Anda di halaman 1dari 15

DYSTROPHIA MUSCULORUM PROGRESSIVA

OLEH :

NURUL AULIA POHAN

2010306042

PENDIDIKAN FISIOTERAPI PROFESI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS AISYIYAH YOGYAKARTA


HALAMAN PENGESEHANAN
DAFTAR ISI
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Dystrophia Musculorum Progressiva

Dystrophia Musculorum Progressiva adalah salah satu dari sembilan

distrofi otot. Sebelumnya yang dimaksud dengan Dystrophia Muscular

Dystrophy (DMP) adalah suatu kelompok yang terdiri leboh dari 30 penyakit

genetik yang ditandai dengan kelemahan progresif dan degenerasi pada otot

rangka yang mengendalikan Gerakan. Distrofi otot adalah sekelompok

kondisi genetik yang ditandai oleh kelemahan otot progresif dan wasting

(atrofi). Jenis Dystrophia Musculorum Progressiva adalah kondisi terkait

yang terutama memengaruhi otot rangka, yang digunakan untuk pergerakan,

dan otot jantung. Bentuk-bentuk distrofi otot ini terjadi hampir secara

eksklusif pada pria (Honorio, et all. 2019).

Penyakit distrofi muscular progresif atau Dystrophia Musculorum

Progressiva merupakan penyakit kongenital terkait kromosom X yang

disebabkan adanya mutasi pada gen distrofin. Distrofi otot Duchenne

merupakan penyakit otot turunan yang tersering, mempengaruhi 1 per 3500

kelahiran bayi laki-laki.1 Hampir semua pasien terdiagnosis saat usia 4

sampai 5 tahun, ketika mereka mulai menunjukan keterbatasan fisik termasuk

kesulitan berjalan. Fungsi napas berkurang seiring berjalnnya usia begitu pula

dengan kardiomiopati , yang merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas. Tanpa intervensi, rata-rata kematian sekitar usia 19 tahun

(Kamdar, et all 2016).


B. Etiologi Dystrophia Musculorum Progressiva

Kondisi yang paling sering mempengaruhi anak laki-laki, karena cara

penyakit ini diturunkan. Ibu dari laki-laki ini dianggap heterozigot untuk alel

resesif X-linked ini. Kelainan resesif ini sangat jarang terjadi pada wanita

karena anak perempuan yang merupakan pembawa penyakit (wanita dengan

gen yang cacat, tetapi tidak memiliki gejala sendiri) masing-masing memiliki

50% kemungkinan memiliki penyakit. Anak-anak perempuan masing-masing

memiliki kemungkinan 50% menjadi pembawa, dan anak perempuan harus

mewarisi banyak alel mutan dari ibu dan ayah mereka yang terkena

dampaknya. DMD terjadi pada sekitar 1 dari setiap 3.600 bayi lakilaki,

karena ini adalah kelainan bawaan, risikonya mencakup riwayat keluarga

DMD (Honorio, et all. 2019).

