Anda di halaman 1dari 17

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS

AUTISM

MAKALAH PEDIATRI

Disusun Oleh :

CHAREDYS CENDEKIA GUSTI

(1910306004)

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena

atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul

“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Autism”.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini tidak terlepas dari

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan

hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang terkait, yaitu kepada :

1. Ibu Lailatuz Zaidah, S.ST.FT.,M.Or. selaku pembimbing lahan stase

muskuloskeletal Profesi Fisioterapi Universitas Aisyiyah Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak penulis sangat harapkan.

Nganjuk, 04 Agustus 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................................iii

BAB I.........................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................................................2

C. Tujuan.....................................................................................................................................................2

D. Manfaat Penulisan..................................................................................................................................2

BAB II.......................................................................................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................................3

A. Definisi.............................................................................................................................................3

B. Epidemiologi..........................................................................................................................................4

C. Patofisiologi......................................................................................................................................4

D. Gejala Klinis....................................................................................................................................6

E. Etiologi.............................................................................................................................................7

F. Kriteria............................................................................................................................................9

G. Klasifikasi......................................................................................................................................10

H. Diagnosa Banding..........................................................................................................................11

H. Penatalaksanaan Fisioterapi Autisme...........................................................................................12

BAB III....................................................................................................................................................13

PENUTUP...............................................................................................................................................13

A. Kesimpulan.........................................................................................................................................13

B. Saran...................................................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan jaman saat ini semakin menunjukkan perhatian


terhadap pendidikan anak. Pemerintah maupun masyarakat semakin sadar
bahwa pendidikan merupakan hak semua anak, termasuk anak
berkebutuhan khusus. Tantangan utama dalam melakukan pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus adalah diperlukannya metode dan materi
yang khusus sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak (Ballerina,
2016).
Anak merupakan sebuah anugrah yang besar bagi orang tuanya.
Keberadaannya sangat diharapkan dan ditunggu serta disambut dengan
bahagia. Semua orang tua mengharapkan memiliki anak yang sehat,
membanggakan dan sempurna, akan tetapi terkadang kenyataan yang tidak
terjadi tidak sesuai dengan keinginan. Sebagian orang mendapatkan anak
yang diinginkannya dan sebagian lagi tidak. Beberapa diantaranya
memiliki anak dengan kebutuhan – kebutuhan khusus, seperti autisme.
Gangguan Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan
kecacatan perkembangan yang mengakibatkan tantangan sosial,
komunukasi dan perilaku. Gejala akan terjadi pada anak usia dini dan akan
berlanjut sepanjang usia (Susanti & Arifadhi, 2019).
Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan anak.
Gangguan autis setidaknya ditunjukkan dengan kurangnya kemampuan
anak pada kemampuan interaksi sosial, komunikasi verbal dan non-verbal,
dan adanya perilaku berulang. Penanganan semakin dini akan
menghasilkan prognosis yang semakin baik juga. Anak autis pada
umumnya akan mengalami hambatan dalam belajar, berkaitan dengan
kurangnya kemampuan sosial dan pola perilaku yang tidak sama dengan
anak pada umumnya (National Institute of Mental Health, 2008).

1
2

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana penatalaksanaan
fisioterapi pada kasus autisme ?

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus autisme.
2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui definisi, anatomi, patologi, etiologi, tes spesifik,
pemeriksaan penunjang, diagnose banding, gejala klinis, dan
penatalaksaan fisioterapi pada TOS.

