Anda di halaman 1dari 21

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Anemia aplastik merupakan suatu pansitopenia pada hiposelularitas


sumsum tulang.Anemia aplastik didapat (Acquired aplastic anemia) berbeda
dengan iatrogenicmarrow aplasia, hiposelularitas sumsum setelah kemoterapi
sitotoksik intensif. Anemia aplastik dapat pula diturunkan : anemia Fanconi
genetik dan dyskeratosiscongenital, dan sering berkaitan dengan anomali fisik
khas dan perkembangan pansitopenia terjadi pada umur yang lebih muda, dapat
pula berupa kegagalan sumsum pada orang dewasa yang terlihat normal.

Anemia aplastik didapat seringkali bermanifestasi yang khas, dengan onset


hitung darah yang rendah secara mendadak pada dewasa muda yang terlihat
normal; hepatitis seronegatif atau pemberian obat yang salah dapat pula
mendahului onset ini.Diagnosis pada keadaan seperti ini tidak sulit. Biasanya
penurunan hitung darah moderat atau tidak lengkap, akan menyebabkan anemia,
leukopenia, dan thrombositopenia atau dalam beberapa kombinasi tertentu.

II. Epidemiologi

Insiden terjadinya anemia aplastik didapat di Insiden terjadinya anemia


aplastik didapat di Eropa adalah dua kasus per 1 juta populasi setiap tahunnya. Di
Thailand dan Cina, angka kejadiannya yaitu lima hingga tujuh orang per satu juta
populasi. Pada umumnya, pria dan wanita memiliki frekuensi yang sama.
Distribusi umur biasanya bifasik, yang berarti puncak kejadiannya pada remaja
dan puncak kedua pada orang lanjut usia.

III. Etiologi

1
Asal anemia aplastik telah dihubungkan dengan beberapa kejadian klinis
terkait (Table 2); namun, hubungan ini seringkali tidak tepat dan mungkin bukan
etiologi.Walaupun kebanyakan kasus anemia aplastik bersifat idiopatik, adanya
riwayat medis memisahkan kasus idiopatik dari kasus dengan dugaan etiologi
seperti paparan obat.

Tabel 1 Klasifikasi anemia aplastik dan Sitopenia tunggal.

Didapat Diturunkan
Anemia Aplastik
Sekunder Anemia Fanconi's
Radiasi Dyskeratosis congenita
Obat dan zat kimia Sindrome Shwachman-Diamond
Efek Reguler Reticular dysgenesis
Reaksi idiosinkronasi Amegakaryocytic thrombocytopenia
Virus Anemia aplastik familial
Epstein-Barr virus Preleukemia (monosomy 7, etc.)
Hepatitis (Hepatitis non-A, non-B, non-) Sindrom nonhematologic (Down's,
Dubowitz, Seckel)
Parvovirus B19 (transient aplastic crisis,
PRCA)
HIV-1 (AIDS)
Penyakit Imun
Eosinophilic fasciitis
Hypoimmunoglobulinemia
Thymoma/Karsinoma thymus
Graft-versus-host disease pada
immunodefisiensi
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopatik

Cytopenias
PRCA (Lihat Table 4) PRCA kongenital (Diamond-Blackfan
anemia)

2
Didapat Diturunkan
Neutropenia/Agranulocytosis
Idiopathic Kostmann's Syndrome
Obat, Toxin Sindrom Shwachman-Diamond
Pure white cell aplasia Reticular dysgenesis
Thrombocytopenia
Drugs, toxins Amegakaryocytic thrombocytopenia
Amegakaryocytic idiopathix Thrombocytopenia tanpa radii

Note: PRCA, pure red cell aplasia.

Radiasi

Aplasia sumsum merupakan sekuele akut utama dari radiasi.Radiasi


merusak DNA; jaringan bergantung pada mitosis aktif yang biasanya terganggu.
Kecelakaan nuklir tidak hanya melibatkan pekerja namun juga pegawai rumah
sakit, laboratorium, dan industri (sterilisasi makanan, radiografi metal dan lain-
lain), begitupula dengan orang lain yang terpapar secara tidak sengaja. Sementara
dosis radiasi dapat diperkirakan melalui angka dan derajat penurunan hitung
darah, dosimetri dengan rekonstruksi paparan dapat membantu memperkirakan
prognosis pasien dan dapat pula melindungi tenaga medis dari kontak dengan
jaringan radioaktif dan sekret.

