Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Apabila berhadapan dengan bayi hipotonia, maka sering dihadapkan pada daftar yang
sangat panjang dari kemungkinan diagnosis dan sindroma penyakit. Salah satunya adalah
Floppy infant / hipotonic infant, dimana sangat sulit baik dalam hal diagnosis maupun
penatalaksanaannya. Hal ini karena keterbatasan pemeriksaan penunjang diagnostik yang
tersedia, sehingga yang terpenting adalah mempersempit diagnosis banding dengan
menentukan topografi kelainan dan memberikan pengobatan suportif sampai diagnosis dapat
ditegakkan. Istilah hipotonik infant ditujukan untuk bayi hipotoni, yang menunjukkan
penurunan resistensi terhadap gerakan pasif (1, 2, 3, 4, 5).
Apabila dilihat dari letak kelainannya maka hipotonia dapat dibedakan menjadi
hipotonia tipe sentral dan hipotonia tipe perifer(1, 6).
Untuk menegakkan diagnosis hipotonic infant tipe sentral diperlukan kecermatan
dalam anamnesis, apakah ada penyakit kelainan genetik dalam keluarga, penyakit/ kelainan
saat ibu hamil, riwayat persalinan (trauma lahir, hipoksia, obat-obatan dan lain-lain), riwayat
infeksi kranial pra dan paska natal (1, 2).
Untuk membedakan hipotonk tipe sentral dengan tipe perifer diperlukan pemeriksaan
fisik dan neurologik. Pemeriksaan penunjang lain yang mendukung hipotonia tipe sentral
adalah oksigenasi, keseimbangan asam-basa, perfusi, glukosa, elektrolit, fungsi lumbal,
ultrasonografi, CT-Scan, dan MRI kepala. Pemeriksaan kromosom diperlukan apabila terlihat
dismorfik (1).
Rehabilitasi perlu dilakukan sedini mungkin setelah diagnosis ditegakkan, dengan
tujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan untuk membantu penderita tumbuh
seoptimal mungkin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

1
Floppy infant didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis yang ditandai dengan
melemahnya tonus otot pd seorang bayi atau keadaan dimana seorang bayi tergantung seperti
boneka.(1) Kadang disertai dengan kelemahan, paralise tipe flaksid serta gerakan-gerakan yang
berlebihan. Pada hipotonia bayi baru lahir, harus selalu dinilai umur kehamilannya, oleh
karena sebagian besar bayi preterm menunjukkan keadaan hipotonia (5, 7).

ETIOLOGI
Penyebab floppy infant pada neonatus dan bayi yang lebih besar seringkali berbeda.
Penyebab tersering pada neonatus adalah gangguan susunan saraf pusat dan sistemik seperti
sepsis, hipoglikemik dan lain-lain, sehingga perlu penanganan segera. Pada bayi yang lebih
besar umumnya karena gangguan neuromuskuler yang biasanya lebih perlahan (1, 3).
Hipotonia dibedakan sesuai dengan lokasi kelainannya yaitu : (1). Hipotonia tipe
sentral (serebral); (2). Hipotonia tipe perifer (motor unit). Beberapa keadaan yang dapat
menyebabkan terjadinya hipotonia adalah : (6, 8)
1. Hipotonia karena penyebab sentral :
- Cerebral Palsy
- Penyakit akut neonatus : perdarahan, hipoksia, sepsis
- Down Sindrome
- Prader Willy Sindrome
- Metabolic, nutrisi, dan endokrin : riketsia, hipotiroid, asidosis tubuler ginjal
2. Hipotonia karena penyebab perifer :
- Atrofi muskulus spinal (SMA)
- Miopati metabolik
- Penyakit mitokondria
- Penyakit neuromuskuler lain seperti : distrofia miotonika congenital, distrofia
muskulus congenital, miastenia congenital dan neonatal, neuropati congenital.
PATOFISIOLOGI
Fungsi motorik meliputi pemeliharaan postur, tonus dan gerakan. Fungsi pemeliharaan
postur dan tonus digunakan untuk melawan gravitasi, sedangkan fungsi gerakan dilakukan
untuk mencapai suatu tujuan. Kedua fungsi ini bekerja sama dan saling melengkapi. Misalnya
apabila akan meraih sesuatu/ benda, posisi tubuh dan lengan harus benar terlebih dahulu.
Sebaliknya untuk mempertahankan posisi diperlukan gerakan otot untuk melawan gaya
gravitasi yang cenderung merubah posisi tersebut. Struktur saraf yang bertanggung jawab atas
fungsi motorik tersebar diseluruh susunan saraf, dari korteks serebri sampai ke otot (gambar 1)
(1)
.

