Anda di halaman 1dari 55

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Anemia aplastik adalah gangguan hematopoesis yang ditandai dengan

penurunan produksi haemoglobin (≤ 10 gr/dL) atau hematokrit ≤ 30 %, trombosit

≤ 50.000 /mm3, leukosit ≤ 3.500 /mm3 atau granulosit ≤ 1,5 x 109 /L. Keadaan ini

terjadi akibat penurunan eritroid, mieloid dan megakariosit, tanpa dijumpai

adanya keganasan pada sistim hematopoetik atau metastasis keganasan yang

menginvasi sumsum tulang.1 Angka kejadian anemia aplastik yaitu 2-6 kasus tiap

1 juta populasi, dimana perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1 : 1.

Anemia aplastik dapat terjadi pada semua kelompok usia, kejadian paling banyak

antara usia 1,5 tahun sampai 22 tahun dengan rata-rata 6-8 tahun. Penelitian yang

dilakukan di RSCM tahun 2002-2003 didapatkan 9 kasus anemia aplastik, dengan

5 orang laki-laki dan 4 orang perempuan.2

Anemia aplastik dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu kongenital dan didapat.

Anemia aplastik yang didapat berhubungan dengan paparan bahan kimia, obat-

obatan yang menekan fungsi sum-sum tulang, dan paparan radiasi. 1 Gejala klinis

1
yang muncul pada penderita anemia aplastik tidak terlalu khas, keluhan yang

biasa timbul adalah gejala anemia, seperti kelelahan, kurangnya daya

konsenterasi, berat badan kurang atau susah naik, lemah, palpitasi, mudah infeksi,

mudah terjadi perdarahan spontan terutama pada trombositopenia, dan keluhan

lainnya, tanpa ikterik (kuning) dan organomegali. Hal ini terjadi karena gangguan

pada sistem hematopetik.1,2,3

Diagnosis anemia aplastik ditegakan berdasarkan gejala klinis yang

muncul dan gambaran darah tepi pansitopenia. Diagnosis pasti penyakit anemia

aplastik adalah dengan pemeriksaan biopsi sum sum tulang. Biasanya didapatkan

gambaran sel yang sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan

lemak, aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Tatalaksana

yang dapat diberikan pada penderita anemia aplastik adalah terapi suportif berupa

pencegahan infeksi dan transfusi darah, sedangkan terapi definitifnya yaitu

transplantasi sumsum tulang. Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita

anemia aplastik adalah infeksi, berupa bronkopneumonia atau sepsis danp

perdarahan otak atau abdomen, hingga menyebabkan kematian.1

1.2 Batasan Masalah

2
Laporan kasus ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologis dan patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana dan

komplikasi dari anemia aplastik.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami

definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologis dan patogenesis, manifestasi klinis,

diagnosis, tatalaksana dan komplikasi dari anemia aplastik.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang


ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. 4 Pada anemia
aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan
trombositopenia.5 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan
anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang
sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia
hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.4

2.2 Epidemiologi

Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,


berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.5 Analisis
retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar
antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun.7 The Internasional Aplastic
Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus
persejuta orang pertahun.5,7 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada usia
15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun.
Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh (Asia Timur, Rusia Timur dan
Asia Tenggara), dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4

4
kasus per satu juta penduduk di Thailand dan 5 kasus per satu juta penduduk di
Malaysia.7 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor
lingkungan, seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik dan faktor
genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang
Asia yang tinggal di Amerika.8

5
2.3 Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui dengan pasti, sehingga


penatalaksanaannya juga belum optimal dan seringkali menimbulkan masalah-
masalah baru pada pasien seperti memperburuk kondisi pasien atau bahkan dapat
mengancam jiwa. Etiologi yang belum diketahui dengan pasti, menyebabkan
anemia ini dikategorikan kedalam anemia aplastik idiopatik. Namun, pendapat
lain menyatakan bahwa penyebab terbanyak dari anemia aplastik ini adalah
iatrogenik seperti kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi. Kerusakan yang terjadi
pada anemia aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan jaringan
sumsum tulang untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi
seperti toksisitas langsung atau defisiensi sel-sel stromal. Penyimpangan proses
imunologis yang terjadi pada anemia aplastik berhubungan dengan infeksi virus
atau obat-obatan yang digunakan, atau zat-zat kimia.2,9

6
Tabel 1 Etiologi yang berhubungan dengan Anemia aplastik didapat9

Infeksi ● Hepatitis-associated, typically seronegative

● Virus Epstein-Barr

● Cytomegalovirus

● Parvovirus

● Infeksi Mikobakterium

● Human Immunodeficiency Virus (HIV)

● Human Herpes Virus 6

● Virus Varicella Zoster

● Campak

● Adenovirus

Nutrisi ● Defisiensi Cu (tembaga)

● Vitamin B12

7
● Asam folat

Toksisitas obat ● OAINS

● Antibiotik

● Antikonvulsan

● Sulfonamid

● Gold Salts

● Kloramfenikol

Bahan kimia ● Benzen

● Insektisida

● Pestisida

● Zat pelarut

8
Radiasi

Penyebab lain
yang
berhubungan

● Inflamasi dan penyakit autoimun (seperti SLE)