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat teoritis
Meningkatkan pengetahuan bagi pembaca agar dapat memahami dan
mengerti penyakit autisme dan peran fisioterapis di dalamnya.
2. Manfaat praktis
a. Bagi fisioterapis
Manfaat penulisan makalah ini bagi fisioterapis yaitu fisioterapis
dapat memahami dan menentukan intervensi yang tepat untuk
autisme.
b. Bagi instansi akademik
Manfaat bagi instansi akademik yaitu dapat dipakai sebagai referensi
bagi institusi pendidikan dalam hal mengembangkan peran
fisioterapis autisme.
c. Bagi pembaca
Manfaat penulisan makalah ini bagi pembaca yaitu menjadi sumber
informasi serta referensi supaya dapat mengetahui autism dan
penatalaksanaan fisioterapi di dalamnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Autis berasal dari bahasa Yunani yaitu “auto” yang artinya sendiri.
Penyandang autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Autis
diartikan sebagai keadaan yang dikuasai oleh kecenderungan pikiran atau
perilaku yang berpusat pada diri sendiri. Sedangkan Early infantile
diartikan sebagai berat dalam komunikasi dan tingkah laku dan biasanya
dimulai sejak lahir, khas dengan keasyikan pada diri sendiri, penolakan
berat dari diri hubungan dengan orang lain, termasuk tokoh ibu. Keinginan
untuk hal – hal yang sama preokupasi dengan obyek – obyek yang tidak
bersenyawa dan gangguan perkembangan bahasa (Susanti & Arifadhi,
2019).
Autis adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat
komplek/berat dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi gangguan
pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, serta
gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya.
Gejala autis muncul pada usia sebelum 3 tahun. Pada anak autis secara
pertumbuhan fisik terlihat tidak seperti mengalami gangguan, namun
melihat kondisi perkembangan mental dan intelegensi yang tertinggal pada
anak autis dibandingkan dengan anak normal pada umunya, ternyata hal
tersebut membawa dampak pada kemampuan motorik anak autis
(Permadi, 2019).

3
4

Gambar 1. Autisme

B. Epidemiologi
Center for Diseases Control and Prevention (CDC) di Amerika
Serikat pada Maret 2013 melaporkan prevalensi autisme yang meningkat
hingga 1:50 dalam kurun waktu setahun terakhir. Hal tersebut bukan
hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan
Amerika namun juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.
Prevalensi autisme di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak
atau berkisar 0,15-0,20%. Jika angka kelahiran di Indonesia 6 juta per
tahun maka jumlah penyandang autisme di Indonesia akan bertambah
0,15% atau 6.900 anak per tahunnya.5 Sumber lain menyatakan,
prevalensi rata-rata secara global adalah 62:10.000 atau ada 1 dari 160
anak dengan ASD.6 Kasus ASD pada anak laki-laki ditemukan lebih
tinggi empat sampai lima kali dibanding pada anak perempuan. Namun,
anak perempuan dengan ASD sering disertai dengan keterbelakangan
mental yang berat (Lubis & Suwandi, 2016).
C. Patofisiologi
Autis merupakan penyakit yang bersifat multifactor. Teori mengenai
patofisiologi dari autis diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Faktor genetika
Faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan
autisme, walaupun bukti kongkrit masih sulit ditemukan. Hal
tersebut diduga karena adanya kelainan kromosom pada anak
autisme, namun kelainan itu tidak selalu berada pada kromosom
yang sama. Penelitian masih terus dilakukan sampai saat ini.
Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih
banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen
pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki
dua kromosom X, sementara laki-laki hanya memiliki satu
kromosom X. Kegagalan fungsi pada gen yang terdapat di salah
satu kromosom X pada anak perempuan dapat digantikan oleh gen
pada kromosom lainnya. Sementara pada anak laki-laki tidak
5

terdapat cadangan ketika kromosom X mengalami keabnormalan.


Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X
bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom
X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil
pada perilaku yang berkaitan dengan autis.
2. Kelainan anatomis otak
Kelainan anatomis otak ditemukan khususnya di lobus parietalis,
serta pada sistem limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autisme
mempunyai kelainan di lobus parietalis otaknya, yang
menyebabkan anak tampak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan
juga ditemukan pada otak kecil (serebelum), terutama pada lobus
ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris,
daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian).
Jumlah sel Purkinye di otak kecil juga ditemukan sangat sedikit,
sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamin,
menyebabkan gangguan atau kekacauan lalu lintas impuls di otak.
Kelainan khas juga ditemukan di daerah sistem limbik yang
disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan tersebut menyebabkan
terjadinya gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi.
Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, sering terlalu agresif
atau sangat pasif. Amigdala juga bertanggung jawab terhadap
berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan,
penciuman, perabaan, rasa dan rasa takut. Hipokampus
bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat.
Gangguan hipokampus menyebabkan kesulitan penyimpanan
3. Disfungsi metabolic
Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan kemampuan
memecah komponen asam amino phenolik. Amino phenolik
banyak ditemukan di berbagai makanan dan dilaporkan bahwa
komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya gangguan
tingkah laku pada pasien autis. Sebuah publikasi dari Lembaga
Psikiatri Biologi menemukan bahwa anak autis mempunyai
6

kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat


sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme
komponen amino phenolik. Komponen amino phenolik merupakan
bahan baku pembentukan neurotransmiter, jika komponen tersebut
tidak dimetabolisme baik akan terjadi akumulasi katekolamin yang
toksik bagi saraf. Makanan yang mengandung amino phenolik itu
adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, dan apel.
4. Kelebihan opioid dan hubungan antara diet protein kasein dan
gluten
Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna.
Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida
dari kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan
menimbulkan “efek morfin” di otak anak. Pori-pori yang tidak
lazim kebanyakan ditemukan di membran saluran cerna pasien
autis, yang menyebabakan masuknya peptida ke dalam darah. Hasil
metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan
dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan
dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan
kasein menurunkan kadar peptida opioid serta dapat
mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Sehingga,
implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk
memperoleh kesembuhan pasien.
D. Gejala Klinis
Biasanya tidak ada riwayat perkembangan yang jelas, tetapi jika
dijumpai abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun. Selalu dijumpai
hendaya kualitatif dalam interaksi sosialnya yang berupa tidak adanya
apresiasi adekuat terhadap isyarat sosio-emosional, yang tampak sebagai
kurangnya respon terhadap emosi orang lain dan atau kurang modulasi
terhadap perilaku dalam konteks sosial; buruk dalam menggunakan isyarat
sosial dan lemah dalam integrasi perilaku sosial, emosional dan
komunikatif; dan khususnya, kurang respon timbal balik sosio-emosional.
Selain itu juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi yang berupa
7

penggunaan sosial dari kemampuan bahasa yang ada; hendaya dalam


permainan imaginatif dan imitasi sosial; buruknya keserasian dan
kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan; buruknya fleksibilitas
dalam bahasa ekspresif dan relative kurang dalam kreatifitas dan fantasi
dalam proses pikir; kurangnya respon emosional terhadap ungkapan verbal
dan nonverbal orang lain; hendaya dalam meggunakan variasi irama atau
tekanan modulasi komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk
menekankan atau mengartikan komunikasi lisan.
Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan
yang terbatas, pengulangan dan stereotipik. Ini berupa kecenderungan
untuk bersifat kaku dan rutin dalam aspek kehidupan sehari-hari;ini
biasanya berlaku untuk kegiatan baru atau kebiasaan sehari-hari yang rutin
dan pola bermain. Terutama sekali dalam masa dini anak, terdapat
kelekatan yang aneh terhadap benda yang tidak lembut. Anak dapat
memaksakan suatu kegiatan rutin seperti ritual dari kegiatan yang
sepertinya tidak perlu; dapat menjadi preokuasi yang stereotipikdengan
perhatian pada tanggal, rute dan jadwal; sering terdapat stereotipik
motorik; sering menunjukkan perhatian yang khusus terhadap unsur
sampingan dari benda (seperti bau dan rasa); dan terdapat penolakan
terhadap dari rutinitas atau tata ruang dari kehidupan pribadi (perpindahan
dari mebel atau hiasan dalam rumah) (Griadhi, et al., 2016).
E. Etiologi
Penyebab autisme masih berupa spekulasi dan tidak diketahui
secara pasti. Faktor yang diduga berperan antara lain adalah faktor
psikososial dan keluarga, biologis, genetik, imunologis, perinatal,
neuroanatomis, dan biokimia. Pada beberapa penelitian, saudara kandung
anak autistik juga mengalami gangguan autistik. Sindrom X-fragile atau
keadaan patahnya kromosom X, diperkirakan juga terkait dengan kejadian
gangguan autistik. Keadaan lain berupa munculnya beberapa tumor jinak
dengan penurunan autosom dominan atau sklerosis multipel ditemukan
pada frekuensi yang lebih tinggi pada anak gangguan autistik. Ibu yang
berusia lanjut saat melahirkan, dan ibu yang diterapi dengan valproat atau
8

