Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

ASPEK NEUROBIOLOGIS PADA GANGGUAN BIPOLAR

Pembimbing:
Dr. dr. Surilena Hasan, Sp.KJ (K)
Disusun oleh:
Levina Audrey Kusumadjaja

(2012-061-058)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
2014

ii

DAFTAR ISI

Daftar Isi ..............................................................................................


BAB I: PENDAHULUAN .....................................................................
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ............................................................
2.1. Definisi gangguan bipolar ......................................................................
2.2. Epidemiologi ..........................................................................................
2.3. Klasifikasi ...............................................................................................
2.3.1. Gangguan bipolar I .......................................................................
2.3.2. Gangguan bipolar II ......................................................................
2.3.3. Gangguan siklotimik ....................................................................
2.3.4. Gangguan bipolar yang tidak terklasifikasikan ...........................
2.4. Emosi dan hubungannya dengan otak ...................................................
2.5. Aspek neurobiologis pada gangguan bipolar .........................................
2.5.1. Struktur limbik .............................................................................
2.5.2. Proses degeneratif pada gangguan bipolar ...................................
2.5.3. Gangguan inhibisi motorik ...........................................................
2.5.4. Perubahan neurotransmisi ............................................................
2.5.4.1. Dopamin dan reseptor protein G .....................................
2.5.4.2. Glutamat dan reseptor NMDA .........................................
2.5.4.3. GABA dan reseptor GABA .............................................
2.5.5. Sistem adenyl cyclase (AC) dan cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) ...............................................................
2.5.6. Protein kinase C (PKC) ................................................................
2.5.7. Kalsium intraselular ......................................................................
2.6. Farmakoterapi gangguan bipolar ............................................................
2.6.1. Antipsikotik ..................................................................................
2.6.2. Antikonvulsan ..............................................................................
2.6.3. Lithium .........................................................................................
BAB III: KESIMPULAN .............................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

ii
1
2
2
2
3
3
3
3
3
3
5
5
5
7
7
7
7
8
8
9
9
9
9
10
11
13
14

BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan bipolar atau dahulu disebut gangguan manik-depresif, adalah gangguan mood
yang sering, berat, dan kebanyakan rekuren. Gangguan ini berhubungan dengan morbiditas
yang tinggi. Penelitian komorbiditas nasional (National Comorbidity Study) melaporkan
prevalensi hampir 4% pada gangguan bipolar. Gangguan ini lebih sering terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki dengan rasio sekitar 3:2. Meski dapat muncul pada usia
berapapun, gangguan bipolar paling sering ditemukan sebelum usia 25 tahun. Usia ratarata awitan adalah 18 tahun pada gangguan bipolar I dan 22 tahun pada gangguan bipolar
II, dengan usia awitan yang lebih awal pada laki-laki. 1,2 Perempuan lebih sering mengalami
gangguan bipolar siklus cepat (rapid-cycling bipolar disorder), yaitu gangguan bipolar
dengan 4 atau lebih episode dalam setahun, serta gangguan bipolar II dibandingkan lakilaki.2
Manifestasi klinis gangguan bipolar beragam, dari hipomanik atau depresi ringan,
hingga bentuk berat dari manik atau depresi disertai psikosis. Karena tingginya risiko
rekurensi dan bunuh diri, dibutuhkan pengobatan profilaksis jangka panjang. Obat pilihan
lini pertama adalah lithium yang juga memiliki efek antisuicidal. Dalam pencegahan relaps
jangka panjang lithium juga memiliki bukti terkuat dibandingkan penggunaan
antikonvulsan seperti divalproex ataupun lamotrigine. Saat ini, intervensi psikososial mulai
mendapat peran penting dalam terapi gangguan bipolar, terutama bila dikombinasikan
dengan obat. Kombinasi ini membantu pasien mempertahankan fase rumatan jangka
panjang dan kemungkinan stabilisasi akut dari episode depresi.3
Klarifikasi mekanisme mengenai efek tatalaksana terhadap ritme tidur dan sirkadian
serta hubungannya dengan fluktasi mood harian kemungkinan besar membantu pemilihan
terapi untuk tiap individu. Maka itu penting mengetahui dan mempertimbangkan
mekanisme neurobiologis dan psikososial yang mendasari penyakit gangguan bipolar ini.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi gangguan bipolar


