Anda di halaman 1dari 8

2.2.

Keratitis

2.2.1. Definisi

Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan
mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada media kornea ini,
maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi
pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar. Keratitis biasanya diklasifikasikan
dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial dan profunda atau interstisial

2.2.2. Etiologi

Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor (Ilyas, 2004), diantaranya:

1. Virus.

2. Bakteri.

3. Jamur.

4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari.

5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.

6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya pembentukan
air mata.

7. Adanya benda asing di mata.

8. Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel udara seperti debu,
serbuk sari.

2.2.3 Klasifikasi

Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan

beberapa hal.

1. Berdasarkan lapisan yang terkena

Keratitis dibagi menjadi:

a. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata

Subepitel)

Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang

dapat terletak superfisial dan subepitel.


Etiologi

Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada
Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes simpleks, Herpes zoster, Blefaritis
neuroparalitik, infeksi virus, vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry eye, keratitis
lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahaya pengawet lainnya.

Gejala klinis dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa kelilipan.

Pemeriksaan laboratorium

Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk lonjong dan jelas yang
menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan fluoresein, terutama di daerah pupil. Uji
fluoresein merupakan sebuah tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea.
Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada media
alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka bagian yang terdapat
defek akan memberikan warna hijau karena jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa.
Kekeruhan subepitelial dibawah lesi epitel sering terlihat semasa penyembuhan epitel ini, uji
sensibilitas kornea juga diperiksa untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial.
Pada umumnya sensibilitas kornea juga akan menurun.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada ketratitis pungtata superfisial pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridin, trifluridin atau asiklovir. Untuk
bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri
gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik
juga diindikasikan jika terdapat sekret mukopurulen yang menunjukkan adanya infeksi
campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau
fluconazol. Selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata superfisial ini
sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman seperti
air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid.

b. Keratitis Marginal

Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi
lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis
marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya
blefarokonjungtivitis.

Etiologi

Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan Esrichia.

Gejala klinis

Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai fotofobia berat. Pada
mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang
memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal ataupun multipel, sering disertai
neovaskularisasi dari arah limbus.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram maupun Giemsa dapat
mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri.

Penatalaksanaan

Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan penyebab infeksi lokalnya
dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat diberikan vitamin B dan C dosis tinggi.

c. Keratitis Interstisial

Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh darah ke dalam kornea
dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut
menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial .

Etiologi

Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam stroma kornea
dan akibat tuberkulosis

Gejala klinis

Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan menurunnya visus. keratitis yang
disebabkan oleh sifilis kongenital biasanya ditemukan trias Hutchinson (mata: keratitis
interstisial, telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng), sadlenose, dan pemeriksaan
serologis yang positif terhadap sifilis. Pada keratitis yang disebabkan oleh tuberkulosis
terdapat gejala tuberkulosis lainnya

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan gram maupun Giemsa dapat
mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri (Biswell, 2010).

Penatalaksanaan

Penatalaksanaannya dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka lama secara intensif
setiap jam dikombinasi dengan tetes mata atropin dua kali sehari dan salep mata pada malam
hari.

2. Berdasarkan penyebabnya Keratitis diklasifikasikan menjadi:

a. Keratitis Bakteri

Etiologi Menurut American Academy of Ophthalmology (2009).


Gejala klinis

Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi,
penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur . Pada pemeriksaan bola mata
eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea dan bagian tepinya
dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di media cokelat (untuk Neisseria,
Haemophillus dan Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan jamur, dan bakteri kecuali
Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu kamar).
Kemudian dilakukan pewarnaan Gram.

Penatalaksanaan

Diberikan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur bakteri. Berikut tabel
pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan (American Academy of Ophthalmology,
2009):
b. Keratitis Jamur

Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis (Dorland, 2000).
Etiologi Menurut Susetio (1993), secara ringkas dapat dibedakan :

1) Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.

2) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp,
Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.

3) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.

4) Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas : Candida albicans,
Cryptococcus sp, Rodotolura sp.

5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan membentuk
miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp, Sporothrix sp.

Gejala klinis untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :

1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.

2) Lesi satelit.

3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di
bawah endotel utuh.

4) Plak endotel.

5) Hipopion, kadang-kadang rekuren.

6) Formasi cincin sekeliling ulkus.


