan Kekuatan Otot dan
Kemampuan Transfer Weight Bearing dalam Perbaikan Pola Jalan Pada
Kasus Tetraparese et causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor Intradural
Extramedular.

2. Tujuan Khusus

4 | Universitas Indonesia
Bagi Mahasiswa :
a. Untuk mengetahui defenisi dari Spinal Cord Injury, Tumor
Intradular Extramedular, dan Laminektomi
b. Untuk mengetahui bagaimana anatomi dan fisiologi dari vertebra
c. Untuk mengetahui bagaimana epidemiologi Spinal Cord Injury
d. Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari Spinal Cord Injury
e. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari Spinal Cord Injury
f. Untuk mengetahui bagaimana manifestas klinis dari Spinal Cord
Injury
g. Untuk mengetahui bagaimana diagnose Spinal Cord Injury
h. Untuk mengetahui bagaimana Teknologi / intervensi fisioterapi
pada kasus Tetraparese et causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor
Intradural Extramedular.
i. Untuk mengetahui bagaimana proses fisioterapi pada kasus
Tetraparese et causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor Intradural
Extramedular.

G. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pengalaman klinis pada kasus kelemahan
otot, gangguan koordinasi dan gangguan keseimbangan untuk
meningkatkan kemampuan transfer weight bearing pada pasien
Tetraparese et causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor Intradural
Extramedular dengan menerapkan penatalaksanaan fisioterapi yang
sesuai prosedur dan benar pada kasus tersebut.

2. Bagi Fisioterapis
Dapat memperkaya atau menambah pengetahuan mengenai kasus
Tetraparese et causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor Intradural
Extramedular dan mampu mengembangkan aplikasi latihan di rumah
maupun di rumah sakit atau klinik.

H. Sitematika Penulisan

Sistematis penulisan pada laporan kasus ini terdiri dari:


1. BAB I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan

5 | Universitas Indonesia
penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan dan sistematika
penulisan.
2. BAB II merupakan kajian teori yang meliputi definisi, anatomi
fisiologi, epidemiologi, patofisiologi, etiologi, menifestasi klinis,
prognosis, dan Penatalaksanaan Fisioterapi untuk Meningkatkan
Kekuatan Otot dan Kemampuan Transfer Weight Bearing dalam
Perbaikan Pola Jalan Pada Kasus Tetraparese et causa Spinal Cord
Injury C4-C5 Tumor Intradural Extramedular.
3. BAB III merupakan pembahasan status pada kasus Tetraparese et
causa Spinal Cord Injury C4-C5 Tumor Intradural Extramedular dalam
meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan transfer weight bearing
untuk perbaikan pola jalan.
4. BAB IV merupakan penutupan berupa kesimpulan dan saran.

6 | Universitas Indonesia
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Spinal Cord Injury, Tumor Intradural Extramedular, Laminectomy

1) Definisi
Spinal Cord Injury (SCI) merupakan gangguan pada medula spinalis yang
menyebabkan kerusakan medulla spinalis dan saraf sehingga terjadi defisit
neurologis parsial atau total di bawah level cedera berupa gangguan persepsi
sensori, paralisis atau keduanya. Pasien SCI dapat mengalami kehilangan fungsi
motoric, sensasi, aktivitas reflex dan kehilangan control bowel dan bladder.
Pasien juga dapat mengalami perubahan body image, penampilan peran dan
konsep diri. (Dohar AL. Tobing, 2012)
Berhubungan karna penyebab Spinal Cord Injury (SCI) pada pasien ini
karna Post Remover Tumor Intradural Extramedular dan Post Laminectomy,
maka penulis akan menjelaskan pengertian dari tumor intradural extramedular
dan laminectomy secara umum.
Tumor adalah pertumbuhan jaringan tubuh dimana terjadi proliferasi yang
abnormal dari sel-sel. Sinonim dari kata tumor adalah neoplasma. Tumor berupa
massa padat atau berisi cairan yang ukurannya dapat membesar.
Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (malignan) atau jinak
(benign). (Wikipedia, 2016)
Sedangkan Laminectomy merupakan prosedur operasi yang dilakukan untuk
meredakan rasa sakit yang diakibatkan oleh persyarafan yang terhimpit.
Tindakan operasi ini bertujuan untuk “membuang” bagian kecil dari vertebrae,
atau bagian vertebrae yang menghimpit jaringan syaraf.
2) Klasifikasi
Klasifikasi Spinal Cord Injury (SCI) menurut The International Standards
for Neurological and Functional Classification of Spinal Cord Injury (ISNCSCI)
dalam Schreiber (2011), merupakan klasifikasi yang digunakan secara umum
untuk menggambarkan tingkat dan luasnya cedera berdasarkan pemeriksaan
sensorik dan motorik. Klasifikasi Spinal Cord Injury (SCI) meliputi:
a. Tetraplegia (quadriplegia) merupakan Spinal Cord Injury (SCI) di bagian
servikal yang menyebabkan hilangnya kekuatan otot pada keempat
ekstremitas.
b. Paraplegia merupakan Spinal Cord Injury (SCI) , segmen torakolumbal atau
sakral termasuk cauda equina dan conus medullaris.

7 | Universitas Indonesia
Sedangkan klasifikasi berdasarkan American Spinal Injury Association
(ASIA) dalam Schreiber (2011) dibagi menjadi klasifikasi A, B, C, D dan E.

Gambar 2. 1 Klaisfikasi ASIA

Sumber : Schreiber, 2011.

Grade A : Komplit. Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang di


inervasi di bawah tingkat lesi sampai S4-S5

Grade B : Inkomplit. Adanya fungsi sensorik tanpa disertai fungsi


motorik dibawah tingkat lesi dan menjalar sampai segmen S4-
S5

Grade C : Inkomplit. Gangguan fungsi motorik di bawah tingkat lesi dan


mayoritas otot-otot penting dibawah tingkat lesi memiliki nilai
kurang dari sama dengan 3

Grade D : Inkomplit. Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan


mayoritas otot-otot penting dibawah tingkat lesi memiliki nilai
lebih dari sama dengan 3

Grade E : Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal

8 | Universitas Indonesia
B. Anatomi dan Fisiologi Vertebra

Columna vertebralis merupakan pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi


medulla spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya
ke tulang-tulang paha dan tungkai bawah. Merupakan struktur fleksibel yang
dibentuk oleh tulang-tulang tak beraturan yang disebut vertebrae. Masing-masingnya
dipisahkan oleh diskus fibrokartilago yang disebut diskus intervertebralis. Seluruh
diskus ini menyusun seperempat panjang columna.

1. Osteologi vertebratae
Vertebra terdiri dari 7 Vertebra Cervecalis, 12 Vertebra Thoracalis, 5
Vertebra Lumbalis, 5 Vertebra Sacralis, dan 3 – 4 Vertebra Coxagealis.

Gambar 2. 2 Anatomi Vertebra

Sumber : Encyclopedia Britannica, 2010.

Vertebra terdiri atas corpus berbentuk bulat di depan dan arcus vertebrae di
belakang. Keduanya melingkupi ruang yang disebut foramen vertebralis, yang
dilalui medulla spinalis dengan pembungkusnya. Arcus vertebrae terdiri atas
sepasang pediculus silindris, yang membentuk sisi arcus, dan sepasang lamina
pipih yang melengkapi arcus ini di bagian belakangnya.

9 | Universitas Indonesia
2. Otot – otot vertebra
Otot Superficial Otot merupakan penggerak lengan atas yang terdiri atas m.
trapezius, latissimus dorsi, levator scapulae, dan rhomboideus minor dan major.
Otot Intermedia, Otot ini berhubungan dengan respirasi, terdiri atas m. serratus
posterior superior, serratus posterior inferior, dan levatores costarum. Otot
Profunda (Otot Post Vertebralis), Otot-otot terpanjang terletak lebih superficial
dan berjalan vertical dari sacrum ke angulus costae, processus transversus, dan
processus spinosus vertebrae atas. Otot dengan penjang sedang (intermedia),
berjalan serong dari processus spinosus ke processus transversus. Otot-otot
pendek yang terletak lebih dalam, berjalan di sela-sela processus spinosus atau
processus transversus vertebra yang berdekatan.

Gambar 2. 3 Superficial muscles of back

Sumber : www.metterimages.com/back-muscles-superficial-and-intermediater-layers-lab

3. Innervasi vertebra
a. Struktur Spinal Cord
Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat.
Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan
agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris.
Terbentang dibawah conu terminalis serabut-serabut bukan syaraf yang
disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat. Terdapat 31 pasang
syaraf spinal: 8 pasang syaraf servikal, 12 Pasang syaraf Torakal, 5 Pasang
syaraf Lumbal, 5 Pasang syaraf Sakral dan 1 pasang syaraf koksigeal. Akar
syaraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina.
Setiap pasangan syaraf keluar melalui Intervertebral foramina. Syaraf Spinal

10 | Universitas Indonesia
dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal
dan CSF.
b. Sistem Otonom
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak
maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan.
Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur
membentuk sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat
saraf yang terdapat pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion
dan yang berada pada ujung ganglion disebut urat saraf post
ganglion..Ditinjau dari perspektif selulernya, sistem saraf disusun oleh tiga
jenis sel, yaitu sel saraf (neuron), sel glia (sel penyokong), dan sel Schwann.
Sistem saraf otonom terbagi menjadi 2 bagian yaitu :
1) Saraf Simpatis
Terbagi menjadi dua bagian yang terdiri dari saraf otonom cranial
dan saraf otonom sacral. Terletak di depan kolumna vertebra dan
berhubungan dengan sumsum tulang belakang melalui serabut-serabut
saraf.
Fungsinya :
a) Mensarafi otot jantung
b) Mensarafi pembuluh darah dan otot tak sadar
c) Mempersarafi semua alat dalam seperti lambung, pancreas dan
usus
d) Melayani serabut motorik sekretorik pada kelenjar keringat
e) Serabut motorik pada otot tak sadar dalam kulit
f) Mempertahankan tonus semua otot sadar

11 | Universitas Indonesia
Gambar 2. 4 Sistem Saraf Otonom

Sumber : Management of Spinal Cord Injuries, 2008.

2) Saraf Parasimpatis
Fungsi saraf parasimpatis adalah:
a) Merangsang sekresi kelenjar air mata, kelenjar sublingualis,
submandibularis dan kelenjar-kelenjar dalam mukosa rongga hidung
b) Mensarafi kelenjar air mata dan mukosa rongga hidung
c) Menpersarafi kelenjar ludah
d) Mempersarafi parotis
e) Mempersarafi sebagian besar alat tubuh yaitu jantung, paru-paru,
GIT, ginjal, pancreas, lien, hepar dan kelenjar suprarenalis
f) Mempersarafi kolon desendens, sigmoid, rectum, vesika urinaria dan
alat kelamin
g) Miksi dan defekasi

Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik terletak pada


posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di
sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang
sehingga mempunyai urat pra ganglion pendek, sedangkan saraf
parasimpatik mempunyai urat pra ganglion yang panjang karena ganglion
menempel pada organ yang dibantu.
Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan
(antagonis). Sistem saraf parasimpatik terdiri dari keseluruhan "nervus

12 | Universitas Indonesia
vagus" bersama cabang-cabangnya ditambah dengan beberapa saraf otak
lain dan saraf sumsum sambung.
c. Upper Motor Neuron (UMN)
Jaras saraf mulai dari cortex motorik cerebrum sampai cornu anterior
medulla spinalis. Kerusakan pada jaras UMN akan menyebabkan paralisa
yang bersifat spastik
d. Lower Motor Neuron (LMN)
Jaras saraf mulai dari cornu anterior medulla spinalis sampai ke efektor.
Kerusakan LMN akan mengakibatkan paralise yang bersifat flacid (layuh)

C. Biomekanik Vertebra

Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, columna vertebralis terdiri atas


sejumlah vertebra terpisah yang tersusun rapid an dipisahkan oleh discus
intervertebralis. Vertebrae dipertahankan pada tempatnya oleh ligamen kuat yang
sangat membatasi derajat gerakan yang mungkin terjadi antara vertebra
berdekatan.Meskpun demikian, hasil akhir gabungan semua gerakan memberikan
derajat gerakan columna vertebralis yang cukup besar.
Gerakan yang dapat dilakukan vertebra adalah fleksi, ekstensi, lateral fleksi,
rotasi, dan sirkumduksi. Fleksi adalah gerakan ke depan, sedangkan ekstensi adalah
gerakan ke belakang. Keduanya dapat leluasa dilakukan di daerah cervical dan
lumbal, namun terbatas di daerah thoracal.Lateral fleksi adalah condongnya tubu ke
salah satu sisi. Gerak ini amat mudah dilakukan di daerah cervical dan lumbal,
namun terbatas di daerah thoracal.Rotasi adalah gerak memutar columna vertebralis
yang paling leluasa di daerah lumbal.Sirkumduksi adalah gabungan gerakan-gerakan
di atas.
Jenis dan keleluasaan gerak yang mungkin pada tiap daerah columna, sebagian
besar tergantung pada tebal discus invertebralis dan bertuk serta arah processus
articularis. Di daerah thoracal, iga, tulang rawan iga, dan sternum sangat membatasi
keleluasaan gerak.
Articulation atlanto-occipitalis memungkinkan fleksi dan ekstensi luas dari
kepala. Articulation atlanto-axialis memungkinkan rotasi luas pada atlas dan dengan
demikian, juga rotasi kepala di atas axis.
Columna vertebralis digerakkan oleh banyak otot, sebagian besar melekat
langsung pada vertebra, sementara yang lain, seperti m. sternocleidomastoideus dan
otot dinding perut, melekat pada cranium atau pada iga atau fascia.