Gangguan bipolar didefinisikan sebagai gangguan mood yang memiliki karakteristik
riwayat episode manik, campuran, atau hipomanik, biasanya disertai, atau dengan riwayat
satu atau lebih episode depresi mayor. Gangguan bipolar dibagi menjadi empat tipe, yaitu
gangguan bipolar I, II, gangguan siklotimik, dan gangguan bipolar yang tidak
terklasifikasikan.2,4
2.2. Epidemiologi
Gangguan bipolar I dan II mempengaruhi kira-kira 2% dari populasi dunia, dan
bentuk gangguan bipolar lainnya mempengaruhi 2% lainnya. Meski dengan terapi, sekitar
37% pasien mengalami relaps dalam 1 tahun, dan 60%-nya dalam 2 tahun. Pada penelitian
kohort Systematic Treatment Enhancement Program for Bipolar Disorder (STEP-BD)
dengan 1469 subjek, 58% pasien mencapai penyembuhan atau recovery, tetapi 49%
lainnya mengalami rekurensi dalam interval 2 tahun. Kebanyakan rekurensi muncul dalam
bentuk episode depresi dibanding manik. Setelah awitan awal, pasien dengan gangguan
bipolar memiliki gejala depresi residual dalam sepertiga minggu seumur hidup mereka.
Pada 2009, biaya langsung dan tidak langsung dari gangguan bipolar diperkirakan
mencapai 151 milyar dollar Amerika.3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Merikangas, dkk. pada tahun 2007, gangguan
bipolar ternyata tidak memiliki predileksi ras, seks, ataupun etnis. Meski dapat muncul
pada usia berapapun, gangguan bipolar paling sering ditemukan sebelum usia 25 tahun.
Usia rata-rata awitan adalah 18 tahun pada gangguan bipolar I dan 22 tahun pada gangguan
bipolar II.2
Pasien dengan gangguan bipolar biasanya memiliki kondisi kesehatan mental
lainnya, paling sering berupa gangguan cemas, gangguan kontrol impuls dan attentiondeficit/hyperactivity disorders, serta penyalahgunaan zat. Hal ini berhubungan dengan
prognosis yang lebih buruk.2
Kondisi medis umum seperti diabetes mellitus, obesitas, dan penyakit kardiovaskular
lebih sering pada pasien gangguan bipolar. Selain itu, pasien memiliki risiko

kardiovaskular yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan kondisi kesehatan mental
lainnya. Meski penggunaan obat untuk gangguan bipolar dapat meningkatkan kerentanan
terhadap sindroma metabolik, pasien gangguan bipolar yang tidak mendapat terapi
memiliki prevalensi kematian akibat penyebab kardiovaskular yang lebih tinggi.2
2.3. Klasifikasi2
2.3.1. Gangguan bipolar I
Suatu tipe gangguan bipolar dengan karakteristik satu atau lebih episode manik
atau campuran, seringkali dengan riwayat satu atau lebih episode depresi
mayor.
2.3.2. Gangguan bipolar II
Suatu tipe gangguan bipolar dengan karakteristik satu atau lebih episode
depresi mayor disertai dengan paling tidak satu episode hipomanik tetapi tanpa
episode manik ataupun campuran.
2.3.3. Gangguan siklotimik
Gangguan mood yang memiliki karakteristik beberapa siklus pendek periode
hipomanik dan depresif yang bergantian dengan gejala seperti episode manik
atau depresi mayor tetapi dengan tingkat keparahan yang lebih rendah. Disebut
juga siklotimia.
2.3.4. Gangguan bipolar yang tidak terklasifkasikan
Gangguan bipolar yang tidak memenuhi kriteria depresi mayor, gangguan
bipolar I, gangguan bipolar II, ataupun siklotimia. Contohnya gejala manik
kurang dari 1 minggu tanpa gejala psikosis ataupun rawat inap.
2.4. Emosi dan hubungannya dengan otak
Terdapat empat regio utama di otak yang meregulasi emosi normal, yaitu korteks
prefrontal, cingulata anterior, hipokampus, dan amigdala. Korteks prefrontal adalah
struktur yang menyimpan representasi tujuan dan respon yang sesuai untuk mencapai
tujuan tersebut. Terdapat bukti adanya hemisfer spesialistik dalam fungsi korteks
prefrontal, yaitu bagian kiri cenderung terlibat pada perilaku bertujuan atau apetitif,
sedangkan bagian kanan pada perilaku menghindar dan inhibisi perilaku apetitif. Subregio
korteks prefrontal melokalisasi representasi perilaku yang berhubungan dengan reward dan
punishment.5
3

