Anda di halaman 1dari 30

Hematopoiesis adalah proses pembentukan komponen sel darah melalui proses

proliferasi, diferensiasi, dan maturasi. Pembentukan komponen sel darah terbentuk


dalam tempat yang berbeda sesuai dengan usia individu.
0-2 bulan (yolk sac)
2-7 bulan (hati, limpa)
5-9 bulan (sumsum tulang)
Sumsum tulang (pada semua tulang)
Vertebra, tulang iga, sternum, tulang tengkorak, sacrum dan pelvis,
ujung proximal femur

Secara garis besar perkembangan hematopoiesis dibagi dalam 3 periode:


1) Hematopoiesis yolk sac (megaloblastik atau primitif)
Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah fertilisasi. Mula-mula
terbentuk dalam blood island yang merupakan pelopor dari sistem vaskuler dan
hemopoiesis. Selanjutnya sel eritroid dan megakariosit dapat diidentifikasikan dalam
yolk sac pada masa gestasi 16 hari.
Sel induk primitif hematopoiesis berasal dari sel mesoderm mempunyai respon
terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoietin, IL-3, IL-6 dan faktor stem. Sel
induk hematopoiesis (blood borne pluripotent hematopoietic progenitors) mulai
berkelompok dalam hati janin pada masa gestasi 5-6 minggu dan pada masa gestasi 8
minggu blood island mengalami regresi.
2) Hematopoiesis hati (definitif)
Hematopoiesis hati berasal dari sel stem pluripotent yang berpindah dari yolk sac.
Perubahan tempat hematopoiesis dari yolk sac ke hati dan kemudian sumsum tulang
mempunyai hubungan dengan regulasi perkembangan oleh lingkungan mikro, produksi
sitokin dan komponen merangsang adhesi dari matriks ekstraseluler, dan ekspresi pada
reseptor.
Pada masa gestasi 9 minggu, hematopoiesis sudah terbentuk dalam hati.
Hematopoiesis dalam hati yang terutama adalah eritropoiesis, walaupun masih
ditemukan sirkulasi granulosit dan trombosit. Hematopoiesis hati mencapai puncaknya
pada masa gestasi 4-5 bulan kemudian mengalami regresi perlahan-lahan. Pada massa
pertengahan kehamilan, tampak pelopor hematopoietik terdapat di limpa, thimus,
kelenjar limfe dan ginjal.
3) Hematopoiesis medular
Merupakan priode terakhir pembentukan sistem hematopoiesis dan dimulai sejak masa
gestasi 4 bulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang rawan dan tulang panjang
dengan proses reabsorpsi.

Pada masa gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang diisi jaringan
hematopoietik yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel darah. Dalam
perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah diambil alih oleh sumsum
tulang, sedangkan hepar tidak berfungsi membuat sel darah lagi. Sel mesenkim yang
mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah menjadi kurang, tetapi tetap ada
dlaam susmsum tulang, ahti, limpa, kelenjar getah bening dan dinding usus, dikenal
sebagai sistem retikuloendotelial.
Hematopoiesis bermula dari suatu sel induk pluripoten bersama, yang dapat
menyebabkan timbulnya berbagai jalur sel yang terpisah. Diferensiasi sel terjadi dari
sel induk menjadi jalur eritroid, granulositik, dan jalur lain melalui progenitor
hemopoietik terikat (commitedhaemopoietic progenitor) yang terbatas dalam potensi
perkembangannya.
Atas dasar pemeriksaan kariotipe yang canggih (kromosom), semua sel darah
normal dianggap berasal dari satu sel induk pluripotensial dengan kemampuan
bermitosis. Sel induk dapat berdiferensiasi menjadi sel induk limfoid dan sel induk
mieloid yang menjadi sel-sel progenitor. Diferensiasi terjadi pada keadaan terdapat
faktor perangsang koloni, seperti eritropoietin untuk pembentukan eritropoiesis ddan
G-CSF untuk pembentukan leukosit. Sel progenitor mengadakan diferensiasi melalui
satu jalan. Melalui serangkaian pembelahan dan pematangan, sel-sel ini menjadi sel
dewasa tertentu yang beredar dalam darah.
Hemopoiesis merupakan pembentukan sel-sel darah dari immatur menjadi matur
dimana terjadi proliferasi dan diferensiasi sel-sel progenitor yang membentuk
komponen sel darah oleh stem sel (sel induk).
Proses Hematopoiesis dalam sumsum tulang dinamakan Hematopoiesis
Intramedullar, sedangkan hematopoiesis di luar sumsum tulang juga dapat terjadi
dalam keadaan patologis dan dinamakan Hematopoiesis Ekstramedullaer.
Sel stem primitif yang umum dalam sumsum memiliki kemampuan untuk
bereplikasi, berproliferasi dab berdiferensiasi sendiri menjadi sel progenitor yang
semakin terspesialisasi, setelah mengalami banyak pembelahan sel dalam sumsum,
dan kemudian membentuk sel matur (Sel darah merah, granulosit, monosit, trombosit
dan limfosit).
Hemopoiesis bermula dari suatu sel induk prulipoten bersama, yang dapat
menyebabkan timbulnya berbagai jalur sel yang terpisah. Fenotip sel induk manusia
yang tepat belum diketahui, tetapi pada uji imunologik, sel ini adalah CD34+, CD38dan tampak seperti limfosit kecil atau sedang. Diferensiasi sel terjadi dari sel induk
menjadi jalur eritroid, granulositik, dan jalur lain melalui progenitor hemopoietik
terikat yang terbatas dalam potensi perkembangannya. Adanya berbagai sel
progenitor yang berbeda dapat ditunjukkan melalui teknik biakan in vitro. Progenitor
yang sangat dini diperiksa dengan melakukan biakan pada stroma sumsum tulang
sebagai sel pemula biakan jangka panjang, sedangkan progenitor lanjut biasanya

diperiksa pada media semi-padat. Salah satu contohnya adalah prekursor mieloid
campuran yang terdeteksi paling dini, yang menyebabkan timbulnya granulosit,
eritrosit, monosit, dan megakriosit, dan dinamakan CFU (colony forming unit / unit
pembentuk koloni pada media biakan agar)-GEMM. Sumsum tulang juga merupakan
tempat asal utama limfosit dan terdapat bukti adanya sel prekursor sistem mieloid
dan limfoid.
FAKTOR
MAJOR BIOLOGICAL ACTIVITIES IN VIVO
Erythropoietin (Epo) Menstimulasi eritropoiesis
GM CSF
Menstimulasi granulopoiesis dan produksi makrofag
G CSF
Menstimulasi granulopoiesis dan proliferasi dari beberapa sel
leukimia
M CSF
Menstimulasi produksi makrofag
IL-3 (Multi CSF)
Menstimulasi granulosit, monosit, eusinofil, sel eritroit,
megakariosit dan produksi mast sel
Thrombopoietin
Menstimulai thrombopoiesis
1.

ERYTHROPOIESIS
Prekursor sel darah merah yang dapat dikenali paling awal adalah pronormoblas.
Maturasi stage :
Stem cell Pronormoblast Basophilic Normoblast Polychromatophilic normoblast
Ortochromatophilic normoblast retikulosit Sel darah merah matur.

2.

GRANULOPOIESIS
Prekursor granulosit yang dikenali paling awal adalah Promielosit.
Maturasi Stage :
Myeloblast Promyelocyte Myelocyte Metamyelocyte Band form Matur PMN
granulosit.

3.