13 | Universitas Indonesia
Di daerah cervical, fleksi dilakukan oleh m. longus colli, scalenus anterior, dan
sternocleidomastoideus. Ekstensi dikerjakan oleh otot-otot post vertebralis.
Laterofleksi dikerjakan oleh m. scalenus anterior dan medius dan m. trapezius dan
sternocleidomastoideus. Rotasi dikerjakan oleh m. sternocleidomastoideus pada satu
sisi dan m. splenius sisi lainnya.
Di daerah thoracal rotasi dilakukan oleh m. semi spinalis dan mm. rotators,
dibantu oleh m. obliquus dinding anterolateral abdomen.
Di daerah lumbal, fleksi dilakukan oleh m. rectus abdominis dan m. psoas.
Ekstensi dikerjakan oleh otot post vertebralis. Laterofleksi dilakukan oleh otot post
vertebralis, m. quadrates lumborum, m. obliquus dinding anterolateral abdomen. M.
psoas dapat pula berperan dalam gerakan ini. Rotasi dilakukan oleh mm. rotators dan
m, obliquus dinding anterolateral abdomen.

D. Etiologi Spinal Cord Injury

Penyebab terjadinya cidera medulla spinalis dapat dikelompokkan menjadi


akibat trauma dan non trauma. Kejadian trauma merupakan penyebab tersering
terjadinya spinal cord injury. Penyebab spinal cord injury trauma dapat berupa,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, cidera olahraga, kecelakaan drumah,
bencana alam, luka tembak. Sedangkan penyebab spinal cord injury nontrauma dapat
berupa tumor, kelainan vascular, multiple sclerosis, transver myelitis (Siamy, 2012).
Luka kecil juga dapat menyebabkan SCI jika medulla spinalis dalam keadaan
sakit, seperti rheumatoid arthritis atau osteoporosis. Trauma langsung seperti memar,
dapat menyebabkan spinal cord injury jika sendi pada vertebra rusak. Hal ini bisa
saja terjadi pada kepala, leher, dada belakang, atau penyebab lain akibat abnormal
chiropractic manipulation (Gondim FAA dan Gest TR, 2013).

E. Patofisiologi Spinal Cord Injury

Beberapa penelitian dibidang neurologi berusaha untuk menginvestigasi proses


perjalanan suatu penyakit, patofisiologi dari spinal cord injury. Penelitian proses
patologi spinal cord biasanya menggunakan subyek sperti monyet maupun hewan
yang telah dimanipulasi dengan berbagai tempat lesi dilakukan pada penelitian yang
lama. Dewasa ini paradigma penelitian telah bergeser dengan menilik struktur sel
syaraf atau segmen anatomi pada medulla spinalis dengan subyek manusia.

14 | Universitas Indonesia
Spinal cord injury disebabkan oleh kerusakan akibat faktor mekanik yang
mengakibatkan efek berkelanjutan kerusakan jaringan progresif, dan diikuti oleh
proses ischemic dan halangan untuk calcium influx ke dalam neuron sehingga terjadi
gangguan kelistrikan pada neuron dan akson. Cidera primer disebabkan oleh trauma
yang melingkar. Cidera primer dapat dimungkinkan karena stress mekanis yang
menyertai adanya kompresi, kontusi dari segmen tulang, ligamen, dan pendarahan
pada canalis spinalis. Mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya spinal
cord injury adalah hilangnya aligment tulang yang normal pada waktu tertentu.
Dengan adanya dislokasi perpindahan posisi tulang dapat menyebabkan distrupsi
pada ligamen sehingga dapat mengakibatkan kompresi pada medulla spinalis.
Cidera pada medulla spinalis baik berupa adanya pergeseran fragmen tulang
belakang, diskus maupun adanya kerobekan ligamen dapat mengakibatkan kerusakan
microvasculer bahkan pembuluh darah di sekitar haringan yang terkena trauma.
Kerusakan pada pembuluh darah diikuti dengan proses peradangan yang disertai
dengan pembengkakkan pada spinal cord. Adanya edema pad spinal cord
menyebabkan penurunan aliran darah dan oksigen. Apabila suplai oksigen dan aliran
darah dibiarkan terus menerus maka akan menimbulkan ischemic. Ischemic yang
terjadi adanya hambatan dan kerusakan pada arteri utama sehingga mempengaruhi
proses perfusi dan juga disebabkan karena mikro sirkulasi yang tidak lancar.
Penurunan volume darah dapat mengakibatkan penderita mengalami penderira
mengalami systemic hypotension oleh karena hilangnya regulasi otonom karena
ischemia. Kongesti yang berlebihan pada vena dapat mengakibatkan ruptur vena.
Ruptur mengakibatka pendarahan yang hebat pada grey motor, dan mengalami spinal
shock. Spinal shock berlangsung beberapa hari bahkan beberapa minggu dengan
gejala awal seperti hilangnya fungsi sel-sel saraf medulla spinalis di bawah lesi,
hilangnya reflek, flaccid. Pada akhir pemulihan spinal shock maka akan menjadi
spastik (Siamy, 2012).

15 | Universitas Indonesia
F. Manifestasi Klinis Spinal Cord Injury

Kompresi medula spinalis menimbulkan gejala: nyeri yang terlokalisir atau


menyebar, paresis atau paraplegia, gangguan fungsi defekasi dan berkemih,
kehilangan kontrol sfinkter dan disfungsi seksual. Manifestasi klinik bervariasi
tergantung tingkat cedera, derajat syok spinal, fase dan derajat pemulihan.
Sedangkan efek Spinal Cord Injury (SCI) tidak komplit akan menunjukkan
karakteristik berdasarkan area medula spinalis yang mengalami gangguan baik
sentral lateral, anterior atau perifer.

Tingkat Efek cedera


cedera
C1-C3 Quadriplegia, paralisis diafragma, kelemahan atau paralisis otot
aksesori, paralisis otot interkostal dan abdominal
C4-C5 Quadriplegia, menurunnya kapasitas paru, diafragma mungkin
mengalami paralisis/kelemahan, paralisis interkostal dan
abdominal, ketergantungan total dalam aktivitas sehari-hari
C6-C7 Quadriplegia, fungsi difragma baik, beberapa gerakan tangan
memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari.
C7-C8 Quadriplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan,
kemandirian meningkat
T1-T6 Kelemahan/paralisis interkostal, paralisis otot abdomen
T7-T12 Kelemahan/paralisis otot abdominal
L1-L2 dan Paraplegia dengan fungsi tangan masih baik, kehilangan fungsi
atau di sensorik dan motorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih
bawahnya

Tabel 2. 1 Efek cedera berdasarkan tingkat Spinal Cord Injury (SCI)

Sumber : Ardiwqblog.blogspot.co.id

16 | Universitas Indonesia
Gambar 2. 5 Spinal Cord

Sumber : Management of Spinal Cord Injury, 2008

Lokasi lesi Manifestasi


Sentral (sindrom Defisit motorik pada ekstremitas atas
medula pusat) dibandingkan ekstremitas bawah, kehilangan
sensori bervariasi tetapi lebih berat pada
ekstremitas atas. Disfungsi defekasi dan
berkemih bervariasi, atau fungsi defekasi dan
berkemih masih dipertahankan.
Anterior (sindrom Kehilangan sensasi nyeri dan fungsi motorik di
medula anterior) bawah lesi; sentuhan ringan, posisi dan sensasi
vibrasi tetap utuh.
Lateral (sindrom Paralisis ipsi lateral atau paresis, bersamaan
Brown-sequard) dengan kehilangan sensasi raba, tekanan dan
getaran ipsilateral dan kehilangan sensasi nyeri
dan suhu kontralateral.
Posterior (sindrom Kehilangan sensasi getaran dan propriosepsi,
medula posterior) dan hanya kehilangan sebagian dari sensasi
sentuhan ringan.
Tabel 2. 2 Manifestasi Klinik Spinal Cord Injury (SCI) Berdasarkan Lokasi Lesi

Sumber : Ardiwqblog.blogspot.co.id

17 | Universitas Indonesia
G. Prognosa Spinal Cord Injury

Pasien dengan Spinal Cord Injury (SCI) komplet hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam,
maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih
ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%.
Secara umum, 90% penderita Spinal Cord Injury (SCI) dapat sembuh dan mandiri.
1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi yang sangat terbatas.
2. Pasien dengancomplete cord injurymemiliki kesempatanrecovery yang sangat
rendah, terutama jika paralysis berlangsung selama lebih dari 72 jam.
3. Prognosis jauh lebih baik untukincomplete cord syndromes.
4. Prognosis untukcervical spine fractures and dislocationssangat bervariasi,
tergantung pada tingkat kecacatan neurologis
5. Prognosis untuk defisit neurologis tergantung pada besarnya kerusakansaraf
tulang belakang pada saat onset.
6. Selain disfungsi neurologis, prognosis juga ditentukan oleh pencegahandan
keefektifan pengobatan infeksi - misalnya, pneumonia, dan infeksisaluran
kemih.
7. Secara umum, sebagian besar individu mendapatkan kembali beberapafungsi
motorik, terutama dalam enam bulan pertama, meskipun mungkinada perbaikan
lebih lanjut yang perlu diamati diamati di tahun akan datang. (Tidy, 2014).

H. Teknologi / intervensi fisioterapi pada Penatalaksanaan Fisioterapi untuk


Meningkatkan Kekuatan Otot dan Kemampuan Transfer Weight Bearing
dalam Perbaikan Pola Jalan Pada Kasus Tetraparese et cause Spinal Cord
Injury C4-C5 Tumor Intradural Extramedular

1. PNF

a. Pengertian
PNF adalah suatu metode atau teknik untuk mempermudah atau
mempercepat timbulnya reaksi dari mekanisme neuromuscular (yaitu
pattern-pattern tiap gerakan) melalui stimulasi proprioseptor (muscle
spindle) “Proprioceptive Neuromuscular Facilitation”. PNF berarti bahwa
peningkatan dan fasilitasi neuromuscular dengan sendirinya, sehingga
memerlukan blocking yang berlawanan. Dalam proses ini, reaksi
mekanisme neuromuscular dimanfaatkan, difasilitasi, dan dipercepat
melalui stimulasi reseptor-reseptor. Penggunaan gerakan kompleks

18 | Universitas Indonesia
berdasarkan pada prinsip-prinsip stimulasi organ neuromuscular dengan
bantuan tambahan dari seluruh gerakan.
b. Manfaat PNF
Reseptor-reseptor dalam otot dan sendi merupakan elemen penting
dalam stimulasi sistem motorik.
1) Untuk merangsang jumlah maksimum dari motor unit dalam aktifitas
dan membuat hypertrophy seluruh serabut otot yang ada.
2) Menimbulkan, menaikkan, memperbaiki tonus postural
3) Memperbaiki koordinasi gerak
4) Mengajarkan pola gerak yang benar
c. Prinsip dasar metode PNF
1) Ilmu Proses Tumbuh Kembang
Perkembangan motorik berkembang dari kranial ke kaudal dan dari
proksimal ke distal (Gessel). Gerakan terkoordinasi (dewasa)
berlangsung dari distal ke proksimal. Gerakan sebelumnya didahului
dengan kontrol sikap (stabilisasi), dimana stabilisasi akan menentukan
kualitas dari gerakan. Refleks-refleks mendominasi fungsi motorik
dewasa dipengaruhi oleh refleks-refleks sikap.
Perkembangan motorik dapat distimulasi oleh stress, dan tahanan,
rangsangan-rangsangan dengan sensoris, auditif, visual. Menurut
Pavlov, stimulasi yang berulang-ulang terhadap refleks-refleks akan
menambah patron-patron gerakan atau dengan kata lain, refleks-refleks
primitif membuka jalan ke arah sikap dan gerakan –gerakan yang
terkoordinasi.
Evolusi perkembangan motorik adalah dari pola gerakan masal ke
arah gerakan individual. Perkembangan motorik berjalan sesuai dengan
proses kedewasaan (maturatie process) mulai dari rolling, merayap,
merangkak, duduk, berdiri, berjalan, naik trap, lari, lompat, jinjit, dan
melompat. Metode PNF selalu mempehatikan dan memperhitungkan
proses tersebut. Pendekatan PNF mengacu ke refleks-refleks atau sikap-
sikap primitif.
2) Prinsip Neurofisiologis
Overflow principle adalah motoris impuls dapat diperkuat oleh
motoris impuls yang lain dari group otot yang lebih kuat yang dalam
waktu bersamaan berkontraksi, dimana otot-toto tersebut mempunyai
fungsi yang sama (otot-toto sinergis). Overflow principle ini
menimbulkan apa yang disebut iradiasi. Rangsang saraf motoris
mempunyai nilai ambang rangsang tertentu (semuanya atau tidak sama

