Anda di halaman 1dari 14

ANEMIA APLASTIK

Oleh :
Dhania Issanti Putri
Koas Stase Anak
Rs pku muhammadiyah gamping
A. Definisi
• Anemia aplastik adalah kegagalan sumsum tulang baik secara
fisiologis maupun anatomis. Penyakit ini ditandai oleh penurunan
atau tidak ada faktor pembentuk sel darah dalam sumsum tulang,
pansitopenia darah perifer, tanpa disertai hepatosplenomegali atau
limfadenopati. Penanganan anemia aplastik masih merupakan
masalah yang penting karena patofisiologi penyakit ini masih belum
pasti. Tata laksana anemia aplastik terdiri dari tata laksana suportif
terhadap keadaan yang disebabkan oleh pansitopenia seperti anemia,
infeksi dan perdarahan, serta tata laksana serta pengobatan yang
bertujuan untuk mengganti sel induk yang gagal dalam memproduksi
sel-sel darah dan menekan proses imunologis yang terjadi. Tata
laksana kuratif terdiri dan transplantasi sumsum tulang dan
penggunaan obat-obat imunosupresan. Namun demikian tata laksana
anemia aplastik baik yang bersifat suportif maupun kuratif, dapat
menimbulkan masalah-masalah yang mempengaruhi prognosis
pasien. Prognosis pasien anemia aplastik umumnya buruk, sekitar dua
pertiga pasien meninggal setelah 6 bulan diagnosis ditegakkan
sebagai anemia aplastik
B. Klasifikasi dan etiologi
Mikrositik Normositik Makrositik
- Defisiensi Besi Anemia hemolitik Sumsum tulang
- Thalasemia kongenital megaloblastik
- Keracunan timbal - Hemoglobin muatan - Defisiensi vitamin b12
kronis - Defek enzim eritrosit - Defisiensi asam folat
- Anemia Sideroblastik - Gangguan pada Tanpa sumsum tulang
- Inflamasi Kronis membran eritrosit megaloblastik
Anemia hemolitik - Anemia aplastik
didapat - Hipotiroid
- Autoimun - Diamond blackfan
- Anemia hemolitik syndrome
mikroangiopatik - Penyakit hati
- Sekunder oleh infeksi - Infiltrasi sumsum
akut tulang
Kehilangan darah akut - Anemia
diseritropoietik
C. Patofisiologi
• Kerusakan yang terjadi pada anemia aplastik terdapat pada sel induk
dan ketidakmampuan jaringan sumsum tulang untuk memberi
kesempatan sel induk untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal
ini berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi seperti toksisitas
langsung atau defisiensi selsel stromal. Penyimpangan proses
imunologis yang terjadi pada anemia aplastik berhubungan dengan
infeksi virus atau obat-obatan yang digunakan, atau zat-zat kimia.
• Hematopoesis normal yang terjadi di dalam sumsum tulang, merupakan
interaksi antara progenitor hematopoetik stem cell dengan lingkungan
mikro (microenvironment) pada sumsum tulang. Lingkungan mikro
tersebut mengatur hematopoesis melalui reaksi stimulasi oleh faktor
pertumbuhan hematopoetik.4,9 Sel-sel hematologik imatur dapat
terlihat dengan pemeriksaan flouresent activate flow citometry, yang
dapat mendeteksi sel antigen CD34+ dan adhsesi protein kurang dari 1%
pada sumsum tulang normal. 3,10 Anemia aplastik dapat terjadi secara
heterogen melalui beberapa mekanisme yaitu kerusakan pada
lingkungan mikro, gangguan produksi atau fungsi dan faktor-faktor
pertumbuhan hematopoetik, dan kerusakan sumsum tulang melalui
mekanisme imunologis.
• Limfosit T sitotoksik aktif, memegang peran yang besar dalam
kerusakan jaringan sumsum tulang melalui pelepasan limfokin
seperti interferon-α(IFN-γ) dan tumor necrosis factor β (TNF-
β). Peningkatan produksi interleukin-2 mengawali terjadinya
ekspansi poliklonal sel T. Aktivasi reseptor Fas melalui fas-
ligand menyebabkan terjadinya apoptosis sel target. Efek IFN- γ
melalui interferon regulatory factor 1 (IRF-1), adalah
menghambat transkripsi gen dan masuk ke dalam siklus sel.
IFN-γ juga menginduksi pembentukan nitric oxide synthase
(NOS), dan produksi gas toksik nitric oxide (NO) yang mungkin
menyebabkan efek toksiknya menyebar.
D. Etiologi
a. Infeksi
- Hepatitis
- Epstein barr virus
- HIV
- Parovirus
- Mycobacteria
b. Akibat terpaparnya radiasi, bahan kimia seperti benzene,
chlorinated hycrocarbons dan organophospates
c. Akibat pemakaian obat-obatan seperti chloramphenicol,
phenylbutazone
d. Akibat penyaringan jaringan ikat seperti rheumatoid arthritis
dan SLE.
E. Manifestasi klinis
• Gejala klinis yang timbul akibat anemia aplastik adalah
anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala anemia
bervariasi dari ringan sampai berat. Leukopenia akan
menyebabkan infeksi berupa ulserasi mulut, febris dan sepsis
atau syok septik. Trombositopenia akan menyebabkan
pendarahan pada kulit seperti petechie dan echymosis,
perdarahan pada mukosa seperti epistaksis, perdarahan
subkonjungtiva, perdarahan gusi dan lain-lain. Tidak dijumpai
adanya organomegali.
F. Diagnosis