LYMPHOCYTOPOIESIS
Maturasi Stage :
Pre T cell (Thymic Lymphoblast) Early thymocyte (Large Cortical Thymocyte)
Intermediate Thymocyte (Small Cortical Thymocyte) Late Thymocyte (Medullary
Thymocyte) Mature T Cell.

4.

THROMBOPOIESIS
Maturasi Stage :
Pluripotential stem cell CFU Meg Megakariosit Megakariosit maturasi Platelet
Shading.

1.

METABOLISME SEL DARAH

ERITROSIT
Untuk mengangkut hemoglobin agar berkontak erat dengan jaringan dan agar
pertukaran gas berhasil, eritrosit yang berdiameter 8 m harus dapat secara berulang
melalui mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3,5 m, untuk mempertahankan
hemoglobin dalam keadaan tereduksi (ferro) dan untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik walaupun konsentrasi protein (hemoglobin) tinggi di dalam sel.
Perjalanan secara keseluruhan selama masa hidupnya yang 120 hari diperkirakan
sepanjang 480 km (300 mil). Untuk memenuhi fungsinya ini, eritrosit adalah cakram
bikonkaf yang fleksibel dengan kemampuan menghasilkan energi sebagai adenosin
trifosfat (ATP) melalui jalur glikolisis anaerob (Embden-Meyerhof) dan menghasilkan
kekuatan pereduksi sebagai NADH melalui jalur ini serta sebagai nikotinamida adenin
dinukleotida fosfat tereduksi (NADPH) melalui jalur pintas heksosa monofosfat (hexose
monophosphate shunt). Metabolisme eritrosit dapat melalui dua jalur, yaitu :
a. Jalur Embden-Meyerhof
Dalam rangkaian reaksi biokimia ini, glukosa di metabolisme menjadi laktat.
Untuk tiap molekul glukosa yang dipakai, dihasilkan dua molekul ATP dan dengan
demikian dihasilkan dua ikatan fosfat energi tinggi. ATP menyediakan energi tinggi
untuk mempertahankan volume, bentuk, dan kelenturan eritrosit. Eritrosit
mempunyai tekanan osmotik lima kali lipat plasma dan adanya kelemahan intrinsik
membran menyebabkan pergerakan Na+ dan K+ yang terjadi terus menerus.
Diperlukan pompa natrium ATPase membran dan pompa ini menggunakan satu molekul
ATP untuk mengeluarkan 3 ion natrium dari sel dan memasukkan dua ion kalium ke
dalam sel.
Jalur Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan oleh enzim
methemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin (hemoglobin teroksidasi)
yang tidak berfungsi, yang mengandung besi ferri (dihasilkan oleh oksidasi sekitar 3%
hemoglobin tiap hari) menjadi hemoglobin tereduksi yang atif berfungsi 2,3-DPG yang
dihasilkan pada pintas Luebering-Rapoport (Luebering-Rapoport shunt), atau jalur
samping pada jalur ini membentuk suatu kompleks 1:1 dengan hemoglobin yang
penting dalam regulasi afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
b. Jalur heksosa monofosfat (pentosa fosfat)
Sekitar 5% glikolisis terjadi melalui jalur oksidatif ini, dengan perubahan
glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfoglukonat dan kemudian menjadi ribulosa-5-fosfat.
NADPH dihasilkan dan berkaitan dengan glutation yang mempertahankan gugus
sulfhidril (SH) tetap utuh dalam sel, termasuk SH dalam hemoglobin dan membran
eritrosit. NADPH juga digunakan oleh methemoglobin reduktase lain untuk
mempertahankan besi hemoglobin dalam keadaan Fe2+ yang aktif secara fungsional.

Pada salah satu kelainan eritriosit diturunkan yang sering ditemukan (yaitu defisiensi
glukosa-6-fosfat dehidrogenase/G6PD), eritrosit sangat rentan terhadap stres oksidasi.

HEMOGLOBIN
Fungsi utama eritrosit adalah membawa O2 ke jaringan dan mengembalikan
karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru. Untuk mencapai pertukaran gas ini,
eritrosit mengandung protein khusus yaitu hemoglobin. Tiap eritrosit mengandung
sekitar 640 juta molekul hemoglobin. Tiap molekul hemoglobin (Hb) A pada orang
dewasa normal (hemoglobin yang dominan dalam darah setelah usia 3-6 bulan) terdiri
atas empat rantai polipeptida 22, masing-masing dengan gugus hemenya sendiri.
Berat molekul HbA adalah 68.000. Darah orang dewasa normal juga mengandung dua
hemoglobin lain dalam jumlah kecil, yaitu HbF dan HbA2. Keduanya juga mengandung
rantai , tetapi secara berurutan, dengan rantai dan , selain rantai .
Perubahan utama dari hemoglobin fetus ke hemoglobin dewasa terjadi 3-6 bulan
setelah lahir.
Sintesis heme erutama terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian reaksi
biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim A oleh kerja
enzim kunci yang bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu asam -aminolevulinat
(ALA) sintase. Piridoksal fosfat (vitamin B6) adalah suatu koenzim untuk reaksi ini,
yang dirangsang oleh eritropoietin. Akhirnya, protoporfirin bergabung dengan besi
dalam bentuk ferro (Fe2+) untuk membentuk heme, masing-masing molekul heme
bergabung dengan satu rantai globin yang dibuat pada poliribosom. Suatu tetramer
yang terdiri dari empat rantai globin masing-masing dengan gugus hemenya sendiri
dalam suatu kantung kemudian dibentuk untuk menyusun suatu molekul
hemoglobin.
2. PATOMEKANISNE GEJALA GEJALA
a. Hubungan serangga dengan gejala
Serangga merupakan mahluk hidup yang mempunyai racun dalam tubuhnya.
Racun tersebut dapat masuk kedalam tubuh manusia lewat jalur topical (permukaan
tubuh), racun tersebut dapat menyebabkan luka, sakit,
dan
kematianorganisme,
biasanya dengan reaksi kimia atau aktivitas lainnya dalam skala molekul di dalam
tubuh.
b. Patomekanisme mata kuning (ikterus)
Pengertian
Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh yang menyebabkan warna kuning
pada jaringan yang disebabkan oleh kelebihan kadar bilirubin di dalam plasma dan
cairan ekstra seluler. Dapat dideteksi pada membran mukosa dan sklera (bagian mata

yang putih), kulit atau kemih yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2
sampai 3 mg/100 ml.

Metabolisme
Bilirubin
Normal
Sekitar 80 % - 85 % bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam sistem
monosit- makrofag. Massa hidup rata rata eritrosit 120 hari. Setiap hari dihancurkan
sekitar 50 ml darah dan menghasilkan 250 350 mg bilirubin. Sekitar 15 20 % pigmen
empedu total tidak bergantung pada mekanisme ini, tapi berasal dari destruksi sel
eritrosit matur dari sumsum tulang ( hematopoiesis tak efektif ) dan dari hemoprotein
lain, terutama dari hati.
Pada katabolisme hemoglobin (terutama terjadi pada limpa), globin mula-mula
dipisahkan dari heme, setelah itu heme diubah menjadi beliverdin. Bilirubin tak
terkonjugasi kemudian dibentuk dari biliverdin. Biliverdin adalah pigmen kehijauan
yang dibentuk melalui oksidasi bilirubin. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak,
tidak larut dalam air, dan tidak dapat diekskresi dalam empedu atau urine. Bilirubin
tak terkonjugasi berikatan dengan albumindalam suatu kompleks larut-air, kemudian
diangkut oleh darah ke sel-sel hati. Metabolisme bilirubin di dalam hati berlangsung
dalam tiga langkah : ambilan, konjugasi, dan ekskresi. Ambilan oleh sel hati
memerlukan dua protein hati, yaitu yang diberi simbol sebagai protein Y dan Z.
Konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat dikatalisis oleh enzim glukoronil
transferase dalam retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam
lemak, tetapi larut dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urine. Langkah
terakhir dalam metabolisme bilirubin hati adalah transpor bilirubin terkonjugasi
melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak

terkonjugasi tidak diekskresikan ke dalam empedu, kecuali setelah proses fotooksidasi atau fotoisomerisasi.
Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa yang
disebut sterkobilin atau urobilnogen. Zat zat ini yang menyebabkan feses berwarna
coklat. Sekitar 10 hingga 20% urobinilogen mengalami siklus interohipatik, sedangkan
sejumlah kecil diekskresi dalam urine.

