Anda di halaman 1dari 19

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Anemia aplastik


3.1.1 Definisi anemia aplastik
Anemia aplastik didefinisikan sebagai keadaan pansitopenia dengan hiposelularitas pada
sumsum tulang, tanpa adanya infiltrat abnormal dan tanpa kenaikan retikulin. dr. Paul Ehrlich
pada tahun 1888, menangani seorang wanita muda yang akhirnya meninggal dunia akibat
penyakit dengan karakteristik perdarahan hebat, anemia berat, dan demam tinggi. Sumsum
tulangnya kemudian dianalisis dan diberi label sebagai strikingly hypocellular. dr. Anatole
Chauffard (internis dari Prancis) pada tahun 1904, memperkenalkan penyakit tersebut untuk
pertama kalinya sebagai Anemia Aplastik.5
Anemia (berasal dari bahasa Yunani , anaimia, yang berarti kekurangan
darah) yaitu berkurangnya jumlah total hemoglobin atau jumlah sel darah merah, dibawah
jumlah normal yang bergantung pada kelompok usia. Aplasia mengindikasikan suatu gangguan
perkembangan, absen, atau gangguan produksi suatu jaringan tertentu. Anemia Aplastik
sebenarnya bukan hanya suatu anemia, tetapi keadaan pansitopenia dimana hampir selalu
terjadi leukopenia, anemia, dan trombositopenia. Penyakit ini mengganggu keseluruhan sumsum
tulang sehingga sel punca tidak dapat menghasilkan seluruh elemen matur.5 Menurut The
International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia aplastik bila
kadar Hb 10 g/dl atau Ht 30%, hitung trombosit 50.000/mm3, hitung leukosit 3500/mm3
atau granulosit 0,5x109/L.6
Anemia aplastik ditandai dengan adanya aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi,
supresi atau pendesakan sumsum tulang, karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus
bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, sehingga disebut juga anemia hipoplastik.7