Zat Kimia

Benzena merupakan penyebab yang diketahui dari kegagalan sumsum


tulang.Banyak data laboratorium, klinis, dan epidemiologi yang menghubungkan
antara paparan benzene dengan anemia aplastik, leukemia akut, dan abnormalitas
darah dan sumsum tulang.Kejadian leukemia kurang berkaitan dengan paparan
kumulatif -namun kecurigaan tetap diperlukan, karena hanya sebagian kecil dari
pekerja yang terpapar terkena benzene myelotoksisitas.Walaupun benzene tidak

3
lagi digunakan sebagai pelarut pada pemakaian rumah tangga, paparan terhadap
metabolitnya dapat terjadi pada makanan dan lingkungan sekitar. Keterkaitan
antara kegagalan sumsum dengan zat kimia lain kurang bermakna.

Obat-obatan

Banyak obat kemoterapi yang mengsupresi sumsum sebagai toksisitas


utamanya; efeknya tergantung dengan dosis dan dapat terjadi pada semua
pengguna.Berbeda dengan hal tersebut, reaksi idiosinkronasi pada kebanyakan
obat dapat menyebabkan anemia aplastik tanpa hubungan dengan dosis.Pada
konteks penggunaan obat secara total, reaksi idiosinkronasi jarang terjadi
walaupun pada beberapa orang terjadi dengan sangat buruk.Chloramphenicol,
merupakan penyebab utama, namun dilaporkan hanya menyebabkan anemia
aplasia pada sekitar 1/60.000 pengobatan dan kemungkinan angka kejadiannya
sebenarnya lebih sedikit dari itu (resiko selalu lebih besar ketika berdasar kepada
kumpulan kasus kejadiannya; walaupun pengenalan chloramphenicol dicurigai
menyebabkan epidemik anemia aplasia, penghentian pemakaiannya tidak diikuti
dengan peningkatan frekuensi kegagalan sumsum tulang.Perkiraan resiko
biasanya lebih rendah ketika penelitian berdasarkan populasi.

Table 3 Beberapa Obat dan Zat Kimia yang Berkaitan dengan Anemia Aplastik .

Agen yang secara rutin menyebabkan depresi sumsum sebagai toksisitas utama
pada dosis biasa atau paparan yang normal.
Obat sitotoksik yang digunakan dalam kemoterapi kanker : alkylating agents,
antimetabolites, antimitotics, beberapa antibiotic
Agen yang biasanya namun tidak mutlak menyebabkan aplasia sumsum:
Benzene

Agen yang terkait dengan anemia aplasia namun dengan kemungkinan yang

4
relative rendah

Chloramphenicol
Insektisida
Antiprotozoa: quinacrine dan chloroquine, mepacrine
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (termasuk phenylbutazone, indomethacin,
ibuprofen, sulindac, aspirin)
Anticonvulsants (hydantoins, carbamazapine, phenacemide, felbamate)
Heavy metals (gold, arsenic, bismuth, mercury)
Sulfonamides: beberapa antibiotics, obat antithyroid (methimazole,
methylthiouracil, propylthiouracil), obat antidiabetes (tolbutamide,
chlorpropamide), carbonic anhydrase inhibitors (acetazolamide dan
methazolamide)
Antihistamines (cimetidine, chlorpheniramine)
D-Penicillamine
Estrogens (kehamilan)
Agen yang keterkaitan dengan anemia aplastik belum jelas:
Antibiotik lainnya (streptomycin, tetracycline, methicillin, mebendazole,
trimethoprim/sulfamethoxazole, flucytosine)
Sedatives dan tranquilizers (chlorpromazine, prochlorperazine, piperacetazine,
chlordiazepoxide, meprobamate, methyprylon)
Allopurinol
Methyldopa
Quinidine
Lithium
Guanidine
Potassium perchlorate
Thiocyanate
Carbimazole