● Graft-versus-Host-Disease

Idiopatik Sering juga dikenal dengan Immune-mediated Aplastic Anemia

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Anemia aplastik dapat terjadi secara heterogen melalui beberapa


mekanisme yaitu kerusakan pada lingkungan mikro, gangguan produksi atau
fungsi serta faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik, dan kerusakan sumsum
tulang melalui mekanisme imunologis. Kerusakan yang terjadi pada anemia
aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan jaringan sumsum tulang

9
untuk memberi kesempatan sel induk untuk berproliferasi dan berdiferensiasi
dengan baik. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang terjadi seperti
toksisitas langsung atau defisiensi sel-sel stromal. Penyimpangan proses
imunologis yang terjadi pada anemia aplastik berhubungan dengan infeksi virus
atau obat-obatan yang digunakan, atau zat-zat kimia.2

Limfosit T sitotoksik aktif, memegang peran yang besar dalam kerusakan


jaringan sumsum tulang melalui pelepasan limfokin seperti Interferon-gamma
(IFN-γ) dan Tumor Necrosis Factor alfa (TNF-α). Interferon gamma serta TNF
alfa menyebabkan terjadnya penghancuran dari progenitor hematopoetik. Hal ini
disebabkan adanya induksi apoptosis pada CD34 di sel target atau adanya
kaskade Fas-dependent yang berujung ke kematian sel.2,10

Peningkatan produksi interleukin-2 mengawali terjadinya ekspansi


poliklonal sel T. Aktivasi reseptor Fas melalui fas-ligand menyebabkan terjadinya
apoptosis sel target. Efek IFN- γ melalui Interferon Regulatory Factor 1 (IRF-1),
adalah menghambat transkripsi gen dan masuk ke dalam siklus sel. IFN-γ juga
menginduksi pembentukan Nitric Oxide Synthase (NOS), dan produksi gas toksik
Nitric Oxide (NO) yang mungkin menyebabkan efek toksiknya menyebar.2

Aktivasi sel T pada anemia aplastik masih belum diketahui penyebab


pastinya. Presentasi berlebih dari HLA-DR2 pada pasien memiliki peran dalam
rekognisi antigen kepada sel T. adanya polimorfisme pada gen sitokin, TNF alfa,
dan gen interleukin 6 juga berpengaruh terhadap peningkatan respon imun

10
seseorang. Ekspresi T-bet (regulator transkripsi dalam polarisasi Th1) serta mutasi
dari gen perforin juga ditemukan pada kebanyakan pasien anemia aplastik.10

Gambar 1. Patogenesis Anemia Aplastik

Kerusakan pada sel hematopoetik progenitor menyebabkan pansitopeni,

yaitu terjadinya anemia, trombositopenia, dan granulositopenia. Anemia pada

pasien akan menyebabkan kelemahan, pucat, dan bahkan dispneu. Sedangkan

trombositopenia yang terjadi pada pasien seringkali bermanifestasi klinis sebagai

11
pteki dan ekimosis. Granulositopenia ditandai dengan seringnya mengalami

infeksi yang persisten dan berulang.11

Gambar 2. Patofisiologi anemia aplastik

2.5 Manifestasi Klinis

Permulaan dari suatu anemia aplastik dimana terjadi penurunan sel darah
merah secara berangsur sehingga menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih,
atau dapat lebih hebat dengan disertai demam namun pasien merasa kedinginan,
dan faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia. 12 Selain itu
pasien sering melaporkan terdapat memar (eccymoses), bintik merah (petechiae)
yang biasanya muncul pada daerah superfisial tertentu, pendarahan pada gusi
dengan bengkak pada gigi, dan pendarahan pada hidung (epistaxis). Menstruasi
berat atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia subur. Pendarahan
organ dalam jarang dijumpai, tetapi pendarahan dapat bersifat fatal.13,14

Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi
atau pendarahan. Purpura pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah platelet
kurang dari 10.000/l (10  109 /liter) yang menandakan risiko yang lebih besar
untuk pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada anemia
berat atau trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu

12
ditemukan pada anemia aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru
terjadi atau diagnosis alternatif seperti leukemia atau limpoma.13

2.5.1. Pemeriksaan Darah.

Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang


beragam. Anemia diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang rendah. Jumlah
retikulosit biasanya kurang dari satu persen atau bahkan mungkin nol.
Makrositosis mungkin dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi,
merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari
klon sel eritroid yang tidak normal. Jumlah total leukosit dinyatakan rendah,
jumlah sel berbeda menyatakan sebuah tanda pengurangan dalam neutropil.
Platelet juga mengalami pengurangan, tetapi fungsinya masih normal.11 Pada
anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl. Penemuan lainnya yaitu besi serum
normal atau meningkat, Total Iron Binding Capacity (TIBC) normal, HbF
meningkat.13

2.5.2. Biopsi Sumsum Tulang

Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan


ruang lemak kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel,
makrofag, dan sel induk mungkin mencolok, tetapi ini mungkin merupakan
refleksi dari kekurangan sel lain dari meningkatnya elemen ini. Anemia aplastik
berat sudah didefinisikan oleh International Aplastic Anemia Study Group sebagai
sumsum tulang kurang dari 25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan

13
kurang dari 30 persen sel hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil
kurang dari 500/l (0.5  109 /liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/l (20 
109 /liter), dan anemia dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen.
Pengembangan in vitro menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony
Forming Unit-Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst
Forming Unit-Erythroid (BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan
tanda pengurangan dalam sel primitif.12

2.5.3. Radiologi

Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan untuk


membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Ini dapat memberikan
perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum tulang dari pada teknik
morpologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik mielodiplastik dari
anemia aplastik.12

2.5.4. Pemeriksaan Plasma dan Urin

Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan hemapoetik yang tinggi, yang


meliputi erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor myeloid colony stimulating.
Serum besi juga memiliki nilai yang tinggi, dan jarak ruang Fe diperpanjang,
dengan dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah merah.12

2.6 Diagnosis

14
Penegakan diagnosis anemia aplastik berdasarkan klinis dan pemeriksaan
penunjang. Beberapa gambaran klinis yang biasanya muncul pada anak dengan
anemia aplasti seperti demam, pucat, tanda-tanda perdarahan, tanpa disertai
dengan organomegali. Pasien dengan anemia aplastik juga harus disingkirkan
untuk kemungkinan leukemia, kegagalan sumsum tulang kongenital, infeksi, dan
paroksismal nocturnal haemoglonuria (PNH).1 Pemeriksaan penunjang yang
digunakan untuk kecurigaan terhadap anemia aplasti adalah:

a. Darah perifer lengkap dan hitung jumlah retikulosit

Darah perifer lengkap biasanya menunjukkan keadaan pansitopenia. Pada


kebanyakan kasus, kadar hemoglobin, neutrofil, dan trombosit menurun,
namun pada fase awal dapat ditemukan keadaan sitopenia terisolasi,
terutama trombositopenia. Penurunan kadar komponen darah juga diikuti
dengan retikulositopenia.14 Keadaan pansitopenia dan retikulosipotenia
menunjukkan adanya kegagalan sumsum tulang.16

15
b. Bone marrow punction dan trephine biopsy

Kedua pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang sangat mendukung


diagnosis anemia aplastik sekaligus menyingkirkan diagnosis banding dari
anemia aplastik. Pada pemeriksaan trephine biopsy akan ditemukan
hiposelularitas hematopoietik (<30% untuk anak dan dewasa muda).
Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang akan menunjukkan pola
diseritropoietik dengan jumlah megakariosit yang rendah atau tidak
ditemukan sama sekali. selain itu juga ditemukan displasia granulosit.
Temuan ini akan membantu dalam membedakan anemia aplasti dengan
mielodiplasia (MDS).2 Hiposelularitas juga diikuti dengan digantikannya
komponen sumsum tulang dengan lemak dan stroma sumsum tulang. Sel
hematopoietik yang terlihat memiliki morfologi yang normal dan tidak
ditemukan tanda-tanda keganasan.16
Dalam penegakan diagnosis anemia aplastik juga perlu ditentukan tingkat
keparahannya, Tabel 2 menunjukkan tingkat keparahan anemia aplastik
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.15

Tabel 2. Kriteria tingkat severitas anemia aplastik15,16

16
Anemia aplastik tidak berat Penurunan selularitas sumsum tulang dan sitopenia
perifer, namun tidak memenuhi kriteria anemia
aplasti berat

Anemia aplastik berat Selularitas sumsum tulang <25%

Ditambah minimal 2 kriteria berikut :

- Neutrofil <0,5 x 109/L


- Trombosit <20 x 109/L
- Retikulosit <20 x 109/L

Anemia aplastik sangat Memenuhi kriteria anemia aplastik berat ditambah


berat dengan neutrofil <0,2 x 109/L

17
c. Pemeriksaan lain

Berdasarkan panduan diagnosis dan tatalaksana anemia aplastik, terdapat


beberapa pemeriksaan lain yang bisa dilakukan, baik untuk mencari
penyebab anemia aplastik maupun untuk menyingkirkan diagnosis
bandingnya. Beberapa pemeriksaan tersebut adalah16 :

1. Kadar fetal hemoglobin (HbF)


2. Flow cytometry untuk gliserofosfoditilinositol
3. Hemosiderin pada urin jika ditemukan defisiensi
gliserofosfoditilinositol
4. Vitamin B12 dan asam folat
5. Fungsi hati
6. Uji terhadap kemungkinan virus : hepatitis A, B, dan C, EBV, dan HIV
7. Antibodi anti-nuclear dan anti-dsDNA
8. USG abdomen dan ekokardiogram
9. Analisis mutasi genetik untuk diskeratosis kongenital jika tidak respon
dengan terapi imunosupresif.

18
2.7 Tatalaksana

Anemia aplastik berat hampir selalu membutuhkan tatalaksana, baik

suportif maupun definitif. Untuk pasien dengan anemia aplastik tidak berat cukup

dengan observasi, terutama bila mereka tidak memerlukan transfusi. Banyak dari

pasien ini memiliki jumlah darah yang stabil selama bertahun-tahun, namun pada

beberapa pansitopenia dapat memburuk. Pansitopenia berat dan anemia aplasti

berat atau ketergantungan transfusi dapat diobati sesuai dengan algoritma.