3.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian di Asia termasuk Cina, Jepang, Thailand dan India lebih tinggi
dibandingkan dengan Eropa dan Amenika Serikat. Insidens penyakit ini bervariasi antara 2-6
kasus tiap 1 juta populasi. Penelitian yang dilakukan The International Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study di Eropa dan Israel awal tahun 1980 mendapatkan 2 kasus tiap 1 juta
populasi. Perbandingan insidens antara laki-laki dan perempuan kira-kira 1:1. Perbedaan insidens
yang mungkin terjadi di beberapa tempat mungkin karena perbedaan risiko okupasional, variasi
geografis dan pengaruh lingkungan.3
Insidensi anemia aplastik dilaporkan bersifat bifasik, dengan puncak pada usia 1025
tahun, dan sebagian besar pasien pada usia diatas 5560 tahun. Keturunan, infeksi, gangguan
sistem imun, paparan bahan kimia dan radiasi juga dikaitkan dengan perkembangan anemia
aplastik.5 Benzena dan pestisida, yang secara signifikan terkait, hanya menyumbang sejumlah
kecil kasus pada studi epidemiologi, dan peran obat-obatan medis masih cenderung diabaikan di
Asia. Di pedesaan Thailand, paparan air non-bottled, serta hewan tertentu (bebek dan angsa),
pupuk hewan, dan juga pestisida, dianggap berperan pada etiologi akibat infeksi.4
3.1.3 Etiologi dan klasifikasi anemia aplastik8
Anemia aplastik diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya dan etiologinya.
Berdasarkan tingkat keparahannya dikategorikan menjadi anemia aplastik tidak berat, anemia
aplastik berat, dan anemia aplastik sangat berat.
Klasifikasi Kriteria
1. Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum tulang < 25%
Sitopenia minimal 2 dari 3 seri: Hitung neutrofil <500/L
Hitung trombosit <20.000/L
Hitung retikulosit absolut <60.000/L
2. Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali
hitung neutrofil <200/L
1. Anemia aplastik tidak berat Sumsum tulang hiposeluler, sitopenia tidak
memenuhi kriteria berat
Berdasarkan etiologinya diklasifikasikan menjadi anemia aplastik diturunkan (inherited)
dan anemia aplastik didapat (acquired).
3.1.3.1 Anemia aplastik didapat (Acquired aplastic anemia)
a. Bahan Kimia
Benzena merupakan bahan kimia yang paling berhubungan dengan anemia aplastik.
Meskipun begitu, bahan kimia ini sering digunakan di pabrik, sebagai obat, pewarna pakaian,
dan bahan yang mudah meledak. Selain penyebab keracunan sumsum tulang, benzena juga
menyebabkan abnormalitas hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia sumsum,
metaplasia mieloid, dan acute myeloid leukemia (AML). Benzena masuk ke dalam tubuh
dengan cara dihirup dan dengan cepat diserap oleh tubuh, terkadang juga dapat meresap
melalui membran mukosa dan kulit dengan intensitas yang kecil. Insektisida yang
menggunakan benzena dikaitkan pula keterlibatannya dengan kejadian anemia aplastik.
Chlorinated hydrocarbons dan organophospat dilaporkan menjadi penyebab dari 280 kasus
dalam literatur. DDT (chlorophenothane), lindane, dan chlordane juga sering digunakan dalam
insektisida. Trinitrotoluen (TNT), bahan peledak yang digunakan pada perang dunia juga
terbukti sebagai salah satu faktor penyebab anemia aplastik fatal.8
b. Obat
Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan anemia aplastik, meskipun merupakan
kasus yang cukup jarang. Beberapa obat yang dikaitkan sebagai penyebab anemia aplastik
yaitu obat dose dependent (sitostatika, preparat emas), dan obat dose independent
(kloramfenikol, fenilbutason, antikonvulsan, sulfonamid).8
a. Radiasi
Penyinaran kronis untuk radiasi dosis rendah atau radiasi lokal dikaitkan dengan
perkembangan anemia aplastik yang progresif lambat dan kejadian akut leukemia. Pasien yang
diberikan thorium dioxide melalui kontras intravena berisiko menderita sejumlah komplikasi
seperti tumor hati, leukemia akut, dan anemia aplastik. Penyinaran dengan radiasi dosis besar
berasosiasi dengan perkembangan aplasia sumsum tulang dan sindrom pencernaan.
Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat dirusak oleh: (a) secara langsung oleh jumlah
besar energi sinar yang dapat memutuskan ikatan kovalen; atau (b) secara tidak langsung
melalui interaksi dengan serangan tingkat tinggi dan molekul kecil reaktif yang dihasilkan dari
ionisasi atau radikal bebas yang terjadi pada larutan. Jaringan hematopoesis yang aktif mitosis
sangat sensitif dengan hampir segala bentuk radiasi.8
b. Virus
Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat menginfeksi sumsum tulang
manusia dan menyebabkan kerusakan, seperti parvovirus, herpesvirus, flavivirus, retrovirus
dikaitkan dengan potensi sebagai penyebab anemia aplastik.8
3.1.3.2 Familial (inherited) anemia aplastik
Beberapa faktor familial atau keturunan dapat menyebabkan anemia aplastik antara lain
pansitopenia konstitusional Fanconi, defisiensi pankreas pada anak, dan gangguan herediter
pemasukan asam folat ke dalam sel.8
3.1.4 Patofisiologi anemia aplastik
Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan proses hematopoetik
yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah sel primitif hematopoetik. Terdapat dua
mekanisme yang diketahui terjadi pada kegagalan sumsum tulang. Mekanisme pertama adalah
cedera hematopoetik langsung karena bahan kimia seperti benzena, obat, atau radiasi yang
mempengaruhi proses proliferasi sel hematopoetik. Mekanisme kedua, didukung oleh observasi
klinik dan studi laboratorium, yaitu sistem imun yang menekan sel sumsum tulang, sebagai
contoh dari mekanisme ini yaitu kegagalan sumsum tulang setelah graft versus host disease,
eosinophilic fascitis, dan hepatitis.8
Patofisiologinya diketahui melalui mekanisme immune mediated, dengan diaktifkannya
sel T sitotosik tipe 1. Penyimpangan aksi molekul dasar respon imun dan kekurangan sel
hematopoietik sudah diidentifikasi secara genetik, yaitu akibat mutasi gen perbaikan telomer di
sel target dan jalur aktivasi sel T yang tidak teregulasi. Imunosupresi dengan globulin
antithymocyte dan siklosporin efektif memulihkan produksi sel darah pada sebagian besar
pasien, tetapi kembali kambuh dan terutama perjalanan evolusi klonal penyakit hematologi
hingga saat ini tetap menjadi masalah.4
Sel sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor penghambat sel
hematopoetik dalam memproduksi hematopoesis inhibiting cytokinesis seperti interferon dan
tumor nekrosis faktor. Efek dari imun sebagai media penghambat dalam hematopoesis mungkin