2
Gambar 1(diambil dari kepustakaan no 1)

GAMBARAN KLINIS
Secara klinis pada bayi hipotonia akan dijumpai adanya kelemahan otot baik aktif
maupun pasif pada waktu dilakukan pemeriksaan refleks postural. Akibat kelemahan tersebut
akan menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik seperti duduk, merangkak, berdiri
(9)
maupun berjalan . Timbulnya tanda-tanda hipotonia pada bayi aterm sangat bervariasi.
Penurunan tonus otot mungkin sudah terlihat sejak bayi lahir atau timbul pada usia
selanjutnya.
Secara anatomis letak kelainannya terdapat di susunan saraf pusat, susunan saraf tepi
atau pada tingkat otot. Gejala hipotonia yang tampak tergantung dari lokasi kelainan anatomis
serta penyakit yang mendasarinya (misalnya sepsis, meningitis, ensefalitis). Dalam
pemeriksaan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut : (1, 4, 8, 10, 11)
- Dalam posisi berbaring terlentang, bayi pasif/ kurang aktif pada gerakan spontan dengan
posisi “frog leg” (tungkai abduksi maksimal dengan permukaan lateral paha menempel pada
meja periksa) dan lengan terletak lurus/ ekstensi pada sisi tubuh atau fleksi pada siku dengan
tangan di samping kepala. (gambar 2)

3
Gambar 2 (diambil dari kepustakaan no 1)
- Hip sign : tungkai bawah dapat diabduksikan sampai lebih dari 160º
- Tampak pectus excavatus : apabila terdapat kelemahan pada otot dinding dada. Bila bayi
ditempatkan pada posisi duduk, maka kepala akan tunduk, bahu terkulai dan tungkai
tergantung lunglai (gambar 3)

Gambar 3 (diambil dari kepustakaan no 5)


- Brakisefali (pendataran daerah oksipital) dan rambut bagian belakang kepala hilang/ tidak
tumbuh, apabila anak dibiarkan dalam posisi tidur terlentang dalam waktu lama

4
- Pemeriksaan respon traksi (tarikan pada kedua anggota gerak atas), bayi memperlihatkan
head lag dan bayi tidak melakukan gerakan menarik pada lengan (gambar 4)

Gambar 4 (diambil dari kepustakaan no 5 & 12)

- Pemeriksaan suspensi horizontal : bayi terlihat dan terasa seperti boneka kain terjuntai lemas
(kepala, badan dan anggota gerak menggelantung lemas)

Gambar 5 (diambil dari kepustakaan no 5 & 12)

5
- Pemeriksaan suspensi vertikal : kepala jatuh ke depan, tungkai tergantung lemas dan terasa
seperti akan terjatuh lepas dari pegangan pemeriksa oleh karena bahu bayi tidak kuat
menahan berat. (gambar 6)

Gambar 6 (diambil dari kepustakaan no 5)

- Anterior scarf sign, lengan atas penderita dapat ditarik menyilang dada, sehingga siku
penderita dapat melewati batas dagu (gambar 7)

Gambar 7 (diambil dari kepustakaan no 5)


6
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologis serta
pemeriksaan penunjang. Untuk menegakkan diagnosis penderita dengan hipotonia tipe sentral
diperlukan pemeriksaan yang cermat dalam hal :

1. Anamnesis (1, 8)
Dapat dilakukan dengan aloanamnesis. Yang perlu digali/ ditanyakan adalah
mengenai :
Riwayat kehamilan : apakah ada penyakit kehamilan, infeksi selama kehamilan, obat-obatan
atau jamu-jamuan yang diminum, perdarahan selama kehamilan, keadaan gizi ibu
selama hamil, gangguan hormonal atau elektrolit baik endogen (ketoasidosis diabetik)
atau iatrogenik (MgSO4 atau pemberian cairan hipotonik). Perlu ditanyakan pula
mengenai gerakan janin di dalam perut.
Riwayat kelahiran : adakah trauma lahir atau gangguan selama proses persalinan misalnya
partus lama, lilitan tali pusat, obat anestesi yang dapat menyebabkan terjadinya
hipoksia pada bayi. Obat-obatan yang diberikan pada ibu pada saat akan melahirkan
mungkin mengakibatkan bayi lahir dalam keadaan hipotonia. Misalnya obat
phenobarbitol, magnesium sulfat. Keracunan obat anestesi lokal (mepivacaine
hydrochloride) dapat menyebabkan hipotonia pada bayi baru lahir yang disertai dengan
kejang, bradikardi, apneu, pupil midriasis dengan refleks cahaya lambat.
Riwayat keluarga : adakah keluarga yang menderita penyakit kelemahan pada otot, penyakit
neuromuskuler.
Perjalanan penyakit : dapat juga digunakan untuk menegakkan diagnosis. Bayi dengan
kelainan statik sering disebabkan karena gangguan sementara pre dan perinatal atau
anomali kongenital.
Bayi dengan gangguan progresif dan onset yang cepat terlihat pada infeksi, toksik atau
metabolik. Penyakit degeneratif menunjukkan onset perlahan dalam minggu sampai
bulan.
Hipotonia oleh karena sentral misalnya disebabkan oleh : anoksia, perdarahan intra
kranial, atau penyakit akut pada masa neonatus.
Gambaran gangguan fungsi sentral yang menyertai keadaan ini biasanya adalah
penurunan kesadaran serta kejang.
Beberapa petunjuk diagnosis hipotonia sentral : adanya gangguan fungsi otak,
gambaran dismorfik, jari tangan mengepal, malformasi organ lain, refleks postural (-),
refleks tendo normal/ meningkat, pada suspensi vertikal posisi kaki seperti gunting.

2. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis (1, 8)


Dalam pemeriksaan fisik dapat ditemukan hipotonia local atau global. Hipotonia yang
terbatas pada anggota badan inferior dapat disebabkan karena adanya trauma medulla spinalis.

7
Hipotonia satu sisi disebabkan karena hemiplegi, dan hipotonia yang terbatas hanya pada satu
lengan dapat disebabkan oleh karena adanya gangguan pleksus brakhialis.
Kesadaran. Kebanyakan bayi dengan hipotonia perifer, menunjukkan kesadaran baik
dan tampak waspada meskipun tidak dapat bergerak. Sedangkan pada tipe sentral disertai
dengan kejang dan penurunan kesadaran.
Wajah Dismorfik. Biasanya menunjukkan adanya kelainan kromosom (Sindrome
Down, Prader Willi) atau sindroma tertentu non kromosom (Zelleger, Lowe). Hal ini
ditemukan pada tipe sentral, sedangkan tipe perifer tidak ditemukan.
Kekuatan otot. Kelemahan otot ditemukan pada hopotonia tipe perifer, sedangkan
hipotonia tipe sentral tidak menunjukkan atau hanya sedikit menunjukkan kelemahan otot.
Pemeriksaan kelemahan otot sering sulit dilakukan. Pada bayi saat terlentang, apabila dapat
mengangkat lengan atau tungkai dari tempat tidur biasanya tergolong hipotonia sentral.
Paresis saraf otak. Sering menyertai kelainan sentral, namun dapat juga terjadi pada
kelainan perifer.
Perkembangan tonus dan refleks. Pada hipotonia tipe sentral, dengan bertambahnya
usia akan terjadi perubahan kearah yang membaik dari keadaan klinis. Kekuatan otot
bertambah, refleks mulai muncul, tonus bagian distal meningkat (berupa tangan mengepal dan
telapak kaki plantar fleksi.
Refleks. Bayi dengan kelainan susunan saraf pusat menunjukkan refleks yang
meningkat karena efek sentral terhadap refleks tersebut adalah efek inhibisi. Sedangkan pada
bayi dengan gangguan saraf tepi menunjukkan refleks yang berkurang, terutama bila gangguan
terjadi pada kornu anterior atau saraf tepi.
Refleks Babinsky. Ditemukan pada huipotonia tipe sentral dan tipe perifer tidak.

3. Pemeriksaan Penunjang (1, 3, 6)


Pada hipotonia tipe sentral perlu dilakukan pemeriksaan analisa gas darah
keseimbangan asam basa, kadar glukosa, elektrolit, pungsi lumbal, USG kepala, CT Scan atau
MRI kepala. Pemeriksaan kromosom diperlukan bila tampak adanya dismorfik atau penyakit
yang serupa muncul dalam keluarga. Perlu pemeriksaan tiroid, untuk menyingkirkan
hipotiroidisme kongenital. Pemeriksaan lainnya adalah CPK, muscle biopsy, EMG
Hipotonia tipe perifer, dapat disebabkan karena kelainan yang terjadi pada kornu
anterior (neuronopati), saraf tepi (neuropati), sambungan saraf otot, kelainan pada otot
(miopati). Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah CPK, neostigmine, muscle biopsy, EMG.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tergantung pada penyebab hipotonia. Pada hipotonia tipe sentral
tindakan harus cepat dilakukan dengan mencari penyebabnya. Selain perawatan umum dan
medikamentosa diperlukan intervensi gizi dan rehabilitasi medik. Rehabilitasi medik
dilakukan sedini mungkin untuk melatih agar penderita dapat tumbuh seoptimal mungkin. (1)
BAB III
8
REHABILITASI MEDIK

