REFERAT
PSIKOTIK AKUT
OLEH :
ANDI RATNASARI
4520112020
DAFTAR ISI
ii
Halaman
Halaman Judul i
Daftar Isi ii
Lampiran iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Definisi Psikotik Akut 1
B. Epidemiologi Psikotik Akut 2
C. Etiologi Psikotik Akut 4
D. Patogenesis Psikotik Akut 7
F. Klasifikasi Psikotik Akut 7
G. Manifestasi Psikotik Akut 9
H. Diagnosis Psikotik Akut 10
I. Kriteria Diagnosis 13
J. Diagnosis Banding 15
BAB II. TATALAKSANA
A Tatalaksana Non - medikamentosa 19
B. Tatalaksana Medikamentosa 20
BAB III. KOMPLIKASI
A. Komplikasi 23
B. Prognosis 24
BAB IV. PENCEGAHAN
A. Pencegahan 25
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan 26
B. Saran 27
REFERENSI 28
LAMPIRAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Setidaknya satu dari gejala ini harus berupa delusi, halusinasi, atau
2
ucapan yang tidak teratur. Gejala BPD berlangsung antara satu hari
sampai satu bulan, dengan kembali lengkap ke tingkat fungsi premorbid
setelah perjalanan penyakit sebagai respons terhadap obat antipsikotik.
Gangguan perilaku tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh
skizofrenia, gangguan skizoafektif, gangguan mood dengan ciri psikotik,
atau akibat langsung dari obat, pengobatan, atau kondisi medis seperti
tirotoksikosis, sarkoidosis, atau sifilis5,6,7.
dimulai pada usia rata-rata 25,4 tahun dan pada wanita pada 27,5 tahun.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (RKD) 2013, prevalensi gangguan
psikotik di Indonesia adalah 1,7 daerah per mil. Jawa Barat menduduki
peringkat tertinggi di antara semua provinsi di Indonesia yang luasnya 1,6
per mil. Di Sumedang, jumlah gangguan psikotik adalah 0,8% dari seluruh
populasi. Banyaknya kekambuhan gangguan psikotik disebabkan oleh
perilaku masyarakat dalam bentuk stigma dan diskriminasi. Kemungkinan
didahului oleh persepsi negatif awal terhadap orang dengan gangguan
psikotik7.
Prevalensi psikosis berdasarkan sebuah studi metaanalisis adalah
3,86 per 1000 populasi sebagai point prevalence, 4,03 per 1000 populasi
sebagai prevalensi 12 bulan terakhir, sedangkan prevalensi seumur hidup
7,49 per 1000 populasi. Prevalensi pada populasi umum biasanya lebih
tinggi dibandingkan prevalensi yang dinilai pada fasilitas pelayanan
kesehatan. Adapun alat ukur yang digunakan pada berbagai survei yang
terdapat pada studi metaanalisis tersebut bervariasi, ada yang
menggunakan Composite International Diagnostic Interview (CIDI),
Structure Clinical Interview for DSM-IV (SCID), Schedules for Clinical
Assessment in Neuropsychiatry (SCAN) , diagnosis klinis dan sebagainya.
Survei kesehatan jiwa di India menggunakan alat ukur Mini International
Neuropsychiatric Interview (MINI), mendapatkan prevalensi psikosis dan
skizofrenia 1,4% dan 0,4% untuk seumur hidup dan saat ini. Prevalensi
psikosis semua jenis dan pernah mendapat pengobatan di Australia 3,10
per 1000 populasi1.
Di Indonesia pernah dilakukan survei kesehatan jiwa di tiga
kelurahan di Kecamatan Tambora pada tahun 1983 hasilnya prevalensi
psikosis 1,44 per 1000 populasi. Survei kesehatan jiwa cukup sulit
dilaksanakan karena membutuhkan populasi besar dan biasanya
dilakukan dengan lebih dari satu tahap. Hal - hal tersebut membutuhkan
biaya sangat besar. Bahkan World Mental Health Survey kurang banyak
melaporkan prevalensi psikosis dengan alasan yang tidak diketahui. Sejak
4
C. Etiologi
Psikodinamik Psikotik
Secara psikodinamik terdapat mekanisme menghadapi
(coping mechanism) yang tidak adekuat dan kemungkinan adanya
tujuan sekunder pada pasien dengan gejala psikotik. Teori
psikodinamika lainnya adalah bahwa gejala psikotik adalah suatu
pertahanan terhadap fantasi yang dilarang, pemenuhan harapan
yang tidak tercapai atau suatu pelepasan dari situasi psikososial
tertentu6.