dapat menjelaskan mengapa hampir sebagian besar pasien dengan anemia aplastik didapat
memiliki respon terhadap terapi imunosupresif.8
Pada anemia aplastik didapat, suatu peristiwa pemicu, seperti infeksi virus atau obat
medis, memprovokasi respon imun yang menyimpang, memicu ekspansi oligoklonal sel T
sitotoksik yang menghancurkan sel-sel induk hematopoietik. Transplantasi sumsum tulang atau
terapi imunosupresif dapat menyebabkan respon komplit/complete response (CR) atau respon
parsial/parsial response (PR) dengan mengeradikasi atau menekan klon sel T patogenik. Relapse
terjadi dengan rekurensi dari respon imun, dan kompartemen sel induk yang secara imunologis
tertekan dan habis juga membuat klon hematopoietik abnormal tertentu yang bermanifestasi
sebagai hemoglobinuria nokturnal paroksismal, myelodysplasia syndrome (MDS), dan beberapa
kasus AML.4
Antigen dipresentasikan oleh antigen presenting cell (APC) kepada limfosit T, yang
kemudian memicu sel T untuk terakaktivasi dan berproliferasi. T-bet, sebuah faktor transkripsi,
mengikat interferon (INF-) pada daerah promotor dan menginduksi ekspresi gen. SAP mengikat
Fyn dan memodulasi aktivitas SLAM pada ekspresi IFN-, mengurangi transkripsi gen. Pasien
dengan anemia aplastik menujukkan ekspresi T-bet dan rendahnya tingkat SAP. IFN- dan TNF
mengatur up-regulation pada reseptor sel sel T lain dan juga reseptor Fas. Peningkatan
produksi IL-2 memicu ekspansi poliklonal sel T. Aktivasi reseptor Fas oleh ligan Fas
menyebabkan apoptosis target sel. Beberapa efek IFN- dimediasi melalui interferon regulatory
factor-1 (IRF-1), yang menghambat transkripsi gen seluler dan menghambat masuk ke siklus sel.
IFN- adalah inducer kuat dari banyak gen seluler, termasuk nitric oxde synthase (NOS), dan
produksi dari gas beracun nitric oxide (NO) yang lebih lanjut dapat menyebabkan penyebaran
efek racun. Peristiwa ini menyebabkan berkurangnya sel yang memasuki siklus sel dan terjadi
kematian sel oleh apoptosis.4
Gambar 3. Penghancuran sistem hematopoiesis oleh sistem imun
Berdasarkan patofisiologi dari anemia aplastik, dilakukan dua pendekatan utama untuk
untuk penatalaksanaannya, yaitu penggantian sel induk yang tidak sempurna dengan cara
transplantasi sumsum tulang dan penekanan proses imunologi yang bersifat merusak.8
3.1.5 Gejala dan Tanda Klinis Anemia Aplastik
Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan berbahaya, yang disertai
dengan penurunan sel darah merah secara berangsur menimbulkan kepucatan, lemah dan letih,
atau dapat lebih hebat dengan disertai demam namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis
atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia. Selain itu pasien sering memar (eccymoses),
bintik merah (petechiae) yang biasanya muncul pada daerah superficial tertentu, pendarahan
pada gusi dengan bengkak pada gigi, dan pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi berat
atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia subur.8
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi atau
pendarahan. Jejas purpuric pada mulut menandakan jumlah platelet <10.000/ul (10x109/liter)
yang menandakan risiko yang lebih besar untuk pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin
dapat dilihat pada anemia berat atau trombositopenia.8
Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada anemia aplastik, biasanya
ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau diagnosis alternatif seperti leukemia atau
limpoma.8
3.1.6 Kelainan Laboratorium Anemia Aplastik
a. Penemuan pada Darah
Pasien dengan anemia aplastik memiliki tingkat pansitopenia yang beragam. Anemia
diasosiasikan dengan indeks retikulosit yang rendah. Jumlah retikulosit biasanya <1% atau
bahkan mungkin nol. Makrositosis mungkin dihasilkan dari tingkat eritropoietin yang tinggi,
merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk berkembang dengan cepat, atau dari klon sel eritroid
yang tidak normal. Jumlah total leukosit rendah, jumlah sel berbeda menyatakan sebuah tanda
pengurangan dalam neutrofil. Platelet juga mengalami pengurangan, tetapi fungsinya masih
normal. Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl. Penemuan lainnya yaitu besi serum
normal atau meningkat, Total Iron Binding Capacity (TIBC) normal, HbF meningkat.8
b. Penemuan pada Sumsum Tulang
Sumsum tulang biasanya mempunyai tipikal mengandung spicule dengan ruang lemak
kosong, dan sedikit sel hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan sel induk mungkin
mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari kekurangan sel lain dari pada
meningkatnya elemen ini. Anemia aplastik berat sudah didefinisikan oleh International Aplastic
Anemia Study Group sebagai sumsum tulang <25% sel, atau <50% sel dengan <30% sel
hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutrofil <500/l (0.5x109/liter), jumlah platelet
<20.000/l (20x109/liter), dan anemia dengan indeks koreksi retikulosit <1 %. Pengembangan in
vitro menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony Forming Unit-
Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst Forming Unit-Erythroid (BFU-E)
dengan pengujian kadar logam menyatakan pengurangan dalam sel primitif.8
c. Penemuan Radiologi
Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI) dapat digunakan untuk membedakan
antara lemak sumsum dan sel hemapoetik. Memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia
sumsum tulang dari pada teknik morfologi dan mungkin membedakan sindrom hipoplastik
mielodiplastik dari anemia aplastik.8
d. Penemuan pada Plasma dan Urin
Serum memiliki tingkat faktor pertumbuhan hemapoetik yang tinggi, yang meliputi
erythropoietin, thrombopoietin, dan faktor myeloid colony stimulating. Serum besi juga memiliki
nilai yang tinggi, dan jarak ruang Fe diperpanjang, dengan dikuranginya penggabungan dalam
peredaran sel darah merah.8
3.1.7 Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya bisitopenia atau pansitopenia tanpa
adanya keganasan, infiltrasi, dan supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis pada anemia
aplastik menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG)
antara lain:7
(1) Satu dari tiga, kriteria berikut:
(a) hemoglobin <10 g/dl, atau hematokrit <30%
(b) trombosit <50x109/L
(c) leukosit <3,5x109/L atau neutrofil <1,5x109/L
(2) dengan retikulosit <30x109/L, dan
(3) dengan gambaran sumsum tulang yang dapat dilihat pada gambar berikut.7