thalidomide saat mengandung dapat meningkatkan risiko anak menderita


ASD.
Penyebab terjadinya autis diantaranya yaitu faktor genetik. Gen
yang terlibat dalam gangguan autis ratusan jumlanya, gen tersebut menjadi
penyebab autis karena mengalami mutase. Faktor lingkungan juga
berkontribusi terhadap gangguan autis. Faktor tersebut diantaranya polusi
udara, nutrisi, dan merkuri. Seorang ibu selama masa kehamilan pertama
hingga bulan ketiga yang tidak memperhatikan asupan makanan atau
nutrisi kehamilannya lebih mungkin melahirkan anak dengan gangguan
autis karena masa kehamilan tersebut merupakan masa perkembangan
janin yang sangat rentang dengan faktor luar. Contoh lain yaitu ibu yang
mengandung harus berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan, salah
satunya yaitu ikan laut. Ikan laut yang kita ketahui terkadang mengandung
merkuri atau logam lainnya, sehingga ketika tidak baik dalam
pengolahannya dapat ikut masuk dalam darah janin. Gangguan autis
diidentifikasi memiliki kandungan logam darah yang tinggi dibandingkan
dengan anak normal lainnya.
Faktor lain penyebab autis adalah terjadinya gangguan sistem imun
salah satunya adalah neuroimun. Neuroimun yang tidak normal dapat
mempengaruhi kerja sistem saraf sehingga memicu terjadinya
neuroinflamasi yang merupakan salah satu faktor penyebab gangguan
autis.
Bayi yang lahir prematur diketahui memiliki potensi mengalami
gangguan autis karena dipengaruhi oleh keterlambatan perkembangan
sehingga bayi tersebut akan sering mengamali gangguan seperti alergi
lingkungan, infeksi, dan stress. Faktor tersebut menjadi salah satu
penyebab pengaktifan sel mast. Sel mast merupakan bagian dari jaringan
ikat multifungsi dan terutama berhubungan dengan beberapa penyakit.
Proses pengaktifan sel mast akan menimbulkan suatu reaksi salah satunya
yaitu degranulasi sel atau pelepasan mediator kimia dari dalam sel
tersebut. Mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast penting dalam
proses alergi, sistem kekebalan serta respon inflamasi. Aktifasi sel mast
9

dapat terjadi juga ketika adanya pengaruh lingkungan, protein pemicu


dalam otak, serta gen tertentu (Wulandari, et al., 2018).
F. Kriteria
Berikut adalah kriteria diagnosis autism menurut Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders-V (DSM-V). Catatan: memenuhi
kriteria A, B, C, dan D (masa kini ataupun pada masa lampau) (Lubis
& Suwandi, 2016).
1. Hendaknya persisten pada komunikasi dan interaksi sosial dalam
semua konteks, tidak berdasarkan keterlambatan perkembangan
umum, yang bermanifestasi dari 3 hal berikut
 Hendaknya pada hubungan timbal balik secara emosional
dan sosial
 Hendaknya pada perilaku komunikasi nonverbal yang
digunakan untuk interaksi sosial
 Hendaknya dalam mengembangkan dan mempertahankan
hubungan sebaya sesuai tingkat perkembangan
2. Pola perilaku, minat, dan aktivitas stereotipik berulang dan terbatas
yang bermanifestasi setidaknya 2 dari hal berikut
 Stereotip atau pengulangan dalam bahasa, gerakan motorik,
ataupun penggunaan suatu objek.
 Kepatuhan terhadap rutinitas, pola ritual, kebiasaan verbal
ataupun nonverbal atau sangat kesulitan terhadap
perubahan.
 Sangat kaku, memiliki ketertarikan tetap terhadap sesuatu
sehingga terlihat abnormal dalam segi intensitas ataupun
tingkat konsentrasi.
 Reaksi yang kurang atau berlebihan terhadap rangsang
sensoris ataupun ketertarikan tidak biasa dari rangsangan
sensoris lingkungan.
3. Gejala harus muncul pada usia dini (semuanya tidak akan muncul,
sampai saat tuntutan sosial melebihi kapasitas yang terbatas).
10