Rehabilitasi medik adalah suatu proses pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan fungsional dan psikologi penderita, dan kalau perlu
(13)
mengembangkan mekanisme kompensasinya agar individu dapat berdikari. Dalam
pelaksanaannya untuk kasus floppy infant diperlukan suatu tim yang terdiri dari dokter
spesialis rehabilitasi medik, perawat, psikolog, pekerja sosial medik, fisioterapis, terapis
okupasi, ortotis prostetis, dan ahli bina wicara. (13, 14)
Penderita dengan floppy infant akan tampak malas berakomodasi terhadap stimulasi
lingkungan perawatan. Disamping itu penderita sulit bangun secara sempurna, bahkan malas
untuk makan. Bayi ini jarang menangis walaupun distimulasi dengan keras. Apabila menangis,
tangisan lemah dengan volume suara rendah dan waktu yang singkat. Hal ini berhubungan
dengan hipotonik. Tonus punggung, interkostal, otot-otot leher, dan kemampuan respirasi
akan menurun. Bayi-bayi ini tampak sangat nyaman dalam posisi apa saja (15).
Untuk mengatasi tonus otot yang menurun, maka beberapa bayi pada saat posisi
terlentang tampak kearah ekstensi terhadap permukaan kasur, hal ini ditujukan untuk
memperoleh kestabilan. Sikap mengantuk membatasi bayi terhadap lingkungan dan
menurunnya kemampuan interaksi dengan pengasuhnya. Penderita malas makan, menetek
kurang kuat dan menelannya kacau, sehingga suplemen kalori intake dilakukan lewat tabung
nasogastrik. Resiko hilangnya sensorik dan gagal tumbuh kembang cukup tinggi bagi bayi
hipotonic infant karena mereka jarang berinteraksi (3, 4, 15). Disamping itu akan muncul problem
lain seperti : kekuatan yang menurun, kontraktur oleh karena berada dalam posisi sama dalam
beberapa waktu (16).
Mengingat problem yang muncul seperti diatas dapat menimbulkan suatu disabilitas
dan bahkan handicap bagi penderita dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya,
seperti timbulnya abnormalitas postur, gangguan kemampuan duduk, berdiri, berjalan,
menelan, dan komunikasi sehingga program rehabilitasi medik dilakukan sedini mungkin
yaitu segera setelah diagnosis ditegakkan sehingga mengurangi handicap yang timbul dan
mengarahkan penderita kedalam keadaan yang mandiri dalam hal kapasitas fungsional sehari-
hari. Program yang dilakukan adalah program rehabilitasi lengkap meliputi : fisioterapi, terapi
okupasi, terapi wicara, ortose, psikologi, sosial medik (13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21).

PROGRAM FISIOTERAPI
Untuk kasus ini diperlukan program fisioterapi berupa : posisioning, pembebatan
ekstremitas, terapi exercise, dan hidroterapi (13, 15, 16, 17, 18, 19, 20).

Posisioning (pengaturan posisi) (15)

9
Posisi bayi hipotonik menunjukkan adanya hiperekstensi leher pada posisi telentang
atau miring dan tampak memblokir perkembangan mobilitas dan kontraksi di daerah leher.
Seperti yang diuraikan oleh “Blay dan Queen Tan”, gerakan hiperekstensi leher bisa
mempercepat perkembangan postur abnormal dan pola mobilitas. Dari hiperekstensi leher, lalu
perlu penyesuaian postur abnormal agar stabil selanjutnya menyebakan terjadinya blocking
daerah bahu, pelvis dan pinggul. Komponen profil postur yang beresiko tinggi terhadap
abnormalitas penderita meliputi : (15)
1. Leher yang hiperekstensi
2. Bahu yang terangkat dengan scapula menonjol
3. Menurunnya gerakan lengan midline (gerakan tangan mengarah ke sumbu tubuh,
misalnya : gerak tangan ke mulut)
4. Tubuh terlalu ekstensi
5. Pelvis tidak bisa digerakkan
6. Gerakan kaki tak dapat melawan gravitasi.
Menggunakan selimut atau gulungan kain atau busa bisa dimasukkan dalam program
pengaturan posisi bayi hipotonik untuk memperbaiki ketidak seimbangan ekstensi. Bayi
dibantu dengan posisi fleksi dalam keadaan miring dan gulungan kain di belakang kepala,
tubuh dan paha akan memberikan sandaran, dimana postur bayi bisa stabil sementara posisi
fleksi midline tetap dipertahankan (gambar 8)

Gambar 8 (diambil dari kepustakaan no 15)


Bayi-bayi kecil dapat dipertahankan pada posisi fleksi simetris dengan selimut panjang
yang dikaitkan dengan peniti tiap-tiap ujungnya pada kasur. Bayi yang lebih besar perlu
stabilisasi tambahan dengan kantong air atau pasir pada gulungan selimut (gambar 9)

10
Gambar 9 (diambil dari kepustakaan no 15)

Penempatan tabung indotrachea sering menyebabkan postur hiperekstensi leher pada


bayi sehingga memerlukan ventilasi mekanis, maka komponen penyebab ini dapat dihindari
dengan pengaturan posisi tabung indotrachea, untuk memungkinkan mobilitas yang cukup dan
postur tubuh yang fleksi. (gambar 10)
Kasur air merupakan bantuan yang sangat efektif bagi program perawatan dan
pengaturan posisi. Kasur tersebut memberikan permukaan yang empuk dan sering berubah
sehingga membantu perubahan postur. Keuntungan lain dari kasur ini adalah meningkatkan
stimulasi vestibuler dan proprioseptik, menurunkan apneu, berkurangnya bentuk rata dari
kepala dan membaiknya kondisi lutut.