(Gambar 3)16

19
Gambar 3. Algoritma manajemen awal anemia aplastik16

2.7.1. Tatalaksana suportif

20
Manajemen awal pada anemia aplastik terdiri dari transfusi darah,

konsentrat platelet dan pengobatan serta pencegahan infeksi. Transfusi trombosit

profilaksis jika jumlah trombosit adalah <10 × 109 / l. Produk darah yang

diindikasikan untuk pasien yang direncanakan untuk transplantasi sumsum tulang

allogenik (BMT). Tidak ada penggunaan rutin eritropoietin rekombinan manusia.

Pemberian faktor stimulasi koloni granulosit (G-CSF) dapat dipertimbangkan

untuk infeksi sistemik yang berat namun tidak secara rutin. Prednison tidak boleh

digunakan karena tidak efektif dan mendorong infeksi bakteri dan jamur dan dapat

memicu pendarahan gastrointestinal dengan adanya trombositopenia berat.

Neutropenia meningkatkan risiko infeksi bakteri pada anemia aplastik, namun

penggunaan antibiotik profilaksis tidak menunjukkan peran pada pasien dengan

anemia aplastik. Dalam konteks demam dan neutropenia, evaluasi dan kultur dari

semua pada umumnya harus diikuti dengan pemberian antibiotik parenteral

spektrum luas sampai demam mereda dan semua kultur negatif.16, 40

2.7.1.1 Transfusi darah 40

Konsentrasi sel darah merah diberikan pada pasien simtomatik

anemia atau pada orang-orang yang asimtomatik dengan hemoglobin

21
< 8 g / dl [2,45]. Konsentrat trombosit harus diberikan <10.000/mmc

atau <20.000 / mmc, jika terjadi demam, sepsis atau perdarahan. Konsentrat

granulosit harus dibatasi pada infeksi yang mengancam jiwa

selama neutropenia sebagai pengobatan jembatan di sekitar neutrofil

pemulihan.

2.7.1.2 G-CSF 40

G-CSF dalam jadwal harian dianjurkan selama 30 hari pertama

pengobatan untuk pasien dengan anemia aplastik sangat berat dan anemia aplastik

berat yang menjalani immunosuppressive therapy (IST). Penggunaan G-CSF juga

diterima antara hari ke 30 dan 90 sejak IST

dapat dimulai pada pasien dengan neutrofil kurang dari 200 / mmc. Penggunaan

ini Bisa berada dalam jadwal harian atau "on demand" hanya selama demam

neutropenia pada pasien anemia aplastik sangat berat dan anemia aplastik berat.

22
2.7.1.3 Infeksi 40

Tidak ada penelitian yang membuktikan keamanan dan manfaat anti

mikroba dalam pengobatan dan profilaksis pasien anak dengan anemia aplastik.

a) Profilaksis

Antibiotik profilaksis dapat dipertimbangkan pada pasien dengan neutrofil

dari <200 / mmc, antara hari ke 30 dan hari ke 90 setelah IST. Anti jamur

profilaksis dapat dipertimbangkan pada subyek dengan neutrofil terus-

menerus <200 / mmc. Profilaksis untuk anti-pneumocystis jiroveci

diindikasikan dengan kotrimoksazol oral atau dengan pentamidin dengan

aerosol jika limfosit nilai rendah (CD4 + < 400 / mmc atau total limfosit <

1000 / mmc). Profilaksis anti-virus dapat dikonsumsi pada pasien dengan

berat lymphopenia setelah ATG.

23
b) Terapi empiris terhadap infeksi bakteri dan jamur

Pengobatan antibiotik awal harus spektrum luas dan berdasarkan

epidemiologi infeksi dimana pasiennya dirawat.

c) Vaksinasi

2.7.2. Tatalaksana definitif

Untuk anemia aplastik berat, seperti yang didefinisikan di atas, terapi

definitif adalah terapi imunosupresif (IST) atau transplantasi sel induk

hematopoietik (HSCT). 16

24
2.7.2.1 Immunosuppressive therapy (IST)

IST paling banyak digunakan karena kurangnya donor yang

histokompatibel, usia pasien, dan biaya transplantasi. Standar IST awal adalah

anti thymocyte globulin (ATG) dan siklosporin A (CsA), yang menghasilkan

penyembuhan hematologis pada 60% sampai 70% kasus dan respon jangka

panjang yang sangat baik, seperti yang ditunjukkan pada beberapa penelitian

prospektif yang besar di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. ATG yang

diproduksi dengan mengimunisasi hewan mungkin bersifat imunomodulator dan

juga limfositotoksik, mungkin dengan menghasilkan keadaan toleransi dengan

penipisan sel T yang diaktifkan secara istimewa. Siklosporin memiliki efek

selektif pada fungsi sel T karena penghambatan langsung pada ekspresi protein

pengatur nuklir, mengakibatkan penurunan proliferasi sel T dan aktivasi.