19 | Universitas Indonesia
sekali). Innervatie reciprocal adalah aktifitas refleks kontraksi otot
agonis akan membuat relaks antagonisnya. Inductie successive
(Sherington) adalah agonis akan terfasillitasi ketika antagonisnya
berkontraksi atau agonisnya berkontraksi atau agonis akan lebih mudah
berkontraksi apabila sebelumnya dilakukan kontraksi pada
antagonisnya. Semakin kuat kontraksi antagonis semakin kuat efek
fasilitasinya.
3) Prinsip Ilmu Gerak
Latihan isometris ditujukan untuk memperbaiki sikap dan postur
sedangkan latihan isotonis ditujukan untuk memperbaiki gerakan.
Gerakan tunggal murni terisolasi tidak ada dalam kehidupan ini. otak
kita tidak mengenal aktifitas otot secara individual, tetapi gerakan-
gerakan secara group/kelompok dan setiap gerakan terjadi dalam arah
tiga dimensi, seperti otot juga yang berbentuk spiral dan juga arah
pendekatannya.
Gerakan akan sangat kuat bertenaga bila terjadi bersama dengan
gerakan total yang lain. Misal fleksi anggota atas akan memperkuat
ekstensi tubuh bagian atas (thorakal). Fleksi anggota bawah (hip) akan
memperkuat fleksi lumbal.
Dengan dasar-dasar tersebut, metode PNF menyusun latihan-
latihan dalam patron-patron gerakan yang selalu melibatkan lebih dari
satu sendi dan mempunyai tiga komponen gerakan. Latihan gerakan
akan lebih cepat berhasil apabila pasien secara penuh mampu
melakukan suatu gerakan dari pada dia hanya mampu melakukan
sebagian saja. Hindarkan sara sakit. pengulangan-pengulangan yang
banyak dan variasi-variasi patron serta sikap posisi awal akan
memberikan hasil yang lebih baik. Aktifitas yang lama adalah penting
untuk meningkatkan kekuatan, kondisi koordinasi dari system
neuromuskuler.
d. Prosedur Dasar
1) Manual contact
Diberikan pada tangan dengan group-group otot lumbrical sehingga
dengan mudah memberikan stretching dan melawan gerak rotasi.
Memberi rangsangan pada sensory kulit sebagai proprioceptor ,
rangsangan pada kulit harus disadari oleh pasien , dan letak rangsangan
dikulit akan menentukan arah pola gerakan

20 | Universitas Indonesia
2) Stimulasi Verbal
Bisa dikatakan sebagai komando atau aba aba.Yang disampaikan
oleh terapis harus singkat, jelas, mudah dimengerti, dan irama komando
bervariasi sesuai dengan pola gerak yang diinginkan.
3) Tahanan optimal
Memberi stimulasi terhadap motor unit. Tahanan optimal sangat
bervariasi, tergantung individu masing-masing.
Prinsip tahanan optimal:
a) Stimulasi pada motor unit
b) Stretching
Tahanan harus memberikan rangsangan pada setiap pola gerak. Ada
kalanya tahanan harus bisa memberikan aproximasi untuk tujuan
stabilisasi.
4) Visual Feed Back
Pasien harus mengikuti pola gerak yang terjadi dengan
penglihatannya sebagai kontrol gerakan.
5) Body Position dan Body Mechanic
Posisi fisioterapis pada posisi menyilang, menghadap pasien
dengan menggunakan proper body mechanic. Tahanan diberikan dengan
menggunakan berat badan fisioterapis sehingga pengaturan posisi
fisioterapis harus selalu mengikuti pola gerak pasien.
6) Traksi – Aproximasi
Traksi merupakan stretching pada persendian yang akan
merangsang proprioceptor sehingga kontraksi dipermudh. Stretching
dapat diberikan pada permulaaan gerakan dan selama pergerakan.
Aproximasi merupakan penekanan untuk menimbulkan static kontraksi
(cocontractiea).
7) Normal timing
Merupakan rangkaian kontraksi otot yang terjadi dalam aktivitas
sehingga menghasilkan gerak yang terkoordinasi. Pada proses
perkembangan yang normal kontrol proksimal lebih dahulu dari kontrol
distal. Setelah koorinasi gerakan yang diinginkan telah diperoleh
rangkaian kontraksi otot dimulai dari distal ke proksimal.
8) Re-inforcement/ irradiation
Adalah pengaruh gerakan dari bagian tubuh yang bergerak
kebagian tubuh yang lain melalui irradiasi dan reflek motorik central.
Digunakan untuk :
a) Memperbesar respon
b) Mencegah kelelahan berlebihan
c) Membuat kombinasi pola gerak
9) Timing of Emphasis

21 | Universitas Indonesia
Adalah suatu tehnik gerakan yang bertujuan untuk memberikan
penguatan otot yang lemah dengan memberikan extra stimulasi pada
bagian yang lebih kuat. Extra stimulasi dapat berupa pemberian tahanan
berulang
10) Stretch Reflex
Adalah suatu bentuk gerakan yang ditimbulkanoleh reflek
monosinapsi pada otot yang terulur dan reflek ini mempunyai efek
fasilitasi.

e. Teknik PNF
1) Rhitmical Initiation
Merupakan suatu tehnik yang ditujukan untuk kelompok otot
agonis yang dilakukan pada permulaan gerak dan dapat diberikan
secara pasif amupun aktif melawan tahanan fisioterapis.
2) Repeated Contraction
Merupakan suatu tehnik gerak isotonik untuk kelompok otot
agonis yang dilakukan pada bagian-bagian tertentu dari lintasan gerakan
yang dituju, dengan jalan memberikan stretch yang diikuti dengan
gerak kontraksi isotonik.
Tehnik Pelaksanaan :
a) Pasien melakukan gerakan dengan pola diagonal
b) Fisioterapis memberikn stretching pada bagian-bagian dimana
gerakan mulai melemah
c) Pasien memberikan respon dari penguluran tadi dengan
memperkuat kontraksi 24
d) Fisioterapis memberikan kesempatan kepada pasien untuk
bergerak isotonis melawan tahanan
e) Sebelum diulur perlu diberikan aba-aba lebih dahulu (dorong)
f) Dalam suatu pola diagonal penguluran diberikan paling banyak
4 kali, karena pasien mudah lelah
3) Hold Relax
Merupakan suatu tehnik dimana group otot antagonis yang
memendek dikontraksikan secara isometrik dengan melawan tahanan
optimal yang diberikan fisioterapis. Kemudian diikuti dengan
rileksasi pada group otot tersebut.
Tehnik Pelaksanaan :
a) Gerakan dilakukan secara aktif atau pasif kearah pola gerak
agonis sampai batas dimana timbul nyeri
b) Fisioterapis memberikan tahanan optimal secara bertahap
terhadap pola gerak antagonis dan pasien harus melawan

22 | Universitas Indonesia
tahanan secara isometrik. Abaaba yang diberikan adalah
tahanan.
c) Kemudian pasien diisyaratkan untuk merilekkan group
antagonis dan kemudian dilanjutkan fisioterapis memberikan
gerak pasif ke arah polagerak agonis secara berulang-ulang

4) Contract Relax
Merupakan suatu tehnik dimana group otot antagonis yang
memendek dikontraksikan secara isotonik yang optimal kemudian
diikuti dengan rileksasi pada group otot tersebut. 13 Tehnik
Pelaksanaan:
a) Gerakan dilakukan secara aktif maupun pasif ke arah pola gerak
agonis sampai pada batas nyeri atau keterbatasan sendi.
b) Pasien disuruh mengontraksikan group otot antagonis dengan
aba-aba tarik dan dorong.
c) Berikan pasien kesempatan untuk bergerak sedikit (isotonis)
secara 3 dimensi tetapi masih dalam batas ambang nyeri atau
keterbatasan gerak sendi 25.
d) Rileksasi total group otot antagonis diikuti gerakan pasif oleh
fisioterapis kearah pola gerak agonis
e) Ulangi prosedur in berulang-ulang sampai 4-6 kali

5) Slow Reversal (Successive Induction)


Merupakan suatu kontraksi isotonis yang dilakukan bergantian
antara kelompok agonis dan antagonis tanpa interval istirahat.
Tehnik Pelaksanaan:
a) Gerak dimuali dari stretching pada bagian pola gerak yang kuat,
kemudian diikuti ke pola gerak yang lemah tanpa diselingi fase
rileksasi.
b) Setelah pola gerak dapat dilaksanakan pada group agonis
diteruskan ke pola gerak antagonis tanpa diselingi fase rileksasi.
c) Dalam pelaksanaannya, kecepatan gerak dapat dilakukan dengan
cepat atau lambat atau sesuai dengan tujuannya.
d) Dalam memberikan tahanan diupayakan pada setiap gerak tetap
sama sehingga gerakan akan mudah dilaksanakan.

6) Rhitmical Stabilization
Merupakan suatu tehnik stabilisasi sendi dengan cara kontraksi
agonis dan antagonis dilakukan secara isometris denga perubahan
yang sangat rhitmis seolah-olah tidak ada fase rileks.
Tehnik Pelaksanaan:

23 | Universitas Indonesia
a. Kontraksi dimulai dari sendi yang masih cukup baik. Biasanya
digunakan pada pola gerak lurus yang diberikan approximasi
secara terus menerus.
b. Pasien diminta menahan tahanan yang diberikan oleh fisioterapis
dengan aba-aba tahan.
c. Pada waktu diberikan tahanan tidak boleh ada perubahan gerakan
d) Tahanan ditambah sedikit demi sedikit dan pada perubahan
arah tahanan tidak perlu diberikan approximasi ulang.

7) Stabilization Reversal
Merupakan suatu bentuk gerakan isotonik atau isometri dimana
agonis dan antagonis saling berkontraksi tanpa diselingi fase
rileksasi dengan tujuan meningkatkan stabilisasi sendi.
Tehnik Pelaksanaan :
a) Gerakan dimulai dengan approximasi kearah pola gerak yang
kuat.
b) Fisioterapis memberikan dengan aba-aba “tahan”
c) Reversal dimulai dengan aba-aba persiapan dimana satu tangan
yang menahan dan satu tangan yang lainnya memindahkan
tahanan.
d) Diantara reversal tidak boleh terjadi rileksasi.
e) Kedua tangan tidak boleh pindah tempat secara bersamaan.
f) Pada setiap reversal tahanan selalu ditingkatkan, dan gerakan
rotasi sangat penting pada stabilisasi sendi.

f. Pola
1) Pola gerakan PNF pada Lengan
Fleksi – abduksi – eksorotasi
Fleksi – abduksi – eksorotasi dengan elbow fleksi
Fleksi – abduksi – eksorotasi dengan elbow ekstensi
Ekstensi – adduksi – endorotasi
Ekstensi – adduksi – endorotasi dengan elbow fleksi
Ekstensi – adduksi – endorotasi dengan elbow ekstensi
Fleksi – adduksi – eksorotasi
Fleksi – adduksi – eksorotasi dengan fleksi elbow
Fleksi – adduksi – eksorotasi dengan ekstensi elbow
Ekstensi – abduksi – endorotasi
Ekstensi – abduksi – endorotasi dengan fleksi elbow
Ekstensi – abduksi – endorotasi dengan ekstensi elbow

2) Pola Gerakan PNF Pada Tungkai


Fleksi – abduksi – endorotasi
Fleksi – abduksi – endorotasi dengan knee fleksi
Fleksi – abduksi – endorotasi dengan knee ekstensi
Ekstensi – adduksi – eksorotasi

24 | Universitas Indonesia
Ekstensi – adduksi – eksorotasi dengan knee fleksi
Ekstensi – adduksi – eksorotasi dengan knee ekstensi
Fleksi – adduksi – endorotasi
Fleksi – adduksi – endorotasi dengan knee fleksi
Fleksi – adduksi – endorotasi dengan knee ekstensi
Ekstensi – abduksi – eksorotasi
Ekstensi – abduksi – endorotasi dengan knee fleksi
Ekstensi – abduksi – eksorotasi dengan knee ekstensi
Ekstensi – abduksi – eksorotasi dengan knee fleksi
3) Pola gerakan PNF pada scapula
Anterior – elevasi, posterior - depresi
Anterior – depresi, posterior - elevasi
4) Pola gerakan PNF pada pelvic
Elevasi pelvis bersama dengan fleksi
Depresi bersama dengan ekstensi
Rotasi kekiri atau ke kanan

g. Dosis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kissner, pemberian dosis
latihan PNF yang efektif adalah 6 kali perhari, tiap 1 kali latihan adalah 3 kali
gerakan. Latihan dilakukan selama 6 minggu.