Pembentukan Bilirubin Berlebihan


Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan
penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikteus yang timbul
sering disebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan
hati. Hal ini dapat meningkatkan bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Meskipun
demikian, pada penderita hemolitik berat, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5
mg/dl dan ikterus yang timbul bersifat ringan serta berwarna kuning pucat. Bilirubin
tak terkonjugasi tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat diekskrsikan dalam urin
dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan
urobilinogen (akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan
konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan eksresi dalam
feses dan urin. Urin dan feses berwarna lebbih gelap.
Beberapa penyebab lazim ikterus hemoltik adalah hemoglobin abnormal
(hemoglobin S pada anemia sel sabit), eritrosit abnormal (sferositosis herediter),
antibodi dalam serum (inkompatibilitas Rh atau tranfusi atau akibat penyakit auto
imun), pemberian beberapa obat dan peningkatan hemolisis. Sebagian kasus ikterus
hemolitik dapat disebabkan oleh suatu proses yang disebut sebagai eritropoisis yang
tidak efektif. Proses ini meningkatkan destruksi eritrosit atau prekursornya dalam sum
sum tulang (talasemia, anemia pernisiosa dan porfiria).
Patomekanisme hyperbilirubinemia sehingga terjadi ikterus :
pembentukkan bilirubin yang berlebihan
peningkatan kecepatan desktruksi sel darah merah merupakan penyebab utama
dari pembentukan blirubin yang berlebihan. Ikterus yang sering timbul disebut ikterus
hemolitik. Konyugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonyugasi melampaui kemampuan hati.
Gangguan Pengambilan Bilirubin
pengambilan bilirubin yang tak terkonyugasi yang terikat albumin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan cara memisahkannya albumin dan mengikatkannya pada protein
penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap

pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati: asam flavaspidat(di pakai untuk mengobati
cacing pita),novobiosin, dan beberapa zat pewarna kolesisfografik. Hiperbilirubinemia
tak terkonyugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab
dihentikan.
Gangguan Konyugasi Bilirubin
hiperbilirubinemia yang tak terkonyugasi yang berlebihan ( < 12,9 mg/ 100 mL)
yang mulai terjadi pada hari kedua sampe kelima lahir disebut ikterus fisiologis pada
neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim
glukoronil transferase. Aktivitas glukoronil transferase biasanya meningkat beberapa
hari setelah lahir sampai sekitar minggu kedua, dan setelah itu ikterus biasa.

1.

HUBUNGAN LEMAH TERHADAP SKENARIO


Lemah terjadi akibat menurunnya eritosit dan hemoglobin dalam darah.
Hemoglobin bertugas untuk menyuplai oksigen ke tubuh. Akibat dari berkurnagnya
hemboglobin maka oksigen juga ikut berkurang. Berkurangnya oksigen menyebabkan
metabolism sel menurun dan terjadinya kompensasi tubuh berupa metabolism
anaerob. Hal ini mengurangi pembentukan ATP yang terjadi di dalam tubuh sehingga
energy yang terbentuk sedikit. Energy yang sedikit inilah yang menyebabkan
kelemahan dapat terjadi.

1.

MENGAPA TIDAK DISERTAI DEMAM


Demam merupakan tanda adanya imnflamasi yang terjadi dan tanda adanya
perlawanan terhadap antibody terhadap toksin yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Etiologi demam untuk scenario ini dapat diketahui dengan melihat etiologi gejalagejala lain dalam scenario dan hal-hal yang berhubungan dengan terjadinya demam.
Misalnya saja pada gejala mata kuning. Gejala ini terjadi karena adanya kelebihan
bilirubin yang terjadi dalam darah. Dimana hal ini terjadi karena adanya destruksi
eritrosit yang terjadi sehingga hemoglobin lepas dari ieritrosit. Hemoglobin
mengalami hemolisis karena destruksi ini. Destruksi ini terjadi karena cairan toksin
yang dilepaskan serangga ke dalam tubuh manusia. Toksin yang pada umumnya ada
pada serangga yaitu pteromone yang tersusun dari protein dan zat-zat kimia lain.
Apabila hemolisis yang terjadi masih bisa dikompensasi oleh sum-sum tulang maka
tidak terjadi anemia. Namun bila terjadi peningkatan destruksi eritrosis akan
menyebakan hemolisis yang berlebihan sehingga sum-sum tulang tidak mampu untuk
mengkompensasi kebutuhan eritrosit dalam darah. Terjadinya destruksi juga bias
terjadi karena antibody menyerang eritrosit sendiri. Antibody di dalam tubuh manusia

bekerja karena adanya benda-benda asing di dalam tubuh manusia. Benda- benda
asing ini bisa juga merupakan toksin yang masuk melalui sengatan serangga. Namun,
gejala demam yang terjadi tidak serta merta saat masuknya toksin tersebut. Namun
ada masa inkubasi dari virus yang masuk ked alma tubuh manusia. Contohnya
plasmodium vivax pada malaria tersiana yang masa inkubasinya 8-14 hari. Intinya
demam yang terjadi bisa saja terjadi ada kasus ini. Hanya tinggal menunggu masa
ketahanan antibodinya (prof.I Made Bakta & Manual of Clinical Hematology).

2.

1.
2.
3.
1.
2.
3.
1.

a.
b.
c.
d.
e.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

LANGKAH PENEGAKAN DIAGNOSIS


Pendekatan diagnostik untuk penderita anemia
Untuk menegakkan diagnosis anemia harus ditempuh 3 langkah, yaitu:
Membuktikan adanya anemia
Menetapkan jenis anemia yang dijumpai
Menentukan penyebab anemia tersebut
Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut, dilakukan:
Pendekatan klinik
Pendekatan laboratorik
Pendekatan epidemiologik
Berikut ada rangkaian langkah untuk menegakkan diagnosis pada kasus-kasus anemia:
Anamnesis
Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus anemia harus ditujukan
untuk mengeksplorasi
Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat gizi
Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia, dan fisik serta riwayat
pemakaian obat
Riwayat keluarga
Pemeriksaan fisik
Warna kulit : pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti
jerami
Purpura : Petechie atau echymosis
Kuku : koilonychia
Mata : ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus
Mulut : ulserasi, hypertrophy gusi, pendarahan gusi, atrofi papil, glossitis dan
stomatitis angularis
Limfadenopati
Hepatomegali
Splenomegali

i.
j.
k.
l.
m.
3.
a.

b.

c.

d.

4.

5.
a.
b.
c.
d.
3.