C. Patologi Dystrophia Musculorum Progressiva

Jelas bahwa distrofin memainkan peran penting dalam sel. Dengan

menghubungkan dengan laminin di terminal-C melalui kompleks

dystroglycan, aktin di terminal-N, dan pengulangan seperti spektrin 11-17

dalam domain batang, distrofin memberikan stabilitas pada sel dan mencegah

kerusakan dari kontraksi otot. Ini juga terlibat dalam pensinyalan melalui

hubungannya dengan kompleks dystroglycan (DGC) di domain yang kaya

sistein dan C-terminus dan neuronal nitric oxide synthase (nNOS) pada

domain batangnya. Lokasi mutasi / penghapusan dalam gen dystrophin

berkorelasi dengan tingkat keparahan kardiomiopati. Penghapusan yang

mempengaruhi domain terminal-amino (promotor otot, ekson 1 atau daerah

intronik) dikaitkan dengan DCM onset dini, sedangkan penghapusan pada

domain rod dan engsel 3 menghasilkan onset DCM onset lambat


(pertengahan 40-an). Tidak adanya protein ini, seperti halnya pada

Dystrophia Musculorum Progressiva, membuat sel-sel kerangka dan jantung

lebih rentan terhadap kerusakan pada kontraksi otot. Peningkatan

permeabilitas membran sel juga telah diamati, mungkin karena peroksidasi

lipid oleh fosfolipase A2 atau spesies oksigen reaktif (ROS). Ini

memungkinkan protein yang lebih besar, seperti CK, untuk melintasi

membran sel. Lebih lanjut, banyak jalur pensinyalan di dalam sel dipengaruhi

dan faktor-faktor ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam lingkungan

intraseluler, yang selanjutnya mengakibatkan kerusakan otot sel dan akhirnya

nekrosis. Patologi otot berikutnya ditandai dengan degenerasi dan regenerasi

sel, di mana sel-sel otot akhirnya digantikan oleh jaringan fibrotic (Jufan, et

all. 2016).

D. Tanda Dan Gejala Dystrophia Musculorum Progressiva

Anak-anak yang terkena mungkin mengalami keterlambatan

keterampilan motorik, seperti duduk, berdiri, dan berjalan. Mereka biasanya

bergantung pada kursi roda pada masa remaja. Dalam kebanyakan kasus,

kelemahan otot menjadi jelas nanti di masa kanakkanak atau di masa remaja

dan memburuk pada tingkat yang jauh lebih lambat (Kamdar, et all 2016).

Dystrophia Musculorum Progressiva dikaitkan dengan kondisi

jantung yang disebut kardiomiopati. Bentuk penyakit jantung ini melemahkan

otot jantung, mencegah jantung memompa darah secara efisien. Pada

Dystrophia Musculorum Progressiva, kardiomiopati biasanya dimulai pada

masa remaja. Kemudian, otot jantung membesar, dan masalah jantung

berkembang menjadi kondisi yang dikenal sebagai kardiomiopati dilatasi.

Tanda dan gejala kardiomiopati dilatasi dapat mencakup detak jantung tidak
teratur (aritmia), sesak napas, kelelahan ekstrem (kelelahan), dan

pembengkakan pada tungkai dan kaki (Jufan, et all. 2016).


BAB II

PROSES FISIOTERAPI

A. Assesment Fisioterapi

1. Anamesis

a) Keluhan Utama

Pasien usia 7 tahun mengeluh masih belum bisa berdiri dan

kelemahan padakedua kedua kakinya sehingga sulit untuk berdiri.

Keluhan terjadi saat anak memasuki usia 1 tahun. Anak belum bisa

berjalan hingga saat ini.Sebelumnya anak berkembang dengan

normal. Pada usia 3 bulan anak mampu tengkurap, usia 6 bulan

mampu berguling, 9 merangkak, dan pada umur 14 bulan anak masih

belum bisa berjalan

b) Riwayat Penyakit Sekarang : -

c) Riwayar Penyakut Dahulu dan Penyerta :

Ibu hamil dan melahirkan dengan normal tanpa ada gangguan yang

berarti. Keluarga juga tidak memiliki riwayat penyakit DMP.

2. Pemeriksaan Objektif

a) Tekanan darah, Denyut Nadi, Pernapasan, Temperatur, Tinggi Badan,

Berat Badan

b) Inspeksi

Statis :

 Neck : cenderung fleksi

 Trunk : lordosis ringan dan dada agak membusung ke depan

 Pelvic : torsi anterior


 Hip, knee, dan ankle : kelemahan pada ankle, sehingga pasien

hanya berdiri dengan menumpu kedua lututnya.

Dinamis :

 Pasien belum bisa berjalan secara mandiri.