2) Gait Training

Gait training adalah suatu cara untuk latihan berjalan dengan pola jalan
yang benar, biasanya diberikan pada seorang anak atau orang dewasa yang
mengalami cedera atau cacat dengan fasilitasi atau bantuan fisioterapis. Faktor
yang paling penting dalam latihan berjalan yaitu pola-pola jalan yang benar dan
juga repetisi atau pengulangan latihan. Latihan berjalan dapat difasilitasi
langsung oleh fisioterapis atau dapat juga dilakukan pada paralel bar.
Manfaat gait training adalah untuk memperbaiki pola jalan pasien dengan
memberikan reedukasi bagaimana pola jalan yang benar dan sesuai dengan fase-
fase jalan yang harus dilalui dalam suatu gerakan berjalan. Selain itu gait
training berfungsi juga untuk memperkuat otot dan sendi, meningkatkan
keseimbangan dan postur, membangun ketahanan, mengembangkan memori
otot, melatih tungkai untuk gerakan berulang, menurunkan risiko jatuh. Pasien
dengan Spinal Cord Injury dapat direkomendasikan untuk latihan berjalan
karena adanya kelemahan otot dan gangguan koordinasi serta keseimbangan.
Ekstremitas bawah adalah bagian yang terpenting untuk menopang berat
badan dan ambulasi dalam keseharian, untuk itu ekstremitas bawah yang normal
sangat menunujang dalam efisiensi penyelenggaraan aktifitas fungsional sehari-

25 | Universitas Indonesia
hari. Tetapi terkadang karena proses yang abnormal terjadi pada ekstremitas
bawah mengakibatkan pola jalan yang tidak benar, untuk itu diperlukan
parameter pembanding yang tepat antara pola jalan yang benar dan pola jalan
yang salah sehingga bisa menyimpulkan pada bagian mana pola jalan yang
keliru sehingga treatment bisa tepat sasaran.
Berjalan adalah proses dimana adanya perubahan dari satu titik ke titik lain.
Sedangkan Gait merupakan Proses atau komponen dari berjalan. Hal yang
diperlukan dalam pergerakan normal adalah :
a. Penyokong antigravitasi pada posisi tegak.
b. Kontrol keseimbangan.
c. Pergerakan melangkah ke depan.
Sebelum berjalan latihan PNF yang dilakukan yaitu : Stance, weight
shifting, stepping forward and backward, one leg standing.
Bentuk gait training dengan konsep PNF sebenarnya tidak berbeda, latihan
berjalan dengan konsep PNF, kita tetap mengistruksikan os untuk berjalan
kearah : forward, backward, sideways, braiding, stairs.

Gambar 2. 6 Gait Cycle.

Sumber :Pemeriksaan pola jalan ekstremitas,2009

Ada dua siklus pola jalan yang normal yaitu stance phase, terjadi ketika kaki
berada dipermukaan tanah dan swing phase terjadi ketika kaki bergerak maju.
Enam puluh persen (60%) siklus pola jalan yang normal terjadi pada stance
phase sedangkan 40% nya adalah untuk swing phase. Dan setiap phase tersebut
terbagi dalam beberapa komponen kecil, yaitu stance phase (heel strike, foot flat,
midstance, heel off dan toe-off) sedangkan swing phase (acceleration, midswing
and deceleration).

26 | Universitas Indonesia
1) Stance Phase
Stance Phase adalah fase dimana tungkai bersentuhan dengan lantai
atau biasa disebut dengan fase menapak. Stance phase berdurasi 60%
dari fase berjalan seluruhnya. Terdiri dari :

a) Heel Strike, dimulai pada saat tumit tungkai terdepan

menyentuh lantai. Pada saat heel strike terjadi fleksi hip 25

oleh otot iliopsoas, kompleks ekstensi knee oleh otot

quadriceps, dan dorsofleksi ankle 0-5 oleh otot tibalis anterior,

extensor hallucis longus, extensor digitorum longus.


b) Foot Flat, pada saat telapak kaki tungkai yang sama menyentuh

lantai. Pada saat ini terjadi fleksi hip 20 oleh otot iliopsoas,

fleksi knee 20 oleh otot hamstring, dan plantarfleksi ankle 0-

15 oleh otot peroneus longus dan brevis, gastrocnemius dan

soleus, flexor hallucis longus, flexor digitorum longus, tibialis


posterior.
c) Midstance, ketika telapak kaki masih menyentuh lantai, disini
seluruh berat tubuh secara langsung bertumpu pada tungkai

yang sama. Pada saat ini terjadi ekstensi hip 0-5 oleh otot

gluteus maximus, fleksi knee 15 oleh otot hamstring, dan

dorsofleksi ankle 2-3 oleh otot tibalis anterior, extensor

hallucis longus, extensor digitorum longus.


d) Heel Off, pada saat tumit terangkat dari lantai, kaki dan jari-
jari masih berkontak dengan lantai. Pada saat ini terjadi

hiperekstensi hip 10-15 oleh otot gluteus maximus, kompleks

ekstensi knee oleh otot quadriceps, dan dorsofleksi ankle 15

27 | Universitas Indonesia
oleh otot tibalis anterior, extensor hallucis longus, extensor
digitorum longus.
e) Toe Off, pada saat seluruh kaki mulai terangkat dari lantai dan
mulai masuk fase swing. Pada saat ini terjadi hiperekstensi hip

20 oleh otot gluteus maximus, fleksi knee 40 oleh otot

hamstring, plantarfleksi ankle 20 oleh otot peroneus longus

dan brevis, gastrocnemius dan soleus, flexor hallucis longus,


flexor digitorum longus, tibialis posterior.

2) Swing Phase
Swing Phase adalah fase dimana tungkai tidak kontak dengan lantai
atau biasa disebut dengan fase mengayun. Swing phase berdurasi 40%
dari fase berjalan seluruhnya.
Terdiri dari :
a) Acceleration, pada saat tungkai diangkat dan harus dipercepat
ke depan tubuh sebagai persiapan untuk heel strike
selanjutnya. Pada fase ini terjadi fleksi hip oleh otot iliopsoas,

fleksi knee 40-65 oleh otot hamstring, dan dorsofleksi ankle

oleh otot tibalis anterior, extensor hallucis longus, extensor


digitorum longus.
b) Mid Swing, pada saat tungkai sudah ke depan dan melewati
tubuh, untuk menjaga jarak dengan lantai, tungkai harus lebih

pendek. Pada fase ini terjadi fleksi hip 25 oleh otot iliopsoas,

fleksi knee 65 oleh otot hamstring, dan dorsofleksi ankle 0-5

oleh otot tibalis anterior, extensor hallucis longus, extensor


digitorum longus.
c) Deceleration, ketikagerakan majudarikakitertahanuntuk

mengontrolposisikaki. Pada fase ini terjadi fleksi hip 25 oleh

otot iliopsoas, ekstensi knee oleh otot quadriceps, dan

28 | Universitas Indonesia
dorsofleksi ankle 0-5 oleh otot tibalis anterior, extensor

hallucis longus, extensor digitorum longus.

I. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Tetraparese et causa Spinal Cord


Injury C4-C5 Tumor Intradural Extramedular

Assesment adalah suatu penilaian tentang kondisi pasien yang dihadapi oleh
terapis, hal ini sangat penting dalam proses fisioterapi karena dengan assesmen yang
lengkap, terapis dapat mengetahui masalah yang dihadapi oleh pasien dan intervensi
apa saja yang harus diberikan oleh terapis. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
assesment meliputi:
1. Anamnesis
Dengan sumber data. Dilihat dari segi pelaksanaannya anamnesis
dibedakan menjadi Anamnesis adalah cara pengumpulan data dengan cara
tanya jawab antara terapis dua, yaitu :
a. Auto Anamnesis : Tanya jawab secara langsung antara terapis
dengan pasien.
b. Allo Anamnesis : Tanya jawab yang dilakukan antara terapis dengan
care giver, yakni keluarga atau orang terdekat pasien.

Data yang diidentifikasi dalam anamnesis meliputi :

a. Data Identitas Pasien


Terdiri dari identitas lengkap pasien yang bertujuan untuk
menghindari kesalahan dalam pemberian intervensi fisioterapi. Dari
identitas pasien kita juga bisa memperkirakan keadaan ekonomi serta
pendidikan terakhir pasien sehingga terapis dapat menyesuaikan
bagaimana cara berkomunikasi yang tepat dan memberikan edukasi
sesuai dengan latar belakang pasien. Data identitas pasien terdiri
dari:
1) Nama Jelas
2) Tempat & Tanggal Lahir
3) Alamat
4) Pendidikan Terakhir
5) Pekerjaan
6) Hobi
7) Diagnosis Medik
b. Pengumpulan Data Riwayat Penyakit
1) Keluhan Utama (KU)

29 | Universitas Indonesia
Hal ini adalah bagian terpenting dari tatalaksana
fisioterapi. Keluhan utama pasien akan memberikan acuan
kepada terapis apa yang diinginkan oleh pasien sehingga ini
akan menjadi goal dari intervensi yang dilakukan terapis.
2) Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Berisi penjelasan mengenai riwayat penyakit pasien
sekarang yang berhubungan dengan keluhan utama. RPS
terdiri dari apa yang pertama kali dikeluhkan oleh pasien, di
organ mana letak keluhan pasien, sejak kapan keluhan itu
muncul, apa saja pengobatan yang sudah dijalani pasien, apa
saja keterbatasan fungsional yang dialami pasien sejak sakit,
dan aktivitas yang masih bisa dilakukan sejak sakit.
3) Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Riwayat penyakit yang pernah diderita pasien dahulu
yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan
keluhan utama pasien saat ini.
4) Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Riwayat penyakit yang diderita keluarga pasien sehingga
kita bisa memperkirakan penyakit turunan yang diderita oleh
pasien.

30 | Universitas Indonesia
5) Riwayat Psikososial
Riwayat kehidupan pasien di keluarga dan lingkungan
meliputi status pernikahan, jumlah anggota keluarga, keadaan
ekonomi, dan tempat tinggal.

2. Pemeriksaan terdiri dari:


a. Pemeriksaan Umum mencakup cara datang, normal, digendong, atau
menggunakan alat bantu, kesadaran, koperatif atau tidak, tensi,
pemeriksaan lingkar kepala, nadi, respirasi rate, status gizi, suhu
tubuh.
1) Kesadaran
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat
kesadaran dibedakan menjadi:
a) Compos Mentis atau conscious, yaitu kesadaran normal,
sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya.
b) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
c) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi berupa orang, tempat,
waktu, memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal.
d) Somnolen atau Obtundasi, Letargi, yaitu kesadaran menurun,
respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran dapat pulih bila dirangsang atau mudah
dibangunkan tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi
jawaban verbal.
e) Stupor atau soporo koma, yaitu keadaan seperti tertidur lelap,
tetapi ada respon terhadap nyeri.
f) Coma atau comatos, yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsangan apapun atau tidak ada respon
kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada
respon pupil terhadap cahaya.

31 | Universitas Indonesia
2) Tensi atau Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
arteri.Tekanan sistolik adalah tekanan darah pada saat terjadi kontraksi
otot jantung.Sedangkan, tekanan diastolik adalah tekanan darah yang
digambarkan pada rentang di antara grafik denyut jantung.Tekanan
darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap
tekanan diastolik.

Sistolik Diastolik
Pada Masa Bayi 70 – 90 50
Pada Masa Anak Anak 80 – 100 60
Selama Masa Remaja 90 – 110 60
Dewasa muda 110 – 125 60-80
Umur Lebih Tua 130 – 150 80 – 90
Tabel 2. 3 Tekanan Darah Normal

Sumber : www.Mediscus.com

3) Nadi
Mengetahui denyut nadi merupakan dasar untuk melakukan
latihan fisik yang benar dan terukur atau mengetahui seberapa
keras jantung bekerja.Pengukuran nadi dilakukan dengan durasi 1
menit.