Nyeri tulang atau nyeri sternum


Hemartrosis atau ankilosis sendi
Pembengkakan testis
Pembengkakan parotis
Kelainan sistem saraf
Pemeriksaan laboratorium hematologic
Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal setipa kasus anemia. Dengan
pemeriksaan ini dapat dipastikan adanya anemia dan morfologi anemia tersebut.
Pemeriksaan ini meliputi kadar hemoglobin, indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), RDW,
dan apusan darah tepi.
Pemeriksaan rutin: pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus anemia untuk
mengetahui kelainan leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain;
LED, hitung differensial, dan hitung retikulosit.
Pemeriksaan sumsum tulang; pemeriksaan ini harus dikerjakan pada sebagian besar
kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive walaupun tidak semua
memerlukannya.
Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika kita telah
mempunyai dugaan diagnosis awal dengan tujuan untuk mengkonfirmasi. Pemeriksaan
tersebut antara lain:
Anemia defisiensi besi : iron serum, TIBC, saturasi transferrin, dan ferritin serum.
Anemia megaloblastik: asam folat darah, vitamin B12.
Anemia hemolitik : hitung retikulosit, tes Coombs , elekroforesis Hb.
Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia
Pemeriksaan laboratorium non hematologik
Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan antara lain: faal ginjal, faal
endokrin, asam urat, faal hati, biakan kuman dan lain lain. Berbagai jenis anemia
dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti gagal ginjal kronik, penyakit hati
kronik dan lain-lain.
Pemeriksaan penunjang lain
Pada pemeriksaan kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperti;
Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
Radiologi
Pemeriksaan sitogenik
Pemeriksaan biologi molekuler (PCR, FISH dan lain-lain).
KLASIFIKASI ANEMIA
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi
didasarkan
pada
ukuran (makro
dan
mikro) dan
kandungan
hemoglobin (kromik).

No

Morfologi sel

Keterangan

Penyebab

Jenis anemia

Anemia
normokromik
normositik

Penghancuran atau
penurunan
jumlah
eritrosit tanpa di
sertai
kelainan
bentuk
dan
konsentrasi
hemoglobin

Anemia aplastik
Anemia
posthemoragik
Anemia hemolitik
Anemia Sickle Cell
Anemia
pada
penyakit kronis

Anemia
normokromik
makrositik

Bentuk eritrosit yang


besar
dengan
konsentrasi
hemoglobin
yang
normal

Anemia
hipokromik
mikrositik

Bentuk eritrosit yang


kecil
dengan
konsentrasi
hemoglobin
yang
menurun

Kehilangan darah akut,


a.
hemolisis,
penyakit
b.
kronis yang meliputi
infeksi,
gangguan
c.
endokrin,
gangguan
d.
ginjal, kegagalan sum
e.
sum
tulang,
&
penyakit-penyakit
infiltratif
metastasis
pd sum sum tulang.
Terganggunya
a.
/
terhentinya
sintesis
b.
asam
deoksiribonukleat
(DNA), serta dapat
terjadi
pada
kemoterapi
kanker
karena
agen-agen
mengganggu
sintesis
DNA
Umumnya
a.
mencerminkan
insufisiensi
sintesis
b.
heme / kekurangan
c.
zat besi

Anemia pernisiosa
Anemia
defisiensi
folat

Anemia
defisiensi
besi
Anemia sideroblastik
Thalassemia

Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologinya, yaitu :


1. Peningkatan hilangnya SDM dan penurunan/kelainan pembentukan sel. Meningkatnya
kehilangan SDM dapat di sebabkan oleh:
a. Perdarahan di akibatkan dari trauma / ulkus atau akibat perdarahan kronis karena
polip di kolon, keganasan, hemoroid / menstruasi.
b. Penghancuran SDM (hemolisis) terjadi jika gangguan pada SDM itu sendiri
memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsic) atau perubahan lingkungan yang
menyebabkan penghancuran SDM (kelainan ekstrinsik).
Keadaan SDM yang mengalami kelainan bersifat Herediter:
1) hemoglobin abnormal (hemoglobinopati) anemia sel sabit
2) gangguan sintesis globin thalasemia
3) kelainan membrane SDM sferositosis herediter dan eliptositosis

4)

defisiensi enzim defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi


piruvat kinase.
2. Berkurangnya / terganggunya produksi SDM (diseritropoiesis)
a. Keganasan jaringan (metastatic, leukemia, limfoma, & myeloma multiple), Pajanan
terhadap obat-obat & zat kimia toksik, serta Iradiasi yang dapat mengurangi produksi
efektif SDM.
b. Penyakit-penyakit kronis (ginjal & hati), serta infeksi dan defisiensi endokrin.

4.

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang di sebabkan oleh proses hemolisis, yaitu
pemecahahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (normal umur
eritrosit 100-120 hari).
Anemia hemolitik adalah anemia karena hemolisis, kerusakan abnormal sel-sel
darah merah (sel darah merah), baik di dalam pembuluh darah (hemolisis
intravaskular) atau di tempat lain dalam tubuh (extravascular).
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan karena terjadinya
penghancuran darah sehingga umur dari eritrosit pendek ( umur eritrosit normalnya
100 sampai 120 hari).
Anemia hemolitik merupakan kondisi dimana jumlah sel darah merah (HB) berada di
bawah nilai normal akibat kerusakan (dekstruksi) pada eritrosit yang lebih cepat dari
pada kemampuan sumsum tulang mengantinya kembali. Jika terjadi hemolisis
(pecahnya sel darah merah) ringan/sedang dan sumsum tulang masih bisa
mengompensasinya, anemia tidak akan terjadi, keadaan ini disebut anemia
terkompensasi. Namun jika terjadi kerusakan berat dan sumsum tulang tidak mampu
menganti keadaan inilah yang disebut anemia hemolitik.
Anemia hemolitik sangat berkaitan erat dengan umur eritrosit. Pada kondisi normal
eritrosit akan tetap hidup dan berfungsi baik selama 120 hari, sedang pada penderita
anemia hemolitik umur eritrosit hanya beberapa hari saja.
Epidemiologi
Sferositosis herediter merupakan anemia hemolitik yang sangat berpengaruh di
Eropa Barat, terjadi sekitar 1 dari 5000 individu. Sferositosis mengenai demua jenis
etnis namun pada ras non kaukasian tidak diketahui. Sferositosis herediter paling
sering diturunkan secara dominan autosomal. Pada beberapa kasus, sferositosis
herediter mungkin disebabkan karena mutasi atau anomali sitogenik. 6
Di Amerika, prevalensi eliptospirosis kira-kira 3-5 per 10.000. eliptospirosis
paling sering pada orang Afrika dan Amerika. Eliptospirosis sering terjadi pada daerah
dengan endemik malaria. Di Afrika ppada area ekuator, eliptospirosis terjadi sekitar