7) Lesi kornea yang indolen.

Pemeriksaan laboratorium

Diagnosis laboratorik sangat membantu diagnosis pasti, walaupun negatif belum dapat
menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Hal yang utama adalah melakukan pemeriksaan
kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan
biomikroskop. Kemudian dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH +
Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing 20-30%, 50-60%, 60-75% dan
80%. Sebaiknya melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan Periodic Acid Schiff
atau Methenamine Silver, tetapi memerlukan biaya yang besar. Akhir-akhir ini
dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat
morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan.
Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.

Penatalaksanaan

terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang


tersedia, tampaknya diperlukan 16 kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat. Hal yang
utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi, dapat
dibagi:

1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya. Topikal amphotericin B 1,02,5 mg/ml,


thiomerosal (10 mg/ml), natamycin > 10 mg/ml, golongan imidazole.

2) Jamur berfilamen. Untuk golongan II : Topikal amphotericin B, thiomerosal, natamycin


(obat terpilih), imidazole (obat terpilih).

3) Ragi (yeast). Amphoterisin B, natamycin, imidazole

4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati. Golongan sulfa, berbagai
jenis antibiotik.

c. Keratitis Virus

Etiologi Herpes simpleks virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering pada
kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan parasit
intraselular obligat yang dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina
dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga
hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.

Gejala klinis

Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri pada mata, fotofobia, penglihatan kabur, mata
berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang terkena (Ilyas,
2004). Infeksi primer Herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis folikularis
akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan kelenjar limfe regional.
Kebanyakan penderita juga disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi
jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan
tertentu dimana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.

Pemeriksaan laboratorium

dilakukan kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV dan cairan dari lesi kulit mengandung
sel-sel raksasa. Virus ini dapat dibiakkan pada membran korio-allantois embrio telur ayam
dan pada banyak jenis lapisan sel jaringan (misal sel HeLa, tempat terbentuknya plak-plak
khas)

Terapi

1) Debridement Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial,


karena virus berlokasi didalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat
siklopegik seperti atropin 1% atau homatropin 5% diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan
ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya
sampai defek korneanya sembuh umumnya dalam 72 jam.

2) Terapi Obat

IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan diberikan setiap jam,
salep 0,5% diberikan setiap 4 jam).

Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep.

Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam.

Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.

Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada orang atopi yang
rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.

3) Terapi Bedah

Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang


mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes nonaktif

d. Keratitis Acanthamoeba

Etiologi

Keratitis yang berhubungan dengan infeksi Acanthamoeba yang biasanya disertai dengan
penggunaan lensa kontak

Gejala klinis
Rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya yaitu kemerahan, dan fotofobia.
Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural.
Bentuk-bentuk awal pada penyakit ini, dengan perubahan-perubahan hanya terbatas pada
epitel kornea semakin banyak ditemukan. Keratitis Acanthamoeba sering disalah
diagnosiskan sebagai keratitis herpes.

Pemeriksaan laboratorium

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di atas media khusus. Biopsi
kornea mungkin diperlukan. Sediaan histopatologik menampakkan bentuk-bentuk amuba
(kista atau trofozoit). Larutan dan kontak lensa harus dibiak. Sering kali bentuk amuba dapat
ditemukan pada larutan kotak penyimpan lensa kontak.

Penatalaksanaan

Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionat, propamidin topikal (larutan 1%)
secara intensif dan tetes mata neomisin. Bikuanid poliheksametilen (larutan 0,01-0,02%)
dikombinasi dengan obat lain atau sendiri, kini makin populer. Agen lain yang mungkin
berguna adalah paromomisin dan berbagai imidazol topikal dan oral seperti ketokonazol,
mikonazol, itrakonazol. Terapi juga dihambat oleh kemampuan organisme membentuk kista
didalam stroma kornea, sehingga memerlukan waktu yang lama. Kortikosteroid topikal
mungkin diperlukan untuk mengendalikan reaksi radang dalam kornea. Keratoplasti mungkin
diperlukan pada penyakit yang telah lanjut untuk menghentikan berlanjutnya infeksi atau
setelah resolusi dan terbentuknya parut untuk memulihkan penglihatan. Jika organisme ini
sampai ke sklera, terapi obat dan bedah tidak berguna.

Anda mungkin juga menyukai