4) Respirasi rate
Kecepatan pernafasan diukur pada saat satu kali inspirasi dan
ekspirasi. Bernafas secara normal diidentifikasikan dengan
ekspirasi yang menyusul inspirasi dan kemudian terdapat jeda
sebentar (Pearce, 2011).

Umur Kecepatan normal pernafasan tiap menit


Bayi baru lahir 30-60
1 tahun 24-40
1-5 tahun 22-34
Orang dewasa 12-16

Tabel 2. 4 Respiratory Rate Normal


(sumber: American Academy of Pediatric)

32 | Universitas Indonesia
5) Suhu Badan
Nilai hasil pemeriksaan suhu merupakan indikator untuk
menilai keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran
panas. Nilai ini akan menunjukkan peningkatan bila pengeluaran
panas meningkat. Kondisi demikian dapat juga disebabkan oleh
vasodilatasi, berkeringat, hiperventilasi dan lain-lain. Demikian
sebaliknya, bila pembentukan panas meningkat maka nilai suhu
tubuh akan menurun. Memeriksa suhu badan bias menggunakan
punggung tangan. Afebris berarti dalam batas normal, subfebris
berarti demam yang tidak tinggi atau saat dipalpasi terasa hangat,
febris berarti demam.

6) Status Gizi
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)
merupakan cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan. Penggunaan IMT hanya untuk
orangdewasa berumurlebih dari18 tahun dan tidak dapat
diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan.
Nilai massa tubuh dipengaruhi oleh usia dan tidak selalu
sesuai derajad kegemukan dalam hubungannya dengan proporsi
tubuh. Sebagai contoh orang Amerika memiliki nilai massa tubuh
yang sama dengan orang Asia, tapi setelah diteliti lebih jauh,
ternyata komposisi orang Amerika lebih banyak massa otot
dibandingkan lemak.
Massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB :
Keterangan :
IMT Indek Massa Tubuh
BB Berat Badan (kg)
Tinggi Badan kuadrat )

Kategori Indeks Massa tubuh :

33 | Universitas Indonesia
Status Kategori IMT
Sangat Kurus Kekurangan berat badan Kerang dari 17
tingkat berat
Kurus Kekurangan berat badan 17 - 18,4
tingkat ringan
Normal Normal 18,5 – 25
Gemuk Kelebihan berat badan 25,1 – 27
tingkat rendah
Sangat Gemuk / Kelebihan berat badan Lebih dari 27
Obesitas tingkat berat

Tabel 2. 5 Kategori IMT Normal

Sumber : www.wikipedia.com, 2016.


b. Pemeriksaan Khusus
Fase observasi yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari
penglihatan atau penampilan. Berlangsung mulai dari pasien berjalan
dari ruang tunggu sampai masuk dan di periksa di dalam ruangan
pemeriksaan. Pada buku Orthopaedic Physical Assessment, David
Magee mengatakan hal hal yang harus di periksa dalam fase inspeksi
adalah:
1) Inspeksi
a) Posture dan alignment
b) Deformitas
c) Kontur tubuh
d) Kontur jaringan lunak
e) Kesimetrisan batang tubuh
f) Warna dan tekstur kulit
g) Luka atau tanda tanda cidera
h) Krepitasi atau bunyi yang tidak normal dari sendi
i) Tanda radang.
j) Ekspresi
k) Pola gerakan abnormal atau tidak

2) Palpasi
Suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan
perabaan dan penekanan bagian tubuh dengan menggunakan
jari-jari atau tangan. Palpasi dapat digunakan untuk
mendeteksi suhu tubuh, adanya getaran, pergerakan, bentuk,
kosistensi, dan ukutan rasa nyeri tekan dan kelainan dari

34 | Universitas Indonesia
jaringan/organ tubuh. Palpasi merupakan tindakan penegasan
dari hasil inspeksi untuk menemukan yang tidak terlihat.
3) Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD)
Pemeriksaan fungsi gerak dasar adalah pemeriksaan pada
alat gerak tubuh dengan cara melakukan gerakan fungsional
dasar pada region tertentu untuk melacak kelainan struktur
region tersebut. Contoh, fleksi-ekstensi, pronasi-supinasi
pada elbow joint. Pemeriksaan fungsi dasar ini terdiri dari 3
jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan gerak aktif, gerak pasif,
dan tes isometrik melawan tahanan (TIMT).
Dengan melakukan gerakan tertentu, pasien akan
menyatakan keluhannya dan berdasarkan keluhan tersebut
pemeriksa dapat menganalisis struktur atau jaringan mana
yang mengalami gangguan. Pemeriksaan fungsi bersifat lebih
objektif oleh karena merupakan hasil rekonstruksi di mana
struktur yang diduga mangalami gangguan ikut terlibat dalam
gerakan tertentu yang diinstruksikan oleh pemeriksa.
Pemeriksaan Gerak :
1) Aktif Movement
Gerak yang secara aktif dilakukan oleh pasien.
Menunjukkan gerakan fisiologi. Hal hal yang perlu
diperhatikan dalam pemeriksaan gerak aktif yatu
dimana dan kapan nyeri muncul, gerakan seperti apa
yang meningkatkan rasa nyeri dari pasien, pola
gerakan dan gerak kompensasi pasien, ritme gerakan
yang dapat dilakukan pasien.
2) Pasif Movement
Gerak pasif dilakukan oleh terapis atau
pemeriksa. Gerakan pasif menunjukkan gerak
anatomi. Dengan menggerakkan pasien secara pasif,
terapis dapat merasakan hyper dan hypo mobility dari
suatu sendi. Dalam pemerikssaan gerak pasif yang
harus dinilai oleh terapis adalah kapan dan dimana
muncul nyeri dan endfeel dari gerakan serta ROM
gerakan yang dapat dicapai oleh pasien.
3) Resisted Movement

35 | Universitas Indonesia
Dilakukan dengan memberikan tahanan pada
gerakan agar tidak terjadi perubahan sudut sendi.
Yang harus dilihat oleh terapis adalah kontraksi yang
bagaimana yang menimbulkan nyeri, bagaimana
intensitas dan kualitas dari nyeri.
4) Tes Khusus
a) Nyeri
Nyeri adalah komplikasi umum dari cedera tulang
belakang yang tidak hanya membatasi kemampuan untuk
melakukan tugas-tugas motorik, tetapi juga memiliki
implikasi penting bagi kualitas hidup, kesejahteraan dan
perasaan umum kebahagiaan. Fisioterapi merupakan
salah satu komponen dari program manajemen nyeri
yang komprehensif yang biasanya melibatkan intervensi
farmakologis, bedah, psikologis dan perilaku. Nyeri
adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan
jaringan actual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
Nyeri sering dilukiskan sebagai sesuatu keadaan
yang berbahaya atau tidak berbahaya seperti sentuhan
ringan, kehangatan, dan tekanan ringan. Nyeri akan
dirasakan apabila reseptor-reseptor nyeri spesifik
teraktivasi. Nyeri dapat dijelaskan secara subjektif dan
objektif berdasarkan lama atau durasi, kecepatan sensasi
dan letak. Pemeriksaan nyeri dapat dilakukan dengan
berbagai metode yaitu VAS.
VAS ( Visual Analogues Scales) berupa sebuah garis
lurus dengan panjang 10 cm. Pengukuran VAS dapat
dilakukan untuk nyeri diam, nyeri tekan, maupun nyeri
gerak, pengukuran dilaksanakan sesuai tujuan penelitian,
pasien diminta mengisi VAS saat melakukan gerakan
tertentu.
Kelebihan VAS :
1. Merupakan metode pengukuran intensitas nyeri
yang sensitive, murah dan mudah dibuat

36 | Universitas Indonesia
2. Leih sensitive dan lebih akurat dalam mengukur
nyeri dibanding dengan pengukuran deskriptif.
3. Dapat diaplikasikan pada semua pasien, tidak
tergantung bahasa bahkan dapat digunakan pada
anak anak diatas usia 5 tahun

Kekurangan VAS:

VAS memerlukan pengukuran yang teliti untuk


memberikan penilaian, pasien harus hadir saat
melakukan pengukuran, serta secara visual dan
kognitif mampu melakukan pengukuran,VAS sangat
bergantung pada pemahaman pasien

b) MMT
Manual Muscle testing (MMT) merupakan salah
satu bentuk pemeriksaaan kekuatan otot yang paling
sering diguankan. Hal ini karena penatalaksanannya,
interpretasi hasil serta validitas dan rehabilitasnya telah
teruji. Namun demikian tetap saja, MMT tidak mampu
untuk mengukur otot secara individual melainkan grup
otot.

37 | Universitas Indonesia
Medical Kriteria Kekuatan otot
Research
Council
0 Tidak ada kontraksis otot
1 Ada kontraksi otot tapi tidak tidak terjadi gerakan

2 Mampu bergerak dengan LGS penuh tanpa melawan gravitasi

3 Mampu bergerak penuh degan LGS penuh melawan gravitasi


4 Mampu bergerak penuh degan LGS penuh melawan gravitasi
tahanan minimal
5 Mampu bergerak penuh degan LGS penuh melawan gravitasi
tahanan maksimal
Tabel 2. 6 Manual Muscle Testing (MMT)

Sumber: http://physiosilvia.com/

c) ROM
Merupakan pemeriksaan dasar untuk menilai
pergerakan dan mengidentifikasikan masalah gerak
untuk intervensi. Ketika sendi bergerak dengan rom full
atau penuh, semua struktur dalam region sendi tersebut
mulai dari otot, ligament, tulang dan fasia ikut terlibat
didalamnya. Pengukuran dilakukan dengan goniometer
untuk menilai derajat ROM. Pengukuran dimulai pada
posisi anatomi, kecuali gerakan rotasi yang terjadi pada
bidang gerak transversal. Penulisan ROM menurut
ISOM:
1) SFTR ( Sagital – Frontal – Transversal –
Rotasional ): Gerardt & Russe
2) Semua gerakan ditulis dalam 3 kelompok angka
3) Ekstensi dan semua gerakan yg menjahui tubuh
ditulis pertama
4) Fleksi dan semua gerakan yg mendekati tubuh
ditulis terakhir
5) Posisi awal dituliskan di tengah
6) Lateral fleksi/rotasi spine ke kiri ditulis pertama,
ke kanan ditulis terakhir

38 | Universitas Indonesia
7) Posisi awal dituliskan di tengah
8) Semua gerakan diukur dan posisi awal netral
atau posisi anatomis
9) Posisi awal normal ditulis dgn 0°, tetapi dlm
keadaan patologis berubah
10) Semua posisi yg mengunci atau tdk ada gerakan
sama sekali (ankylosis) hanya ditulis dgn 2
kelompok angka.
Contoh L.G.S sendi bahu:
Shoulder: S 45°- 0°- 180°
F 180°- 0°- 0°
T 45°- 0°-135°
R (F 90°) 90° - 0° - 90°

d) Tes Myotom dan Dermatom

Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi


terutama oleh satu saraf spinalis. Ada 8 saraf servikal, 12
saraf torakal, 5 saraf lumbal dan 5 saraf sakral. Masing
masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang
dipersarafinya ke otak. Dermatom sangat bermanfaat
dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat
kerusakan saraf saraf spinalis.
1) Pembagian Dermatom Tubuh
C2 - posterior half of the skull cap
C3 - area correlating to a high turtle neck shirt
C4 - area correlating to a low-collar shirt
C6 - (radial nerve) 1st digit (thumb)
C7 - (median nerve) 2nd and 3rd digit
C8 - (ulnar nerve) 4th and 5th digit, also the
funny bone
T4 - nipples.
T5 - Inframammary fold.
T6/T7 - xiphoid process.
T10 - umbilicus (important for early
appendicitis pain)
T12 - pubic bone area.
L1 - inguinal ligament
L4 - includes the knee caps
S2/S3 – genitalia

39 | Universitas Indonesia
Myotom adalah sekelompok jaringan terbentuk dari
somit yang berkembang kedalam otot dinding tubuh. Istilah
"myotome" juga digunakan untuk menggambarkan otot
dilayani oleh akar saraf tunggal.