20,6%. Bentuk lain dari penyakit ini ditemukan pada Asia Tenggara yang ditemukan
sekitar 30% darai populasi. Penyakit ini diturunkan secara dominan autosomal. 6
Defisiensi G6PD dilaporkan di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi terjadi pada
daerah tropis dan subtropis. Telah dilaporkan lebih dari 350 varian. Ada banyak variasi
pada expresi klinis pada varian enzim.6
Talasemia merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling sering
terjadi di dunia, sanagt umum terjadi di sepanjang sabuk talasemia yang sebagian
besar wilayahnya merupakan endemis malaria. Gen talasemia sangat luas tersebar
dan kelainan ini diyakini merupakan penyakit genetik manusia yang paling prevalen.
Di beberapa Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi memiliki satu atau lebih gen
talasemia. Daerah geografi dimana talasemia merupakan prevalen yang sangat paralel
dengan Plasmodium falciparum dulunya merupakan endemik.7
Insiden anemia hemolitik autoimun kira-kira 1 dari 80.000 populasi. Pada
perempuan predominan terjadi tipe idiopatik. Tipe sekunder terjadi peningkatan pada
umur 45 tahun dimana variasi idiopatik terjadi sepanjang hidup. 6,8
Kelainan hemolitik yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah
eritroblastosis fetalis pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh trnsfer transplasenta
antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik isoimun.
Eritroblastosis fetalis disebut Hemolitik Disease of the Newborn (HDN).9
Etiologi
Penyakit anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
1. Golongan dengan penyebab hemolisis yang terdapat dalam eritrosit sendiri.
Umumnya peneyebab hemiolisis ini adalah kelainan bawaan (kongenital).
2. Golongan dengan penyebab hemolisis ekstraseluler. Biasanya penyebabnya
merupakan faktor yang di dapat (acquired).3
Gangguan intrakorpuskular (kongenital)
Kelainan ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan metabolisme dalam
eritrosit itu sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
1) Gangguan pada struktur dinding eritrosit
Gangguan pada struktur didnding eritrosit terbagi menjadi:
a. Sferositosis
Kelainan kongenital ini sering terjadi pada orang Eropa Barat. Pada penyakit ini
umur eritrosit lebih pendek, kecil, bundar dan resistensinya terhadap NaCl hipotonis
menjadi rendah. Limpa membesar dan sering terjadi ikterus.jumlah retikulosit
menjadi meningkat. Hemolisis diduga disebabkan karena kelainan membran eritrosit.
Pada anak gejala anemia lebih menyolok dibanding ikterus. Kelainan radiologis
ditemukan pada anak yang telah lama menderita penyakit ini. 40-80% penderita
sferositosis ditemukan kolelitiasis.
b.
Ovalositosis (eliptositosis)

2)

Pada penyakit ini 50-90% eritrositnya berbentuk oval. Penyakit ini diturunkan
secara dominan menurut hukum Mendel. Hemolisis tidak seberat sferositosis.
Splenektomi biasanya dapat mengurangi hemolisis.
c.
A-beta lipoproteinemia
Pada penyakit ini terjadi kelainan bentuk eritrosit. Diduga kelainan bentuk ini
disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel.
d.
Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah, misalnya pada
panmielopatia tipe fanconi.
Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit.
Setiap gangguan metabolisme dalam eritrosit akan menyebabkan umur erotrosit
menjadi pendek dan timbul anemia hemolitik.
a.
Defisiensi glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)
Defisiensi G-6PD ditemukan pada berbagai bangsa di dunia. Kekurangan enzim ini
menyebabkan glutation tidak tereduksi. Glutation dalam keadaan tereduksi diduga
penting untuk melindungi eritrosit dari setiap oksidasi, terutama obat-obatan.
Penyakit ini diturunkan secara dominan melalui kromosom X. Proses hemolitik dapat
timbul akibat atau pada:
Obat-obatan. (asetosal, piramidon, sulfa, obat anti malaria, dll)
Memakan kacang babi
Bayi baru lahir.
b.
Defisiensi glutation reduktase
Kadang disertai trombopenia dan leukopenia.
c.
Defisiensi glutation
Penyakit ini diturunkan secara resesif dan jarang ditemukan.
d.
Defisiensi piruvat kinase
Pada bentuk homozigot terjadi lebih berat. Khasnya terjadi peninggian kadar 2,3
difosfogliserat.
e.
Defisiensi Triose Phosphate Isomerase
Gejala mirip dengan sferositosis, tetapi tidak terdapat fragilitas osmotik dan hasil
darah tepi tidak ditemukan sferositosis. Pada keadaan homozigot terjadi lebih berat
dan bayi akan meninggal di tahun pertama kehidupannya.
f.
Defisiensi Difosfogliserat Mutase
g.
Defisiensi heksokinase
h.
Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
3) Hemoglobinopatia
Hemoglobin orang dewasa normal terdiri dari HbA yang merupakan 98% dari
seluruh hemoglobinnya. HbA2 yang tidak lebih dari 2% dan HbF yang tidak lebih dari
3%. Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya (95%),
kemudianntrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur 1 tahun telah mencapai
keadaan normal. Terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin yaitu:

a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin abnormal) misalnya


HbS, HbE dan lain-lain.
Kelainan hemoglobin ini ditentukan oleh adanya kelainan genetik yang dapat
mengenai HbA, HbA2 atau HbF. Pada penyakit ini terjadi pergantian asam amino
dalam rantai polipeptida pada tempat-tempat tertentu atau tidak adanya asam amino
atau beberapa asam amino pada tempat-tempat tersebut. Kelainan yang paling sering
terjadi pada rantai dan .
b. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa rantai globin misalnya talasemia.
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik yang herediter yang diturunkan
secara resesif . Di Indonesia, talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara
golongan anemia hemolitik dengan penyebab intrekorpuskuler.
Secara klinis talasemia dibagi menjadi 2 golongan yaitu talasemia mayor (homozigot)
yang memberikan gejala klinis yang khas dan talasemia minor yang biasanya tidak
memberi gejala.

Gangguan ekstrakorpuskuler (acquired)


Gangguan ini biasanya didapat yang dapat disebabkan oleh:
1. Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin,air), toksin (hemolisin)
Streptococcus, virus, malaria, luka bakar.
2. Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat menyebabkan
penghancuran erotrosit.
3. Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya reaksi
antigen-antibodi seperti:
a) Antagonisme ABO atau inkompatibilitas golongan darah lain seperti Rhesus dan MN
b) Alergen atau hapten yang berasal dari luar tubuh, tapi dalam tubuh melekat pada
permukaan eritrosityang merangsang pembuatan anti yang kemudian menimbulkan
reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan hemolisis.
c) Hemolisis akibat proses autoimun.3
Patogenesis
Proses hematopoesis pada embrio janin terjadi diberbagai tempat, termasuk hati,
limpa,timus,kelenjar getah bening, dan sumsum tulang. Sejak lahir sepanjang sisa
hidupnya terutama di sumsum dan sebagian kecil di kelenjar getah bening. 10
Dalam keadaan normal, sel-sel darah merah yang sudah tua difagositosis oleh selsel retikuloendotelial, dan hemoglobin diuraikan menjadi komponen-komponen
esensialnya. Besi yang didapat dikembalikan ke transferin untuk pembentukan sel
darah merah baru dan asam-asam amino dari bagian globin molekul dikembalikan ke
kompartemen asam amino umum. Cincin protoporfirin pada heme diuraikan di
jembatan alfa metana dan karbon alfanya dikeluarkan sebagai karbon monoksida
melalui ekspirasi. Tetrapirol yang tersisa meninggalkan sel retikuloendotelial sebagai
bilirubin indirek dan menjadi hati, tempat zat ini terkonjugasi untuk ekskresi di