4. Keseluruhan gejala membatasi dan mengganggu secara fungsional


setiap hari.

G. Klasifikasi
Menurut Cohen & Bolton (1994) dalam Hadrian J (2008), autism
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya.
Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale
(CARS). Skala ini menilai derajat kemampuan anak untuk berinteraksi
dengan orang lain, melakukan imitasi, memberi respon emosi, penggunaan
tubuh dan objek, adaptasi terhadap perubahan, memberikan respon visual,
pendengaran, pengecap, penciuman dan sentuhan. Selain itu, Childhood
Autism Rating Scale juga menilai derajat kemampuan anak dalam perilaku
takut/gelisah melakukan komunikasi verbal dannon verbal, aktivitas,
konsistensi respon intelektual serta penampilan menyeluruh.
Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :
1. Autis ringan
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata
walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan
sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-
ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi secara dua arah meskipun
terjadinya hanya sesekali. Tindakan-tindakan yang dilakukan masih
bisa dikendalikan dan dikontrol dengan mudah. Karena biasanya
perilaku ini dilakukan masih sesekali saja, sehingga masih bisa
dengan mudah untuk mengendalikannya.
2. Autis sedang
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata,
namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil.
Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan
gangguan motorik yang stereotipik cenderung agak sulit untuk
dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3. Autis berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-
tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-
11

mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus-


menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha mencegah, namun
anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya, bahkan
dalam kondisi berada dipelukan orang tuanya, anak autis tetap
memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa
kelelahan kemudian langsung tertidur. Kondisi yang lainnya yaitu,
anak terus berlarian didalam rumah sambil menabrakkan tubuhnya
ke dinding tanpa henti hingga larut malam, keringat sudah
bercucuran di sekujur tubuhnya, anak terlihat sudah sangat kelelahan
dan tak berdaya. Tetapi masih terus berlari sambil menangis. Seperti
ingin berhenti, tapi tidak mampu karena semua diluar kontrolnya.
Hingga akhirnya anak terduduk dan tertidur kelelahan.

H. Diagnosa Banding
Berikut adalah diagosa banding autism.

1. Sindroma Aspeger Sindroma Aspeger mirip dengan autisme


infantile, dalam hal kurang interaksi sosial. Tetapi mereka masih
mampu berkomunikasi cukup baik. Anak sering memperlihatkan
perilakunya yang tidak wajar dan minat yang terbatas.

2. Attention Deficit Hiperactive Disorder atau (ADHD) ADHD dapat


diterjemahkan dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas atau GPPH. Hiperaktivitas adalah perilaku motorik
yang berlebihan.

