Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI ANEMIA
Anemia adalah Keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang
beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
tubuh. (I Made Bakta, 2007).
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah,
kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah.
(Price, 2006)
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen
darah, eleman tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel
darah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada
banyak tipe anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 1999)
Dengan demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit,
melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh
dan perubahan patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium. Anemia ,

B. DEFINISI ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik adalah anemia kegagalan sumsum tulang ditandai adanya
pansitopenia dengan sebagian besar kasus terjadi kelainan sumsum tulang hypoplasia.
Organ penting dalam pembentukan sel darah merah adalah sumsum tulang. Fungsinya
memproduksi semua jenis sel darah, mulai sel darah merah, darah putih dan trombosit
(keping darah). Seandainya organ tersebut gagal dalam menjalankan fungsinya, maka
mengakibatkan anemia aplastik.
Anemia aplastik merupakan anemia normokromik normositer yang disebabkan
oleh disfungsi sumsum tulang sedemikian sel darah yang mati tidak terganti. Pada tujuh
puluh persen kasus penyebab anemia aplastik didapat tidak dapat diterangkan,
sedangkan sisanya diduga akibat radiasi, bahan kimia termasuk obat-obatan, infeksi
virus, dan lain-lain. Gejala-gejala yang timbul pada pasien anemia aplastik merupakan
gejala pansitopenia seperti pucat, perdarahan, dan infeksi.
Anemia Aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di Negara
maju: 3-6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia aplastic di timur jauh
mempunyai pola yang berbeda dengan di negara barat.
 Di Negara timur (Asia Tenggara dan Cina) Insidennya 2-3 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan di Negara barat
 Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita
 Faktor lingkungan, seperti infeksi virus, antara lain virus hepatitis diduga
memegang peranan penting.

C. EPIDEMIOLOGI ANEMIA APLASTIK
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,
berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Analisis retrospektif di
Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5
kasus persejuta penduduk pertahun. The Internasional Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang
pertahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25
tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih
sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kirakira 7 kasus persejuta penduduk di
Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di
Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat
belum jelas. Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor
lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan
dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden
pada orang Asia yang tinggal di Amerika.

D. ETIOLOGI ANEMIA APLASTIK


Penyebab anemia aplastik sebagian besar tidak diketahui atau bersifat idiopatik.
Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses penyakit yang
berlangsung perlahan-lahan. Penulusuran penyebab dilakukan melalui penelitian
epidemiologi. Penyebab anemia aplastik dapat dibagi dua sebagai berikut :
 Penyebab Kongenital (20% dari kasus) antara lain :
a) Anemia fanconi,
b) Non fanconi Seperti cartilage hair hypoplasia, pearson syndrome,
amegakaryotic thrombocytopenia, scwachman-diamond syndrome,
dubowitz syndrome, diamond blackfan syndrome, familial aplastic
anemia, dan
c) Dyskeratosis congenital.
 Penyebab yang didapat (80% dari kasus) antara lain :
a) akibat infeksi Seperti virus hepatitis, epstein barr virus, HIV, parovirus,
dan mycobacteria,
b) akibat terpaparnya radiasi, bahan kimia seperti Benzene, Chlorinated
hycrocarbons, dan organophospates,
c) akibat pemakaian obat-obatan seperti chloramphenicol, phenylbutazone,
d) akibat penyakit jaringan ikat seperti rheumatoid arthritis dan systemic
lupus erythematosus (SLE), dan
e) akibat kehamilan. Anemia aplastik juga dapat disebabkan oleh dari
iradiasi. Hal tersebut dapat terjadi pada seseorang yang melakukan
pengobatan penyakit ganas dengan sinar 3 X. Peningkatan dosis
penyinaran sekali waktu akan menyebabkan terjadinga pansitopenia. Bila
penyinaran dihentikan, maka sel-sel akan berpoliferasi kembali.
Anemia aplastic juga dapat disebabkan oleh zat-zat anti terhadap selsel
hematopoietik dan lingkungan mikro.