 Pasien tidak mampu berdiri dari posisi duduk sehingga

membutuhkan bantuan orang lain

c) Palpasi :

 Teraba tonus otot yang lembek pada hampir di seluruh tubuh

pasien seperti otot fleksor lengan, abdominal, fleksor hip, dan

dorsi dan plantar fleksi ankle.

 Teraba suhu pasien yang normal, tidak ada perbedaan suhu

antara kaki dan kepala

 Teraba otot yang spasme pada otot paravertebrae seperti

erector spine dan latissimus dorsi

d) Kardiopulmonal : -

e) Neuromuskuler : -

f) Integument : -

3. Pengukuran Khusus

a) Pemeriksaan Sensimotor

Sensoris Keterangan
Visual 2
Auditori 2
Touch (hand & foot) 2
Smell 2
Taste 2
Tactile 2
Proprioceptive 1
Vestibullar 1

b) Pemeriksaan Kekuatan Otot dengan XOTR


Grub Otot Nilai Otot Nilai Otot Nilai Otot Nilai
X O T Otot
R

Kepala dan X
Leher

Trunk X

AGA Dextra X

AGB Dextra T

AGA Sinistra X

AGB Sinistra T

Keterangan :
X= Normal
0= tidak ada gerakan
T= ada kontraksi, tapi tidak ada
gerakan
R= gerakan yang terjadi karena
reflek

B. Diagnosis Fisioterapi

1. Impairment (Body Structure & Function)

Adanya gangguan respirasi karena anak mudah lelah dan nafas pendek,

adanya gangguan sensoris pada vesitibular , postur trunk mulai lordosis,

tonus postural hipotonus karena sulit melawan gravitasi saat hendak

berdiri dari posisi duduk. Adanya kelemahan otot trapezius, deltoid,

gluteus, quadriceps, dan gastroc

2. Functional Limitation

a) Pasien sudah bisa :

Berdiri dengan menumpu lutut

b) Pasien belum bisa :

Berdiri dan mengangkat lengan dengan full ROM


3. Participation & Restriction

Pasien bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar meskipun dengan

sedikit bantuan

C. Program Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Panjang

a) Anak mampu berdiri dari posisi duduk meskipun dengan sedikit

bantuan

b) Anak mampu mengangkat lengan ke atas sehingga dapat melakukan

aktivitas fungsional tangan dengan baik

c) Menjaga postur agar tidak timbul problem sekunder seperti skoliosis,

lordosis, maupun kifosis 2.

2. Tujuan Jangka Pendek

a) Meningkatkan kondisi umum pasien terutama pada problem respirasi

b) Meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kontraktur pada otot AGA