40 | Universitas Indonesia
Gambar 2. 7 Dermatom

Sumber : management of spinal cord injury, 2008.

e) Keseimbangan
41 | Universitas Indonesia
Keseimbangan merupakan suatu proses komplek
yang melibatkan 3 penginderaan penting yaitu:
propioseptif (kemampuan untuk mengetahui posisi
tubuh), sistem vestibular (kemampuan untuk mengetahui
posisi kepala), dan mata (untuk memonitor perubahan
posisi tubuh). Gangguan terhadap salah satu dari ketiga
jalur tersebut akan membuat keseimbangan terganggu.
Untuk memeriksa gangguan keseimbangan ada beberapa
tes yang bisa dilakukan, yaitu:
1) Tes Romberg
Pasien yang memiliki gangguan
propioseptif masih dapat mempertahankan
keseimbangan menggunakan kemampuan
sistem vestibular dan penglihatan. Pada tes
romberg, pasien diminta untuk menutup
matanya. Hasil tes positif bila pasien kehilangan
keseimbangan atau terjatuh setelah menutup
mata. Tes romberg digunakan untuk menilai
propioseptif yang menggambarkan sehat
tidaknya fungsi kolumna dorsalis pada medula
spinalis. Pada pasien ataxia (kehilangan
koordinasi motorik) tes romberg digunakan
untuk menentukan penyebabnya, apakah murni
karena defisit sensorik/propioseptif, ataukah ada
gangguan pada serebelum. Pasien ataxia dengan
gangguan serebelum murni akan menghasilkan
tes romberg negatif.
Untuk melakukan tes romberg pasien
diminta untuk berdiri dengan kedua tungkai
rapat atau saling menempel. Kemudian pasien
disuruh untuk menutup matanya. Pemeriksa
harus berada di dekat pasien untuk mengawasi
bila pasien tiba – tiba terjatuh.
Hasil romberg positif bila pasien terjatuh.
Pasien dengan gangguan serebelum akan

42 | Universitas Indonesia
terjatuh atau hilang keseimbangan pada saat
berdiri meskipun dengan mata terbuka.
2) Tes Tandem Walking
Tes lain yang bisa digunakan untuk
menentukan gangguan koordinasi motorik
adalah tes tandem walking. Pasien diminta
untuk berjalan pada satu garis lurus di atas
lantai dengan cara menempatkan satu tumit
langsung di antara ujung jari kaki yang
berlawanan, baik dengan mata terbuka atau
mata tertutup.
f) Koordinasi
Koordinasi adalah penggunaan normal dari faktor-
faktor motorik, sensorik dan sinergik dalam melakukan
gerakan. Pusat koordinasi adalah cerebellum. Untuk
memeriksa gangguan koordinasi ada beberapa tes yang
bisa dilakukan, yaitu:
1) Finger to nose test
Gangguan pada serebelum atau saraf – saraf
propioseptif dapat juga menyebabkan ataxia tipe
dismetria. Dismetria berarti hilangnya
kemampuan untuk memulai atau menghentikan
suatu gerak motorik halus. Untuk menguji
adanya suatu dismetria bisa dilakukan beberapa
pemeriksaan, salah satunya adalah finger to
nose test.
Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan
pasien dalam kondisi berbaring, duduk atau
berdiri. Diawali pasien mengabduksikan lengan
serta posisi ekstensi total, lalu pasien diminta
untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri
dengan ujung jari telunjuknya. Mula – mula
dengan gerakan perlahan kemudian dengan
gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan
tertutup.
2) Heel to shin test

43 | Universitas Indonesia
Pemeriksaan ini lebih mudah dilakukan bila
pasien dalam keadaan berbaring. Pasien diminta
untuk menggerakkan tumit kakinya ke arah lutut
kontralateral, kemudian tumit digerakkan atau
didorong ke arah jari kaki kontralateral.

g) Indeks Barthel (IB)


Indeks Barthel merupakan suatu instrument
pengkajian yang berfungsi mengukur kemandirian
fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas serta
dapat juga digunakan sebagai kriteria dalam menilai
kemampuan fungsional bagi pasien-pasien yang
mengalami gangguan keseimbangan. Indeks Barthel
menggunakan 10 indikator, yaitu :

44 | Universitas Indonesia
No. Kemampuan Skor Nilai
yang dinilai
1 Makan 0=Tidak mampu
(Feeding) 1= Butuh bantuan memotong, mengoles mentega dll.
2=Mandiri
2 Mandi (Bathing) 0=Tergantung orang lain
1=Mandiri
3 Perawatan Diri 0= Membutuhkan bantuan orang lain
(Grooming) 1=Mandiri dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan
bercukur
4 Berpakaian 0=Tergantung orang lain
(Dressing) 1= Sebagian dibantu (misal mengancing baju)
2= Mandiri
5 Buang Air Kecil 0= Inkontinensia atau pakai kateter dan tidak terkontrol
(Bowel) 1=Kadang Inkontinensia (maks, 1x24 jam)
2=Kontinensia (teratur untuk lebih dari 7 hari)
6 Buang Air Besar 0=Inkontinensia (tidak teratur atau perlu enema)
(Bladder) 1=Kadang Inkontensia (sekali seminggu)
2=Kontinensia (teratur
7 Penggunaan 0=Tergantung bantuan orang lain
Toilet 1= Membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan
(Toiletting) beberapa hal sendiri
2= Mandiri
8 Berpindah Posisi 0=Tidak mampu
(Transfer) 1=Butuh bantuan untuk bisa duduk (2 orang)
2=Bantuan kecil (1 orang)
3=Mandiri
9 Mobilitas 0=Immobile (tidak mampu)
(Mobility) 1= Menggunakan kursi roda
2= Berjalan dengan bantuan satu orang
3=Mandiri (meskipun menggunakan alat bantu seperti,
tongkat)
10 Naik Turun 0=Tidak mampu
Tangga (Stairs) 1= Membutuhkan bantuan (alat bantu)
2= Mandiri
Nilai Total
Tabel 2. 7 Indeks Barthel

Sumber : www.emedicine.medscape.com

Interpretasi hasil :
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan Ringan
9-11 : Ketergantungan Sedang
5.8 : Ketergantungan Berat
0-4 : Ketergantungan Total
3. Pemeriksaan data penulis penunjang

45 | Universitas Indonesia
Merupakan data-data yang dijadikan referensi. Misalnya hasil dari CT
Scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Rontgen, pemeriksaan
radiologi, dan pemeriksaan laboratorium.
4. Urutan masalah fisioterapi berdasarkan prioritas
Urutan masalah didapatkan dari hasil pemeriksaan fisik baik
pemeriksaan umum maupun pemeriksaan khusus dan juga keluhan dari
pasien itu sendiri.
5. Diagnosis fisioterapi
Berdasarkan International Classification Functioning and Health (ICF)
diagnosis fisioterapi, yaitu:
1) Impairment
Merupakan hilangnya atau tidak normalnya struktur atau fungsi
sistem organ tubuh yang bersifat psikologis, fisiologi, dan anatomi.
Contohnya: ada nyeri, ada spasme, dan adanya keterbatasan gerak.
2) Functional limitation
Merupakan keterbatasan atau ketidakmampuan pasien dalam
beraktivitas fungsional dengan cara dan batas-batas yang dianggap
normal. Conthnya ketidakmampuan berjalan, perawata diri dan
sebagainya.
3) Participation restriction
Problem yang lebih kompleks yang melibatkan lingkungan fisik
maupun sosial pasien.
6. Program Pemeriksaan Fisioterapi
1) Pengumpulan data program Fisioterapi dari dokter Rehabilitasi Medik.
Merupakan program yang disusun oleh dokter Rehabilitasi Medik
yang bersangkutan.
2) Tujuan
a) Tujuan Jangka Pendek
Tujuan jangka pendek biasanya dibuat berdasarkan prioritas
masalah yang utama. Dalam membuat tujuan jangka pendek ini
harus disertai dengan bagaimana tujuan/ rencana tersebut akan
dicapai,alokasi waktu pencapaian,dan kondisi-kondisi seputar
pasien dan lingkungan yang memungkinkan tujuan tersebut dapat
dicapai.
b) Tujuan jangka panjang
Tujuan yang dibuat berdasarkan prioritas masalah, tetapi
bukan masalah utama atau segera. Tujuan jangka panjang harus
sesuai realistis sesuai dengan patologi dan kondisi pasien.
7. Metode Pemberian Fisioterapi

46 | Universitas Indonesia
Fisioterapis memilih intervensi berdasarkan pada kompleksitas dan
tingkat keparahan dari problem.Fisioterapis memilih, mengaplikasikan atau
memodifikasi satu atau lebih prosedur intervensi berdasarkan pada tujuan
akhir dan hasil yang diharapkan yang telah dikembangkan terhadap pasien.
Metode tersebut meliputi:
1) PNF
2) Gait Training
8. Uraian Tindakan Fisioterapi
Berisi mengenai implementasi metode pemberian fisioterapi.
9. Program untuk dirumah
Memberikan edukasi kepada pasien untuk mengulang kembali latihan
dirumah serta memberikan edukasi tentang apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan sehingga intervensi yang dilakukan oleh terapis dapat optimal.

10. Evaluasi
Evaluasi dilakukan sebelum melakukan tindakan, sesaat melakukan
tindakan, dan setelah dilakukan tindakan fisioterapi. Jika pasien mengalami
kemajuan dari sebelumnya maka evaluasi ditulis dalam format Subjective,
Objective, Assesment, dan Planning.
11. Jadwal evaluasi ke dokter
Jadwal evaluasi ke Dokter pada kasus ini yaitu 6 kali setelah terapi.

47 | Universitas Indonesia
Underlying Process Umum

Trauma Non trauma

Spinal Cord Injury

Tetraparese/Tetraplegia Paraparese/Paraplegia

Impairment Activity Limitation Participation Restriction

Kelemahan otot Kesulitan berjalan Kesulitan mengikuti kegiatan


sosial di lingkungan sekitar
Nyeri Kesulitan merawat diri rumah
Gangguan sensoris (menyisir, memakai
baju, dan mandi)
Gangguan motoris
Kesulitan toiletting
Gangguan keseimbangan

Gangguan koordinasi

Gangguan propriosesi Edukasi

Spastisitas Untuk melakukan akti-


Terapi modalitas Terapi Latihan
fitas lain yang masih
TENS: mengurangi PNF: penguatan otot dapat dilakukan dengan
nyeri batas toleransi pasien
NDT: stimulasi taktil
ES: re-edukasi
kontraksi otot Latihan keseimbangan

Latihan koordinasi

Latihan propriosepsi

Goal

Meningkatkan kekuatan otot upper ekstremity dan lower ekstremity


dan memperbaiki pola jalan

48 | Universitas Indonesia
BAB III
ISI
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM VOKASI
BIDANG STUDI RUMPUN KESEHATAN
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FORMULIR FISIOTERAPI

Nama Fisioterapi : Titin Sumarni, AMF Peminatan : Neuromuscular


Nama Dokter : Dr. dr. Tirza Z Tamin, SpKFR-K. Ruangan : Poli FT C
Nomor Register : 414-16-59 Tanggal periksa: 13 Oktober 2016

I. PENGUMPULAN DATA IDENTITAS PASIEN : (S)

Nama jelas : Ny. S


Tempat/tgl Lahir : Wonogiri, 17 November 1974 (41th)
Alamat : Pasar Rebo, Jakarta Timur
Pendidikan terakhir : D3-Akuntansi
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Hobi : Memasak
Diagnosis Medik : Spinal cord injury et causa tumor intradural ekstramedula
post tumor removal dan laminektomi C4-C5

II. PENGUMPULAN DATA RIWAYAT PENYAKIT : (S)

KU : Kedua lengan terasa lemah dan saat berjalan mudah terjatuh

RPS : Pada bulan Mei 2016 Os merasa nyeri pada leher dan pundak kanan yang
disertai baal dan kesemutan serta lemah tungkai kanan. Lama kelamaan Os
merasa nyeri menjalar ke tangan kiri kemudian baal dan mulai lemah. Os
berobat sebanyak 3 kali ke dokter saraf RS Haji Pondok Gede. Setelah itu
tetap tidak ada perubahan, justru tungkai kanan Os semakin lemah dan sulit
berjalan.

Pada bulan Juni 2016 Os konsultasi ke Klinik dokter saraf di


Rawamangun, kemudian dirujuk ke Prodia untuk melakukan tes

49 | Universitas Indonesia
lab,kemudian ke RSCM untuk tes EMG dan hasilnya baik. Os diberikan
obat penambah ion kalsium dan vitamin.

Pada akhir bulan Juni sampai awal Juli 2016 Os berobat ke dokter
Rehab Medik RS Suyoto sebanyak 3 kali. Dilakukan rontgen vertebra dan
hasilnya tidak ada kelainan. Kemudian Os juga konsultasi ke dokter
penyakit dalam, dan dilakukan tes lab yang hasilnya tetap tidak ada
kelainan.

Pada bulan Agustus 2016 Os meminta rujukan dari RS Suyoto untuk


melakukan MRI di RSCM. Hasil MRI dibawa ke Klinik dokter saraf di
Rawamangun dan hasilnya terdapat tumor pada cervical lalu Os dirujuk ke
RSCM. Dokter saraf RSCM menyarankan operasi pengangkatan tumor.