3. Anak “Giftred” Anak Giftred adalah anak dengan intelegensi yang


mirip dengan intelegensi yang super atau genius, namun memiliki
gejala-gejala perilaku yang mirip dengan autisme. Dengan
intelegensi yang jauh diatas normal, perilaku mereka seringkali
terkesan aneh. Prasetyono (2008) berpendapat bahwa autis
merupakan gangguan perkembangan pervasive.
12

H. Penatalaksanaan Fisioterapi Autisme


1. Neurosenso Stimulasi
Suatu metode beupa stimulasi sensoris pada receptor taktil ( seluruh
permukaan tubuh ) sebagai pintu utama semua rangsangan / stimulus
yang masuk.
2. Massage
Massage dengan cara manual adalah salah satu cara perawatan tubuh
dengan menggunakan kedua tangan pada bagian kedua tangan pada
bagian telapak tangan maupun jari-jari tangan. Massage bertujuan
sebagai theurapetic.
3. Brain Gym
Pembaharuan pola bergerak untuk dapat membantu mengoptimalkan
kemampuan belajar anak dengan meningkatkan pengaliran energi
(vitalitas) ke otak. Brain Gym bertujuan untuk mengintregasikan
setiap bagian otak untuk membuka bagian otak yang sebelumnya
tertutup atau terhambat.
4. Oral Function Stimulation
Suatu metode intervensi atau terapi untuk menstimulasi atau
meningkatkan kemampuan oral kontrol.
5. Exercise
Exercise yang di berikan antara lain : latihan penguatan otot-otot
tangan, latihan penguatan otot punggung, latihan tengkurap dari sisi
kanan dan kiri, latihan duduk dari posisi tengkurap, latihan duduk
dari posisi miring, latihan duduk dari posisi terlentang.
13

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Autis adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat
komplek/berat dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi gangguan
pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, serta
gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya.
Gejala autis muncul pada usia sebelum 3 tahun. Beberapa modalitas
fisioterapi yang bisa diaplikasikan pada pasien autisme diantaranya
neurosenso stimulasi, massage, brain gym, oral function stimulation, dan
exercise atau latihan

B. Saran
Fisioterapis disarankan untuk menguasai berbagai program
penatalaksanaan dan latihan pada kondisi autisme agar intervensi yang
diberikan kepada pasien maksimal. Program terapi dilakukan oleh
fisioterapis yang terlatih untuk memastikan kenyamanan pasien.
Hendaknya fisioterapis benar-benar melakukan tugasnya
professional, yaitu melakukan melakukan pemeriksaan dengan teliti
sehingga dapat menegakkan diagnose dan problem fisioterapi yang
tepat. Penegakan diagnosis adalah awal dari keberhasilan
intervensi fisioterapi.
Hendaknya fisioterapis meningkatkan ilmu pengetahuan serta
pemahaman terhadap hal-hal yang berhubungan dengan studi kasus
karena tidak menutup kemungkinan adanya terobosan baru dalam
suatu pengobatan yang membutuhkan pemahaman lebih lanjut.
14

DAFTAR PUSTAKA

Ballerina, T., 2016. Meningkatkan Rentang Perhatian Anak Autis dalam


Pembelajaran Pengenalan Huruf. Journal of Disability Studies, 3(2), pp. 245-266.

Griadhi, Ratep, N. & Westa, W., 2016. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Autisme.
Jurnal UNUD, pp. 1-14.

Lubis, F. & Suwandi, F. J., 2016. Paparan Prenatal Valproat dan Autism Spectrum
Disorder (ASD) pada Anak. Jurnal Majority, 5(3), pp. 85-90.

Permadi, W. A., 2019. Fisioterapi Manajemen Komprehensif Praklinik. 1 ed.


Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Susanti, N. & Arifadhi, T., 2019. Pengaruh Penatalaksanaan Fisioterapi Pada


Anak Kondisi Autisme Dengan Modalitas Play Exercise (Perceptual Motor
Program) Dan Hidroterapi (Balance And Coordination) Di Ypac Surakarta.
Jurnal PENA, 33(2), pp. 53-62.

Wulandari, E., Darmawijaya, P. I. & Permadi, W. A., 2018. Kombinasi Senam


Otak Dan Aktivitas Fungsional Rekreasi (Afr) Terhadap Perkembangan Motorik
Halus Anak Autis Di Yayasan Mentari Fajar Jimbaran Badung Bali. Jurnal
Kesehatan Terpadu, 2(1), pp. 14-19.

Anda mungkin juga menyukai