Gambar 10 (diambil dari kepustakaan no 15)


Pembebatan Ekstremitas (15)
Pembebatan ekstremitas lebih sesuai dari pada splint dan lebih efektif dalam
memperoleh mobilitas dari pada hanya dengan latihan lingkup gerak sendi.

11
Terapist yang tidak memiliki pengetahuan yang baik mengenai prinsip dan tehnik
artrokinetik sebaiknya tidak mencoba prosedur pembebatan karena melibatkan artikulasi sendi
ke posisi yang benar.
Pembebatan dengan pita sutera atau rajutan atau bahan katun untuk mengurangi
deformitas mempunyai peranan yang baik, karena tidak menimbulkan komplikasi kulit atau
vaskuler bahkan pada bayi-bayi yang tidak memiliki sensasi ekstremitas.

Terapi Exercise (16, 17, 18).


Terapi exercise adalah suatu program latihan yang bertujuan terapeutik/ penyembuhan/
pemulihan. Prinsip exercise adalah ketahanan dan kekuatan. Terapi ini dibagi menjadi 6 yaitu :
ROM exercise (latihan lingkup gerak sendi/ mobilitas sedni), strengthening exercise (latihan
penguatan), endurance exercise (latihan ketahanan), coordination exercise (latihan
koordinasi), latihan dengan sasaran khusus, dan latihan dengan pola khusus seperti bobath.
ROM exercise dilakukan secara pasif maupun aktif. ROM exercise pasif dilakukan
dengan tujuan memelihara mobilitas sendi ketika kontrol dari otot-otot volunter dan sendi
hilang. Sasarannya adalah otot dengan kekuatan 0 – trace (T = 1). Sedangkan ROM exercise
aktif dilakukan dengan tujuan untuk memelihara lingkup gerak sendi dan kekuatan minimal
akibat kurang aktivitas dan menstimulasi sistem kardiopulmoner. Sasarannya adalah otot
dengan kekuatan di atas trace (poor ke atas/ P = 2). Latihan ini dilakukan secara terus menerus
dan rutin untuk persiapan latihan kekuatan.
Strengthening exercise diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan otot,
syaratnya kekuatan otot harus di atas fair (F = 3) dengan beban awal 35% dari kemampuan
otot yang ada. Ada 3 macam : isometrik, isotonik, dan isokinetik.
Endurance exercise diberikan untuk melatih ketahanan. Latihan ini bisa bersifat
conditioning (diberikan pada orang sehat untuk meningkatkan daya tahan) maupun
reconditioning (diberikan pada orang sakit untuk mengembalikan daya tahan atau melatih
daya tahan)
Coordination exercise adalah latihan untuk melakukan koordinasi baik koordinasi
trunkus, anggota gerak atas maupun bawah. Latihan ini dapat dilakukan dengan alat-alat
permainan atau dengan aktivitas bermain dibagian terapi okupasi.
Latihan dengan sasaran khusus, diberikan terutama untuk reedukasi otot, mobilisasi
dinding dada dan ADL. Penderita dengan hipotonia akan mengalami gangguan pula dalam
otot-otot pernafasannya sehingga mobilisasi dinding dada perlu diberikan, dan hal ini
dilakukan pada anak yang kurang aktif dimana brething exercise tidak bisa dilakukan.
Latihan dengan pola khusus, yang salah satunya adalah bobath exercise diberikan
dengan tujuan untuk memberikan inhibisi, stimulasi dan fasilitasi. Awalnya metode ini
diterapkan pada serebral palsi saja, namun dengan berkembangnya neurofisiologi yang
ternyata dapat membantu kasus ini, maka sejak tahun 1970 metode ini lebih dikenal dengan
nama NDT (Neuro Developmental Treatment), sehingga penggunaannya juga mulai
12
berkembang tidak hanya pada serebral palsi saja, tetapi sekarang banyak pula digunakan pada
gangguan motorik. Ada 2 faktor yang perlu diperhatikan yaitu : penanganan yang dini (early
treatment) dan pengulangan (repetition). Untuk hipotoni penanganan yang kita berikan adalah
fasilitasi dan stimulasi (19, 20).
Semua latihan-latihan di atas dilakukan untuk mempersiapkan mobilitas penderita baik
untuk persiapan duduk, berdiri, transfer maupun berjalan.

Hidroterapi (15)
Hidroterapi pada bayi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980 di Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat Mediga di Tacon Washington, namun belum dilakukan di Indonesia.
Indikasinya adalah untuk bayi yang selama rehabilitasi medis stabil dalam komponen
hidroterapi. Hidroterapi sangat baik diberikan pada :
1. Abnormalitas tonus otot dimana terdapat hipotonik yang mempengaruhi kualitas dan
kuantitas gerakan spontan, memberikan keseimbangan pada postur dan gerakan. (Gambar
11)
2. Abnormalitas perilaku yang ditandai dengan mengantuk berlebihan selama ditangani.
Hidroterapi ini menyebabkan interaksi sosial dengan pengasuh.
Bayi dianggap secara medis stabil untuk mendapatkan perawatan dengan air apabila
perawatan ventilator dan infus telah dihentikan, ketika tampak temperatur stabil, dan tidak
memperlihatkan apneu ataupun bradikardi.