Gambar 4.
menunjukkan
sumsum tulang
penderita
tampak
hipoplasia dengan penggantian jaringan lemak (kiri) dibandingkan dengan sumsum tulang normal (kanan)

Pada pasien ini diagnosis ditegakkan dengan adanya gejala klinis pucat dan perdarahan
di akhir bulan Oktober 2016, dan hasil laboratorium didapatkan anemia berat normokromik
normositer, leukopenia dan trombositopenia. Pada pemeriksaan biopsi sumsum tulang tanggal 1
November 2016, ditemukan gambaran anemia aplastik.
3.1.8 Diagnosis Banding
Yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis differensial dari anemia aplastik adalah
penyakit lain yang memiliki gejala pansitopenia, seperti fanconis anemia, paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria (PNH), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic
leukemia, dan pure red cell aplasial7
3.1.8.1 Anemia Fanconi
Suatu bentuk kongenital dari anemia aplastik dimana 10% dari pasien terjadi saat anak
anak. Gejala fisik yang khas adalah tinggi badan yang pendek, hiperpigmentasi kulit,
microcephaly, hipoplasia jari, keabnormalan alat kelamin, abnormalitas mata, kerusakan struktur
ginjal dan retardasi mental. Anemia fanconi terdiagnosis dengan analisis sitogenik dari limfosit
darah tepi yang menunjukkan kehancuran kromosom setelah kultur dengan bahan yang
menyebabkan pemecahan kromosom seperti diepoxybutane (DEB) atau mitomycin C (MMC).9
3.1.8.2 Paroxysmal nocturnal hemoglobinuri (PNH)
PNH adalah anemia yang terjadi akibat hemolisis dan adanya hemoglobinuria dengan
trombosis vena. 10% - 30% dari pasien anemia aplastik berkembang menjadi PNH. Hal itu
menunjukkan kemungkinan anemia aplastik merupakan salah satu penyebab PNH. Diagnosis
PNH ditunjukkan dengan adanya penurunan expresi antigen CD59 sel dengan tes flow cytometry.
Tes seperti sucrose hemolysis dan uji urine dapat melihat terjadinya hemosiderinuria sebagai
salah satu gejala PNH.10
3.1.8.3 Myelodisplastic syndrome (MDS)
MDS mempengaruhi hematopoiesis pada level stem sel yaitu abnormalitas cytogenetic,
mutasi molekuler, dan abnormalitas morfologis dan fisiologis pada maturasi dan differensiasi
pada satu atau lebih jalur hematopoiesis. Kegagalan sumsum tulang biasanya hiperselular dan
normoselular walaupun begitu MDS dapat ditemukan dengan hiposelular. Penting untuk
membedakan MDS hiposelular dengan anemia aplastik untuk menentukan manajemen dan
prognosisnya. Pada MDS hiposelular terdapat abnormalitas clonal cytogenetic (abnormalitas
lengan kromosom 5q, monosomi 7q, dan trisomi 8) dan ditemukan adanya cincin sideroblas
(akumulasi besi pada mitokondria).11
3.1.8.4 Myelofibrosis
Ada 2 ciri utama myelofibrosis yaitu hematopoesis ekstramedullar dan fibrosis sumsum
tulang. Hematopoesis ekstramedullar menyebabkan hepatosplenomegali yang tidak terjadi pada
anemia aplastik. Biopsi sumsum tulang menunjukkan derajat reticulin dan fibrosis kolagen
dengan terjadinya peningkatan jumlah megakaryocytes.12
3.1.8.5 Aleukemic leukemia
Aleukemic leukemia adalah penyakit yang memiliki ciri kehilangan sel blast pada darah
tepi dari pasien dengan leukemia, terjadi pada 10% dari semua penderita leukemia dan biasanya
muncul pada anak yang sangat muda atau pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy
menunjukkan sel blast.7
3.1.8.6 Pure red cell aplasia
Penyakit ini sangat jarang dan hanya melibatkan produksi eritrosit yang ditandai dengan
adanya anemia, penghitungan retikulosit <1%, dan sumsum tulang yang normoselular
mengandung <0,5% eritroblast. Untuk penyakit lainnya yang dapat menunjukkan gejala
sitopenia seperti leukemia dapat dibedakan yang pada leukemia ditemukan tidak selalu adanya
penurunan leukosit. Kadar leukosit pada leukemia dapat normal, turun, atau meningkat.7