empedu. Dui usus, biliruin glukoronida diubah menjadi urobilinogen untuk eksresi di
tinja dan urin.2,3
Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dan ekstravaskuler. Pada hemolisis
intravaskuler, destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Sel-sel darah
merah juga dapat mengalami hemolisis intravaskuler disertai pembebasan hemoglobin
dalam sirkulasi. Tetramer hemoglobin bebas tidak stabil dan cepat terurai menjadi
dimer alfa-beta, yang berikatan dengan haptoglobulin dan disingkarkan oleh hati.
Hemoglobin juga dapat teroksidasi menjadi methemoglobin dan terurai menjadi gugus
globin dan heme. Sampai pada tahap tertentu, heme bebas dapat terikat oleh
hemopeksin dan atau albumin untuk selanjutnya dibersihkan oleh hepatosit. Kedua
jalur ini membantu tubuh menghemat besi untuk menunjang hematopoiesis. Apabila
haptoglobin telah habis dipakai, maka dimer hemoglobinyang tidak terikat akan di
eksresikan oleh ginjal sebagai hemoglobin bebas, methemoglobin, atau
hemosiderin.2,11
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskuler. Pada hemolisis
ekstravaskuler destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena
sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag. 2
Sejumlah bahan dan kelainan dengan kemampuan dapat merusak eritrosit
yang dapat menyebabkan destruksi prematur eritrosit. Di antara yang paling jelas
telah di pastikan adalah antibodi yang berikatan dengan anemia hemolitik. Ciri khas
penyakit ini adalah dengan uji Coombs direk positif, yang menunjukkan imunoglobulin
atau komponen komplemen yang menyelubungi permukaan eritrosit. Kelainan
hemolitik yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah penyakit hemolitik bayi
baru lahir( eritroblastosis fetalis) atau HDN yang disebabkan oleh transfer
transplasenta antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik
isoimun.2
Pada Hemolytic Disease of the Newborn (HDN) sering terjadi ketika ibu dengan
Rh(-) mempunyai anak dari seorang pria yang memiliki Rh(+). Ketika Rh bayi (+)
seperti ayahnya, masalah dapat terjadi jika sel darah merah si bayi dengan Rh(+)
sebagai benda asing. Sistem imun ibu kemudian menyimpan antibodi tersebutketika
benda asing itu muncul kembali, bahkan pada saat kehamilan berikutnya. Sekarang Rh
ibu terpapar.9
Pada anemia hemolitik autoimun, antibodi abnormal ditujukan kepada
eritrosit, tetapi mekanisme patogenesisnya belum jelas. Autoantibodi mungkin
dihasilkan oleh respon imun yang tidak serasi terhadap antigen eritrosit. Atau, agen
infeksi dapat dengan sesuatu cara mengubah membran eritrosit sehingga menjadi
asing atau antigenik terhadap hospes.2
Tanda dan Gejala Klinis

v Kadang kadang Hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat, menyebabkan krisis
hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang di tandai dengan:
1.
Demam
2.
Mengigil
3.
Nyeri punggung dan lambung
4.
Perasaan melayang
5.
Penurunan tekana darah yang berarti
v Secara mikro dapat menunjukan tanda-tanda yang khas yaitu:
1.
Perubahan metabolisme bilirubin dan urobilin yang merupakan hasil pemecahan
eritrosit. Peningkatan zat tersebut akan dapat terlihat pada hasil ekskresi yaitu urin
dan feses.
2.
Hemoglobinemia : adanya hemoglobin dalam plasma yang seharusnya tidak ada
karena hemoglobin terikat pada eritrosit. Pemecahan eritrosit yang berlebihan akan
membuat hemoglobin dilepaskan kedalam plasma. Jumlah hemoglobin yang tidak
dapat diakomodasi seluruhnya oleh sistem keseimbangan darah akan menyebabkan
hemoglobinemia.
3.
Masa hidup eritrosit memendek karena penghancuran yang berlebih.
4.
Retikulositosis : produksi eritrosit yang meningkat sebagai kompensasi
banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda seperti retikulosit banyak
ditemukan.
v Gejala umum pada anemia adalah nilai kadar HB <7g/dl, sedang gejala hemolisisnya
berupa ikterus (kuning) akibat peningkatan kadar bilirubin indirect dalam darah,
pembengkakan limfa (splenomegali), pembengkakan organ hati (hepatomegali) dan
kandung batu empedu (kholelitiasis). Tanda dan gejala lebih lanjut sangat tergantung
pada penyakit yang menyertai.
Penatalaksanaan
Orang dengan anemia hemolitik yang ringan mungkin tidak membutuhkan
pengobatan khusus selama kondisinya tidak jelek. Seseorang dengan anemia hemolitik
berat biasanya membutuhkan pengobatan berkelanjutan. Anemia hemolitik yang
berat dapat menjadi fatal jika tidak diobati dengan tepat.
Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi:

Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.

Meningkatkan jumlah sel darah merah

Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.

Pengobatan tergantung pada tipe, penyebab dan beratnya anemia hemolitik.


Dokter mungkin mempertimbangkan umur, kondisi kesehatan dan riwayat kesehatan.
1) Transfusi darah
Transfusi darah digunakan untuk mengobati anemia hemolitik berat.

2) Obat-obatan
Obat-obatan dapat memperbaiki beberapa tipe anemia hemolitik, khususnya anemia
hemolitik karena autoimun. Kortikosteroid seperti prednison dapat menekan sistem
imun atau membatasi kemampuannya untuk membentuk antibodi terhadap sel darah
merah. Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat
lain yang dapat menekan sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin.
Jika terjadi anemia sel sabit yang berat maka diberikan hydroxiurea. Obat ini
mempercepat pembentukan fetal hemoglobin. Fetal hemoglobin membantu mencegah
pembentukan sel sabit pada sel darah merah.
3) Plasmapheresis
Plasmapheresis merupakan prosedur untuk menghilangkan antibodi dari darah.
Pengobatan ini mungkin membantu jika pengobatan lain untuk anemia imun tidak
bekerja.
4) Operasi
Beberapa oarang dengan anemia hemolitik mungkin memerlukan operasi untuk
mengangkat limpa.limpa pada orang normal yang sehat membantu melawan infeksi
dan menyaring sel darah yang telah tua dan menghancurkannya. Pembesaaran atau
penyakit pada limpa dapat menghilangkan lebih banyak sel darah merah dari jumlah
yang normal sehingga menyebabkan anemia. Pengankatan limpa dapat menghentikan
atau menurunkan jumlah sel darah merah yang mengalami destruksi.
5) Transpalantasi stem sel darah dan sumsum tulang belakang
Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang tidak dapat
membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang terbentuk dapat
dihancurkan sebelum waktunya. Transplantasi darah dan sumsum tulang mungkin
dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis anemia hemolitik ini.transplantasi ini
mengganti stem sel yang rusak dengan stem sel yang sehat dari donor.
6) Perubahan pola hidup
Jika seseorang menderita anemia hemolitik dengan antibodi reaktif terhadap dingin,
coab untuk hindari temperatur dingin. Seseorang yang lahir dengan defisiensi G6PD
harus menghindari hal yang dapat mencetuskan anemia misalnya fava beans,
naftalena, dan obat-obatan tertentu.
Prognosis
Prospek anemia hemolitik tergantung pada penyebabnya dan tingkat
keparahan. Kesehatan yang mendasari orang yang terkena juga mempengaruhi
prognosis. Kasus yang disebabkan oleh obat-obatan atau infeksi biasanya hilang
dengan cepat. Orang dengan anemia hemolitik autoimun biasanya merespon dengan
baik terhadap pengobatan. Prospek bagi penderita anemia hemolitik diwariskan
tergantung pada jenis penyakit warisan dan beratnya.
Anemia Defisiensi Besi

Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi
dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena
terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi
dalam darah. Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah
berarti orang tersebut mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala
fisiologis. Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk
membentuk selsel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin
terus menurun di bawah batas normal, keadaan inilah yang disebut anemia gizi besi.
Menurut Evatt, anemia Defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya saturasi
transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau hemosiderin sumsum tulang. Secara
morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai
penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin.Defisiensi besi merupakan penyebab
utama anemia. Wanita usia subur sering mengalami anemia, karena kehilangan darah
sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil.
Dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh, maka defisiensi dapat
dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
a. Iron depleted state, yaitu cadanagn besi menururn, tetapi penyediaan besi untuk
eritropoesis belum terganggu.
b. Iron deficient erythropoiesis, yaitu cadangan besi kosong penyediaan besi untuk
eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
c. Iron deficiency anemia, yaitu cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.
Epidemiologi
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50%
penderita ini adalah ADB da terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan
menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama selain kekurangan kalori
protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB
pada anak balita sekitar 30 40%, pada anak sekolah 25 35% sedangkan hasil SKRT
1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 5,55%. ADB mempunyai dampak yang
merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya
tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan
prestasi belajar di sekolah.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai baik di
klinik maupun di masyarakat. Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi anemia
defisiensi besi di Indonesia. Martoatmojo et al memperkirakan ADB pada laki-laki 1650% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali
didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena defisiensi besi.
Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar
27%.