Korteks cingulata anterior memiliki peran sebagai titik integrasi input atensi dan
emosi Terdapat dua subdivisi berupa subdivisi afektif di daerah rostral dan ventral, dan
subdivisi kognitif melibatkan daerah dorsal. Subdivisi afektif memiliki hubungan ekstensif
dengan regio limbik lainnya, sedangkan subdivisi kognitif berhubungan dengan korteks
prefrontal dan regio korteks lainnya. Aktivasi dari daerah ini memfasilitasi kontrol emosi,
terutama bila terdapat masalah dalam mencapai tujuan atau masalah baru lainnya.6
Bagian hipokampus terlibat dalam pembelajaran dan memori, termasuk fear
conditioning dan regulasi inhibisi dari aktivitas aksis hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA). Pembelajaran emosional atau kontekstual tampaknya melibatkan hubungan
langsung antara hipokampus dan amigdala.5
Amigdala merupakan stasiun penting untuk memproses stimulus baru yang memiliki
signifikansi dalam hal emosi dan mengkoordinasi atau mengatur respon korteks. Amigdala
terletak di atas hipokampus secara bilateral dan dianggap sebagai daerah utama sistem
limbik.5
Pada depresi terjadi gangguan dalam proses informasi sehingga informasi yang
masuk diproses sebagai sesuatu yang negatif, akses ke memori menjadi bias ke arah
negatif, dan pada kondisi ekstrim dapat terjadi halusinasi, delusi, dan distorsi dalam
menilai realitas. Hal ini melibatkan hipokampus, korteks prefrontal, dan struktur limbik
lainnya.5
Sistem reward seperti hilangnya ketertarikan akan suatu aktivitas, menurunnya
mood, napsu makan, libido dan anhedonia melibatkan talamus, hipotalamus, nukleus
akumbens, dan korteks prefrontal.5 Penelitian oleh Linke, dkk. juga mendukung adanya
disfungsi dalam aktivasi sistem yang berhubungan dengan motivasi dan reward pada
pasien bipolar. Secara spesifik, peningkatan aktivitas korteks orbitofrontal bagian medial
terjadi pada pasien bipolar yang eutimik.7
Adanya retardasi psikomotor yang kadang disertai agitasi melibatkan daerah
subkortikal seperti talamus, ganglia basalis, dan striatum. Sedangkan perubahan ritme
sirkadian melibatkan talamus dan batang otak. Pada usia kurang dari 40 tahun seringkali
berupa hipersomnolen, peningkatan napsu makan dan berat badan. Pada usia di atas 50
tahun berupa insomnia dan pasien mengeluhkan sering terbangun, dan sulit tidur kembali
(insomnia terminal). Hal ini menyebabkan perubahan variasi mood diurnal pasien.5