Pada tanggal 26 Agustus sampai 22 September 2016 Os dirawat di


RSCM untuk observasi. Tanggal 28 September 2016, dilakukan tindakan
operasi laminektomi. Setelah operasi, Os dirawat selama 7 hari.

Pada tanggal 6 Oktober 2016 Os kontrol ke dokter saraf RSCM, lalu


dirujuk ke dokter Rehab Medik. Pada tanggal 11 Oktober 2016 Os
konsultasi ke dokter Rehab Medik dan dianjurkan untuk fisioterapi.

Hari ini os pertama kali datang ke fisioterapi dengan keluhan


kelemahan pada kedua lengan dan mudah terjatuh saat berjalan.

RPD :- Kolesterol  negatif


- Diabetes Melitus  negatif
- Hipertensi  negatif
- Penyakit jantung  negatif
- Riwayat trauma  jatuh dari motor dalam posisi terduduk ±20 tahun
yang lalu

RPK :

- Kakak Os  Ca mamae
- Adik Os  Penyakit Jantung dan Paru

50 | Universitas Indonesia
Rpsi : - Os tinggal bersama suami dan 3 orang anak

- Os tidak mengerjakan pekerjaan rumah, hanya sesekali menyapu lantai

III. PEMERIKSAAN : ( O )
A. Pemeriksaan umum
- cara datang : menggunakan wheelchair
- kesadaran : compos mentis
- kooperatif/Tidak kooperatif: kooperatif
- tensi : 120/80 mmHg
- nadi : 65x / menit
- RR : 20x / menit
- Status gizi : 50/(1,55)2=20,83 (normal)
- Suhu : afebris
B. Pemeriksaan khusus :
a. Inspeksi :
- Dinamis:
- Datang dengan wheelchair
- Gait tampak knee locking bilateral
- Transfer:
- Miring kanan dan miring kiri mandiri
- telentang ke duduk dengan bantuan minimal
- Duduk ke berdiri dengan bantuan minimal
- Statis:
Anterior :
- Head in midline
- Terpasang soft cervical collar
- Asimetris shoulder (kanan lebih tinggi dari kiri)
- Body arm space asimetris (sinistra = 3cm, dextra=2cm)
- SIAS simetris
- Patella simetris
- Knee valgus dextra
- Tumpuan pada medial foot dextra
- Tidak tampak atrofi otot UE dan LE
Lateral :
- Alignment simetris
- Hiperlordosis lumbal
Posterior :
- Head in midline
- Asimetris shoulder (kanan lebih tinggi dari kiri)
- Terdapat bekas luka jahitan pada C3-C5 (masih di perban)
- Body arm space asimetris (sinistra = 3cm, dextra=2cm)
- Tidak ada rib hump
- Tidak ada deformitas

51 | Universitas Indonesia
- SIPS simetris
- Popliteal simetris
- Knee valgus dextra
- Tumpuan pada medial foot dextra
- Tidak tampak atrofi otot UE dan LE
b. Palpasi :
- Tidak ada oedem
- Tidak ada spasme
- Terdapat nyeri tekan pada bekas jahitan, VAS=2

c. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar :


- Dari pemeriksaaan fungsi gerak dasar didapatkan bahwa ROM upper
extremity, lower extremity, dan trunk full untuk semua gerakan lingkup
gerak sendi.
- MMT dapat dilihat pada table lampiran ASIA hal 76.
- Didapatkan kelemahan otot pada upper dan lower extremity bilateral,tetapi
lebih dominan kanan.

52 | Universitas Indonesia
d. Tes khusus :
- Pemeriksaan berdasarkan ASIA (American Spinal Injury
Association)
Dengan skor total motorik = 71 dan sensorik = 200 menunjukkan
bahwa pasien termasuk kategori ASIA D, untuk lebih detailnya
pembaca dapat melihat pada lampiran hal 76.
- Tes Keseimbangan
Romberg Test Positif (ada gangguan)
Tandem walking test positif dengan posisi kaki kanan di belakang
(ada gangguan)
- Tes Koordinasi
Finger to nose test positif (ada gangguan karena kelemahan otot)
Heel shin test positif pada kaki kanan (ada gangguan karena
kelemahan otot)
- Barthel index
Pada pemeriksaan didapatkan skor = 13 yang berarti pasien
termasuk kategori ketergantungan ringan, untuk lebih detailnya
pembaca dapat melihat pada lampiran.

IV. PENGUMPULAN DATA TERTULIS PEMERIKSAAN PENUNJANG


(16/08/2016) MRI  Brain
Kesimpulan :
Tidak tampak kelainan di intraparenkimal otak
Sinusitis maksilaris kiri

(16/08/2016) MRI  Whole Spine


Kesimpulan :
Massa padat intradura-ekstramedula sisi kanan pada level C4, yang
menyempitkan kanalis spinalis dan mendesak medula spinalis ke sisi kiri
dengan tanda edema medula spinalis pada level tersebut. DD/ meningioma,
schwanoma, neurofibroma.

53 | Universitas Indonesia
(05/09/2016) MRI  Cervical
Kesimpulan :
Massa intradural-ekstramedulla setinggi C3-C5 terutama sisi kanan
menyebabkan stenosis canalis spinalis setinggi C3 s.d C5 sugestif benigna
suspek schwanoma DD/ meningioma.

(30/09/2016) Radiologi  Thoraks


Kesimpulan :
Dibandingkan radigrafi thoraks tanggal 31 agustus 2016, saat ini :
Tak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru.
CVC dengan tip proyeksi vena cav superior.
ETT dengan tip disekitar 3,3 cm diatas karina.

V. 1. URUTAN MASALAH FISIOTERAPI BERDASARKAN PRIORITAS

1. Kelemahan pada upper extremity dan lower etremity bilateral


2. Gangguan koordinasi dan keseimbangan
3. Belum mampu berdiri stabil
4. Belum mampu ke berdiri mandiri
5. Pola jalan belum baik

2. DIAGNOSA FISIOTERAPI :
Impairment :
Kelemahan pada upper extremity dan lower extremity
bilateral

Activity limitation :

Kesulitan melakukan semua aktivitas dengan tangan kanan


seperti makan,minum,mandi,memakai dan melepas
pakaian,menulis
Kesulitan berdiri stabil
Kesulitan saat gerakan sholat
Kesulitan berjalan

Participation limitation :

54 | Universitas Indonesia
Tidak dapat bersosialisasi di lingkungan sekitar rumah
seperti arisan

VI. PROGRAM PELAKSANAAN FISIOTERAPI

1. Pengumpulan data program fisioterapi dari dokter rehabilitasi medik


(11/10/2016) Dr. dr. Tirza Z Tamin, SpKFR-K
FT : Strengthening upper extremitas dextra
2. Tujuan
b. Tujuan jangka pendek
- Kekuatan otot bertambah
- Koordinasi dan keseimbangan baik
- Mampu berdiri stabil
- Mampu ke berdiri mandiri

c. Tujuan jangka panjang


- Dapat melakukan semua aktivitas dengan kedua tangan
- Dapat berjalan dengan pola yang benar

55 | Universitas Indonesia
3. Metode pemberian Fisioterapi

NO JENIS METODA DOSIS KETERANGAN

1. Exercise PNF F: 6x / hari Meningkatkan kekuatan


I: 10 detik
otot, trunk, upper
R: 3x repetisi
Interval: 1 :1 extremity dan lower
Set: 4 set (lengan),
extremity bilateral
2 set (tungkai), 2
set (bahu), 2 set
(panggul), 2 set
(lutut)
Total time: 12
menit

2. Gait Training F: 2x / minggu Melatih berjalan dengan


I: 5 meter, 3x pola yang benar
repetisi
T: 5 menit

4. Uraian tindakan Fisioterapi

a) PNF Upper Extremity dan Lower Extremity

Posisi pasien : Tidur terlentang


Posisi terapis : Disamping pasien
Pelaksanaan :
- Gunakan teknik rhythmical initation dan kombinasi isotonik (agonis
reversal) untuk upper dan lower extremity
- Patron yang digunakan yaitu :
1) Upper extremity
Fleksi – adduksi – eksorotasi dengan fleksi elbow
Ekstensi – abduksi – endorotasi
Fleksi – abduksi – eksorotasi
Ekstensi – adduksi – endorotasi

56 | Universitas Indonesia
- Handling pada wrist, fiksasi pada otot bisep dan trisep sesuai dengan
gerakan yang berlawanan untuk patron pada upper extremity
- Selama gerakan dapat diberikan tahanan
- Repetisi dapat dilakukan sebanyak 3 kali setiap satu patron atau
sesuai toleransi pasien
- Instruksikan pasien untuk memfleksikan lengan kiri 90°, kemudian
arahkan tangan kanan untuk menggapai tangan kiri pasien lalu
kembali lagi di posisi awal
- Ulangi sampai 4 set berdasarkan jumlah patron
- Instruksikan pasien untuk mengusap kepala dari sisi kiri ke kanan
menggunakan tangan kanan

2) Lower extremity
Fleksi – abduksi – endorotasi

Ekstensi – adduksi – eksorotasi


- Handling pada ankle dan fiksasi pada medial dan lateral knee sesuai
dengan gerakan yang berlawanan untuk patron pada lower extremity
- Selama gerakan dapat diberikan tahanan
- Repetisi dapat dilakukan sebanyak 3 kali setiap satu patron atau
sesuai toleransi pasien
- Ulangi sampai 2 set berdasarkan jumlah patron

b) PNF dengan Prinsip Iradiasi pada Shoulder, Pelvic, dan Hip

Posisi pasien : Tidur posisi miring di bed

Posisi terapis : dibelakang pasien

Pelaksanaan :

- Handling dan fiksasi pada shoulder bagian anterior dan posterior

- Gerakan sesuai patron scapula yaitu :

Elevasi anterior – depresi posterior

Elevasi posterior – depresi anterior

57 | Universitas Indonesia
- Instruksikan pasien untuk melawan tahanan dari fisioterapis

- Repetisi dapat dilakukan sebanyak 3 kali setiap satu patron atau


sesuai toleransi pasien
- Ulangi sampai 2 set berdasarkan jumlah patron
- Handling dan fiksasi pada pelvic bagian anterior dan posterior

- Gerakan sesuai patron pelvic yaitu :

Elevasi anterior – depresi posterior

Elevasi posterior – depresi anterior

- Instruksikan pasien untuk melawan tahanan dari fisioterapis

- Fiksasi pada lateral knee dan ankle

- Gerakan hip kearah abduksi, knee yang sebelahnya fleksi

- Instruksikan pasien untuk menggerakkan hip abduksi dan melawan


tahanan dari fisioterapis

- Lakukan pada posisi sebaliknya


- Repetisi dapat dilakukan sebanyak 3 kali setiap satu patron atau
sesuai toleransi pasien
- Ulangi sampai 2 set berdasarkan jumlah patron

c) Latihan berdiri stabil

1) Transfer weight bearing

Posisi pasien : Berdiri

Posisi terapis : Duduk di depan pasien

Pelaksanaan :

- Handling dan fiksasi pada pelvic

- Instruksikan pasien untuk mendorong tahanan dari fisioterapis

- Gerakan rotasi trunk ke kanan dan kiri

58 | Universitas Indonesia
- Handling dan fiksasi tetap pada pelvic

- Instruksikan pasien untuk jalan di tempat dengan menahan


tumpuan satu kaki beberapa detik lalu bergantian

- Repetisi dapat dilakukan sebanyak 3 kali setiap satu patron atau


sesuai toleransi pasien

- Ulangi sampai 2 set

2) Stabilisasi reversal

Posisi pasien : Berdiri dengan satu kaki pada wedges, knee


semifleksi

Posisi terapis : Di depan pasien

Pelaksanaan :

- Handling dan fiksasi pada 4 titik di sekitar knee

- Instruksikan pasien untuk mendorong tahanan fisioterapis

- Tidak ada gerakan sendi karena latihan ini bersifat isometrik

- Lakukan pada kedua tungkai secara bergantian

- Repetisi dapat dilakukan sebanyak 3 kali setiap satu patron atau


sesuai toleransi pasien

- Ulangi sampai 2 set Gait Training

Posisi pasien : Berjalan

Posisi terapis : Di samping pasien

Pelaksanaan :

- Instruksikan pasien berjalan.

- Selama pasien berjalan koreksi cara berjalan dan postur pasien.