Menurut pendekatan psikodinamik terdapat empat hal yang
menyebabkan terjadinya psikosis, yakni: regresi, penarikan diri,
stress dan pengaruh keluarga. Sedangkan, gejala-gejala yang
6
D. Patofisiologi
(Castagini, 2018)
F. Gejala Klinik
1. Anamesis
Anamnesis didapatkan sekurang-kurangnya satu (1) gejala psikotik
dengan onset mendadak. Gejala karakteristik adalah perubahan pikiran,
emosional, dan prilaku yang aneh dan tidak wajar 12.
Memperoleh riwayat dari pasien dengan gejala psikotik tidak
mudah. Pertanyaan mengenai penyakit terbaru pasien dapat membantu
memfokuskan pemikiran diagnostik. Dokter harus menanyakan tentang
cedera kepala atau trauma baru-baru ini untuk menyingkirkan hematoma
subdural dan mendapatkan informasi neurologis lain yang relevan dengan
riwayat, seperti kejang, penyakit serebrovaskular, atau sakit kepala yang
memburuk. Pengenalan psikosis oleh dokter perawatan primer dibantu
dengan informasi sebelumnya tentang riwayat keluarga, medis, dan
budaya pasien. Budaya individu mencerminkan seperangkat keyakinan,
nilai, dan praktik yang dianut oleh anggota kelompok tertentu. Berpikir
11
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan lengkap mengenai
status fisik dan mental. Takikardia atau hipertensi berat dapat
mengindikasikan toksisitas obat atau tirotoksikosis, demam mungkin
menunjukkan ensefalitis atau porfiria. Tanda-tanda fisik yang
menunjukkan diagnosis yang mendasari termasuk penampilan cushingoid
pada endokrinopatik tertentu, kelainan bentuk rematik pada gangguan
12
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan kondisi fisik dan
sesuai indikasi. Tes awal yang disarankan termasuk hitung darah lengkap
untuk menilai anemia, peningkatan jumlah sel darah putih, atau
peningkatan eosinofil, profil metabolik untuk dievaluasi fungsi ginjal dan
hati serta elektrolit dan glukosa tingkat, tes fungsi tiroid, pengujian
toksikologi urin dan pengukuran hormon paratiroid, kalsium, vitamin B12,
folat, dan niasin. Pengujian infeksi virus human immunodeficiency dan
sifilis juga harus dipertimbangkan. Jika ada kekhawatiran tentang
penyebab autoimun, pengujian antibodi antinuklear dan penentuan tingkat
sedimentasi eritrosit dapat berguna. Kondisi yang jarang terjadi, seperti
porfiria intermiten akut atau dewasa Penyakit Tay-Sachs, dapat
diidentifikasi dengan tes urine untuk porphyrins, atau pengujian serum
untuk hexosaminidase A. Pencitraan otak biasanya tidak diperlukan
13
kecuali pasien datang dengan gejala baru, parah, sakit kepala terus
menerus, defisit neurologis fokal, atau terdapat riwayat trauma kepala
baru – baru ini12.
H. Kriteria diagnosis
I. Diagnosis Banding
( Kim, S, 2015 )
BAB II
TATALAKSANA
19
1. Psikoterapi
Perawatan standar untuk psikosis terutama terdiri dari antipsikotik,
rawat inap, rehabilitasi sosial dan berbagai jenis terapi suportif. Obat
antipsikotik hanya memiliki efek sedang pada gejala positif dan tidak ada
efek yang dapat dibuktikan pada gejala negative. Efek samping sering
menonjol dan mungkin termasuk penurunan ekspresi emosional, kelainan
menstruasi, disfungsi seksual, dan penambahan berat badan yang cukup.
