PENDAHULUAN
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan
penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan
produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang
diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan
dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit.1,2,3
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun
1988 oleh Paul Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas
dengan ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu
dilakukan autopsi ditemukan tidak ada sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich
kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan pada fungsi sumsum
tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia aplastik.1,2,4
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2
sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik
diperkirakan lebih sering terjadi dinegara Timur dibanding negara Barat.
Peningkatan insiden mungkin berhubungan dengan faktor lingkungan seperti
peningkatan paparan terhadap bahan kimia toksik dibandingkan faktor genetik.
Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan insiden pada penduduk Asia
yang tinggal di Amerika. Penelitian yang dilakukan di Thailand menunjukkan
peningkatan paparan dengan pestisida sebagai etiologi yang tersering.3,5
Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas
merupakan salah satu faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti
kloramfenikol terbukti dapat mensupresi sumsum tulang dan mengakibatkan
aplasia sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang sehingga
diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.6
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif,
gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala
subjektif dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun,
gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. 4 Pada anemia
aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan
trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan
anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang
sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia
hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1
2.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,
berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. 2 Analisis
retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar
antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun. 9 The Internasional Aplastic
Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus
persejuta orang pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang
berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun.
Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7
kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5
kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur
lebih besar daripada di negara Barat belum jelas. 9 Peningkatan insiden ini
diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan
dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti
dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.5
A.
1.
2.
3.
B.
aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan
menyebabkan fibrosis.2
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis
dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi
dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan
sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar
sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi
tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada
dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X).
Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan
2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis
radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan
sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima
transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi
eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.13
2.4.2 Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan
anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang
lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang
berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.13
2.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada
Resiko Tinggi
Resiko
Menengah
Resiko Rendah
Analgesik
Fenasetin, aspirin,
salisilamide
Anti aritmia
Kuinidin, tokainid
Anti artritis
Garam Emas
Kolkisin
Anti konvulsan
Karbamazepin,
hidantoin,
felbamat
Etosuksimid, Fenasemid,
primidon, trimethadion,
sodium valproate
Anti histamin
Klorfeniramin,
pirilamin, tripelennamin
Anti hipertensi
Captopril, methyldopa
Anti inflamasi
Penisillamin,
fenilbutazon,
oksifenbutazon
Diklofenak, ibuprofen,
indometasin, naproxen,
sulindac
Kloramfenikol
Dapsone, metisillin,
penisilin, streptomisin,
-lactam antibiotik
Anti mikroba
Anti bakteri
Anti fungal
Amfoterisin, flusitosin
Anti protozoa
Kuinakrine
Klorokuin, mepakrin,
pirimetamin
Busulfan,
cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard
Daunorubisin,
doxorubisin,
mitoxantrone
Anti platelet
Tiklopidin
Kategori
Resiko Tinggi
Resiko
Menengah
Resiko Rendah
Anti tiroid
Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat
Sedative dan
tranquilizer
Klordiazepoxide,
Klorpromazine (dan
fenothiazin yang lain),
lithium, meprobamate,
metiprilon
Numerous sulfonamides
Acetazolamide
Hipoglikemik
Klorothiazide,
furosemide
Klorpropamide,
tolbutamide
Lain-lain
Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang
disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia
aplastik merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan
resiko rendah.
2.4.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang
paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah
terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan
tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia
aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada
penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter,
dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi
neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia
dapat terjadi.8,12,13
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum
tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus
oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik
yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik
yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang
langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali)
mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien
dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic
sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal
ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi,
contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara).
Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik
dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen
ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis
DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin
merupakan
mekanisme
utama
patofisiologi
anemia
aplastik.
Walaupun
10
%
83
Lemah badan
80
Pusing
69
Jantung berdebar
36
Demam
33
Nafsu
makan
29
berkurang
26
Pucat
23
Sesak nafas
19
Penglihatan kabur
13
Telinga berdengung
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali,
yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien
sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya
splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
11
%
100
Pendarahan
63
Kulit
34
Gusi
26
Retina
20
Hidung
Saluran cerna
Vagina
Demam
16
Hepatomegali
Splenomegali
12
produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa
minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.9
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya
memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya
trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan
mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2
Plasma darah biasanya mengandung
13
14
2.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat
granulositopenia
dan
monositopenia
memerlukan
tatalaksana
untuk
15
Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
Assessment
untuk
transplantasi
stem
sel
allogenik
pemeriksaan
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG,
siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi
sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang
cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau
beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling
baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien
yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik
dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih
tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.
Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia
aplastik.15
16
Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa
packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan
pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit
dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor
acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan
zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan
yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan
tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya.
Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b.
Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte
Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit
lebih dari 200/mm3
17
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan
mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal
dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.15
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi
alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan
menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik. 15 Sebuah
protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11
Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik11
Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya.
Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG
dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum
sickness, tapering dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon
maksimal kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50
tahun atau lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus
diturunkan bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim
hati.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison.
Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi
sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon
memiliki angka remisi sebesar 46%.15
18
Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satusatunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi
imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang
refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung
darah pada beberapa pasien.11,15
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin
dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia
aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat.
19
anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan
HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada
sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan
kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi
primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila
mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin
meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor
(Graft Versus Host Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti
memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival
yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien
dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG)
maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan. 15 Akan
tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah
mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan
transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat
mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang.
Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection)
karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
20
respon
terapi
menurut
kelompok
European
Marrow
dikaitkan dengan
respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi
sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih
baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara
terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien
mendapatkan transplantasi sumsum tulang.
21
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun
dan sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak
40% pasien yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan
menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar
11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum
transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan
dan belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi
dalam hal conditioning untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi
kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien
setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian
mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan
berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria,
sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang
pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan
selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif,
hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal
yang sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid
memiliki toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat
walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
: Ny. S
22
Umur
Agama
Suku
Status
Tanggal masuk
Tanggal Pemeriksaan
Pekerjaan
CM
: 47 tahun
: Islam
: Aceh
: Menikah
: 14 Januari 2014
: 16 Januari 2015
: Ibu rumah tangga
: 1-03-64-38
Masalah
Tanggal
1.
Bisitopenia ec dd:
- Anemia aplastik
- Leukemia
- Myelofibrosis
- Mielodysplasia syndrome
16/01/2015
23
mual (-), muntah (-). Pasien kemudian di rujuk ke RSUDZA Banda Aceh
dengan diagnosa anemia diagnosa banding anemia aplastik.
1.4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat pucat sebelumnya (-), hipertensi (), Penyakit Jantung (), DM
(), Asma (), demam lama(-), sakit kuning (-).
1.5. Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada keluarga yang menderita penyakit
sama dengan pasien. Hipertensi (+) ayah dan ibu pasien
1.6. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.. Terpapar zat kimia (-)
1.7. Riwayat Pemakaian Obat
Riwayat minum obat untuk nyeri kaki pasien dan penurun panas (+)
dari puskesmas dan warung, tapi pasien tidak tau nama atau jenis
obatnya. Riwayat transfusi sebelum sakit (-).
3.4 Pemeriksaan Fisik
a. Status Presens
Keadaan Umum
Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu
Berat Badan
Tinggi Badan
BMI
:
:
:
:
:
:
:
:
b. Status Internus
Kulit
Warna
: Sawo matang
Turgor
: Kembali cepat
Ikterus
: (-)
Pucat
: (+)
Sianosis
: (-)
Oedema
: (-)
Kepala
Bentuk
: Kesan Normocephali
Rambut
Mata
24
Hidung
Mulut
Bibir
Gigi geligi