Note:yang tertulis miring memiliki keterkaitan paling besar terhadap anemia


aplastik

Infeksi

5
Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering terjadi sebelum terjadinya
anemia aplasia, dan kegagalan sumsum pasca hepatitis terhitung 5% dari etiologi
pada kebanyakan kejadian.Pasien biasanya pria muda yang sembuh dari serangan
peradangan hati 1 hingga 2 bulan sebelumnya; pansitopenia biasanya sangat
berat.Hepatitis biasanya seronegatif (non-A, non-B, non-C, non-G) dan
kemungkinan disebabkan oleh virus baru yang tidak terdeteksi.Kegagalan hepar
fulminan pada anak biasanya terjadi setelah hepatitis seronegatif dan kegagalan
sumsum terjadi pada lebih sering pada pasien ini.Anemia aplastik terkadang
terjadi setelah infeksi mononucleosis, dan virus Eipsten-Barr telah ditemukan
pada sumsum pada sebagian pasien, beberapanya tanpa disertai riwayat penyakit
sebelumnya.Parvovirus B19, penyebab krisis aplastik transient pada anemia
hemolitik dan beberapa PRCA (Pure Red Cell Anemia), tidak biasanya
menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang luas. Penurunan hitung darah yang
ringan sering terjadi pada perjalanan penyakit beberapa infeksi bakteri dan virus
namun sembuh kembali setelah infeksi berakhir.

Penyakit Immunologis

Aplasia merupakan konsekuensi utama dan penyebab kematian yang tak


terhindarkan pada keadaan transfusion-associated graft-versus-host disease
(GVDH), yang dapat terjadi setelah infuse produk darah kepada pasien
immunodefisiensi. Anemia aplastik sangat terkait dengan sindroma kolagen
vaskuler yang jarang terjadi yang disebut fasculitis eosinophilic, yang ditandai
dengan adanya indurasi yang sakit pada jaringan subcutaneous.Pansitopenia
dengan hipoplasia sumsum dapat pula terjadi pada systemic lupus erythematosus.

IV. Patofisiologi

Kegagalan sumsum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel


hematopoetik.Pada anemia aplastik, tergantinya sumsum tulang dengan lemak

6
dapat terlihat pada morfologi spesimen biopsi dan MRI pada spinal. Sel yang
membawa antigen CD34, marker dari sel hematopoietik dini, semakin lemah, dan
pada penelitian fungsional, sel bakal dan primitif kebanyakan tidak ditemukan;
pada pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa kolam sel bakal berkurang
hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat.

Suatu kerusakan intrinsik pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik
konstitusional: sel dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan
kromosom dan kematian pada paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu.
Telomer kebanyakan pendek pada pasien anemia aplastik, dan mutasi pada gen
yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan TERT ) dapat diidentifikasi
pada beberapa orang dewasa dengan anomali akibat kegagalan sumsum dan tanpa
anomali secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa.
Anemia aplasia tidak disebabkan oleh kerusakan stroma atau produksi faktor
pertumbuhan.

Gambaran Patofisiologi pada Anemia Aplastik

Kerusakan akibat Obat

Kerusakan ekstrinsik pada sumsum terjadi setelah trauma radiasi dan


kimiawi seperti dosis tinggi pada radiasi dan zat kimia toksik.Untuk reaksi
idiosinkronasi yang paling sering pada dosis rendah obat, perubahan metabolisme

7
obat kemungkinan telah memicu mekanisme kerusakan.Jalur metabolisme dari
kebanyakan obat dan zat kimia, terutama jika bersifat polar dan memiliki
keterbatasan dalam daya larut dengan air, melibatkan degradasi enzimatik hingga
menjadi komponen elektrofilik yang sangat reaktif (yang disebut intermediate);
komponen ini bersifat toxic karena kecenderungannya untuk berikatan dengan
makromolekul seluler.Sebagai contoh, turunan hydroquinones dan quinolon
berperan terhadap cedera jaringan. Pembentukan intermediat metabolit yang
berlebihan atau kegagalan dalam detoksifikasi komponen ini kemungkinan akan
secara genetic menentukan namun perubahan genetis ini hanya terlihat pada
beberapa obat; kompleksitas dan spesifitas dari jalur ini berperan terhadap
kerentanan suatu loci dan dapat memberikan penjelasan terhadap jarangnya
kejadian reaksi idiosinkronasi obat.