E. PATOFISIOLOGIS ANEMIA APLASTIK


Mekanisme terjadinya anemia aplastic diperkirakan melalui tiga faktro berikut:
1. Kerusakan sel induk
2. Kerusakan lingkungan mikro
3. Mekanisme imunologis

Kerusakan sel induk telah dapat dibuktikan secara tidak langsung melalui
keberhasilan transplantasi sumsum tulang pada penderita anemia aplastik, yang berarti
bahwa penggantian sel induk dapat memperbaiki proses 10 patologik yang terjadi. Teori
kerusakan lingkungan mikro dibuktikan melalui tikus percobaan yang diberikan radiasi,
sedangkan teori imunologik dibuktikan secara tidak langsung melalui keberhasilan
pengobatan imunosupresif. Kelainan imunologik diperkirakan menjadi penyebab dasar dari
kerusakan sel induk atau lingkungan mikro sumsum tulang.
Gambar. Destruksi imun pada sel hematopoeitik

Hematopoesis normal yang terjadi di dalam sumsum tulang, merupakan


interaksi antara progenitor hematopoetik stem cell dengan lingkungan mikro
(microenvironment) pada sumsum tulang. Lingkungan mikro tersebut mengatur
hematopoesis melalui reaksi stimulasi oleh faktor pertumbuhan hematopoetik. Sel-sel
hematologik imatur dapat terlihat dengan pemeriksaan flouresent activate flow
citometry, yang dapat mendeteksi sel antigen CD34+ dan adhsesi 4 protein kurang dari
1% pada sumsum tulang normal. Anemia aplastik dapat terjadi secara heterogen melalui
beberapa mekanisme yaitu kerusakan pada lingkungan mikro, gangguan produksi atau
fungsi dan faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik, dan kerusakan sumsum tulang
melalui mekanisme imunologis. Limfosit T sitotoksik aktif, memegang peran yang
besar dalam kerusakan jaringan sumsum tulang melalui pelepasan limfokin seperti
interferon-α(IFN-γ) dan tumor necrosis factor β (TNF-β). Peningkatan produksi
interleukin-2 mengawali terjadinya ekspansi poliklonal sel T. Aktivasi reseptor Fas
melalui fas-ligand menyebabkan terjadinya apoptosis sel target. Efek IFNγ melalui
interferon regulatory factor 1 (IRF-1), adalah menghambat transkripsi gen dan masuk ke
dalam siklus sel. IFN-γ juga menginduksi pembentukan nitric oxide synthase (NOS),
dan produksi gas toksik nitric oxide (NO) yang mungkin menyebabkan efek toksiknya
menyebar.

F. MANIFESTASIKLINIS ANEMIA APLASTIK


Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang
timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan
menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe
d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis
menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka
terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal
maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di
kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Manifestasi klinis pada pasien
dengan anemia aplastik dapat berupa :
 Sindrom anemia :
a. Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak napas
intoleransi terhadap aktivitas fisik, angina pectoris hingga gejala payah
jantung.
b. Susunan saraf : sakit kepala, pusing, telingga mendenging, mata
berkunang – kunang terutama pada waktu perubahan posisi dari posisi
jongkok ke posisi berdiri, iritabel, lesu dan perasaan dingin pada
ekstremitas.
c. Sistem pencernaan : anoreksia, mual dan muntah, flaturensi, perut
kembung, enek di hulu hati, diare atau obstipasi.
d. Sistem urogeniatal : gangguan haid dan libido menurun.
e. Epitel dan kulit: kelihatan pucat, kulit tidak elastis atau kurang cerah,
rambut tipis dan kekuning kuningan.
 Gejala perdarahan : ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan subkonjungtiva,
perdarahan gusi, hematemesis/melenaatau menorhagia pada wanita. Perdarahan
organ dalam lebih jarang dijumpai, namun jika terjadi perdarahan otak sering
bersifat fatal.
 Tanda-tanda infeksi: ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis leher, febris,
sepsis atau syok septik.

Anemia aplastik mungkin muncul mendadak atau perlahan-lahan, tersembunyi


dan berbahaya, yang disertai dengan penurunan sel darah merah Makalah Hematologi –
Anemia Aplastik Page 11 secara berangsur sehingga menimbulkan kepucatan, rasa
lemah dan letih, atau dapat lebih hebat dengan disertai panas badan namun pasien
merasa kedinginan, dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia.
Selain itu pasien sering melaporkan terdapat memar (eccymoses), bintik merah
(petechiae) yang biasanya muncul pada daerah superficial tertentu, pendarahan pada
gusi dengan bengkak pada gigi, dan pendarahan pada hidung (epitaxis).

Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau
pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah platelet
kurang dari 10.000/l (10  109/liter) yang menandakan risiko yang lebih besar untuk
pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau
trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada anemia
aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis alternatif
seperti leukemia atau limpoma.
G. DIAGNOSIS ANEMIA APLASTIK
Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya bisitopenia atau
pansitopenia tanpa adanya keganasan, infiltrasi, dan supresi pada sumsum tulang.
Kriteria diagnosis pada anemia aplastik menurut international agranulocytosis and
aplastic anemia study group (IAASG) antara lain :
1) Satu dari tiga
a. hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30%,
b. trombosit kurang dari 50x109/L,
c. leukosit kurang dari 3,5x109/L atau netrofil kurang dari 1,5x109/L,
2) Dengan retikulosit kurang dari 30x109/L, dan
3) Dengan gambaran sumsum tulang
- Diagnosis Diferensial Yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis differensial
adalah penyakit lain yang memiliki gejala pansitopenia. Penyakit yang memiliki gejala
pansitopenia adalah fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH),
myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia, dan pure red
cell aplasia.
- Fanconi anemia. Anemia fanconi adalah bentuk kongenital dari anemia aplastik
dimana 10% dari pasien terjadi saat anakanak. Gejala fisik yang khas adalah tinggi
badan yang pendek, hiperpigmentasi kulit, microcephaly, hipoplasia jari, keabnormalan
alat kelamin, keabnormalan mata, kerusakan struktur ginjal dan retardasi mental.
Anemia fanconi terdiagnosis dengan analisis sitogenik dari limfosit darah tepi yang
menunjukkan kehancuran khromosom setelah culture dengan bahan yang menyebabkan
pemecahan khromosom seperti diepoxybutane (DEB) atau mitomycin C (MMC).
- Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH). PNH adalah anemia yang terjadi
akibat hemolisis dan adanya hemoglobinuria dengan trombosis vena. 10% sampai 30 %
dari pasien anemia aplastik berkembang menjadi PNH. Hal itu menunjukkan
kemungkinan anemia aplastik merupakan salah satu penyebab PNH. Diagnosis PNH
ditunjukkan dengan adanya penurunan expresi antigen CD59 sel dengan tes flow
cytometry. Tes seperti sucrose hemolysis dan uji urine dapat melihat terjadinya
hemosiderinuria sebagai salah satu gejala PNH.
- Myelodisplastic syndrome(MDS). MDS adalah kelompok penyakit clonal
hematopoietic stem cell yang terdapat adanya keabnormalan differensiasi dan maturasi
dari sumsum tulang, yang membawa pada kegagalan sumsum tulang dengan sitopenia,
disfungsi elemen darah, dan kemungkinan terjadi komplikasi leukemia. Kegagalan
sumsum tulang biasanya hiperselular dan normoselular, walaupun begitu MDS dapat
ditemukan dengan hiposelular. Penting untuk membedakan MDS hiposelular dengan
anemia aplastik untuk menentukan manajemen dan prognosisnya. Yang membedakan
MDS hiposelular adalah adanya abnormalitas clonal cytogenetic yaitu adanya
abnormalitas pada tangan kromosom 5q, monosomi 7q, dan trisomi 8. Pada MDS juga
mungkin ditemukan adanya cincin sideroblas (akumulasi besi pada mitokondria).
- Myelofibrosis. Ada 2 ciri utama nyelofibrosis yaitu extramedullary hematopoesis dan
fibrosis sumsum tulang. Extra medullatory hematopoesis menyebabkan
hepatosplenomegali yang tidak terjadi pada anemia aplastik. Biopsi sumsum tulang
menunjukkan derajat reticulin dan fibrosis kolagen dengan terjadinya peningkatan
jumlah megakaryocytes.
- Aleukemic leukemia. Aleukemic leukemia adalah penyakit yang memiliki ciri
kehilangan sel blast pada darah tepi dari pasien dengan leukemia, terjadi pada 10% dari
semua penderita leukemia dan biasanya muncul pada anak yang sangat muda atau pada
orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy menunjukkan sel blast.
- Pure red cell aplasia. Penyakit ini sangat jarang dan hanya melibatkan produksi
eritrosit yang ditandai dengan adanya anemia, penghitungan retikulosit kurang dari 1%,
dan sumsum tulang yang normoselular mengandung kurang dari 0,5% eritroblast. Untuk
penyakit lainnya yang dapat menunjukkan gejala sitopenia seperti leukemia dapat
dibedakan yang pada leukemia ditemukan tidak selalu adanya penurunan WBC. Kadar
WBC pada leukemia dapat normal, turun, atau meningkat.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG ANEMIA APLASTIK