2.5. Aspek neurobiologis pada gangguan bipolar


2.5.1. Struktur limbik
Terdapat bukti adanya kegagalan modulasi korteks prefrontal pada struktur
limbik anterior seperti amigdala menyebabkan diregulasi emosional pada gangguan
bipolar. Bagian ventral dan orbital dari korteks prefrontal bagian medial, termasuk
area Brodmann 32, 24, 25, dan 10 memiliki koneksi ekstensif dan resiprokal dengan
sirkuit limbik dan daerah korteks prefrontal lainnya. Daerah ini diperkirakan
berkontribusi terhadap gangguan regulasi emosi pada pasien bipolar. Pasien bipolar
yang dipaparkan dengan stimuli menyedihkan memiliki peningkatan konektivitas
fungsional dibandingkan dengan kontrol.6
2.5.2. Proses degeneratif pada gangguan bipolar
Penelitian terbaru menunjukkan adanya kemungkinan bahwa gangguan bipolar
adalah proses degeneratif, dimana stresor yang berkaitan dengan penyakit seperti
eksitotoksisitas mengakibatkan apoptosis dan berujung pada atrofi regio otak
multipel. Penelitian menunjukkan adanya perubahan volume pada hipokampus,
amigdala, dan striatum. Perubahan pada striatum juga tampaknya berhubungan
dengan jumlah episode gangguan sebelumnya.8
Pada individu dengan gangguan depresi mayor, ditemukan adanya volume
hipokampus yang lebih kecil dibandingkan kontrol. Perubahan struktural ini
diperkirakan menggambarkan eksitotoksisitas yang berhubungan dengan disregulasi
aksis hipothalamo-pituitary-adrenal (HPA) ketika terjadi rekurensi penyakit.9
Penurunan volume juga ditemukan pada korteks prefrontal parietal bagian kiri
dan dorsomedial. Perubahan pada korteks prefrontal ini telah ditemukan
berhubungan dengan stresor berupa eksitotoksisitas yang diinduksi glutamat dan
stres oksidatif yang menyertainya. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan densitas
neuronal di area tersebut.8
Tidak semua penelitian menemukan penurunan volume substansia nigra bagian
korteks subgenual dan cingulata anterior pada gangguan bipolar. Tetapi pada
gangguan bipolar, kecepatan reduksi volume substansia nigra lebih cepat
dibandingkan kontrol. Hal ini yang menyebabkan peneliti menyimpulkan gangguan
bipolar sebagai proses neurodegeneratif.8
Selain itu, asfiksia perinatal berhubungan dengan volume amigdala kiri yang
lebih kecil pada pasien gangguan bipolar termasuk gangguan bipolar dengan gejala
5

psikotik. Sedangkan pasien gangguan bipolar tanpa gejala psikotik menunjukkan


volume hipokampus kanan yang lebih kecil, berhubungan dengan perinatal asfiksia
dan komplikasi obstetrik yang berhubungan dengan hipoksia (hypoxia-related
obstetric complications). Penelitian tidak menunjukkan adanya asosiasi antara
asfiksia atau komplikasi obstetrik berat dengan kondisi ventrikel lateral.10
Terdapat empat teori yang menjelaskan mengenai perubahan degeneratif
penyebab gangguan bipolar. Teori tersebut adalah teori neurosensitisasi, hipotesis
allostatic

load,

teori

neurodevelopmental,

dan

teori

neuroprogresi.