Etiologi
Penyebab Anemia Defisiensi Besi adalah :
1. Asupan zat besi
Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi bahan
makananan yang kurang beragam dengan menu makanan yang terdiri dari nasi,
kacang-kacangan dan sedikit daging, unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi.
Gangguan defisiensi besi sering terjadi karena susunan makanan yang salah baik
jumlah maupun kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan,
distribusi makanan yang kurang baik, kebiasaan makan yang salah, kemiskinan dan
ketidaktahuan.
2. Penyerapan zat besi
Diet yang kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat besi dalam tubuh karena
banyaknya zat besi yang diserap sangat tergantung dari jenis zat besi dan bahan
makanan yang dapat menghambat dan meningkatkan penyerapan besi.
3. Kebutuhan meningkat
Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi,
anakanak, remaja, kehamilan dan menyusui. Kebutuhan zat besi juga meningkat pada
kasus-kasus pendarahan kronis yang disebabkan oleh parasit.
4. Kehilangan zat besi
Kehilangan zat besi melalui saluran pencernaan, kulit dan urin disebut kehilangan zat
besi basal. Pada wanita selain kehilangan zat besi basal juga kehilangan zat besi
melalui menstruasi. Di samping itu kehilangan zat besi disebabkan pendarahan oleh
infeksi cacing di dalam usus.
Patogenesis
Patogenesis anemia defisiensi besi dimulai ketika cadangan besi dalam tubuh
habis yang ditandai dengan menurunnya kadar feritin yang diikuti juga oleh saturasi
transferin dan besi serum. Penurunan saturasi transferin disebabkan tidak adanya besi
di dalam tubuh sehingga apotransferin yang dibentuk hati menurun dan tidak terjadi
pengikatan dengan besi sehingga transferin yang terbentuk juga sedikit. Sedangkan
total iron binding protein (TIBC) atau kapasitas mengikat besi total yang dilakukan
oleh transferin mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya besi
di dalam tubuh sehingga transferin berusaha mengikat besi dari manapun dengan
meningkatkan kapasitasnya.
Dalam tubuh manusia, sintesis eritrosit atau eritropoesis terus berlangsung
dengan memerlukan besi yang akan berikatan dengan protoporfirin untuk membentuk

heme. Pada anemia defisiensi besi, besi yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga
heme yang terbentuk hanya sedikit dan pada akhirnya jumlah hemoglobin yang
dibentuk juga berkurang. Dengan berkurangnya Hb yang terbentuk, eritrosit pun
mengalami hipokromia (pucat). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCHC (mean
corpuscular Hemoglobin Concentration) < 32%. Sedangkan protoporfirin terus dibentuk
eritrosit sehingga pada anemia defisiensi besi, protoporfirin eritrosit bebas (FEP)
meningkat. Hal ini dapat menjadi indikator dini sensitif adanya defisiensi besi.
Di sisi lain, enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase memerlukan
besi untuk menghentikan sintesis heme. Padahal besi pada anemia defisiensi besi
tidak tersedia sehingga pembelahan sel tetap berlanjut selama beberapa siklus
tambahan namun menghasilkan sel yang lebih kecil (mikrositik). Hal ini ditandai
dengan menurunnya MCV (mean corpuscular volume) < 80 fl.
Tanda dan Gejala Klinis
a) Gejala klinis anemia defisiensi besi
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar,
yaitu gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.
b) Gejala umum anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di
bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunangkunang serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan
kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindrom anemia tidak
terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar
hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat
berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah menurun di
bawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat , terutama pada
konjunctiva dan jaringan di bawah kuku.
c) Gejala khas defisiensi besi
Gejala yang khas dijumpai pada anemia defisiensi besi tapi tiak pada anemia
jenis lain adalah:
Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjdi rapuh, bergaris-garis vertikal
dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
Atropi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang.
Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.

Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.


Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es, lem
dan lain-lain.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan
gejala terdiri dari anemi hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah dan disfagia.
d) Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia difisiensi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit
tambang dapat dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan
berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker
kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung
dari lokasi kanker tersebut.
Penatalaksanaan
Terapi untuk anemia defisiensi besi :
a. Terapi kausal : yaitu terapi tehadap penyebab terjadinya anemia defisiensi besi,
misalnya pengobatan terhadap perdarahan, maka dilakukan pengobatan pada
penyakit yang menyebabkan terjadinya perdarahan kronis seperti penyakit cacing
tambang, hemoroid, menorhagia, karena jika tidak maka anemia akan akan kambuh
kembali.

1)
2)

b. Pemberian perparat besi untukmengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron


replacement therapy)
Terapi besi oral
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman.
Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat, dengan dosis anjuran 3 X 200 mg,
setiap 200 mg nya mengandung 66 mg besi elemental. Dengan dosis anjuran tersebut
dapat mengabsorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis 2-3 kali
normal. Preparat lainnya ialah,ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate,
dan ferrous succinate.
Efek samping utama : gangguan GIT pada 15-20% sehingga mengurangi kepatuhan
pasien dalam meminum obat. Keluhan dapat brupa mual, muntah, serta konstipasi.
Pengobatan diberikan 3-6 bulan, ada yang menganjurkan sampai 12 bulan, sampai
kadar HB normal untuk mengisis cadangan besi tubuh.
Terapi besi parenteral
Sangat efektif, namun mempunyai resiko lebih besar dan harganya lebih mahal.
Indikasi pemberian :
Intoleransi terhadap pemberian besi oral
Kepatuhan terhadap obat yang rendah

3)
4)
5)
6)
7)

Gangguan pencernaan seperti kolilitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan
besi
Penyerapan besi terganggu, seperti pada gastrektomi
Kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi dengan pemberian
besi oral, seperti misalnya padahereditary hemorrhagic teleangiectasia
Kebutuhan besi yang besar dalam waktu yang pendek, seperti pada kehamilan
trimester 3 atau sebelum operasi
Defisiensi fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal
kronik atau anemia akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron
sorbitol citric acid complex, dan ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman.
Besi parenteral dapat diberikan secara IM atau IV pelan.
Tujuan terapibesi parenteral ialahmengembalikan kadar Hb dan mengisis besi sebesar
500mg-1000mg. Efek samping : reaksi anafilaktik meskipun jaran (0,6 %), flebitis,
sakit kepala, fushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop, pada pemberian IM
memberikan rasa nyeri dan warna hitam pada kulit.
c.
Pengobatan lain
Diet : diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama dari protein hewani
Vitamin C : diberikan 3 X 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi.
Transfusi darah : anemia defisiensi besi jarang memerlukan transfuse darah. Darah
yang diberikan ialah PRC untuk mengurangi bahaya overload.
Indikasi transfuse darah :
Adanya penyakit jantung anemic dengan ancama payah jantung
Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia ddengan gejala pusing yang sangat
menyolok
Pasien memerlukan peningkatan Hb yang cepat seperti pada kehamilan trimester
akhir atau preoperasi.