Kelainan laboratorik yang dapat dijumpai pada anemia aplastik adalah:
1. Anemia normokromik normositer disertai retikusitopenia
2. Anemia sering berat dengan kadar Hb
3. Leukopenia dengan relatif limfositosis, tidak dijumpai sel muda dalam darah
tepi
4. Trombositopenia, yang bervariasi dari ringan sampai sangat berat
5. Sumsum tulang: hipoplasia sampai aplasia. Aplasia tidak menyebar secara
merata pada seluruh sumsum tulang, sehingga sumsum tulang yang normal
dalam satu kali pemeriksaan tidak dapat menyingkirkan diagnosis anemia
aplastik, harus diulangi pada tempat-tempat yang lain.
6. Besi serum normal atau meningkat, TIBC normal, HbF meningkat.
7. Darah Lengkap: Jumlah masing-masing sel darah (eritrosit, leukosit, trombosit)
8. Hapusan Darah Tepi: Ditemukan normokromik normositer

Gambaran hapusan darah tepi


9. Pemeriksaan Sumsum Tulang: Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung
sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit
sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin
menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada
menunjukkan peningkatan elemenelemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran
partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa
keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan
hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah. International Aplastic Study
Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum tulang 13
kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel
hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang

Gambaran sumsum tulang belakang pada orang normal (kiri)


dan pada anemia aplastik (kanan)

10. Pemeriksaan Flow cytometry dan FISH (Fluorescence In Situ Hybridization) Sel
darah akan diambil dari sumsum tulang, tujuannya untuk mengetahui jumlah
dan jenis sel-sel yang terdapat di sumsum tulang. Serta untuk mengetahui
apakah terdapat kelainan genetik atau tidak.
11. Tes Fungsi Hati dan Virus Anemia aplastik dapat terjadi pada 2-3 bulan setelah
episode akut hepatitis. Tes ini juga dinilai jika mempertimbangkan dilakukannya
bone marrow transplantasion
12. Level Vitamin B-12 dan Folat  menyingkirkan anemia megaloblastik
13. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna
untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak
diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu
ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak.

I. TERAPI ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan
perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus diputuskan
segera. Obatobatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan terapi dan apakah itu
perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat inap untuk pasien
dengan anemia aplastic mungkin diperlukan selama periode infeksi dan untuk terapi
yang spesifik, seperti globulin antithymocyte (ATG).
Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu
terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang
(terapi ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi definitif yang
terdiri atas pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi sumsum tulang. Berikut
ini saya akan bahas satu persatu tentang terapi tersebut.
a) Terapi Kausal Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab.
Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui,
tetapi sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau
penyebabnya tidak dapat dikoreksi.
b) Terapi suportif Terapi ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia.
Mengatasi infeksi. Untuk mengatasi infeksi antara lain : menjaga
higiene mulut, identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat
dan adekuat. Sebelum ada hasil, biarkan pemberian antibiotika berspektrum luas
yang dapat mengatasi kuman gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat
penicillin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai
sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah datang, sesuaikan hasil
dengan tes sensitifitas antibiotika. Jika dalam 5-7 hari panas tidak turun maka
pikirkan pada infeksi jamur. Disarankan untuk memberikan ampotericin-B atau
flukonasol parenteral,
Transfusi granulosit konsentrat. Terapi ini diberikan pada sepsis berat
kuman gram negatif, dengan nitropenia berat yang tidak memberikan respon
pada antibiotika adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa
efektifnya sangat pendek.
Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell atau
(PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang
sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9%-10% tidak perlu sampai Hb normal,
karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan
dipersiapkan untuk transplantasi sumsusm tulang pemberian transfusi harus
lebih berhati-hati.
Usaha untuk mengatasi pendarahan. Berikan transfusi konsentrat
trombosit jika terdapat pendaran major atau jika trombosit kurang dari
20.000/mm3. Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas
trombosit karena timbulnya antibodi anti-trombosit. Kortikosteroid dapat
mengurangi pendarahan kulit.
c) Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang. Beberapa tindakan di
bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sumsum tulang, meskipun
penelitian menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.
Anabolik steroid. Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau
stanozol. Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-3mg/kg BB/hari. Efek terapi
tampak setelah 6-12 minggu. Awasi efek samping berupa firilisasi dan gangguan
fungsi hati.
Kortikosteroid dosis rendah-menengah. Fungsi steroid dosis rendah
belum jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4
minggu tidak ada respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping
yang serius.
Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
atau Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-CSF. Terapi ini dapat
diberikan untuk meningkatkan jumlah netrofil, tetapi harus diberikan terus
menerus. Eritropoetin juga dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan
transfusi sel darah merah
d) Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka
panjang. Terapi definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis pilihan yaitu
Terapi imunosupresif dan Transplantasi sumsum tulang.
Terapi imunosupresif. Terapi ini merupakan lini pertama dalam pilihan
terapi definitif pada pasien tua dan pasien muda yang tidak menemukan donor
yang cocok. Terdiri dari
 pemberian anti lymphocyte globulin : Anti lymphocyte globulin (ALG)
atau anti tymphocyte globulin (ATG) dapat menekan proses imunologi.
ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoetic
growth factor sekitar 40%-70% kasus memberi respon pada ALG,
meskipun sebagian respon bersifat tidak komplit (ada defek kualitatif
atau kuantitatif). Pemberian ALG merupakan pilihan utama untuk
penderita anemia aplastik yang berumur diatas 40 tahun;
 terapi imunosupresif lain : pemberian metilprednisolon dosis tinggi
dengan atau siklosforin-A dilaporkan memberikan hasil pada beberapa
kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Pernah juga
dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis tinggi.
Transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang merupakan
terapi definif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya
sangat mahal, memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan
mencari donor yang kompatibel sehingga pilihan terapi ini sebagai
pilihan pada kasus anemia aplastik berat.