Jejas Autoimun

Penyembuhan pada fungsi sumsum pada beberapa pasien yang


dipersiapkan untuk transplantasi sumsum dengan antilymphocyte globulin (ALG)
menjelaskan bahwa anemia aplastik kemungkinan dimediasi imun.Seperti dengan
hipotesis ini adalah seringnya kegagalan transplantasi sumsum dari kembar
syngeneic, kemoterapi sitotoksik tidak dilakukan, keadaan ini menyangkal
absennya sel bakal sebagai penyebab dan keberadaan dari faktor resipien yang
menciptakan kegagalan sumsum.Data laboratorium mendukung peranan penting
sistem imun pada anemia aplastik.Sel darah dan sel sumsum tulang pada pasien
dapat menekan pertumbuhan sel bakal normal dan diambilnya sel T yang diamati
pada sumsum tulang pasien anemia aplastik dapat memperbaiki pembentukan
koloni in vitro.Peningkatan jumlah sel T sitotoksik yang aktif ditemukan pada
pasien anemia aplastik dan biasanya menurun dengan terapi immunosupressif;
penukuran sitokin menunjukkan respn imun TH1 (interferon dan tumor necrosis
factor). Interferon dan TNF memicu ekspresi Fas pada sel CD34, menyebabkan
apoptosis.; lokalisasi dari sel T yang teraktivasi pada sumsum tulang dan produksi
lokal pada faktor pelarut kemungkinan penting dalam kerusakan sel bakal.

8
Kejadian sistem imun dini pada anemia aplastik belum dipahami dengan
baik.Analisis ekspresi reseptor sel T menunjukkan oligoklonal dan respon sel T
sitotoksik akibat antigen.Banyak antigen exogen berbeda sepertinya mampu untuk
menginisiasi respon imun patologis, namun paling tidak beberapa sel T
kemungkinan dapat membedakan self-antigen. Jarangnya anemia aplastik
walaupun seringnya paparan zat pemicu (obat-obatan dan virus hepatitis)
menandakan bahwa respon imun yang ditentukan secara genetic dapat
mengkonversi respon fisiologis normal menjadi suatu proses autoimun abnormal
yang berkelanjutan, termasuk polymorphisme pada histokompabilitas antigen, gen
sitokin, dangen yang mengatur polarisasi sel T dan fungsi efektor.

V. Manifestasi Klinik

Riwayat anamnesis

Anemia aplastik dapat muncul dengan mendadak atau memiliki onset yang
berkembang dengan cepat.Perdarahan merupakan gejala awal yang paling sering
terjadi; keluhan mudah terjadi memar selama beberapa hari hingga minggu, gusi
yang berdarah, mimisan, darah menstruasi yang berlebihan, dan kadang-kadang
peteki.Adanya thrombositopenia, perdarahan massif jarang terjadi, namun
perdarahan kecil pada sistem saraf pusat dapat berbahaya pada intracranial dan
menyebabkan perdarahan retina.Gejala anemia juga sering terjadi termasuk
mudah lelah, sesak napas, dan tinnitus pada telinga.Infeksi merupakan gejala awal
yang jarang terjadi pada anemia aplastik (tidak seperti pada agranulositosis,
dimana faringitis, infeksi anorektal, atau sepsis sering terjadi pada permulaan
penyakit).Gejala yang khas dari anemia aplastik adalah keterbatasan gejala pada
sistem hematologist dan pasien sering merasa dan sepertinya terlihat sehat
walaupun terjadi penurunan drastis pada hitung darah.Keluhan sistemik dan
penurunan berat badan sebaiknya mengarahkan penyebab pasitopenia lainnya.
Adanya pemakaian obat sebelumnya, paparan zat kimia, dan penyakit infeksi
virus sebelumnya mesti diketahui. Riwayat kelainan hematologis pada keluarga
dapat mengindikasikan penyebab konstitusional pada kegagalan sumsum.

9
Gambaran pucat pada telapak tangan penderita

Pemeriksaan Fisik

Peteki dan ekimosis sering terjadi dan perdarahan retina dapat


ditemukan.Pemeriksaan pelvis dan rectal tidak dianjurkan namun jika dikerjakan,
harus dengan hati-hati dan menghindari trauma; karena pemeriksaan ini biasanya
menyebabkan perdarahan dari servikal atau darah pada tinja.Kulit dan mukosa
yang pucat sering terjadi kecuali pada kasus yang sangat akut atau yang telah
menjalani transfusi.Infeksi pada pemeriksaan pertama jarang terjadi namun dapat
timbul jika pasien telah menjadi simptomatik setelah beberapa
minggu.Limfadenopati dan splenomegaly juga tidak sering terjadi pada anemia
aplastik.Bintik Caf au lait dan postur tubuh yang pendek merupakan tanda
anemia Fanconi; jari-jari yang aneh dan leukoplakia menandakan dyskeratosis
congenital.