Peningkatan jumlah darah sehingga kriteria untuk tingkat keparahan tidak

terpenuhi, sangat berkorelasi dengan penghentian transfusi, bebas dari infeksi

neutropenik, dan kelangsungan hidup yang lebih baik. Dengan standar ini, sekitar

60% pasien respon pada 3 atau 6 bulan setelah memulai pengobatan ATG. 16

25
Terdapat perbedaan dalam literatur yang dipusatkan ATG adalah kelinci atau

kuda unggulan. ATG kelinci lebih bersifat limfositotoksik, dan telah berhasil

menyelamatkan pasien dengan anemia aplastik berat refrakter relaps setelah

pemberian awal ATG kuda, dalam sebuah penelitian melaporkan, respon

hematologi terhadap ATG kelinci (37%) sekitar setengah yang diamati dengan

standar ATG kuda (68%), dengan kelangsungan hidup rendah dicatat pada lengan

ATG kelinci. ATG biasanya diberikan dengan dosis 40 mg/ kg selama 4 jam,

setiap hari selama 4 hari. ATG dapat menyebabkan reaksi alergi yang serius

dengan gejala ruam kulit, tekanan darah rendah, dan masalah pernapasan, dan

harus diberikan dengan steroid sebelum pengobatan. Prednison 1 mg/ kg dimulai

pada hari ke 1 dan dilanjutkan selama 2 minggu, sebagai profilaksis, yang dapat

muncul 7-14 hari sejak dimulainya pengobatan ATG. CsA ditambahkan pada hari

ke 1 sampai tingkat target antara 200 dan 400 ng / ml, dimulai pada dosis 10 mg /

kg per hari. Banyak pasien mengalami hipertensi selama pengobatan CsA, dan

pemberian amlodipin lebih disukai karena overlap minimal dengan toksisitas

CsA. Pemantauan fungsi hati dan ginjal sangat dibutuhkan. 16

26
Risiko kambuh yang signifikan dengan siklosporin yang cepat dan

pengobatan harus dilanjutkan setidaknya selama 12 bulan setelah respons

maksimal sebelum mulai menurunkan obat. Penambahan mycophenolate mofetil,

faktor pertumbuhan atau sirolimus terhadap kuda ATG / CsA tidak memperbaiki

tingkat respons, kambuhan, atau evolusi klonal. Alemtuzumab (Campath®),

antibodi monoklonal terhadap antigen CD52 yang ditemukan di permukaan

banyak limfosit T juga dapat mengobati anemia aplastik dengan menurunkan sel

T.

Tujuan imunosupresi meningkatkan harapan hidup dan respons hematologis

jangka lama yang menghindari kambuh dan evolusi klonal. Kambuhan

hematologis dan evolusi klonal biasanya terjadi dalam 2 sampai 4 tahun setelah

IST. Sekitar 50% responden tidak kambuh atau berkembang dalam jangka

panjang, dan mereka memiliki kelangsungan hidup jangka panjang yang sangat

baik. Sebagian besar pasien yang kambuh dapat diselamatkan dengan

imunosupresi lebih lanjut atau dengan transplantasi stem sel.16

2.7.2.2 Allogenic bone marrow transplantation

27
Allogeneic bone marrow transplantation (BMT) dari human leucocyte

antigen (HLA) - adalah pengobatan awal pilihan untuk pasien yang baru

didiagnosis jika mereka mengalami anemia aplastik berat atau anemia aplastik

sangat berat, berusia <40 tahun dan memiliki HLA kompatibel. Sumber sel induk

yang direkomendasikan untuk transplantasi pada anemia aplastik adalah sumsum

tulang. Regimen pengkondisian biasanya mengandung siklofosfamid dan

fludarabin. Pabrik trans allogeneic dari matched sibling donor (MSD)

menyembuhkan sebagian besar pasien dengan tingkat ketahanan hidup 5 tahun

yang tinggi. Matched unrelated donor (MUD) BMT dapat dipertimbangkan pada

pasien anemia aplastik berat, dengan indikasi tidak MSD tetapi cocok MUD,

berumur <50 tahun (atau 50-60 tahun dengan status kinerja yang baik), dan telah

gagal setidaknya satu ATG dan siklosporin. Pasien dengan anemia aplastik harus

ditindaklanjuti tanpa batas waktu untuk memantau kekambuhan dan kelainan

klonal lainnya, seperti MDS, leukemia, PNH dan tumor. 16

2.8 Komplikasi 1

Sebab kematian pada pasien anemia aplastik :

28
1. Infeksi, biasanya bronkopneumonia atau sepsis. Harus waspada terhadap
tuberkulosis akibat pemberian prednison jangka panjang.
2. Perdarahan otak atau abdomen

Dua pertiga pasien meninggal sekitar 6 bulan setelah ditegakkan diagnosis,


hanya 10-20% yang sembuh tanpa transplantasi sumsum tulang dan sepertiga
meninggal akibat perdarahan dan infeksi yang tidak teratasi. Penyebab kematian
pada umumnya adalah sepsis akibat infeksi Pseudomonas dan Stafilokokus.2

2.9 Prognosis 1

Prognosis bergantung pada :

29
1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau seluler
2. Kadar HbF yang lebih dari 200mg % memperlihatkan prognosis yang
lebih baik
3. Jumlah granulosit lebih dari 2.000/mm3 menunjukkan prognosis yang
lebih baik
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian
infeksi masih tinggi. Gambaran sumsum tulang merupakan parameter
yang terbaik untuk menentukan prognosis.