Gambar 11 (diambil dari kepustakaan no 15)

Untuk hidroterapi dipersiapkan air dengan temperatur 372ºC – 383ºC selama


hidroterapi. Denyut jantung dan tekanan darah direkam, postur sebelumnya dan keadaan
waktu hidroterapi diamati. Hidroterapi diberikan 1 jam sebelum makan supaya bayi bangun,
dan supaya postur sumbu tubuh fleksi sehingga mendukung dalam pemberian makan yang
optimal.

13
Efek samping hidroterapi harus dimonitor dengan cermat karena bisa menyebabkan
kelelahan dan hilangnya temperatur. Kelelahan bayi dan kacaunya kemampuan bisa
menyebabkan perlunya pemberian makan dengan nasogastrik tube. Tehnik-tehnik hidroterapi
dipadukan dengan program pendidikan kepada orang tua bayi untuk persiapan setelah pulang
dari rumah sakit. Keuntungan dari hidroterapi antara lain adalah biaya murah, waktu
penanganan singkat (10 – 15 menit) dan sedikit tenaga yang dibutuhkan. Karena hipotermia
merupakan resiko hidroterapi, maka temperatur tubuh harus diukur secara rutin sebelum dan
sesudah pelaksanaan hidroterapi.

PROGRAM TERAPI OKUPASI


Program ini hampir sama dengan fisioterapi, hanya saja latihan disini menggunakan
alat-alat modalitas permainan sederhana maupun modern sehingga anak dapat bermain sambil
diterapi. Penderita dapat diberikan latihan duduk, berdiri sambil bermain sekaligus melatih
ketahanan dengan alat-alat talting table (seating table, standing table) (16).

Penanganan Motor Sensoris (15)


Penggunaan modalitas sensoris untuk taktil vestibuler, proprioseptik, visual dan
stimulus pendengaran untuk memudahkan perkembangan bayi telah dilaporkan bermanfaat
dan dibahas oleh banyak pengarang.
Tujuan utama penanganan sensori motor adalah untuk mencapai interaksi maksimum
dengan orang tua dan pengasuhnya dan memberikan pengalaman postural normal dan pola
gerak yang normal.
Bagi bayi hipotonik letargik, penanganannya difokuskan untuk membangkitkan
keadaan siaga atau penanganan kontraksi pada muskulus proksimal hipotonik (leher dan
bahu).
Pengalaman gerakan awal yang normal ini meliputi gerakan tangan ke mulut, protraksi
atau retraksi bahu, pengangkatan panggul anterior atau posterior, gerakan bebas ekstremitas
melawan gravitasi serta menegakkan kepala dan meluruskan tubuh secara sesaat.
Mengayun bayi agak cepat atau dengan gerakan menghentak pada bayi yang tidak
digendong, sering menyebabkan respon siaga pada bayi yang mengantuk. Bila dilakukan oleh
orang tua selama kunjungan di tempat perawatan. Tehnik ini menyebabkan ketenangan sikap
siaga dan interaksi antara bayi dan orang tua yang maksimal.
Stimulasi audiovisual mungkin bisa digabungkan dalam semua bagian perawatan anak.
Contohnya : wajah seseorang, mainan yang berwarna jelas dan bisa digerakkan.

TERAPI WICARA (15)


Penderita dengan hipotoni biasanya mengalami gangguan dalam menelan, sehingga
sulit dalam pemberian makanan. Perlu diberikan latihan menelan dibagian terapi wicara
seperti latihan oral motor

14
Oral Motor Terapi (15)
Kesulitan pemberian makan adalah hal umum pada bayi-bayi yang tidak matang dalam
perkembangan neurologisnya, tonus otot yang abnormal, tertekannya refleks oral atau
penggunaan tabung endotracheal yang terlalu lama untuk ventilasi mekanis. Variabel lain yang
mempengaruhi makan meliputi menurunnya mobilitas lidah, lidah yang menjulur,
mengendornya bibir, regurgitasi nasal, mulut yang hipersensitif terhadap taktil, pola respirasi
yang tak teratur, stabilitas proksimal yang tak cukup dari otot leher hipotonik.
Strategi manajemen selama pemberian makan meliputi pengaturan posisi semifleksi
dengan dagu sedikit rata dan dengan menggunakan tarikan ke bawah pada daerah bahu
aterolateral secara bilateral (gambar 12)

Gambar 12 (diambil dari kepustakaan no 15)

Teknik fasilitasi taktil otot wajah, stimulasi taktil struktur intra oral khusus,
penggunaan pacifier selama pemberian makan, stabilisasi manual rahang dan penambahan
formula. Pemberian makan bayi pada posisi miring bisa memperbaiki posisi lidah, khususnya
jika terjadi retraksi lidah yang jelas. (Gamnbar 13)