3.1.9 Penatalaksanaan Anemia Aplastik


Penatalaksanaan anemia aplastik terdiri dari terapi kausal, terapi suportif untuk
menangani gejala bisitopenia atau pansitopenia, terapi untuk memperbaiki sumsum tulang dan
terapi jangka panjang untuk memberikan kesembuhan.7
3.1.9.1 Terapi Kausal
Terapi Kausal adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab. Tetapi
sering sulit untuk mengetahui penyebab karena etiologinya yang tidak jelas atau idiopatik.7
3.1.9.2 Terapi Suportif
Terapi suportif diberikan sesuai gejala yang dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) anemia,
(2) neutropenia, dan (3) trombositopenia.7
Pada anemia berikan tranfusi PRC jika hemoglobin <7g/dl atau ada tanda payah jantung
atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9-10 gr/dl tidak perlu sampai Hb
normal, karena akan menekan eritropoesis internal. Pada pasien yang lebih muda mempunyai
toleransi kadar Hb sampai 7-8 g/dl; untuk pasien yang lebih tua kadar Hb dijaga diatas 8 g/dl.7,8
Pada neutropenia, konsumsi buah-buahan segar dan sayur, menjaga perawatan higienitas
mulut dan gigi, dan rajin cuci tangan. Jika terjadi infeksi segera temukan fokus infeksi, dan
berikan antibiotik spektrum luas sebelum mendapatkan hasil kultur. Tranfusi granulosit
konsentrat diberikan pada keadaan sepsis berat kuman gram negatif, dengan neutropenia berat
yang tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.7
Pada trombositopenia dilakukan usaha untuk mengatasi pendarahan seperti transfusi
konsentrat trombosit jika terdapat perdarahan aktif atau jika trombosit kurang dari 20.000/mm3.
Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas trombosit karena timbulnya antibodi
anti-trombosit.7, 8
3.1.9.3 Terapi untuk memperbaiki sumsum tulang
1) Anabolik steroid, dapt diberikan oksimetolon atau stanozol. Oksimetolon diberikan 2-
3mg/kgBB/hari. Efek terapi setelah 6-12 minggu. Efek samping dapat berupa virilisasi
dan gangguan fungsi hati.
2) Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah; fungsi steroid dosis rendah masih belum
jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak ada
respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.
3) GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah neutrofil, tetapi harus
diberikan terus-menerus. Eritropoetin juga dapat diberkan untuk mengurangi kebutuhan
tranfusi sel darah merah.13
3.1.9.4 Terapi definitif
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang. Terapi
jangka panjang tersebut sesuai dengan patofisiologi dari anemia aplastik, dilakukan dengan dua
pendekatan utama untuk pengobatannya, yaitu penggantian sel induk yang tidak sempurna
dengan cara transplantasi sumsum tulang dan penekanan proses imunologi yang bersifat merusak
dengan terapi immunosupresif.7
3.1.9.4.1 Terapi immunosupresif
Terapi imunosupresif direkomendasikan pada pasien dengan kriteria sebagai berikut:7
lebih dari 40 tahun (rekomendasi tetap berdasarkan dokter dan faktor pasien)
tidak mampu mentoleransi transplantasi sumsum tulang (TST) karena masalah penyakit
atau usia tua
tidak mempunyai donor yang sesuai
akan diterapi TST, tetapi sedang menunggu untuk donor yang sesuai, dan
memilih terapi imunosupresif setelah menimbang faktor resiko dan manfaat dari semua
pilihan terapi.7
Obat obatan immunosupresan yang digunakan antara lain:
a. Metilprednisolon
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis rendah 2-4 mg/kgBB/hari,
dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan gejala serum sickness. Metilprednisolon
dosis tinggi memberikan respons pengobatan yang baik sampai 40%. Dosis yang diberikan 5
mg/kgBB/hari iv selama 8 hari kemudian dilakukan tappering dengan 1 mg/kgBB/hari
selama 9-14 hari, lalu tappering selama 15-29 hari. Efek sampingnya antara lain ulkus
peptikum, edem, hiperglikemia, dan osteonekrosis.3
b. Antilimfosit globulin (ALG)
ALG adalah sitolitik sel T yang bersama dengan siklosponin berperan dalam menghambat
fungsi sel T, khususnya dalam produksi limfokin-limfokin supresif. Pemberian ALG secara
cepat akan mengurangi limfosit dalam sirkulasi sehingga berkurang 10%, dan ketika limfosit
total kembali normal berarti limfosit T aktif jumlahnya berkurang. ALG dapat diberikan
dengan dosis 40 mg/kgBB/hari selama 12 jam dilanjutkan dengan infus yang
dikombinasikan dengan metilprednisolon 1 mg/kgBB/hari iv selama 4 hari. Keberhasilan
terapi dengan ALG tunggal sekitar 50%.3
c. Antitymocyt Globulin (ATG)
ATG menghambat mediasi respon imun dengan mengubah fungsi sel T atau menghilangkan
sel reaktif antigen. Dosis yang diberikan 100-200mg/kgBB iv. Kontraindikasi ATG adalah
reaksi hipersensitivitas, keadaan leukopenia dan atau trombositopenia.3
d. Siklosporin A (CsA)
CsA merupakan cyclic polypeptide yang menghambat imunitas humoral, sebagai inhibitor
spesifik terhadap sel limfosit T, mencegah pembentukan IL-2 dan IFN-y. Dan dapat
menghambat reaksi imun seperti penolakan jaringan transplan, GvHD, dan lain-lain. Dosis
awal dapat diberikan 8 mg/kgBB /hari peroral selama 14 hari dilanjutkan dengan dosis 15
mg/kgBB/hari pada anak-anak dan 12 mg/kgBB/hari pada dewasa. Dosis kemudian
dipertahankan pada kadar 200-500ug/L untuk menghindari efek toksik. Bila ditemukan efek
toksik, terapi dihentikan 1-4 hari untuk kemudian dilanjutkan dengan dosis yang lebih
rendah. Respons terapi dengan CsA tunggal hanya sekitar 25%. Kombinasi CsA dengan
ATG meningkatkan kecepatan remisi sistem hematopoetik sekitar 70%.3