dan AGB

c) Meningkatkan tonus otot postural agar bisa melawan gravitasi

d) Memperbaiki gangguan sensoris vestibular

D. Rencana Intervensi

1. Breathing exercise

2. Stretching

3. Strengthtening

4. Latihan gerak pasif dan aktif

5. NDT fasilitasi berdiri dari posisi duduk

E. Intervensi
1. Breathing excercise –

Tujuannya meningkatkan kekuatan otot pernapasan, meningkatkan

ekspansi thoraks, rileksasi. Responnya yaitu anak mampu mengambil

nafas dalam dan menghembuskannya dengan maksimal, adanya gerakan

pada thoraks. Posisi terapis duduk di samping pasien , posisi pasien tidur

telentang diganjal bantal pada kepala . Pelaksanaannya terapis meminta

pasien meminta pasien mengambil nafas dalam dari hidung dan

dihembuskan lewat mulut. Terapis memegang dada pasien untuk

merasakan nafas dan gerakan thoraks . Dilakukan dengan dosis tarik nafas

8 kali hitungan, lalu dihembuskan. Diulangi 8 kali/sesi

2. Stretching (penguluran)

Tujuannya untuk mencegah kontraktur otot, rileksasi otot, meningkatkan

LGS. Responnya anak merasa nyaman saat diulur dan target LGS dapat

terpenuhi. Posisi terapis duduk di samping pasien dan posisi pasien tidur

telentang diganjal bantal pada kepala. Pelaksanaannya latihan dilakukan

dengan cara menjauhkan origo dan insersio otot dengan cara mengulur

otot tersebut berlawanan dengan fungsi otot tersebut. Stretching dilakukan

pada otot-otot yang potensial kontraktur. Salah satunya otot bantu

pernapasan, dilakukan denga dosis ringan

3. Latihan gerak pasif dan aktif

Latihan ini bertujuan untuk menjaga sifat fisiologis otot, mencegah

kontraktur otot, rileksasi otot, meningkatkan LGS, meningkatkan

kekuatan otot. Responnya sendi bergerak full ROM dan tidak ada gerakan

kompensasi maupun asosisasi. Posisi terapis duduk di samping pasien.

Posisi pasien diposisikan sesuai dengan otot yang akan dilatih.


Pelaksanaan terapis melakukan latihan gerak pasif dan pada otot-otot

yang mengalami kelemahan. Dosis dilakukan pengulangan 6-8 kali tiap

otot.

F. Evaluasi

1. Pencapaian anak pada sesaat setelah di terapi

2. Hal-hal yang belum tercapai

G. Dokumentasi
BAB III

PENUTUP

A. Implikasi Klinis

Dystrophia Musculorum Progressiva adalah kelainan genetik teraput

X-linked yang biasa terjadi pada anak laki-laki karena ibu dari laki-laki ini

dianggap heterozigot untuk alel resesif X-linked ini. Kelainan resesif ini

sangat jarang terjadi pada wanita karena anak perempuan yang merupakan

pembawa penyakit (wanita dengan gen yang cacat, tetapi tidak memiliki

gejala sendiri) masing-masing memiliki 50% kemungkinan memiliki

penyakit. DMP terjadi pada sekitar 1 dari setiap 3.600 bayi laki-laki. Gejala

DMP, yaitu mempengaruhi otot-otot pinggul, area panggul, paha dan bahu,

dan kemudian otot rangka (sukarela) di lengan, kaki, dan badan. Betis

semakin membesar. Pada awal remaja, otot jantung dan pernapasan juga

terpengaruh. Untuk pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan fisik;

pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, EMG dan biopsi;

serta pemeriksaan genetik. Setelah tahap pemeriksaan, penderita selanjutnya

melakukan penatalaksanaan bersama multidisplin keahlian. Salah satunya

dengan fisioterapi sebagai penatalaksana yang memeliharaan fungsi otot dan

dapat mencegah terjadinya kontraktur pada penderita DMD, dan

mempertahan bentuk tubuh pasien.


DAFTAR PUSTAKA

AB Usman, et all. 2018. Dilemma in the Management of Duchenne Muscular


Dystrophy in a Resource Limited Settings. J. Nepal Paediatr. Soc. Vol 38, Issue 2
Laura E. 2018. Rehabilitation Management of the Patient With Duchenne Muscular
Dystrophy. Pediatrics, Volume 142, No. 2
Randeree L, Eslick GD. 2018. Eteplirsen for paediatric patients with Duchenne
muscular dystrophy: A pooled-analysis. J Clin Neurosci. Volume 49, No. 1-6.
Jufan, et all. 2016. Duchenne Musculer Dystrophy. Jurnal Komplikasi Anestesi ~
Volume 3 Nomor 2, Maret 2016
Honorio, et all. 2019. Physical Exercise as a Tool to Delay the Development Process
of Duchenne Muscular Dystrophy DOI: http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.84453
Kamdar, Garry and Daniel J. (2016). Dystrophin-Deficient Cardiomyopathy. Journal
of the  American College of Cardiology. Vol. 67. Diakses dari
http://www.onlinejacc.org/content/67/21/2533/F4 (16 Maret 2019)

Anda mungkin juga menyukai