Atas dasar hal tersebut, kebutuhan psikoterapi menjadi jelas. Kombinasi
perawatan farmakologis dan psikososial telah menunjukkan potensi
pemulihan dari psikosis13.
Sebuah tinjauan sistematis menemukan terapi kognitif (CBT) dan
intervensi keluarga untuk meningkatkan hasil pada psikosis dini. Namun,
tinjauan Cochrane menggaris bawahi bahwa buktinya terbatas dan
merekomendasikan upaya lebih lanjut untuk memajukan pengobatan
psikosis. Walaupun perawatan dirumah sakit dan farmakoterapi
merupakan kemungkinan untuk mengendalikan situasi jangka pendek,
bagian yang sulit dari terapi adalah integrasi psikologis dari pengalaman
kedalam kehidupan pasien dan keluarganya. Psikoterapi individual,
keluarga dan kelompok mungkin diperlukan. Diskusi tentang stressor,
episode psikotik, dan perkembangan strategi untuk mengatasinya adalah
topik utama bagi terapi tersebut. Eksplorasi dan perkembangan strategi
koping adalah topik utama psikoterapi. Setiap strategi pengobatan
didasarkan pada peningkatakn keterampilan menyelesaikan masalah,
sementara memperkuat struktur ego melalui psikoterapi tampaknya
merupakan cara yang paling efektif. Keterlibatan keluarga dalam proses
pengobatan mungkin penting untuk mendapatkan keberhasilan 13
2. Edukasi
Menjaga keamanan pasien dan individu yang merawatnya, hal yang dapat
20
dilakukan yaitu4:
1. Keluarga atau teman harus mendampingi pasien 4
2. Kebutuhan dasar pasien terpenuhi (misalnya, makan, minum,
eliminasi dan kebersihan)4
3. Hati-hati agar pasien tidak mengalami cedera. Konseling pasien
dan keluarga4.
a) Bantu keluarga mengenal aspek hukum yang berkaitan dengan
pengobatan psikiatrik antara lain : hak pasien, kewajiban dan
tanggung jawab keluarga dalam pengobatan pasien 4
b) Dampingi pasien dan keluarga untuk mengurangi stress dan
kontak dengan stressor4
B. Penatalaksanaan Medikamentosa
(Dipiro, 2015)
BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
23
A. Komplikasi
1. Komplikasi Psikiatri
Komplikasi psikiatri berupa munculnya risiko gangguan skizofreniform,
schizophrenia atau berkembang menjadi gangguan psikotik dengan muatan gejala
afektif di kemudian hari14.
2. Kematian
Komplikasi kematian muncul akibat adanya perilaku yang membahayakan diri
sendiri atau lingkungan, ide dan percobaan bunuh diri. Perilaku bunuh diri sering
muncul pada pasien gangguan psikotik akut yang memiliki riwayat gangguan jiwa
pada keluarga seperti depresi, gangguan afektif dan spektrum gangguan
schizophrenia. Pasien gangguan psikotik akut juga lebih berisiko mengalami
kematian akibat kecelakaan atau akibat tindak kekerasan terhadap pasien14.
3. Komplikasi Sosial
Komplikasi sosial muncul dari sisi pasien dan keluarga atau lingkungan.
Pasien yang merasa tidak nyaman dengan gangguan psikotik yang dialami merasa
malu, terasing dan menjadi aib. Sedangkan keluarga atau lingkungan juga bisa
memunculkan stigma terhadap gangguan jiwa14.
4. Komplikasi akibat Antipsikotik
Obat antipsikotik memiliki beberapa efek samping, yang terutama adalah sindrom
ekstrapiramidal seperti kaku di badan dan persendian, mengeluarkan air liur,
tremor, akatisia, perlambatan psikomotor, demam, hingga risiko mengalami
Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS). Beberapa antipsikotik juga dapat
menyebabkan neutropenia, misalnya clozapine, sehingga pasien perlu menjalani
pemeriksaan darah secara reguler14.