e. Siklofosfamid (CPA)
CPA adalah zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen mustard. Sebagai agen alkali CPA
terlibat dalam cross-link DNA yang mungkin berhubungan dengan pertumbuhan sel normal
dan neoplasma. Penelitian menyatakan dosis terapi yang diberikan adalah 50mg/kgBB/ hari
selama 4 hari berturut-turut.3
3.1.9.4.2 Terapi Transplantasi Sumsum Tulang (TST)
Pengobatan anemia aplastik dengan TST meningkatkan angka kesintasan sekitar 60-
70%. Pasien berusia muda tanpa transfusi berulang mempunyai respon yang lebih baik lagi
sekitar 85-95% karena limfosit pasien tersebut belum tersensitisasi oleh paparan antigen
sebelumnya. Penelitian lain yang dilakukan terhadap 212 pasien anemia aplastik didapatkan
bahwa TST menyebabkan hematopoesis menjadi normal dengan penyebab morbiditas dan
mortalitas yang utama akibat GvHD kronik.3
Penelitian yang dilakukan terhadap 6.691 pasien yang dilakukan TST alogenik temyata
kemungkinan dapat sembuh lebih besar, meskipun beberapa tahun setelah TST mortalitasnya
lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Komplikasi TST yang paling sering terjadi adalah
GvHD, graft failure dan infeksi. Penelitian retrospektif yang dilakukan Min CK, terhadap 40
pasien anemia aplastik yang dilakukan TST alogenik didapatkan insidens graft failure, GvHD
akut, GvHD kronis masing-masing 22,5%, 12,8%, 23,1% serta 5% mengalami pneumonia
interstisial dan 2,5% pneumonia.3
Human Leukocyte Antigen (HLA) harus segera dicocokkan antara pasien dan donor
ketika terapi transplantasi tulang dipilih. Transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan
menurut:7
(a) donor yang terbaik biasanya berasal dari keluarga,
(b) transplantasi sumsum tulang dengan pencocokan HLA keluarga merupakan pilihan untuk
pasien dengan umur dibawah 60 tahun
(c) jika tidak ada HLA yang cocok dari keluarga, pasien <40 tahun dapat melakukan
transplantasi sumsum tulang dengan donor bukan keluarga. Jika pasien > 40 tahun maka
diberikan terapi imunosupresif,
(d) adanya resiko graft rejection atau graft failure. Menerima banyak tranfusi meningkatkan
resiko graft rejection karena kekebalan tubuh pasien membuat antibodi untuk melawan sel
sumsum tulang yang ditransplantasi.
(e) diberikan CsA atau dosis tinggi CPA dapat mengatasi adanya Graft versus Host Disease
(GvHD), namun meningkatkan resiko timbulnya infeksi,
(f) angka kesembuhan pada anak lebih tinggi dibandingkan orang dewasa.7
3.1.9.4.3 Efek Jangka Panjang pada Pengobatan Anemia Aplastik
Pengobatan anemia aplastik baik dengan TST maupun dengan penggunaan
imunosupresan menimbulkan efek jangka panjang pada pasien. Pasien yang mampu bertahan
hidup akan berisiko terkena keganasan.3

Tabel 1. Efek jangka panjang pengobatan anemia aplastik (kumulatif dalam 10 tahun)

Immunosupressan (%) TST (%)


Jumlah pasien kanker 18,8 3,1
Sindrom Mielodisplasia 9,6 0,0
Leukemia Akut 6,6 0,25
Tumor Padat 2,2 2,9

dilaporkan oleh European Bone Marrow Tranplantation-Severe Aplastic Anemia

Pada pasien ini diberikan terapi sesuai dengan protokol terapi imunosupresif anemia
aplastik di RSUP dr. Kariadi Semarang:
Pada 7 hari pertama pasien dirawat inap dan telah diberikan injeksi metilprednisolon 2
mg/kgBB/hari secara intravena dan siklosporin 6 mg/kgBB/hari per oral juga danazol 5
mg/kgBB/hari per oral.
Pada 7 hari kedua, terapi dilanjutkan dengan pemberian metilprednisolon 1 mg/kgBB/hari
per oral dan siklosporin 6 mg/kgBB/hari per oral juga danazol 5 mg/kgBB/hari per oral.
Pada hari ke-15 sampai dengan hari ke-180 terapi dilanjutkan dengan pemberian
siklosporin 6 mg/kgBB/hari per oral dan danazol 5 mg/kgBB/hari per oral.
Pada pasien ini sudah menjalani pengobatan hari ke-78 dan mendapatkan obat minum
Siklosporin 250 mg/24 jam dan Danazole 220 mg/24 jam.
3.1.10 Prognosis
Prognosis penyakit ini sukar diramalkan namun pada umumnya buruk, karena seperti
telah dikemukakan baik etiologi maupun patofisiologinya sampai sekarang belum jelas. Sekitar
dua pertiga pasien meninggal sekitar 6 bulan setelah diagnosis ditegakkan, kurang dari 10-20 %
sembuh tanpa transplantasi sumsum tulang dan sepertiga pasien meninggal akibat perdarahan
dan infeksi yang tidak teratasi. Penyebab kematian pada umumnya adalah sepsis akibat infeksi
Pseudomonas dan Stafilokokus. Oleh karena itu, menentukan prognosis pasien anemia aplastik
penting karena akan menentukan terapi yang sesuai.3
Beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan prognosis pasien
anemia aplastik adalah usia pasien, gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler, gambaran
darah tepi, dan ada tidaknya infeksi sekunder. Prognosis pasien anemia aplastik disebut buruk
jika ditemukan pada:3
usia muda,
gambaran sumsum tulang aseluler dengan pengurangan proporsi komponen mieloid dari
sumsum tulang >30% limfosit,
gambaran darah tepi dengan jumlah retikulosit <1%, leukosit <500/mmk, dan trombosit <
20.000/mmk,
disertai infeksi sekunder.3
Di antara hal hal di atas yang paling baik dijadikan sebagai pegangan dalam
menentukan prognosis adalah gambaran sumsum tulang aseluler atau hiposeluler.3 Kebanyakan
kasus anemia aplastik adalah kasus berat. Angka bertahan hidup selama 3 bulan, 2 tahun dan 15
tahun adalah 73%, 57%, dan 51%.14 Sebelum ditemukan adanya transplantasi sumsum tulang,
25% dari pasien meninggal dalam waktu 4 bulan dan 50% meninggal dalam waktu 1 tahun.
Berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan oleh European Group for Blood and Marrow
Transplantation (EBMT), kesintasan hidup 10 tahun untuk pasien anemia aplastik dengan
pemberian terapi immunosupresan sebesar 68%, sedikit lebih kecil jika dibandingkan dengan
penderita anemia aplastik yang sudah melakukan transplantasi sumsum tulang yaitu sebesar
73%.15 Pada pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhannya adalah
70-90%, walaupun 20%-30% dari pasien yang melakukan transplantasi sumsum tulang
mengalami Graft versus Host Disease (GvHD). Pemberian terapi imunosupresif yang intensif
memberikan peningkatan yang signifikan pada Blood Count pada 78% pasien dalam 1 tahun.
Walaupun ada resiko 36% dari pasien kambuh setelah 2 tahun.16