15
Gambar 13 (diambil dari kepustakaan no 15)

Hidroterapi 1 jam sebelum memberikan makan akan sangat membantu kemampuan


bayi dengan persiapan tonus otot tubuh secara keseluruhan, fasilitas otot-otot oral, dan
meningkatnya kesiagaan. Hasil-hasil yang diharapkan dari oral motor treatment yang
didukung oleh riset klinis meliputi :
1. Meningkatnya jumlah hisapan nutrisi sesudah dilakukan stimulasi peroral
2. Meningkatnya volume cairan yang masuk selama menyusui
3. Meningkatnya berat badan
4. Mempersingkat waktu perawatan di rumah sakit
Pemantauan toleransi fisiologis bayi dan intervensi oral motor sangat penting. Jumlah
denyut jantung dipantau dengan alat kardiorespirograf atau monitor tanda-tanda vital neonatal.
Situasi jaringan terhadap oksigen secara rutin diikuti melalui oksimeter pulsa.
Perubahan warna dan tanda-tanda perilaku stres juga diamati. Regurgitasi dan aspirasi susu/
formula ke dalam paru bisa terjadi selama penanganan oral motor atau pemberian makan.
Komplikasi pneumonial, kardiopulmonal arest dan aspiksia bisa terjadi.
Keberhasilan selama aktivitas menyusui merupakan variabel penting dalam
mengembangkan hubungan antara bayi dengan orang tua secara positif. Orang tua yang
mempunyai problem menyusui mengalami stres lebih tinggi dari pada orang tua yang bayinya
makan dengan baik.
Karena perubahan menyusui akibat disfungsi motor merupakan defisit fungsi pada bayi
yang beresiko tinggi untuk sequele neuromotor berikutnya. Dukungan awal untuk orang tua
guna mengatasi tantangan situasi pemberian makan memerlukan tahapan, sikap dan perilaku
terhadap tindak lanjut perkembangan berikutnya.

ORTOTIK-PROSTETIK
Penderita dengan hipotonia akan mengalami hambatan dalam mobilitasnya, duduk,
berdiri maupun berjalan. Untuk itu keterlibatan ortotik-prostetik sangat diperlukan didalam
pemberian alat bantu (ortose) untuk membantu penderita berdiri seperti back splint, standing

16
frame. Alat bantu untuk mobilisasi seperti AFO, KAFO, HKAFO, rolling walker, caster cart.
Alat bantu ini diperlukan oleh penderita yang mengalami perbaikan dalam tonus otot dan
kekuatan otot (16).

PSIKOLOGI
Pada dasarnya tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya cacat yang mana
menimbulkan ketergantungan pada keluarga maupun lingkungannya, akibat terhambatnya
proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Lebih jauh menimbulkan dampak handicap
berupa gangguan emosi dan interaksi sosial serta terancamnya masa depan anak tersebut.
Dalam hal ini diperlukan suatu suport mental bagi orang tua agar keadaan ini bisa diterima
dengan lapang dada, tetap merawat anak dengan sabar dan tidak menimbulkan stres dan putus
asa (13).

SOSIAL MEDIK
Kasus-kasus hipotonia memerlukan perawatan khusus dan kontinyu untuk menuju
kearah perbaikan, paling tidak setelah besar anak diharapkan bisa mandiri. Hal ini akan
membutuhkan banyak biaya, sehingga keterlibatan sosial medik diperlukan untuk
menjembatani keluarga penderita dengan institusi-institusi yang diperlukan apabila mengalami
masalah dalam pendanaan, sehingga diharapkan bisa mencarikan jalan keluranya. Disamping
itu diperlukan kunjungan rumah (home visite) untuk melihat kondisi dan lingkungan rumah
yang sebenarnya. Home visite diperlukan untuk bahan pertimbangan bagi dokter didalam
menentukan jenis alat bantu yang cocok diberikan kepada penderita sehingga dapat digunakan
secara optimal (13).

(15)
PENDIDIKAN PADA ORANG TUA
Pendidikan kepada orang tua maupun pengasuh/ orang yang merawat penderita
diberikan oleh dokter yang merawat. Pendidikan ini diberikan agar orang tua terlibat secara
penuh terhadap perawatan anaknya dan mampu megurangi stres. Program pendidikan juga
diharapkan dapat meringankan biaya perawatan. Komponen proses pendidikan pada orang tua
meliputi :
1. Diskusi tentang sasaran program, tujuan dan pelayanan
2. Orientasi rencana tindak lanjut sesudah keluar dari rumah sakit
3. Bimbingan untuk mengenali dan mengerti temperamen bayi, tanda-tanda stres dan
kemampuan berinteraksi dengan lingkungan
4. Instruksi khusus mengenai aktivitas perkembangan dan teknik-teknik penanganan.
Bila dipergunakan dengan instruksi verbal dan demonstrasi paket panduan tertulis dan
gambar-gambar yang mengarah kepada kebutuhan bayi dapat memperbaiki keterampilan
orang tua dan juga meningkatkan pengertiannya terhadap program ini.