Gambaran petekie dan ekimosis penderita

10
Pemeriksaan Laboratorium

Darah

Apusan menunjukkan eritrosit yang besar dan kurangnya platelet dan


granulosit.Mean corpuscular volume (MCV) biasanya meningkat. Retikulosit
tidak ditemukan atau kurang dan jumlah limfosit dapat normal atau sedikit
menurun.Keberadaan myeloid immature menandakan leukemia atau MDS; sel
darah merah yang bernukleus menandakan adanya fibrosis sumsum atau invasi
tumor; platelet abnormal menunjukkan adanya kerusakan perifer atau MDS.

Sumsum Tulang

Sumsum tulang biasanya mudah diaspirasi namun menjadi encer jika


diapuskan dan biopsi spesimen lemak terlihat pucat pada pengambilan.Pada
aplasia berat, apusan dari spesimen aspirat hanya menunjukkan sel darah merah,
limfosit residual, dan sel strome; biopsi (dimana sebaiknya berukuran >1 cm)
sangat baik untuk menentukan selularitas dan kebanyakan menunjukkan lemak
jika dilihat dibawah mikroskop, dengan sel hematopoetik menempati <25%
style.sumsum yang kosong, sedangkan hot-spot hematopoiesis dapat pula
terlihat pada kasus yang berat. Jika spesimen pungsi krista iliaka tidak adekuat, sel
dapat pula diaspirasi di sternum. Sel hematopoietik residual seharusnya
mempunyai morfologi yang normal, kecuali untuk eritropoiesis megaloblastik
ringan; megakariosit selalu sangat berkurang dan biasanya tidak
ditemukan.Sebaiknya myeloblast dicari pada area sekitar spikula.Granuloma
(pada specimen seluler) dapat mengindikasikan etiologi infeksi dari kegagalan
sumsum.

11
Iktisar gejala klinis dan hematologis Anemia Aplastik
Sumsum Tulang Darah tepi Gejala klinis Keterangan
Aplasia eritropoesis Retikulositopenia Anemia (pucat) Akibat
retikulositopenia :
kadar Hb,Ht dan
eritrosit rendah
Akibat anemia :
anoreksia, pusing.
Aplasia Granulositopenia, Panas (demam) Panas terjadi karena
granulopesis leucopenia infeksi sekunder
akibat
granulositopenia.
Aplasia Trombositopenia Diatesis Perdarahan dapat
trombopoetik hemoragi berupa ekimosis,
epistaksis,
perdarahan gusi.

Relatif aktif Limfositosisa Limfositosis biasanya


limfopoesis tidak lebih dari 80%
Relatif aktif RES Mungkin terdapat
(sel plasma, sel plasma,
fibrosit,osteoklas,sel monosit
endotel) bertambah
Gambaran umum : Tambahan :
sel sangat kurang, hepar,limpa,kelenjar
banyak jaringan getah bening tidak
penyokong dan membesar dan tidak
lemak ada ikterus

VI. Diagnosis

12
Diagnosis anemia aplastik biasanya dilakukan dengan cepat, berdasar dari
kombinasi pansitopenia dengan sumsum tulang kosong dan berlemak.Anemia
aplastik merupakan penyakit dewasa muda dan sebaiknya menjadi diagnosis
utama pada seorang remaja atau dewasa yang mengalami pansitopenia. Jika yang
terjadi adalah pansitopenia sekunder, diagnosis utama biasanya ditegakkan
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis : pembesaran limpa seperti pada sirosis
alkoholik, riwayat metastasis kanker, atau sistemik lupus eritematosus, atau
tuberculosis miliar pada gambaran radiologi.

Masalah diagnosis dapat timbul dengan gambaran penyakit yang atipikal


dan merata.Dimana pansitopenia sangat umum terjadi, beberapa pasien dengan
hiposelularitas pada sumsum memiliki penurunan hanya pada satu atau dua dari
tiga jenis sel darah, seringkali memperlihatkan perkembangan menjadi anemia
aplastik yang jelas.Sumsum tulang pada anemia aplastik sulit dibedakan secara
morfologis dengan aspirat pada penyakit didapat. Diagnosis dapat dipengaruhi
oleh riwayat keluarga, hitung jenis darah yang abnormal, atau keberadaan dari
anomali fisik yang terkait. Anemia aplasia lebih sulit dibedakan dari variasi
hiposeluler dari MDS : MDS ditandai dengan penemuan abnormalitas morfologis,
terutama megakariosit dan sel bakal myeloid, dan abnormalitas sitogenik tipikal.