Remisi biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan


oksimetolon setelah 2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikanpada sistem
eriropoitik, kemudian sistem granulopoitik, dan terakhir sistem trombopoitik.
Kadang-kadang remisi terlihat pada sistem granulopoitik lebih dahulu, disusul
oleh sistem eritropoitik dan trombopoitik. Untuk melihat adanya remisi
hendaknya diperhatikan jumlah retikulosit, granulosit/ leukosit dengan hitung
jenisnya dan jumlah trombosit. Pemeriksaan sumsum tulang merupakan indikator
terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah tercapai, yaitu
timbulnya aktivitas eritropoitik dan granulopoitik, bahaya pendarahan yang fatal
masih tetap ada, karena perbaikan sistem trombopoitik terjadi paling akhir.

30
Sebaiknya pasien dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah hitung trombosit
mencapai 50.000-100.000/mm3.

BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas

Nama : Natasya Aidil Fitri

31
No.MR : 01030634
Umur : 7 tahun 7 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Indonesia
Nama ibu : Fitri RahmaYeni
Alamat : Jalan Salak 2, Belimbing, Padang
Tanggal masuk : 28 Maret 2019
Tanggal pemeriksaan : 28 Maret 2019

Keluhan Utama
Perdarahan gusi yang bertambah banyak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :

 Bintik bintik perdarahan di ekstremitas bawah kiri dan kanan sejak 1

32
minggu sebelum masuk rumah sakit dan semakin bertamah banyak sejak
4 hari sebelum masuk rumah sakit.
 Perdarahan gusi sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit dan semakin
bertambah banyak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
 Perdarahan pada hidung dan saluran cerna tidak ada.
 Demam tidak ada
 Kejang tidak ada
 Batu tidak ada
 Sesak tidak ada
 Mual dan muntah tidak ada
 BAK normal
 BAB normal

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Anak telah dikenal menderita anemia aplasia sejak 1 tahun yang lalu dan
rutin control ke RSUP Dr.M.Djamil

33
Riwayat Penyakit Keluarga:
● Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan penderita..

Riwayat Kelahiran :

Anak cukup bulan, lahir secara operasi section cesarea, atas indikasi panggul
sempit, persalinan dibantu oleh dokter . Anak langsung menangis kuat.Berat
badan lahir 3400 gram, panjang lahir 49 cm, saat lahir langsung menangis.

Riwayat Makanan dan Minuman :

● Bayi : ASI : umur 0-9 bulan

34
Susu formula : 6 bulan-5 tahun
Bubur susu : 10 bulan
Nasi tim : 11 bulan

● Makanan utama : 3 kali sehari menghabiskan 1 porsi


● Ikan : 4x seminggu
● Daging : 3x seminggu
● Telur : 5x seminggu
● Sayur : 3x seminggu

Kesan : Kualitas dan kuantitas makan cukup

Riwayat Imunisasi:

Imunisasi dasar dan ulangan lengkap

35
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Riwayat
Pertumbuhan ganguan
dan perkembangann
Perkembanga mental
nn Umur Umur

Ketawa 3 bulan Isap jempol -

36
Miring 3 bulan Gigit kuku -

Tengkurap 4 bulan Sering mimpi -

-
Duduk 7 bulan Mengompol
-

Merangkak 8 bulan Aktif sekali

Berdiri 9 bulan Apatik

Lari 13 bulan Membangkang

37
Gigi pertama 6 bulan Ketakutan

Bicara 12 bulan Pergaulan jelek

Membaca 5 tahun Kesukaran


belajar

Prestasi -
disekolah

Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan normal

38
Riwayat Keluarga

Ayah Ibu

Nama Arif Fitri

Umur 39 tahun 37 tahun

Pendidikan SMP SMP

Pekerjaan Wiraswasta IRT

Penghasilan Rp. 1.500.000 -

Perkawinan 1 1

Penyakit yang Hipertensi Tidak ada


pernah diderita

39
Saudara Kandung

Saudara kandung Umur Keadaan sekarang


Perempuan 12 tahun Sehat
Perempuan 7 tahun 7 bulan Pasien

Riwayat Perumahan dan Lingkungan

 Rumah tempat tinggal : Permanen


 Sumber air minum : PDAM
 Buang air besar : Jamban didalam rumah
 Pekarangan : Cukup luas
 Sampah : dibakar
Kesan : higienitas dan sanitasi baik

40
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 92 x/ menit
Nafas : 22x/ menit
Suhu : 36,8 OC
Tinggi badan : 120 cm
Berat badan : 30 kg
BB/U : 120%
TB/U : 95,6%
BB/TB : 136,6%
Gizi : Gizi lebih

Kulit : Teraba hangat, turgor kulit kembali cepat, terdapat bintik-bintik

41
perdarahan.
Kepala : Bentuk bulat, simetris
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor
diameter 2mm/2mm, reflek cahaya +/+, reflek kornea +/+
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada, epistaksis tidak ada

Tenggorokan : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis


Mulut : Perdarahan gusi (+) Mukosa bibir dan mulut basah, karies
dentis tidak ada

Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB,

Thorax : normochest
Paru-paru

42
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler, rhonki dan wheezing tidak ada

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidakterlihat

Palpasi : Teraba iktus kordis di linea midclavicula sinistra RIC IV


Perkusi : dalam batas normal
Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada

43
Abdomen

Inspeksi : Distensi tidak ada

Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Punggung : Tidak ada kelainan

Genitalia : A1P1M1
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik

44
Pemeriksaan Laboratorium :

Darah

Hb : 9,8 g/dl

Leukosit : 3400 /mm3

Trombosit : 6000 /mm3

Hematokrit : 28%

Hitung jenis : 0/1/0/36/55/8

Retikulosit : 0,94

MCV : 88

MCH : 31

MCHC : 35

Kesan : anemia, leucopenia,trombositopenia

Diagnosis:

45
Perdarahan gusi+ptekie ec trombositopenia ec anemia aplastik

Terapi

ML 1500 kkal

Transfusi TC 10 unit

Vitamin B kompleks

IVFD KaEn 1B

46
Follow Up
Selasa, 29 Maret 2019
S/
Gusi berdarah tidak ada
Perdarahan kulit ada di tungkai bawah kiri dan kanan
Demam tidak ada
Batuk tidak ada
Sesak tidak ada
Mual dan muntah tidak ada
Kejang tidak ada
Minum ada

47
Nafsu makan baik
BAK warna dan jumlah normal
BAB normal
O/

KU : sakit sedang RR : 20x/menit

Kesadaran : komposmentis

Suhu : 36,50C
HR : 90x/ menit

Tekanan darah : 100/60

Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

48
Cor : irama regular, bising jantung tidak terdengar
Pulmo : suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : tidak ada distensi, bising usus ada, normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik
Mulut dan gusi : perdarahan gusi tidak ada
A/ Perdarahan gusi + ptekie ec trombositopenia ec anemia aplastik
P/ Terapi lanjut
Transfusi TC 10 unit

BAB III

DISKUSI

Seorang pasien perempuan, berusia 7 tahun dengan keluhan utama tampak


perdarahan gusi sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Bintik-bintik perdarahan
diselruh tubuh sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dan semakin
bertambah banyak sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit Pada pasien ini

49
didapatkan perarahan gusi dan bintik-bintik perdarahan diseluruh tubuh, hal ini
menunjukkan adanya gejala trombositopenia karena perdarahan gusi terjadi tanpa
adanya trauma. Anak telah dikenal menderita anemia aplastik sejak tahun 2018
dan rutin control ke RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya perdarahan gusi . Selain itu


tidak didapatkan kelainan yang signifikan seperti organomegali yang umum
ditemukan pada anemia hemolitik. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin
didapatkan kesan anisositosis normokrom, leukopenia dan trombositopenia
.Berdasarkan hal-hal diatas, dapat dipikirkan diagnosis anemia aplastik dengan
diagnosis banding leukemia fase preleukemia.

Dari hasil bone marrow punction yang dilakukan pada tahun 2018
didapatkan hasil aktivitas yang menurun dari eritropoietik, granulopoietik dan
limfopoietik serta hiposeluler yang diikuti dnegan ruang yang berisi jaringan
lemak yang banyak. Dari hasil bone marrow punction tersebut dapat ditegakkan
diagnosis anemia aplastik.

Pengobatan yang diberikan terhadap pasien ini adalah tranfusi trombosit


konsentrat 10 unit, vitamin B 6 dan asam folat. Pengobatan ini merupakan
pengobatan bersifat suportif yaitu dengan transfusi trombosit. Pemberian
antibiotik bila terjadi infeksi juga harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan

50
umum pasien. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi
terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ugrasena IDG. Anemia Aplastik dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak


Cetakan Ke Dua. 2006. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Hal 10-15.
2. Isyanto, Abdulsalam M. Masalah Pada Tatalaksana Anemia Aplastik Didapat.
2005. Jakarta : Sari Pediatri, Volume 7 No 1. Hal 26-33.
3. Paquette RL, Young NS. Your Guide to Understanding Aplastic Anemia.
Aplastic Anemia & MDS International Foundation : 2008. Hal 1-40
4. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In:
Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-London:Lee& Febiger,
1993;911-43.
5. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,
2001;501-8.
6. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic
Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
7. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: William Hematology 7th ed. New York :
McGraw Hill Medical; 2007.

51
8. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
9. Hartung HD, Olson TS, Bessler M. Acquired Aplastic Anemia in Children.
HHS Public Access. 2013 Dec
10. Young N S, Calado R T, Scheinberg P, 2006. Current concepts in the
pathophysiology and treatment of aplastic anemia. Diakses dari
www.bloodjournal.org pada 5 November 2017.
11. Kumar V, Abbas A K, Aster J C, 2013. Robbins basic pathology. Elsevier:
Canada.
12. Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M,
Kipps TJ. Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-
523.
13. Bakta IM. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi Klinik
Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC;2006. p. 97-112.
14. Marsh JCW, Ball SE, Cavenagh J, Darbyshire P, Dokal I, GordonSmith EC, et
al. 2009. Guidelines for Diagnosis and Management of aplastic anemia. British
Journal of Haematology; 147; 43-70.
15. Miano M and Dufour C. 2015. The diagnosis and treatment of aplastic anemia:
a review. International journal of Haematology; 101; 527-35.
16. Dolberg OJ and Levy Y. Idiopathic aplastic anemia: Diagnosis and
classification. 2014. Autoimmunity Reivew; 1-5.
17. Young NS, Barrett AJ. The treatment of severe acquired aplastic anemia.
Blood 1995;85:3367-77.
18. Lanzkowsky P. Bone marrow failure. Manual of pediatric hematology and
oncology. Edisi ke-2. New york: Churchill Livingstone, 1995. h. 89-96.