Prognosis
Anemia defisiensi besi jika terkoreksi dengan baik maka akan memberikan
prognosis yang baik, namun anemia defisiensi besi dapat memiliki prognosis yang
buruk, jika kondisi yang mendasarinya memiliki prognosis yang buruk juga seperti
neoplasia. Sama halnya dengan prognosis yang dapat berubah oleh comorbid condition
seperti coronary artery disease.
Prognosisbaikapabilapenyebabanemianyadiketahuihanyakarenakekuranganbesisajasert
akemudiandilakukanpenangananyangadekuat.Gejalaanemiadanmenifestasiklinislannya
akanmembaikdenganpemberianpreparatbesi.(Supandiman,2006)
PadakasusADBkarenaperdarahan,apabilasumberperdarahandapatdiatasi,makaprognosis
anemiadefisiensibesiadalahbaikterutamaapabiladiberikanterapiFeyangadekuat.Tentun

yapenyakitdasarsebagaisumberperdarahankronisnyapunmenentukanprognosisdaripasie
n(Supandiman,2006)

Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan
komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di
sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai.
Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah
sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988
oleh Paul Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan
ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsi
ditemukan tidak ada sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian
menghubungkannya dengan adanya penekanan pada fungsi sumsum tulang. Pada
tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia aplastik.
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Klasifikasi menurut kausa2 :
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya
anemia Fanconi
b) Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan :
Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%
Anemia aplastik sangat dengan <30% sel hematopoietik residu, dan
berat
- Dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 0,5109/l
Anemia aplastik bukan
trombosit <20109 /l
berat
retikulosit < 20109 /l
Sama seperti anemia aplastik berat kecuali
netrofil <0,2109/l
Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia
aplastik berat atau sangat berat; dengan
sumsum tulang yang hiposelular dan
memenuhi dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 1,5109/l
trombosit < 100109/l
hemoglobin <10 g/dl

Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,
berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis retrospektif
di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5
kasus persejuta penduduk pertahun. The Internasional Aplastic Anemia
and Agranulocytosis Study dan French Studymemperkirakan ada 2 kasus persejuta
orang pertahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15
sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia
aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta
penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta
penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di
negara Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan
faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik,
dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan
peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika.
Etiologi
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak
diketahui.Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit
lain.
Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik:
Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
- Bahan-bahan sitotoksik
- Benzene
Reaksi Idiosinkratik
- Kloramfenikol
- NSAID
- Anti epileptik
- Emas
- Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)

Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)


Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang
didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
7. Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
Pathogenesis
Kegagalan sum-sum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel
hematopoetik. Pada anemia aplastik, tergantinya sum-sum tulang dengan lemak dapat
terlihat pada morfologi spesimen biopsy dan MRI pada spinal. Sel yang membawa
antigen CD34, marker dari sel hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada
penelitian fungsional, sel bakal dan primitive kebanyakan tidak ditemukan; pada
pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa kolam sel bakal berkurang hingga <1% dari
normal pada keadaan yang berat.
Suatu kerusakan intrinsic pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik
konstitusional: sel dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan
kromosom dan kematian pada paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu.
Telomer kebanyakan pendek pada pasien anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang
berperan dalam perbaikan telomere (TERC danTERT ) dapat diidentifikasi pada
beberapa orang dewasa dengan anomaly akibat kegagalan sum-sum dan tanpa
anomaly secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa.
Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan oleh kerusakan stroma atau produksi
faktor pertumbuhan.
Tanda dan Gejala Klinik

Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia. Gejala-gejala lain


yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah putih.
Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan:
(1) Ekimosis dan ptekie (perdarahan dalam kulit)
(2) Epistaksis (perdarahan hidung)
(3) Perdarahan saluran cerna
(4) Perdarahan saluran kemih
(5) Perdarahan susunan saraf pusat.
Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi. Aplasia
berat disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang
kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat
mengakibatkan kematian dan infeksi dan atau perdarahan dalam beberapa minggu
atau beberapa bulan. Namun penderita yang lebih ringan dapat hidup bertahuntahun. Pengobatan terutama dipusatkan pada perawatan suportif sampai terjadi
penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan perdarahan yang disebabkan oleh
defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian maka penting untuk
mencegah perdarahan dan infeksi.
Penatalaksanaan
Anemia aplastik dapat disembuhkan dengan penggantian sel hematopoietik yang
hilang (dan sistem imun) dengan transplantasi stem cell, atau dapat diringankan
dengan penekanan sistem imun untuk mempercepat penyembuhan fungsi sum-sum
tulang residual. Faktor pertumbuhan hematopoietik memiliki keterbatasan manfaat
dan glukokortikoid tidaklah bermanfaat. Paparan obat atau zat kimia yang dicurigai
sebaiknya dihentikan dan dihindari; namun, penyembuhan spontan dari penurunan sel
darah yang berat jarang terjadi, dan periode menunggu sebelum memulai penanganan
tidak dianjurkan kecuali hitung jenis darah hanya sedikit menurun. Tindakan lain,
yaitu diberikan :

Kortikosteroid dengan trombositopenia berat

Splenoktomi dengan kasus resisten

Immunosupresif dengan kausa immunologic


Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red
cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan
penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari
20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar
trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit
donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti
terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok
HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai

profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih
parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte
globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin(ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau
ALG diindikasikan pada :
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan
tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin
melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi
langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.Karena merupakan produk
biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga
selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan
proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit
sitotoksik.15 Sebuah protocol pemberian ATG.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi
ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada
anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi
sebesar 46%. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi
imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki
kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid.
Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif
daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas
sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan
siklosporin. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk
imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini,
studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun.
Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat
terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktorfaktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik. Pasien yang
refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus
imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda
tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci. Pemberian faktor-faktor pertumbuhan
hematopoietik seperti Granulocyte- Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat

untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik
biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak
bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai
satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi
imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang
refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah
pada beberapa pasien. Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi
eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk
anemia aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat.
Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi
imunosupresif.
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil
pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).
Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan,
namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi
imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan
beratnya
reaksi
penolakan
sumsum
tulang
donor
(Graft
Versus
Host Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang
lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang
lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. Pasien dengan
umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG)maka
pemberian
transplantasi
sumsum
tulang
dapat
dipertimbangkan. Akan
tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun
telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang
belummendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.Pada pasien yang mendapat
terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Transfusi
komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang bukan potensial
sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan
cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi. Kriteria
respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation(EBMT) adalah
sebagai berikut :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah
2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.

Prognosis
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah
absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang
dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah
netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap
imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak
tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa. Anemia
aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan glukokortikoid
akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan
sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien
yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita
gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien
usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi stem sel.
Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi
imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi
dengan
produk
sel
darah
serta
tidak
mendapatkan
iradiasi
dalam
hal conditioning untuk transplantasi.
70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi
imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi
memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia
sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun
menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut
myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap
imunosupresif. Pada 168 pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang,
hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang
mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama
dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang
lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi
yang lebih bertahan lama.

Anda mungkin juga menyukai