Transplantasi sumsum tulang


merupakan pilihan untuk kasus yang berumur dibawah 40 tahun, diberikan
siklosforin-A untuk mengatasi graft versus host disease (GvHD), transplantasi
sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60%-70% kasus,
dengan kesembuhan komplit. Meningkatnya jumlah penderita yang tidak cocok
dengan pendonor terjadi pada kasus transplantasi sumsum tulang pada pasien
lebih muda dari 40 tahun yang tidak mendapatkan donor yang cocok dari
saudaranya.
Mengatasi infeksi. Untuk mengatasi infeksi antara lain : menjaga
higiene mulut, identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat
dan adekuat. Sebelum ada hasil, biarkan pemberian antibiotika berspektrum luas
yang dapat mengatasi kuman gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat
penicillin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai
sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah datang, sesuaikan hasil
dengan tes sensitifitas antibiotika. Jika dalam 5-7 hari panas tidak turun maka
pikirkan pada infeksi jamur. Disarankan untuk memberikan ampotericin-B atau
flukonasol parenteral,
Transfusi granulosit konsentrat. Terapi ini diberikan pada sepsis berat
kuman gram negatif, dengan nitropenia berat yang tidak memberikan respon
pada antibiotika adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa
efektifnya sangat pendek.
Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell atau
(PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang
sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9%-10% tidak perlu sampai Hb normal,
karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan
dipersiapkan untuk transplantasi sumsusm tulang pemberian transfusi harus
lebih berhati-hati.
Usaha untuk mengatasi pendarahan. Berikan transfusi konsentrat
trombosit jika terdapat pendaran major atau jika trombosit kurang dari
20.000/mm3. Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas
trombosit karena timbulnya antibodi anti-trombosit. Kortikosteroid dapat
mengurangi pendarahan kulit.

J. PROGENESIS ANEMIA APLASTIK


Prognosis penyakit ini sukar diramalkan namun pada umumnya buruk, karena
seperti telah dikemukakan baik etiologi maupun patofisiologinya sampai sekarang
belum jelas. Sekitar dua pertiga pasien meninggal sekitar 6 bulan setelah diagnosis
ditegakkan, kurang dari 10-20 % sembuh tanpa transplantasi sumsum tulang dan
sepertiga pasien meninggal akibat perdarahan dan infeksi yang tidak teratasi. Penyebab
kematian pada umumnya adalah sepsis akibat infeksi Pseudomonas dan Stafilokokus.
Oleh karena itu, menentukan prognosis pasien anemia aplastik penting karena akan
menentukan terapi yang sesuai.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan prognosis
pasien anemia aplastik adalah usia pasien, gambaran sumsum tulang hiposeluler atau
aseluler, gambaran darah tepi, dan ada tidaknya infeksi sekunder. Prognosis pasien
anemia aplastik disebut buruk jika ditemukan pada usia muda, gambaran sumsum
tulang aseluler dengan pengurangan proporsi komponen mieloid dari sumsum tulang
lebih dari 30% limfosit, gambaran darah tepi dengan jumlah retikulosit< 20.000/uL,
disertai infeksi sekunder. Di antara hal-hal di atas yang paling baik dijadikan sebagai
pegangan dalam menentukan prognosis adalah gambaran sumsum tulang.
Pada pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, angka
kesembuhannya adalah 70-90%, walaupun 20%-30% dari pasien yang melakukan
transplantasi sumsum tulang mengalami Graft versus Host Disease (GvHD). Pemberian
terapi imunosupresif yang intensif memberikan peningkatan yang signifikan pada Blood
Countpada 78% pasien dalam 1 tahun. Walaupun ada resiko 36% dari pasien kambuh
setelah 2 tahun.

Anda mungkin juga menyukai