24
B. Prognosis
BAB IV
PENCEGAHAN
A. Pencegahan
Sampai saat ini belum ada pencegahan pasti yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya psikosis secara umum. Namun, beberapa cara
25
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
daya nilai realita dan gejala-gejala positif serta penurunan fungsi global)
dalam periode 2 minggu atau kurang, durasinya belum di ketahui berapa
lama akan berlangsung, namun biasanya kurang dari 1 bulan. penyakit
psikiatri yang ditandai dengan onset tiba-tiba dari 1 atau lebih gejala
berikut ini : delusi, halusinasi, postur dan perilaku yang bizarre, serta
bicara yang kacau. Gangguan psikotik akut dapat menjadi gejala awal dari
penyakit psikotik lainnya, seperti schizophrenia. Perbedaan antara
penyakit ini dengan gangguan psikotik lainnya adalah dalam hal jenis dan
intensitas gejala, durasi waktu, serta perjalanan gangguan psikotik yang
dapat kembali penuh pada fungsi premorbid.
Diagnosis gangguan psikotik akut ditegakkan berdasarkan kriteria
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5). Perbedaan
dengan schizophrenia pada kriteria waktu (terjadi dalam 1 hari namun
kurang dari 1 bulan) dan tidak disebabkan gangguan medis umum. Tidak
adanya fase prodromal pada gangguan psikotik akut menjadikan
klasifikasi diagnosis ini tampak seperti perubahan fungsi mental
mendadak yang akhirnya kembali pada kondisi seperti sebelum
mengalami gangguan (tampak pulih sempurna). Penatalaksanaan
gangguan psikotik akut mencakup pemberian antipsikotik, pemberian
psikoterapi dan edukasi terkait gangguan tersebut.
Pasien dengan gangguan psikotik akut cenderung dapat kembali
pulih seperti semula, tetapi dapat juga berkembang menjadi
schizophrenia. Komplikasi gangguan psikotik akut meliputi komplikasi
terkait obat antipsikotik, psikiatrik, sosial dan mortalitas akibat tindakan
bunuh diri.
B. Saran
psikosis.
REFERENSI
1. Idaiani, S., Yunita, I., Dwi H. T., Lely I., Ika D., Nunik K., Rofingatul M.
(2019) . “Prevalensi Psikosis di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar 2018”. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan
Kesehatan, Vol. 3, No. 1, DOI : https://doi.org/10.22435/jpppk.v3i1.1882
11”. The Journal of Nervous and Mental Disease • Volume 206. DOI :
10.1097/NMD.0000000000000882
5. Jensen, L., Clough, R. (2016). “Assessing and Treating the Patient with
Acute Psychotic Disorders”. Elsivier Nurs Clin N Am (51) : 185–197 .
DOI : http://dx.doi.org/10.1016/j.cnur.2016.01.004
8. Siregar, A., (2018). Psikosis Pada Remaja (Usia Sekolah) Studi Kasus
Penderita Gangguan Kejiwaan Perspektif Konseling Keluarga.Jurnal
Pendidikan dan Konseling Vol. 8, No. 2
12. Kim S. G., Paula, A. D., Roseanne C. B., (2015) . “Recognition and
Differential Diagnosis of Psychosis in Primary Care”. American Academy
of Family Physicians. www.aafp.org/afp
13. Haram, A., Roar, F., Egil, J., Torstein, H. (2019) . “Impact of
Psychotherapy in Psychosis: A Retrospective Case Controlled Study”.
Front. Psychiatry 10:204. DOI :10.3389/fpsyt.2019.00204
14. Sadock, B. J., Ahmad, S., & Sadock, V. A. (2019). Kaplan & Sadock's
Pocket Handbook of Clinical Psychiatry Sixth Edition. Philadelphia:
Wolters Kluwer.
15. Castagnini, A., Foldager , L., & Bertelsen, A. (2013). Long-term stability of
acute and transient psychotic disorders. Australian & New Zealand Journal
of Psychiatry, 47(1), 59-64. DOI : 10.1177/0004867412461692
16. Castagnini, A., & Foldager, L. (2014). Epidemiology, course and outcome
of acute polymorphic psychotic disorder: implications for ICD-11.
Psychopathology, 47(3), 202-206. DOI : 10.1159/000357784