52
19. Munthe BG. Diagnostik dan penanggulangan anemia aplastik. Dalam:
Pendidikan tambahan berkala Ilmu Kesehatan Anak. FKUI-RSCM Jakarta
1991. h. 33-40.
20. Gatot D. Penatalaksanaan transfusi pada anak. Dalam: Update emergencies
pediatrics. Jakarta : Balai Pustaka FKUI 2002. h. 28-47.
21. Young NS, Maciejewski J. The pathofisiology of acquired aplastic anemia. N
engl J Med 1997;336:1365-72.
22. Young NS. Aplastic anemia. Dalam: Brain MC, Carbone PP. Kelton JG,
Schiler JH, penyunting. Current therapy in hematology-oncology. Edisi ke-5.
St. Lois: Mosby, 1995. h. 129-34.
23. Speck B, Nissen C, Tichelli A, Gratwohl A. aplastic anemia: treatment.
Disampaikan pada kongres Internasional Society of Haematology, Singapore,
25-29 Agustus, 1996.
24. Alter BP, Young NS. The bone marrow failure syndromes. Dalam: Nathan DG,
Oski FA, penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-4.
Philadelphia: Saunders, 1993. h. 216-37.
25. Bakhshi S. Aplastic anemia. E-medicine journal; 2002. Didapat dari:
www.emedicine.com. Di akses tanggal 12 Pebruari 2003
26. Socie G, Stone JV, Wingard JR. long-term survival and late deaths after
allogeneic bone marrow transplantation. N engl J Med 1991;341:14-21.
27. Shadduck RK. Aplastic anemia. Dalam : Wiliams hematology. Edisi ke-5. New
York:McGraw Hill, 1995. h. 238-51.
28. Paquete RL, Tebyani N, Frane M, dkk. Long-term outcome of aplastic anemia
in adults treated with antithymocyte globulin: Comparison with bone marrow
transplantation. Blood 1995;85:283-90.

53
29. Marsh J, Schrezenmeier H, Marin P. Prospective randomized study comparing
cyclosponine alone versus the combination of antithymocite globulin and
cyclosporine for treatment of patients with nonsevere aplastic anemia: A report
from the European blood and marrow transplantation (EBMT) severe aplastic
anemia working party. Blood 1999;93:2191-5.
30. Brodsky RA, Sensenbrenner LL, smith BD, Dorr D, Seaman DJ, Lee SM.
Durable treatment-free remission after high-dose cyclophosphamid therapy for
previously untreated severe aplastic anemia. Ann intern Med. 2001;87:477-83.
31. Scopes J, Daly S, Atkinson R. Aplastic anemia: evidence for dysfunctional
bone marrow progenitor cells and the corrective effect of Granulocyte colony
stimulating factor in vitro. Blood 1996;87:3179-85.
32. Broadsky RA, Sensenbrenner LL, Jones RI. Complete remission in severe
aplastic anemia high-dose cyclophospamid without bone marrow
transplantation. Blood 1996;87:491-4.
33. Bacigalupo N, kaltwasser JP, Corda G, Arcese W, Carotenuto W, Gallamini
W. Antilymphocyte globulin, cyclosporin and granulocyte colony stimulating
factors in patients with acquired aplastic anemia. Blood 1995;324:1298-303
34. Rosenfeld S, Follmann D, Nunez O. Antythymocyte globulin and cyclosporine
for severe aplastic anemia association between hematologic response and long-
term outcome. JAMA 2003;289:1130-5.
35. Rosenfeld SJ, Kimball J, Vining D. Intensive immunosupression with
antithymocyte globulin and Cyclosporin as treatment for severe acquired
aplastic anemia. Blood 1995;85:3058-65.
36. Passweg JR, Socie G, Hinterberger W. Bone marrow transplantation for severe
aplastic anemia: has outcome improved?. Blood 1997;90:858-64.

54
37. Deeg HJ, Leisenring W, Rainer S, Nimms D, Flower M, Sandrers J. Long-term
outcome after marrow transplantation for severe aplastic anemia. Blood
1998;91:3637-45.
38. Min CK, Kim DW, Lee JW, Han CW, Min WS, Kim CC. Hematopoetic stem
cell transplantation og high risk adult patient with severe anemia aplastic;
reduction of graft failure by enhanching stem cell dose. Haematologica
2001;86:303-10.
39. Socie G, Henry-Amar M, Bacigalupo A, Hows J, Tichelli A, Ljungman P.
malignant tumors occurring after treatment of aplastic anemia. N engl J Med
1993; 329:1152-7.
40. Barone A, Lucarelli A, Onofrillo D, Verzegnassi F, Bonanomi S, Cesaro S, et
al. 2015. Diagnosis and management of acquired aplastic anemia in childhood.
Guidelines from the marrow failure study group of the pediatric haemato-
oncology Italian association (AIEOP). Elsevier.

55

Anda mungkin juga menyukai