VII. Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan anemia aplastik adalah terapi primer dan


terapi suportif6,7. Terapi primer dapat berupa transplantasi sumsum tulang
terutama pada pasien yang berusia muda. Transplantasi sumsum tulang ini
memiliki angka kesembuhan yang tinggi yaitu sekitar 70% dengan efek jangka
panjang yang baik yaitu 67%. Jika transplantasi tidak dapat dilakukan karena
adanya reaksi penolakan maka dapat diberikan terapi imunosupresif dengan
antilimfosit globulin dan siklosporin dengan angka keberhasilan jangka
panjang 36,6%7. Terapi suportif adalah pemberian transfusi sesuai dengan
kebutuhan penderita6,7.
Penatalaksanaan pada anemia aplastik pada FKUI adalah sebagai berikut4:

13
1. Prednison dan testosteron
Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/kgBB/hari peroral, sedangkan
testosteron dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari sebaiknya secara parenteral 10.
Penelitian menyebutkan bahwa testosteron lebih baik diganti dengan
oksimetolon yang mempunyai daya anabolik dan merangsang sistem
hemopoetik lebih kuat dan diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari peroral.
Pengobatan biasanya berlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai dapat
bertahun-tahun. Bila telah terdapat remisi, dosis obat diberikan separuhnya
dan jumlah sel darah diawasi setiap minggu. Bila kemudian terjadi relaps,
dosis obat harus diberikan penuh kembali. Remisi biasanya terjadi beberapa
bulan setelah pengobatan (dengan oksimetolon 2-3 bulan), mula-mula terlihat
perbaikan pada sistem eritropoetik, kemudian sistem granulopoetik dan
terakhir sistem trombopoetik. Kadang-kadang remisi terlihat pada sistem
granulopoetik terlebih dahulu, disusul oleh sistem eritropoetik dan
trombopoetik. Pemeriksaan BMA sebulan sekali merupakan indikator terbaik
untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah tercapai bahaya
perdarahan yang fatal masih ada, sehingga anak sebaiknya dipulangkan dari
rumah sakit setelah jumlah trombosit mencapai 50.000-100.000/mm3.

2. Transfusi darah
Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan
kadar hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang terlampau
sering, akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan
timbulnya reaksi hemolitik (reaksi transfusi), sehingga dalam hal ini transfusi
darah gagal karena eritropoesit, leukosit dan trombosit akan dihancurkan
sebagai akibat timbulnya antibodi terhadap sel darah tersebut. Dengan
demikian transfusi darah hanya diberikan bila diperlukan.
3. Pengobatan terhadap infeksi sekunder
Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalm
ruangan yang suci hama. Pemberian obat antibiotik hendaknya dipilih yang
tidak menyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh
diberikan.
4. Makanan
Disesuaikan dengan keadaan anak, umumnya diberikan makanan lunak.

14
5. Istirahat
Untuk mencegah terjadinya perdarahan, terutama perdarahan otak.

Gambaran sumsum tulang

VIII.Prognosis

Prognosis bergantung pada gambaran sumsum tulang (hiposeluler atau


seluler) sehingga parameter yang paling baik dalam menentukan prognosis
adalah hasil pemeriksaan BMA. Selain itu, jika kadar Hb F lebih dari 200 mg
%, jumlah granulosit lebih dari 2.000/mm3 dan infeksi sekunder dapat
dikendalikan maka prognosis akan lebih baik4.
Penyebab kematian terbanyak pada anemia aplastik adalah infeksi
sekunder seperti bronkopneumonia atau sepsis atau terjadi perdarahan otak dan
abdomen4. Penyebab kematian pada anak ini diduga adalah terjadinya
perdarahan spontan pada otak dan abdomen. Penyebab terjadinya perdarahan
spontan pada anak adalah adanya trombositopenia. Selain itu produksi semua

15
komponen darah yang tertekan mempercepat terjadinya proses kegagalan
kompensasi tubuh dalam perfusi organ-organ vital sehingga kematian terjadi.

BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan pasien anak atas nama An. ZK, laki-laki, 9 tahun datang dengan
keluhan utama pucat dan lemas sejak +2 bulan. Sejak +2 bulananak makin tampak
pucat dan lemas, terdapat tanda anemia, terdapat tanda perdarahan di kulit, tidak
terdapat tanda infeksi, tidak terdapat kelainan jantung. Adanya riwayat anemia
sebelumnya yaitu 6 bulan yang lalu, anak sudah sempat transfusi darah beberapa
kali.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjanganak ini
mengalami anemia aplastik.Anemia aplastik merupakan suatu pansitopenia pada

16
hiposelularitas sumsum tulang. Etiologi dari anemia aplastik dapat dibagi
menjadi:
a. Faktor kongenital
Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti
mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.
b. Faktor didapat
1. Bahan kimia : benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb
2. Obat : kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin
(antihistamin), santonin-kalomel, obat sitostatika (myleran, methotrexate,
TEM, vincristine, rubidomycine dan sebagainya)
3. Radiasi : sinar rontgen, radioaktif
4. Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan kimia dan lain-lain
5. Infeksi : tuberkulosis milier, hepatitis dan sebagainya
6. Idiopatik merupakan penyebab yang paling sering
Pada kasus ini, anemia aplastik yang terjadi bersifat idiopatik dan terjadi
setelah anak berumur 9 tahun. Hal ini berdasarkan riwayat penyakit penderita dan
riwayat penyakit keluarga. Anak tidak pernah menderita sakit sebelumnya. Anak
tinggal bersama orang tua yang bergolongan ekonomi menengah ke atas.
Lingkungan jauh dari daerah pertanian dan tidak pernah terpapar insektisida atau
bahan sejenisnya. Keluarga anak juga tidak ada yang menderita penyakit yang
serupa, karena penyebab yang tidak jelas ini maka etiologinya digolongkan
idiopatik.
Manifestasi klinis pada prinsipnya berdasarkan pada gambaran sumsum
tulang yang berupa aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik,
serta aktifitas relatif sistem limfopoetik dan RES. Gejala anemia dapat berupa
pucat, sakit kepala, palpitasi dan mudah lelah. Pada anemia yang sangat berat
dapat terjadi dispneu, edema pretibial dan gejala lain yang disebabkan kegagalan
jantung. Trombositopenia mengakibatkan perdarahan pada mukosa dan gusi atau
timbulnya petekie dan purpura pada kulit. Granulositopenia sangat memudahkan
timbulnya infeksi sekunder dan berulang, hal ini biasanya ditandai dengan demam
yang kronik atau tanda infeksi yang lain sesuai agen penyebabnya1-4. Pada anemia
aplastik tidak terjadi pembesaran organ (hepatosplenomegali, limfadenopati)2-6.

17
Manifestasi klinis yang berat dari anemia seperti dispneu, edema pretibial
akibat kegagalan jantung tidak didapatkan baik dari anamnesa maupun
pemeriksaan fisik. Dari riwayat tidak didapatkan adanya infeksi sekunder yang
dapat memperberat kondisi pasien saat ini.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa pucat, perdarahan dan
tanpa organomegali. Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan
limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dari pemeriksaan sumsum tulang
yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan
lemak; aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Diantara sel
sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel RES (sel plasma,
fibrosit, osteoklas, sel endotel)4.
Pada kasus ini didapatkan manifestasi klinis berupa gejala anemia yaitu
penderita tampak pucat, mukosa konjungtiva anemis dan tanda granulositopenia
berupa petekie yang tampak di seluruh tubuh. Pada kasus ini tidak didapatkan
adanya organomegali.
Pada kasus ini ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan tanda anemia
dan granulositopenia tanpa adanya organomegali. Hal ini diperkuat dengan
pemeriksaan penunjang yang mendukung dimana semua sel darah mengalami
penurunan jumlah. Dari pemeriksaan BMA didapatkan sumsum tulang
hiposeluler, aktivitas semua sistem tertekan. Tampak dominasi limfosit dan sel
lemak.
Diagnosis banding yaitu ITP dapat disingkirkan karena pemeriksaan darah
rutin dan blood smear pada ITP hanya akan terjadi trombositopenia. Diagnosis
leukemia dapat disingkirkan karena biasanya terjadi organomegali dan pada blood
smear akan ditemukan sel-sel muda. Kedua diagnosis banding di atas akan jelas
dapat disingkirkan apabila dilakukan pemeriksaan BMA.
Secara umum penatalaksanaan anemia aplastik adalah terapi primer dan
terapi suportif6,7. Terapi primer dapat berupa transplantasi sumsum tulang terutama
pada pasien yang berusia muda. Transplantasi sumsum tulang ini memiliki angka
kesembuhan yang tinggi yaitu sekitar 70% dengan efek jangka panjang yang baik
yaitu 67%. Jika transplantasi tidak dapat dilakukan karena adanya reaksi
penolakan maka dapat diberikan terapi imunosupresif dengan antilimfosit globulin

18
dan siklosporin dengan angka keberhasilan jangka panjang 36,6%7. Terapi suportif
adalah pemberian transfusi sesuai dengan kebutuhan penderita6-9.
Pada kasus ini penanganan yang terbaik adalah dilakukan transplantasi
sumsum tulang karena umur penderita masih muda dengan efek jangka panjang
yang baik, akan tetapi hal ini tidak memungkinkan dilakukan karena kurangnya
sarana dan prasarana yang ada. Pilihan terapi yang lain yaitu terapi imunosupresif.
Terapi imunosupresif yang memungkinkan untuk dilaksanakan adalah dengan
pemberian kortikosteroid yang dalam hal ini adalah prednison 10. Program terapi
dengan prednison ini hanya dapat kita lakukan apabila didapatkan kepastian
diagnosa dari BMA. Setelah diagnosis ditegakkan dengan hasil BMA anak
kemudian diberi pengobatan imunosupresif berupa metilprednisolon 3x62,5 mg.
Terapi imunosupresif dilakukan pada anak ini dengan alasan agar terjadi
perbaikan pada sumsum tulangnya. Pemeriksaan ulang sumsum tulang sebaiknya
dilakukan 1 bulan setelah terapi dilakukan utuk mengetahui respon sumsum
tulang terhadap obat. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat menentukan prognosis
dari penyakit anak.Terapi suportif yang diberikan adalah transfusi sesuai
kebutuhan, akan tetapi hal ini tidak akan bermanfaat bila tidak dilakukan terapi
primer. Pada pasien ini diberikan terapi suportif berupa transfusi darah washed
eritrosit 200cc, komponen sel darah merah yang dicuci dengan normal salin.
Pencucian dengan salin ini membuang hampir seluruh plasma (98%), menurunkan
konsentrat leukosit, dan trombosit serta debris. Komponen darah ini dipakai untuk
mencegah reaksi alergi yang berat atau alergi yang berulang mengingat anak
sudah sering melakukan transfusi darah. Sebelum transfusi dilakukan, anak diberi
Inj. Lasix (furosemid) 10 mg terlebih dahulu, untuk mencegah overloadcairan.
Terapi oral yang didapat anak adalah folavit (asam folat) sirup 1x1 cth, pemberian
obat ini untuk memenuhi kebutuhan asam folat anak. Karena keadaan umum anak
baik dan 2 hari setelah perawatan, anak dirujuk ke Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Prognosis bergantung pada gambaran sumsum tulang (hiposeluler atau
seluler) sehingga parameter yang paling baik dalam menentukan prognosis adalah
hasil pemeriksaan BMA. Penyebab kematian terbanyak pada anemia aplastik
adalah infeksi sekunder seperti bronkopneumonia atau sepsis atau terjadi

19
perdarahan otak dan abdomen4. Penyebab terjadinya perdarahan spontan pada
anak adalah adanya trombositopenia. Selain itu produksi semua komponen darah
yang tertekan mempercepat terjadinya proses kegagalan kompensasi tubuh dalam
perfusi organ-organ vital sehingga kematian terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. AplasticAnemia (Severe). Dalam : Medical Center, 2004.


2. Anonim. Blood Disease Aplastic Anemia. Dalam : Universitas of Maryland,
2004.
3. Bakhsi S. Aplastic Anemia. Dalam : Emedicine Article, 2004.
4. Hasan R, Alatas H ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Buku I, 1985;
Jakarta.
5. Salonder, H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga, 2001;
Jakarta.
6. Small BM. Bone Marrow Failure. Dalam : SMBS Education Fact Sheet, 2004.
7. American Cancer Society. Aplastic Anemia. Dalam : ACS Information and
Guide, 2005.

20
8. Young NS. Acquired Aplastic Anemia. Dalam : Annals of Internal Medicine,
2002. Vol 136 No 7.
9. Tirza D dan Handoko T Imunosupresan. Dalam : Farmakologi dan Terapi
Edisi 4. Editor : Sulistia G. Ganiswara. 1995: FKUI, Jakarta hal709-710.
10. Djuanda A Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang
Dermato-venerologi. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 3.
Editor: Adhi Djuanda. 2001: FKUI, Jakarta, hal 316.

21

Anda mungkin juga menyukai