17
BAB IV
RINGKASAN
 Floppy Infant/ Hipotonic Infant adalah merupakan masalah, baik dalam hal diagnosis
maupun penetalaksanaan
 Dalam diagnosis hipotonik infant, yang penting adalah mempersempit diagnosis dengan
menentukan topografi kelainan
 Untuk menegakkan diagnosis hipotonic infant tipe sentral diperlukan kecermatan dalam
melakukan anamnesis (mengenai prenatal, natal dan paska natal), pemeriksaan fisik
neurologis, laboratoris dan sering perlu pemeriksaan lain seperti : CT-Scan, USG, MRI
 Tanda-tanda khas hipotonia adalah ditemukannya posisi frog leg, head lag, anterior scraft
sign, suspensi vertikal dan horisontal yang abnormal. Bila bayi ditempatkan pada posisi
duduk maka kepala akan tunduk dan bahu terkulai
 Penatalaksanaan medikamentosa pada hipotonic infant tipe sentral harus cepat dengan
mencari penyebabnya dan dilakukan rehabilitasi medik sedini mungkin untuk melatih agar
penderita tumbuh optimal
 Rehabilitasi medik lengkap diperlukan meliputi : fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara,
ortotik-prostetik, psikologi dan sosial medik.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro, HD. Diagnosis dan Penatalaksanaan Floppy Infant, dalam Perinatologi
Tahun 2000, Pusponegoro, T.S, dkk, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1993 : 141-55
2. Eng. GD. Disease of the Motor Unit. In : Pediatric Rehabilitation, Molnar, G.E, William &
Wilkins, 1985 : 299-333
3. Berg BO. The Hypotonic Infant. In : Child Neurology A Clinical Manual, Second Edition.
JB Lippincott Company, Philadelphia, 1994 : 279-286
4. Swaiman KF. Muscular Tonee. In : Pediatric Neurology Principle and Practice, second
edition, Mosby, 1994 : 227-233
5. Dejong RN. Neurologic Examination, J.B. Lippincott Company, Fifth Edition, 1992 : 379-
380
6. Fenichel GM. The Hypotonic Infant. In : Clinical Pediatric Neurology, A signs and
symptoms approach, WB Sauders Company, 1988 : 147-168
7. David RB. Pediatric Neurology For The Children, Appleton & Lance, Virginia, 1992 : 55,
357, 358, 475
8. Soetomenggolo TS. Pemeriksaan Neurologi pada Neonatus. Dalam : Perinatologi Tahun
2000, Pusponegoro, T.S, dkk. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1993 : 110-123
9. Baird H, Gordon E. The infant or child who seems floppy. Dalam : Neurological of infants
and children, Clinincs in developmental medicine no. 84/85. Philadelphia. JB Lippincott
Co. 1983 : 116-120
10. Brett EM, Lake BD. Neuromuscular disorder : I. Primary muscle disease and anterior horn
cell disorders. In : Brett EM, Pediatric Neurology, Churchill Livingstone, 1983 : 50-52
11. Menkes JH. Disease of the Motor Unit. In : Child Neurology, Lea Febinger, Philadelphia,
1975 : 463-484
12. Dunn DW, Epstein LG. The Floppy Infasnt. In : Decision Making In Child Neurology.
B.C. Decker Inc, Toronto, Philadelphia, 1987 : 92-3
13. Widjaya S. Cacat dan pengelolaannya. Makalah Simposium Rehabilitasi Anak, Manado,
26 November 1992
14. Widjaya S. Rehabilitasi Medik pada Poliomielitis. Makalah Simposium Rehabilitasi Anak,
Manado, 26 November 1992
15. Sweeney JK, Swanson MW. Neonatal Care and Follow-up for infants at Neuromotor Risk.
In : Umphred DA, Neurological Rehabilitation, Third Edition. Mosby, St Louis, 1995 :
220-232
16. Braddom RL. Rehabilitation of Patients With Swallowing Disorders. In : Physical
Medicine & Rehabilitation. W.B. Saunders Company, 1996 : 533-52

19
17. Joynt R.L, Findley TW, Boda W, Daum MC. Therapeutic Exercise. In : Rehabilitation
Medicine Principles and Practice. Editor Deliza JA, second Ed, J.B. Lippincott Company,
1993 : 526-50
18. Gardiner MD. Muscle Strength. In : The Principles of Exercise Therapy, third ed, London
G. Bell and Sons, LTD, 1975 : 142-56
19. Suyono A. Terapi Bobbath pada Kelainan Tumbuh Kembang Anak, TITAPI X, Yogyakarta
10-11 Desember 1993
20. Trombly, CA. The Bobbath Neurodevelopmental Approach. In : Occupational Therapy for
Physical Dysfunction, (ed. Trombly, CA), William & Wilkins, Second edition, 1983 : 83-
97

20

Anda mungkin juga menyukai