: Karies (-)
Lidah
Mukosa
: Basah (+)
Tenggorokan
: Tonsil T1/T1
Faring
: Hiperemis (-)
Leher
Bentuk
: Kesan simetris
Peningkatan TVJ
: R-2 cmH2O
Axilla
Thorax
1. Thoraks depan
a) Inspeksi
Bentuk dan Gerak
Tipe pernafasan
: Thorako-abdominal
Retraksi
: (-)
b) Palpasi
Stem premitus
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah
c) Perkusi
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap.Paru bawah
d) Auskultasi
Suara nafas
Lap. Paru atas
Lap.Paru tengah
Lap.Paru bawah
Paru kanan
Normal
Normal
Normal
Paru kiri
Normal
Normal
Normal
Paru kanan
Sonor
Sonor
Sonor
Paru kiri
Sonor
Sonor
Sonor
Paru kanan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Paru kiri
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
25
Suara tambahan
Paru kanan
Lap. Paru atas
Rh(-) , Wh(-)
Lap. Paru tengah Rh(-) , Wh(-)
Lap. Paru bawah
Rh(-) , Wh(-)
2. Thoraks Belakang
Paru kiri
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-), Wh(-)
Rh(-), Wh(-)
a) Inspeksi
Bentuk dan Gerak
Tipe pernafasan
: Thorako-abdominal
Retraksi
: interkostal (-)
b) Palpasi
Stem Fremitus
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kanan
Normal
Normal
Normal
Paru kiri
Normal
Normal
Normal
Paru kanan
Sonor
Sonor
Sonor
Paru kiri
Sonor
Sonor
Sonor
Suara nafas
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah
Paru kanan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Paru kiri
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Suara tambahan
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah
Paru kanan
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-) , Wh(-)
Paru kiri
Rh(-),Wh(-)
Rh(-), Wh(-)
Rh(-), Wh(-)
c) Perkusi
Lap. Paru atas
Lap. Parutengah
Lap.Paru bawah
d) Auskultasi
Jantung
-
Inspeksi
Palpasi
midclavicula sinistra
-
Perkusi
: Batas atas
Batas kanan
26
Batas Kiri
Auskultasi
Inspeksi
Palpasi
Abdomen
Perkusi
Auskultasi
Genetalia
Anus
Ekstremitas
Ekstremitas
Pucat
Edema
Ikterik
Gerakan
Tonus otot
Sensibilitas
Atrofi otot
Kuku kolonicia
:
Superior
Kanan
Kiri
+
+
Aktif
Aktif
Normotonus
Normotonus
N
N
-
Inferior
Kanan
+
Aktif
Normotonus
N
-
Kiri
+
Aktif
Normotonus
N
-
14/01/2015
15/01/2015
Nilai Rujukan
4,4
7,4
1,5
7
13
145
21
0,5
10/19
8,1
3,6
4,1
6,6
1,4
9
12
139
23
0,5
11/18
7,8
3,7
13 - 18 gr/dl
4,1-10,5 x 103/ul
4,5-6.0 x 106/ul
150-400 x 103/ul
40-55%
60-110 mg/dl
10-50 mg/dl
0,5-1,5 mg/dl
<31/<37 U/L
6,3-8,3 g/dl
3,2-5,2 g/dl
27
Globulin
Na
K
Cl
4,3
157
4,8
108
4,1
137
3,8
105
1,3-3,2 g/dl
135-145 meq/L
3,5-4,5 meq/L
90-110 meq/L
Cek darah rutin, lipid profile, feritin serum, waktu perdarahan dan
pembekuan, albumin, globulin, PT, APTT, D-Dimmer dan urinalisis
Foto thoraks PA
b. Rencana terapi
Tirah baring
28
3.8 Follow Up
Tg
l
S
O
16-01-2015
20-01-2015
23-01-2015
Pucat (+)
Vital sign/
Kes : compos mentis
TD : 120/70 mmHg
N : 84 kali/menit
RR : 20 kali/menit
PF/
Mata : anemis (+/
+), ikterik (-/-)
Telinga/Hidung :
normal
Mulut: bibir pucat
(+),
Leher: pemb. KGB
(-)
Thoraks : dalam
batas normal
Abdomen: dalam
batas normal
Extremitas: pucat
(+/+), udem (-/-)
Bisitopenia ec dd
1. anemia aplastik
2. Myelodisplasia
syndrome
Th/
-Bed rest
- diet M2 1600
kkal/hari
- IVFD RL 20 gtt/menit
- Transfusi s.d Hb > 10
g/dl
- IV metilprednisolon
125 mg/12 jam
Pucat (+)
Vital sign/
Kes : compos mentis
TD : 130/70 mmHg
N : 78 kali/menit
RR : 22 kali/menit
PF/
Mata : anemis (+/
+), ikterik (-/-)
Telinga/Hidung :
normal
Mulut: bibir pucat
(+),
Leher: pemb. KGB
(-)
Thoraks : dalam
batas normal
Abdomen: dalam
batas normal
Extremitas: pucat
(+/+), udem (-/-)
Bisitopenia ec
anemia aplastik
P/
-BMP
-susul hasil foto
thoraks
P/
-BMP : hipoblastik
-foto thoraks normal
P/
-PBJ
29
Th/
-sandimmun 100 mg
2x1 tab
- metilprednisolon 4
mg 1-1-1 tab
- sohobion 2x1tab
-omeprazol 2x1tab
sumsung
tulang
didapatkan
hipoblastik.
Hingga
anemia
Pasien juga mengeluhkan demam, tidak terlalu tinggi, riwayat kejang dan
menggigil tidak ada. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia
yang
akan
menyebabkan
penderita
menjadi
peka
terhadap
infeksi
sehingga
mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik
seperti demam.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,
2001;501-8.
2. Bakshi S. Aplastic Anemia.
Available in URL:
http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
3. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic
Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
4. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
Available in URL:
http://www.jpmi.org/org_detail.asp
5. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik
2003. Jakarta. Q-communication,.
6. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95101
7. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia.
Available in URL:
http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
8. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds).
William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
9. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow
failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al
(eds). Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing,
2005;190-206.
10. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).
Modern Hematology Biology and Clinical Management 2 nd ed. New Jersey:
Humana Press, 2007 ;207-16.
11.
Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure
syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of
Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25.
31
12. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed.
New York: Lange McGraw Hill, 2005.
13. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds).
Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill,
2007;510-11.
14. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.
32