3.2 Penatalaksanaan komprehensif dan holistik


Sesuai dengan prinsip pengelolaan pasien secara komprehensif dan holistik, maka pada
pasien tidak hanya diperhatikan dari segi kuratifnya saja, tetapi juga meliputi upaya promotif,
preventif, rehabilitatif dan psikososial. Upaya promotif dan preventif dilakukan agar anak tidak
sakit atau tidak mengalami kecacatan, sedang upaya kuratif dan rehabilitatif dilakukan agar anak
sembuh dan tidak cacat atau kembali pada lingkungannya semula dengan memperhatikan faktor
psikososial anak.
a. Kuratif
Adalah upaya untuk mendiagnosis seawal mungkin dan mengobati secara tepat dan rasional
terhadap individu yang terserang penyakit. Upaya kuratif yang dilakukan pada penderita ini
meliputi:
1. Terapi Suportif
a. Kecukupan kebutuhan cairan dan elektrolit
Infus D5 NS
b. Mengatasi tanda-tanda perdarahan karena trombositopenia dengan usaha transfusi
TC 9 unit dan transfusi PRC 2 unit untuk menaikkan Hb
2. Medikamentosa
Pengobatan yang didapatkan pasien berupa kemoterapi sesuai dengan protokol Rumah
Sakit dr. Kariadi.
Pada 7 hari pertama pasien dirawat inap dan telah diberikan injeksi metilprednisolon
2 mg/kgBB/hari secara intravena dan siklosporin 6 mg/kgBB/hari per oral juga
danazol 5mg/kgBB/hari per oral.
Pada 7 hari kedua, terapi dilanjutkan dengan pemberian metilprednisolon 1
mg/kgBB/hari per oral dan siklosporin 6mg/kgBB/hari per oral juga danazol 5
mg/kgBB/hari per oral.
Pada hari ke-15 sampai dengan hari ke-180 terapi dilanjutkan dengan pemberian
siklosporin 6 mg/kgBB/hari per oral dan danazol 5 mg/kgBB/hari per oral.
Untuk tatalaksana anemia aplastik pasien ini sudah menjalani pengobatan hari ke-78
dan mendapatkan obat minum Siklosporin 250 mg/24 jam dan Danazole 220 mg/24 jam.
3. Dietetik
Pada kasus ini, kebutuhan cairan 24 jam adalah 2020 cc. Digunakan Infus D5 NS 8
tetes per menit makro, dengan kandungan cairan 720 cc dan 122,4 kkal. Selain itu, anak
juga diberikan nasi 3 kali sehari dan susu 4 kali @200 cc