5. Program untuk di rumah


- Edukasi untuk koreksi postur

59 | Universitas Indonesia
- Latihan makan, minum, menyisir, menulis menggunakan tangan kanan
- Latihan mengusap perut dan kepala saat tidur telentang dengan tangan kanan
- Latihan berdiri stabil
- Latihan berjalan dengan pola yang benar seperti yang dicontohkan
fisioterapis

VII. EVALUASI
1) Evaluasi hasil terapi

EVALUASI 1 (13/10/2016)

S : Kedua lengan terasa lemah dan saat berjalan mudah terjatuh

O :

- Datang menggunakan wheelchair


- Menggunakan soft neck collar
- Telentang ke duduk dengan bantuan minimal
- Duduk ke berdiri dengan bantuan minimal
- ASIA D dengan skor motorik = 71, dan sensorik = 200
- MMT upper extremity dextra = 2
- MMT lower extremity dextra = 3
- Romberg test positif, pada detik ke 13 terjatuh
- Tandem walking test dengan kaki kanan dibelakang positif, pada detik ke 2
terjatuh
- Heel shin test positif
- Barthel index skor = 13 (ketergantungan ringan)
- Tidak seimbang tumpuan weight bearing dextra (24kg) : sinistra (26kg)
- Pola jalan knee locking dan masih belum baik

A : Gangguan fungsional gerak terkait Spinal Cord Injury et causa post


laminektomi tumor intradural ekstramedular C4-C5

P :

- Meningkatkan kekuatan otot


- Meningkatkan koordinasi dan keseimbangan
- Memperbaiki pola jalan

FT : PNF, Transfer Weight Bearing, Gait Training

60 | Universitas Indonesia
EVALUASI 2 (18/10/2016)

S : Lemah kedua lengan dan berjalan belum baik

O :

- Datang menggunakan wheelchair


- Menggunakan soft neck collar
- Mampu telentang ke duduk mandiri
- Duduk ke berdiri dengan bantuan minimal
- ASIA D dengan skor motorik = 71, dan sensorik = 200
- MMT upper extremity dextra = 2
- MMT lower extremity dextra = 4
- Romberg test positif, pada detik ke 15 terjatuh
- Tandem walking test dengan kaki kanan dibelakang positif, pada detik ke 18
terjatuh
- Heel shin test positif
- Barthel index skor = 13 (ketergantungan ringan)
- Tidak seimbang tumpuan weight bearing dextra (24kg) : sinistra (26kg)
- Pola jalan knee locking dan masih belum baik

A : Gangguan fungsional gerak terkait Spinal Cord Injury et causa post


laminektomi tumor intradural ekstramedular C4-C5

P :

- Meningkatkan kekuatan otot


- Meningkatkan koordinasi dan keseimbangan
- Memperbaiki pola jalan

FT : PNF, Transfer Weight Bearing, Gait Training

EVALUASI 3 (20/10/2016)

S : Lemah pada kedua lengan dan berjalan belum baik

O :

- Datang dengan berjalan mandiri


- Menggunakan soft neck collar
- Mampu telentang ke duduk mandiri
- Mampu duduk ke berdiri mandiri
- ASIA D dengan skor motorik = 71, dan sensorik = 200
- MMT upper extremity dextra = 2
- MMT lower extremity dextra = 4

61 | Universitas Indonesia
- Romberg test negatif, >30 detik
- Tandem walking test dengan kaki kanan dibelakang negatif, > 30 detik
- Heel shin test negatif
- Barthel index skor = 15 (ketergantungan ringan)
- Tidak seimbang tumpuan weight bearing dextra (24kg) : sinistra (26kg)
- Pola jalan knee locking dan masih belum baik

A : Gangguan fungsional gerak terkait Spinal Cord Injury et causa post


laminektomi tumor intradural ekstramedular C4-C5
P :
- Meningkatkan kekuatan otot
- Meningkatkan koordinasi dan keseimbangan
- Memperbaiki pola jalan
FT : PNF, Transfer Weight Bearing, Gait Training
EVALUASI 4 (25/10/2016)
S : Lemah pada kedua lengan dan berjalan belum baik
O :
- Datang dengan berjalan mandiri
- Menggunakan soft neck collar
- Mampu telentang ke duduk mandiri
- Mampu duduk ke berdiri mandiri
- ASIA D dengan skor motorik = 82, dan sensorik = 200
- MMT upper extremity dextra = 3
- MMT lower extremity dextra = 4
- Romberg test negatif, >30 detik
- Tandem walking test dengan kaki kanan dibelakang negatif, >30 detik
- Heel shin test negatif
- Barthel index skor = 18 (ketergantungan ringan)
- Tidak seimbang tumpuan weight bearing dextra (24kg) : sinistra (26kg)
- Pola jalan knee locking dan masih belum baik

A : Gangguan fungsional gerak terkait Spinal Cord Injury et causa post


laminektomi tumor intradural ekstramedular C4-C5
P :
- Meningkatkan kekuatan otot
- Meningkatkan koordinasi dan keseimbangan
- Memperbaiki pola jalan

FT : PNF, Transfer Weight Bearing, Gait Training.

2) Jadwal evaluasi ke dokter


Setelah 6x terapi

62 | Universitas Indonesia
Underlying Process Khusus

Tumor intradural extramedular

Tumor intradural extramedular

Os merasa baal,nyeri, parese,dan


kesulitan berjalan

Operasi removal tumor intradural extramedular


dan laminactomy

Pemeriksaan Fisioterapi

Impairment Activity Limitation Participation Restriction

Kelemahan otot upper Kesulitan melakukan semua aktivitas Tidak dapat


extremity dan lower bersosialisasi di
extremity bilateral dengan tangan kanan seperti lingkungan sekitar
lebih dominan kanan makan,minum,mandi,memakai dan rumah seperti arisan
melepas pakaian,menulis Edukasi
Kesulitan berdiri stabil
Untuk melakukan akti-
Kesulitan saat gerakan sholat
fitas lain yang masih
Kesulitan berjalan
dapat dilakukan dengan
batas toleransi pasien

Terapi Latihan

PNF: penguatan otot

Gait training

Goal

Meningkatkan kekuatan otot upper ekstremity dan lower ekstremity


dan memperbaiki pola jalan

63 | Universitas Indonesia
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Spinal Cord Injury (SCI) merupakan gangguan pada medula spinalis yang
menyebabkan kerusakan medulla spinalis dan saraf sehingga terjadi defisit
neurologis parsial atau total di bawah level cedera berupa gangguan persepsi
sensori, paralisis atau keduanya.
Penyebab terjadinya cidera medulla spinalis dapat dikelompokkan menjadi
akibat trauma dan non trauma. Kejadian trauma merupakan penyebab
tersering terjadinya spinal cord injury. Penyebab spinal cord injury trauma
dapat berupa, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, cidera olahraga,
kecelakaan drumah, bencana alam, luka tembak. Sedangkan penyebab spinal
cord injury nontrauma dapat berupa tumor, kelainan vascular, multiple
sclerosis, transver myelitis (Siamy, 2012).
Gangguan spinal cord injury dapat mengakibatkan kelemahan otot upper
dan lower ekstremitas , deficit sensory, atropi otot, gangguan keseimbangan,
dan pola jalan abnormal. Bisa ditangani dengan modalitas PNF, stretching,
strengthening, balance exercise dan gait training. Dengan tujuan jangka
panjang mengoptimalkan pola berjalan pasien.

B. SARAN
Di dalam penulisan makalah ini kami menyadari masih terdapat
banyak kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun bagi para pembaca agar penulisan makalah berikutnya dapat
lebih baik. Adapun saran untuk pasien. Pasien dianjurkan rutin melakukan
home program yang sudah disarankan oleh fisioterapis. Home program
ditujukan untuk mempercepat tercapainya tujuan fisioterapis, baik tujuan
jangka pendek maupun tujuan jangka panjang.

64 | Universitas Indonesia
1. Bagi Keluarga Pasien
Dukungan dan bantuan setiap anggota keluarga sangat dibutuhkan
selama proses pelaksanaan home program, demi tercapainya tujuan
jangka pendek maupun tujuan jangka panjang serta meningkatkan
semangat pasien dalam melaksanakan home program dan proses
penyembuhan.
2. Saran untuk Fisioterapis
Fisioterapis diharapkan dapat memberikan penanganan yang tepat
pada kasus drop foot sesuai dengan prosedur dan penatalaksaan
fisioterapi.
3. Saran untuk pembaca
Di dalam penulisan makalah ini kami menyadari masih terdapat
banyak kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun bagi para pembaca agar penulisan makalah
berikutnya dapat lebih baik.

65 | Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics: Pediatric Education for Prehospital


Proffesionals. Jones & Bartlett: Boston, Mass., 2000. pp. 2-35
Arifin, Safrin. 2013. Atlas Anatomi Otot Manuasia untuk Fisioterapi. PT
Sejahtera Bersama Yuk:Banten.
Arthur D. Kuo, J. Maxwell Donelan. 2010. Dynamic Principles of Gait and Their
Clinical Implications. Rockville Pike. NCBI: Journal of American Physical
Therapy Association.
Briggs AM, Smith AJ, Straker LM, Bragge P. 2009. Thoracic spine pain in the
general population: prevalence, incidence and associated factors in
children, adolescents and adults. A systematic review. Biomed Central.
Harrop James S, MD. 2016. Spinal Cord Tumors - Management of Intradural
Intramedullary Neoplasms. New york: Emedicine medscape.
Harvey, Lisa. 2008. Management of spinal cord injuries: A guide for
Physiotherapists. Philadelphia:Elsevier
Kisner, Carolyn. 2012. Therapeutic Exercise:fondations and techniques 6th
edition. Philadelphia:E.A. David Company.
Magee David J. 2006. Orthopedic Physical Assesment. 4th Edition. Canada:
Elsevier
Manske, Robert C., PT, DPT, SCS, MEd, ATC, CSCS. 2011. Spinal Disorder.
Boston: Elsevier Health Inc.
Nadhlifah, Ade Irma. 2012. Biomekanik SPINE. Modul Perkuliahan Biomekanik
dan Kinesiologi, Universitas Pekalongan, 6 Juni.
Sisto SA, Druin E, Macht Sliwinski MM. Spinal Cord Injuries: Management and
Rehabilitation. St. Louis, MO: Mosby; 2008.
Snell, Richard S. 2007. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-5.
Terjemahan Asli Jan Tambayong. Jakarta: EGC.
Vizniak Nikita A. 2010. Quick Reference Evidence Based Muscle Manual.
Canada: Professional Health System

66 | Universitas Indonesia
Winchester P, Smith P, Foreman N, Mosby JM, Pa- checo F, Querry R, Tansey K.
A prediction model for determining over ground walking speed after
locomotor training in persons with motor incomplete spinal cord injury. J
Spinal Cord Med. 2009;32:63-71.
Wolf A.N de. 1990. Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh. Bohn Stafleu Van
Loghum
Zörner B, Blanckenhorn WU, Dietz V, EM-SCI Study Group, Curt A. Clinical
algorithm for improved predication of ambulation and patient stratification
after incomplete spinal cord injury. J Neurotrauma. 2010;27:241-252.
Diakses dari http://www.spine-health.com/glossary/intradural-extramedullary-
tumorpada 15Oktober 2016
Diakses dari http://publichealthnote.blogspot.co.id/2012/04/pemeriksaan-klinis-
neurologi-4.htmlpada 15Oktober 2016
Diakses dari https://fisioterapivetebrae.wordpress.com/kasus/spinal-cord-
injury/pada 15Oktober 2016
Diakses dari http://meetdoctor.com/topic/spinal-cord-injury
pada 15Oktober 2016
Diakses dari: http://jiqquaenedonal.blogspot.co.id/2013/07/proprioceptiveneuro
muscular.html pada 16 Oktober 2016
Diakses dari http://medshisof.tumblr.com/post/30849669980/pnf-proprioceptive-
neuromuscular-fascilitation pada 16 Oktober 2016 pada 16 Oktober 2016
Diakses dari http://medshisof.tumblr.com/post/30849669980/pnf-proprioceptive-
neuromuscular-fascilitation pada 16 Oktober 2016pada 16 Oktober 2016
Diakses dari http://www.healthline.com/health/gait-training. pada 16 Oktober 2016
Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Gait_training. pada 16 Oktober 2016
Diakses dari http://ardiwqblog.blogspot.co.id/2014/12/spinal-cord-injury_12.html . pada
16 Oktober 2016
Diakses dari http://attonk.blogspot.co.id/2008/09/tumor-medula-spinalis.html . pada 16
Oktober 2016
Diakses dari https://aga152aulia.wordpress.com/2014/04/18/laminectomy/ . pada 16
Oktober 2016

67 | Universitas Indonesia
LAMPIRAN

Rontgen Thoraks (30/09/2016)

MRI Cervical (16/08/2016)

68 | Universitas Indonesia
69 | Universitas Indonesia
70 | Universitas Indonesia
71 | Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai