Anda di halaman 1dari 15

ANEMIA APLASTIK

A. Defenisi
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah
sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells
(hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu
diagnosis melainkan cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar
yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan
korfirmasi laboratorium (Sylvia, 2006).
Anemia aplastik adalah suatu kelainan yang ditandai oleh
pansitopenia pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang
(Bambang, 2012).
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan
penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh
kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel
darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami
pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah
merah, sel darah putih, dan trombosit (Solander, 2006).

B. Klasifikasi Anemia Aplastik


Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Klasifikasi menurut kausanya :
a. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira
50% kasus.
b. Sekunder : bila kausanya diketahui.
c. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan,
misalnya anemia Fanconi
2. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis
a. Anemia aplastik berat
Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan
<30% sel hematopoietik residu, dan dua dari tiga kriteria berikut :

1
1) Netrofil < 500/ul
2) Trombosit < 20.000/ul
3) Retikulosit < 60.000/ul
b. Anemia aplastik sangat berat
Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil < 200/ul
c. Anemia aplastik tidak berat
Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat
atau sangat berat; dengan sumsum tulang yang hiposelular dan
memenuhi dua dari tiga kriteria berikut :
1) Netrofil < 150/ul
2) Trombosit < 10.000/u;
3) Hemoglobin < 10 g/dl

C. Etiologi
Penyebab anemia aplastik dapat congenital, idiopatik
(penyebabnya tidak diketahui) atau sekunder akibat penyebab-penyebab
industry atau virus (Hoffbrand, Pettit, 1993 dalam Sylvia, 2006). Anemia
aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan
tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik.
1. Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
a. Anemia aplastik sekunder
1) Radiasi
2) Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
a) Efek regular : Bahan-bahan sitotoksik, Benzene
b) Reaksi Idiosinkratik : Kloramfenikol, NSAID, Anti epileptic,
Emas, Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
3) Virus
a) Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
b) Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
c) Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
d) Human immunodeficiency virus (sindroma immune
defisiensi yang didapat)

2
4) Penyakit-penyakit Imun
a) Eosinofilik fasciitis
b) Hipoimunoglobulinemia
c) Timoma dan carcinoma timus
d) Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
5) Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
6) Kehamilan
b. Idiopathic aplastic anemia
2. Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
a. Anemia Fanconi
b. Diskeratosis kongenita
c. Sindrom Shwachman-Diamond
d. Disgenesis reticular
e. Amegakariositik trombositopenia
f. Anemia aplastik familial
g. Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
h. Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
D. Patofisiologi
Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini,
patofisiologi anemia aplastik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori
yang dapat menerangkan patofisiologii penyakit ini yaitu :
1. Kerusakan sel induk hematopoietik
2. Kerusakan lingkungan mikro sum-sum tulang
3. Proses imunologik yang menekan hematopoiesis
Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia),
terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA.
Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic
anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik,
misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang
didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited
(diwariskan) anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited

3
yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita
anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA
akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia
Fanconi memiliki risiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom
(MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G
dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini
dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait
dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya
anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan
kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel
dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau
benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga
menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun
mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik.
Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit
sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem
sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang
terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang
kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
Aplasia berat disertai penurunan (kurang dari 1%) atau tidak
adanya retikulosit, jumlah granulosit kurang dari 500/mm 3 dan jumlah
trombosit kurang dari 20.000 menyebabkan kematian akibat infeksi dan
atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Sepsis
merupakan penyebab tersering kematian (Young, 2000 dalam Sylvia,
2006). Namun, pasien dengan penyakit yang lebih ringan dapat hidup
bertahun-tahun. Karena infeksi dan perdarahan merupakan penyebab
utama kematian, maka pencegahan merupakan hal yang penting. Faktor-

4
faktor pertumbuhan seperti G-CSF dapat digunakan untuk meningkatkan
jumlah neutrofil dan mencegah atau meminimalkan infeksi.
4. Tanda dan Gejala
Kompleks gejala anemia aplastik disebabkan oleh derajat
pansitopenia. Tanda gejala meliputi anemia, disertai kelelahan,
kelemahan, dan nafas pendek saat latihan. Tanda dan gejala lain
diakibatkan oleh defisiensi trombosit dan sel darah putih. Defisiensi
trombosit dapat menyebabkan ekimosis dan petekie (perdarahan di
dalam kulit), epistaksis, (perdarahan hidung), perdarahan saluran cerna,
perdarahan saluran kemih dan kelamin, perdarahan system saraf pusat.
Defisiensi sel darah putih meningkatkan kerentanan dan keparahan
infeksi, termasuk infeksi bakteri, virus dan jamur (Sylvia, 2006).
Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul
gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis,
takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis
menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita
menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan
gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.
Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput
lendir atau pendarahan di organ-organ. Pada kebanyakan pasien, gejala
awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau
pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga
dikeluhkan.
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada
pemeriksaan rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi.
Pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling
sering dikemukakan.

5
5. Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer,
tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit
muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan
anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan
makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung
jenis sel darah putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil
dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75%
kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm 3 dan trombosit
kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat.
Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia
aplastik sangat berat.
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara
kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan
dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran
klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia).
Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis
sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia
atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini
produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik
dapat ditegakkan.
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan
biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan
akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada
anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia
aplastik konstitusional.

6
Plasma darah biasanya mengandung growth factor
hematopoiesis, termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor
yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya
meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan
inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah
spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif
sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel
mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan
kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan
elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel
yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada
beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan
normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit
rendah.
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas
baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia
aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat
memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya
terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler
karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi
sumsum tulang ulangan dan biopsy dianjurkan untuk
mengklarifikasi diagnosis.
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan
kurang dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun
atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari
60 tahun. International Aplastic Study Group mendefinisikan
anemia aplastik berat bila selularitas sumsum tulang kurang dari
25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel
hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.

7
2. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya
berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan,
karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal.
Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan
gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan
digantikan oleh jaringan lemak.
6. Komplikasi
Komplikasi anemia aplastik (Bambang, 2012) adalah :
1. Anemia dan akibat-akibatnya (karena pembentukannya berkurang)
2. Infeksi
3. Perdarahan
7. Penatalaksanaan / Pengobatan
Pengobatan anemia aplastik, jika diketahui penyebabnya ditujukan
untuk menghilangkan agen penyebab. Focus utama pengobatan adalah
perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang (Sylvia,
2006).
Tindakan pencegahan sebaiknya meliputi lingkungan yang
dilindungi dan hygiene keseluruhan yang baik. Pada perdarahan atau
infeksi, penggunaan yang bijaksana terapi komponen darah (sel darah
merah dan trombosit) serta antibiotic menjadi penting. Agen perangsang
sumsum tulang seperti androgen dapat menginduksi eritropoiesis,
walaupun efektivitasnya tidak pasti. Pasien anemia aplastik kronis
beradaptasi dengan baik dan dapat dipertahankan pada kadar
hemoglobin antara 8 dan 9 g/dl dengan transfuse darah periodic.
Pada individu muda dengan anemia aplastik berat yang sekunder
akibat kerusakan sel induk, diindikasikan untuk melakukan transplantasi
sel induk alogenik dengan donor yang cocok. (saudara kandung dengan
histocompatible leukocyte antigens (HLA) manusia yang cocok. Angka
keberhasilan secara keseluruhan melebihi 80% pada pasien yang
sebelumnya tidak ditransfusi. Pada pasien yang lebih tua dengan anemia

8
aplastik atau pada kasus yang diyakini dimediasi secara imunologis,
antibody yang mengandung globulin antihimosit (ATG) terhadap sel T
diguankan bersama dengan kortikosteroid dan siklosporin member
manfaat pada 50% hingga 60% pasien. Respon dapat diharapkan dalam
waktu 4 hingga 12 minggu. Secara umum, respon ini parsial tetapi cukup
tinggi untuk meningkatkan perlindungan pada pasien dan
memungkinkan kehidupan yag lebih nyaman (Linker, 2001 dalam Sylvia,
2006).
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi
akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana
untuk menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan
untuk memperbaiki keadaan pasien.
Manajemen Awal Anemia Aplastik:
1. Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang
diduga menjadi penyebab anemia aplastik.
2. Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang
dibutuhkan.
3. Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai
yang dibutuhkan.
4. Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia
berat.
5. Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila
organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang
menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh
bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit
dari donor yang belum mendapat terapi GCSF.
6. Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan
yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif
(ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi

9
siklofosfamid. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi
imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang.
Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok
(matched sibling donor), faktor-faktor risiko seperti infeksi aktif atau
beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah
pasien paling baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi
sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi
transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD
(Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai
komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme
terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.
8. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Aktifitas / Istirahat
Gejala : letih, lemas, malas, toleransi terhadap latihan rendah,
kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
Tanda : tachycardia, tachipnea, dispnea jika istirahat atau
bekerja, apatis, lesu, kelemahan otot dan penurunan
kekuatan, tubuh tidak tegak.
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat kehilangan darah kronis, endokarditis, palpitasi.
Tanda : hipotensi postural, disritmia, abnormalitas EKG, bunyi
jangtung murmur, ekstremitas pucat, dingin, pucat pada
membrane mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir dan
dasar kuku), pengisian kapiler lambat, rambut keras).
c. Eliminasi
Gejala : riwayat pielonefritis, gagaj ginjal, hematemesis, melena,
diare, konstipasi, penurunan haluaran urine.
Tanda : distensi abdomen.
d. Makanan dan Cairan
Gejala : penurunan masukan diet, nyeri menelan, mual, muntah,
anorexia, penurunan berat badan.

10
Tanda : lidah merah, membrane mukosa kering, pucat, tangan
kulit kering, stomatitis.
e. Hygiene
Tanda dan Gejala : kurang bertenaga, penampilan tidak rapih.
f. Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus,
insomnia, penurunan penglihatan, keseimbangan buruk,
parestesia tangan/kaki, sensasi dingin.
Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi, cenderung tidur, apatis,
respon lambat dan dangkal, hemoragis retina, epistaksis,
perdarahan dari lubang-lubang, gangguan koordinasi,
ataksia, penurunan rasa getar.
g. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen samar, sakit kepala.
h. Keamanan
Gejala : riwayat terpajan bahan kimia, riwayat terpajan radiasi
baik sebagai pengobatan atau kecelakaan, tidak toleran
terhadap panas atau dingin, penyembuhan lukan buruk,
sering infeksi.
Tanda : demam, keringat malam, linfadenopati, petekie, dan
ekimosis.
i. Penyuluhan
Gejala : kecenderungan keluarga untuk anemia, penggunaan anti
konvulsan masa lalu/saat ini, antibiotic, agen kemoterafi
(gagal sumsum tulang), aspirin, anti inflamasi.
2. Prioritas Keperawatan
a. Peningkatan perfusi jaringan
b. Memberikan kebutuhan nutrisi/cairan
c. Mencegah komplikasi
d. Memberikan informasi tentang psoses penyakit, prognosis, dan
program pengobatan.

11
3. Tujuan Pemulangan
a. Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi mandiri atau dengan
bantuan orang lain.
b. Komplikasi tercegah/minimal.
c. Proses penyakit/prognosis dan program terapi dipahami.
4. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan
b. Ansietas/cemas
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
d. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit
e. Konstipasi atau diare
f. Risiko tinggi terhadap infeksi
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis atau
kebutuhan pengobatan.

12
9. Penyimpangan KDM

13
DAFTAR PUSTAKA

Bambang P, Ugrasena, Ratwita M, 2012. Anemia Aplastik. Bagian SMF Ilmu


Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya.
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=071
10-qhze241.htm

Doenges E.M, Moorhouse M.F, Geissler A.C, 2000. Rencana Asuhan


Keperawatan, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Erika K.A, Hariati S, Seniwati T, 2011. Buku Ajar Keperawatan Anak, Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Unhas, Makassar.

Solander H. 2006. Anemia aplastik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds).


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Sylvia A.P, Wilson L.M, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Volume 1, Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Wong D.L, 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4, Penerbit


Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

14
LAPORAN PENDAHALUAN
ANEMIA APLASTICK

DISUSUN OLEH
SYARIFATUL LUTFIAH
N21020031
PRODI DIII KEPERAWATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN AJARAN 2021-2022

15

Anda mungkin juga menyukai