b. Preventif
Adalah usaha-usaha untuk mencegah timbulnya suatu penyakit dan mencegah terjangkitnya
penyakit tersebut. Ada tiga tingkat upaya pencegahan yang dapat dilakukan yaitu pencegahan
primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer merupakan tingkat pencegahan awal untuk
menghindari atau mengatasi faktor resiko. Pencegahan sekunder untuk deteksi dini penyakit
sebelum penyakit menimbulkan gejala yang khas. Pencegahan tersier dengan melakukan
tindakan klinis untuk mencegah kerusakan lebih lanjut atau mengurangi komplikasi setelah
penyakit tersebut diketahui.
Terdapat beberapa upaya preventif yang perlu diedukasikan kepada orangtua mengenai
anemia aplastik yaitu:
1. Oleh karena terjadi kegagalan sumsum tulang pada anemia aplastik, terutama kegagalan
pembetukan sel darah putih/leukosit, maka pasien akan mudah terkena infeksi. Oleh karena
itu, kepada orang tua pasien diharapkan menjaga higienitas lingkungan dan rumah, jika
orang tua sedang sakit diharapkan menggunakan alat pelindung diri seperti masker dan
selalu cuci tangan sebelum dan saat ingin kontak dengan anak.
2. Pasien juga nantinya akan lebih mudah pucat dan letih diakibatkan karena produksi sel darah
merahnya tidak adekuat, sehingga orang tua senantiasa selalu menjaga asupan nutrisi pasien
seperti yang direkomendasikan rumah sakit.
3. Menjelaskan kepada orang tua untuk mengawasi tanda-tanda perdarahan baru yang muncul
pada anak seperti gusi berdarah, mimisan, muntah darah, muncul bintik-bintik merah seperti
digigit nyamuk, muncul memar, bengkak, dan juga BAB hitam. Jika salah satu tanda
perdarahan muncul, diharapkan segera membawa pasien ke pelayanan kesehatan terdekat.
c. Promotif
Adalah upaya penyuluhan yang bertujuan untuk merubah kebiasaan yang kurang baik dalam
masyarakat agar berperilaku sehat dan ikut serta berperan aktif dalam bidang kesehatan. Dalam
kasus ini, upaya promotif yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pengetahuan tentang Anemia Aplastik
Anemia Aplastik merupakan suatu penyakit yang sulit untuk dikenali orang tua karena
gejala dan tandanya yang tidak khas. Banyak orang tua yang mengganggap sepele penyakit ini,
padahal jika tidak segera terdiagnosis dan diterapi sejak awal dapat menyebabkan kematian.
Oleh karena ini edukasi mengenai anemia khususnya aemia aplastik perlu diberikan agar orang
tua waspada dan segera membawa anaknya ke pelayanan kesehatan terdekat. Hal ini dapat
dilakukan dengan penyuluhan atau media massa, seperti poster, atau brosur.
2. Pengetahuan mengenai Imunisasi
Masyarakat memerlukan pentingnya imunisasi untuk meningkatkan kekebalan tubuh
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga mencegah infeksi penyakit tertentu, tidak
bermanifestasi menjadi berat (tidak cacat dan meninggal). Imunisasi yang tidak sesuai umur
dapat dilanjutkan sesuai jadwal.
3. Mencukupi kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang yang meliputi:
Asuh: memenuhi kebutuhan dasar (pangan, papan, perawatan kesehatan dasar, pengobatan
yang layak) dan kebutuhan tambahan (bermain).
Asih: memberi rasa aman dan nyaman, dilindungi dan diperhatikan (minat, keinginan dan
pendapat anak), diberi contoh (bukan dipaksa), dibantu, diberi dorongan, dihargai, penuh
kegembiraan serta koreksi (bukan ancaman/ hukuman)
Asah: memberikan stimulasi emosional-sosial, kognitif, kreativitas, kemandirian,
kepemimpinan moral dan mental.
Hal ini dapat dilakukan dengan penyuluhan atau media massa, seperti poster, atau brosur

d. Rehabilitatif
Adalah upaya untuk menolong atau membantu anak terhadap ketidakmampuannya dengan
berbagai usaha, agar anak sedapat mungkin kembali pada lingkungannya baik lingkungan sosial
maupun keluarga. Untuk menjaga anak tetap sehat, maka orang tua diberitahu untuk:
Menjaga kualitas dan kuantitas gizi anak sehari-hari.
Menjaga higienitas dan sanitasi tetap bersih agar anak tidak mudah terkena infeksi

e. Psikososial
Aspek psikososial adalah aspek yang berkaitan dengan emosi, sikap, pengetahuan, perilaku,
keterampilan, nilai-nilai sosial budaya, kepercayaan, dan adat istiadat di lingkungan sekitar anak.
Meliputi mikrosistem, minisistem, mesosistem, dan makrosistem.
Mikrosistem meliputi interaksi anak dengan ibunya atau pengasuhnya. Ibu/pengasuh
berperan dalam pendidikan, gizi, imunisasi, dan pengobatan sederhana pada anak. Ibu
memegang peranan penting terhadap proses tumbuh kembang anak dan perawatan anak
ketika anak sakit. Rendahnya pengetahuan ibu tentang kesehatan mempengaruhi sikap yang
diambil ketika anak sakit, seperti usaha mengobati sendiri, juga menyebabkan kurangnya
perhatian terhadap makanan dan tumbuh kembang anak.
Minisistem meliputi interaksi anak dengan anggota keluarga lain, lingkungan, tetangga,
keadaan rumah dan suasana rumah dimana anak tinggal.
Mesosistem merupakan lingkungan yang meliputi wilayah yang lebih luas. Meliputi
pelayanan kesehatan, pendidikan, tetangga, dan teman.
Ibu secara rutin dan teratur memeriksakan kesehatan dan memantau perkembangan
penyakit anaknya.
Keluarga mampu memberi semangat untuk kesembuhan anaknya dengan memotivasi
untuk rajin meminum obat.
Guru dan teman-teman anak mengerti penyakit yang diderita anak sehingga dapat
memberikan motivasi dan dorongan untuk sembuh. Anak sering tidak masuk sekolah
karena penyakit yang dideritanya, namun sekarang sudah mulai rutin masuk sekolah
kembali meskipun terkadang masih tidak masuk karena mudah lelah.
Makrosistem yaitu berkaitan dengan kebijakan pemerintah, sosial budaya masyarakat, dan
lembaga non pemerintahan yang ikut andil dalam usaha tumbuh kembang anak yang optimal.

Anda mungkin juga menyukai