1. Pemeriksaan Darah tepi : anemia, leukopenia dan
trombositopenia
2. Bone marrow aspirate : pada pemeriksaan sumsum tulang
belakang maka akan ditemukan sumusm tulang belakang
hipocellular, dikarenakan penggantian sumsum tulang
hemopoitek oleh jaringan adiposa.
G. Diagnosis Banding
1. Fanconi Anemia : Anemia fanconi adalah bentuk kongenital dari
anemia aplastik dimana 10% dari pasien terjadi saat anak- anak.
Gejala fisik yang khas adalah tinggi badan yang pendek,
hiperpigmentasi kulit, microcephaly, hipoplasia jari, keabnormalan
alat kelamin, keabnormalan mata, kerusakan struktur ginjal dan
retardasi mental. Anemia fanconi terdiagnosis dengan analisis
sitogenik dari limfosit darah tepi yang menunjukkan kehancuran
khromosom setelah culture dengan bahan yang menyebabkan
pemecahan khromosom seperti diepoxybutane (DEB) atau
mitomycin C (MMC).
2. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH) :PNH adalah anemia
yang terjadi akibat hemolisis dan adanya hemoglobinuria dengan
trombosis vena. 10% sampai 30 % dari pasien anemia aplastik
berkembang menjadi PNH. Hal itu menunjukkan kemungkinan
anemia aplastik merupakan salah satu penyebab PNH. Diagnosis PNH
ditunjukkan dengan adanya penurunan expresi antigen CD59 sel
dengan tes flow cytometry. Tes seperti sucrose hemolysis dan uji
urine dapat melihat terjadinya hemosiderinuria sebagai salah satu
gejala PNH
3. Aleukemic leukemia : Aleukemic leukemia adalah penyakit
yang memiliki ciri kehilangan sel blast pada darah tepi dari pasien
dengan leukemia, terjadi pada 10% dari semua penderita
leukemia dan biasanya muncul pada anak yang sangat muda atau
pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan
sel blast.
4. Myelofibrosis : Ada 2 ciri utama nyelofibrosis yaitu
extramedullary hematopoesis dan fibrosis sumsum tulang. Extra
medullatory hematopoesis menyebabkan hepatosplenomegali
yang tidak terjadi pada anemia aplastik. Biopsi sumsum tulang
menunjukkan derajat reticulin dan fibrosis kolagen dengan
terjadinya peningkatan jumlah megakaryocytes.
G. Tatalaksana
• Terapi suportif diberikan sesuai gejala yang dapat dijelaskan sebagai
berikut : (1) anemia, (2) neutropenia, dan (3) trombositopenia.
• Pada anemia. Pada anemia berikan tranfusi packed red cell jika
hemoglobin kurang dari 7g/dl, berikan sampai hb 9-10 g/dl1 .
• Pada neutropenia. Pada neutropenia jauhi buah-buahan segar dan
sayur, fokus dalam menjaga perawatan higienis mulut dan gigi, cuci
tangan yang sering. Jika terjadi infeksi maka identifikasi sumbernya,
serta berikan antibiotik spektrum luas sebelum mendapatkan kultur
untuk mengetahui bakteri gram positif atau negatif. Tranfusi
granulosit diberikan pada keadaan sepsis berat kuman gram negatif,
dengan netropenia berat yang tidak memberikan respon terhadap
pemberian antibiotik
• Pada trombositopenia. Pada trombositopenia berikan tranfusi
trombosit jika terdapat pendarahan aktif atau trombosit kurang dari
• Terapi jangka panjang terdiri dari : (1) Terapi imunosupresif , dan (2)
terapi transplantasi sumsum tulang.
1. Terapi imumnosupresif :
- Antithymocyte globulin (ATG)
- Antilymphocyte globulin ( ALG)
- Cyclosporin
- Intensive immunosupression : cyclophosphamide
- Corticosteroids
2. Terapi transplantasi sumsum tulang :
Transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan menurut : (a) donor
yang terbaik biasanya berasal dari keluarga, (b) transplantasi sumsum
tulang dengan pencocokan HLA keluarga merupakan pilihan untuk pasien
dengan umur dibawah 60 tahun (c) jika tidak ada HLA yang cocok dari
keluarga, pasien dengan umur di bawah 40 tahun dapat melakukan
transplantasi sumsum tulang dengan donor bukan keluarga. Jika pasien
berumur lebih dari 40 tahun maka diberikan terapi imunosupresif, (d)
adanya resiko graft rejection atau graft failure (ketika sumsum tulang yang
ditransplantasi tidak tumbuh dan membuat sel darah untuk tubuh).
Menerima banyak tranfusi meningkatkan resiko graft rejection karena
kekebalan tubuh pasien membuat antibodi untuk melawan sel sumsum
tulang yang ditransplantasi.
H. Prognosis
• Sebelum ditemukan adanya transplantasi sumsum tulang, 25%
dari pasien meninggal dalam waktu 4 bulan dan 50%
meninggal dalam waktu 1 tahun. Pada pasien yang mengalami
transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhannya adalah
70-90%, walaupun 20%-30% dari pasien yang melakukan
transplantasi sumsum tulang mengalami Graft versus Host
Disease (GvHD). Pemberian terapi imunosupresif yang intensif
memberikan peningkatan yang signifikan pada Blood
Countpada 78% pasien dalam 1 tahun. Walaupun ada resiko
36% dari pasien kambuh setelah 2 tahun

Anda mungkin juga menyukai