Teori

neurosensitiasi adalah ketika episode manik atau depresi menyebabkan perubahan


ekspresi gen sehingga menyebabkan perubahan aktivitas neuronal yang permanen.
Transformasi ini menyebabkan disfungsi jaringan neuronal sedemikian rupa sehingga
individu tersebut menjadi lebih rentan terhadap relaps dan respon terhadap
pengobatannya menurun.8
Teori lain yaitu hipotesis allostatic load membahas tentang 'wear and tear'
yang disebabkan episode-episode manik dan depresi merubah fungsi sirkuit kunci
otak yang kemudian menyebabkan penurunan kognitif dan meningkatkan
kemungkinan penyakit lebih lanjut dan resistensi terhadap terapi.
Teori ketiga, teori neurodevelopmental, mengemukakan penurunan densitas sel
dalam otak pasien bipolar kemungkinan merupakan hasil perkembangan neural yang
abnormal. Pola atrofi ini tidak hanya ditemukan pada dewasa dengan gangguan
bipolar, tetapi juga pada pasien pediatrik, serta anggota keluarga pasien bipolar yang
non-simptomatik.
Teori neuroprogresi menyatakan bahwa gangguan ini memiliki perjalanan yang
progresif, yang dimediasi oleh faktor-faktor seperti inflamasi, stres oksidatif,
neurotrofin, disfungsi mitokondrial dan apoptosis.
Disfungsi mitokondria menjadi salah satu penting karena mitokondria memiliki
peran utama dalam mediasi apoptosis dan regulasi kalsium intraselular. Sedangkan
adanya stres oksidatif mengakibatkan kerusakan sel yang bersifat kumulatif seiring
episode rekuren. Stres oksidatif terutama mengalami peningkatan saat episode
manik.
2.5.3. Gangguan inhibisi motorik6,11
Pada gangguan bipolar episode manik terjadi gangguan impulsivitas. Hal ini
berkaitan dengan proses inhibisi motorik yang terganggu. Pada orang normal, tanda
6

untuk memulai inhibisi akan mengaktivasi korteks prefrontal bagian ventral,


menyebabkan inhibisi presuplemen sesuai area motorik via sirkuit striatal. Korteks
cingulata anterior memediasi deteksi konflik dan error pada pemilihan keputusan.
Baik pada remaja maupun dewasa bipolar, terdapat defisit dalam aktivasi
nukleus akumbens dan korteks prefrontal bagian ventral yang seharusnya dibutuhkan
untuk inhibisi. Pada keduanya juga terdapat disfungsi korteks cingulata anterior.
Tetapi bila pada remaja aktivasinya menurun, pada dewasa aktivasi korteks cingulata
anterior ini meningkat. Hiperaktivitas pada dewasa dengan gangguan bipolar ini
kemungkinan merupakan hasil dari kompensasi fungsional dari hipoaktivitas yang
ada pada masa kecil.
2.5.4. Perubahan neurotransmisi
Awalnya penelitian mengenai gangguan bipolar terfokus pada sistem
neurotransmiter

dopaminergik

dan

serotonergik.

Seiring

waktu,

penelitian

memfokuskan pada neurotransmiter lainnya, jalur transduksi sinyal, dan sistem


second messenger.
2.5.4.1. Dopamin dan reseptor protein G8
Disregulasi siklik dari transmisi dopamin telah menjadi hipotesis
patofisiologi gangguan bipolar. Pada episode manik, transmisi
dopamin meningkat dan menyebabkan down-regulation mekanisme
homeostatik sekunder yang menyebabkan penurunan neurotransmisi
dopamin, dan hal ini berhubungan dengan episode depresi.
Aksi dopamin paskasinaps dimediasi via reseptor protein G. Reseptor
ini kemudian merangsang sistem second messenger seperti adenyl
cyclase (AC) dan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang
kemudian memodulasi neurotransmisi.
2.5.4.2. Glutamat dan reseptor NMDA8
Pada episode manik, terjadi peningkatan neutransmiter stimulatif yaitu
glutamat. Salah satu reseptor glutamat, yaitu NMDA, memiliki
struktur yang kompleks dan diimplikasikan pada sejumlah gangguan
psikiatri. Magnesium berikatan dengan reseptor NMDA dan mencegah
aktivasinya, tetapi ketika glutamat dan glisin secara bersamaan
7

berikatan dengan reseptor, magnesium tergantikan dan reseptor


NMDA aktif.
2.5.4.3. GABA dan reseptor GABA8
Pasien dengan gangguan bipolar memiliki neurotransmisi GABAergik yang menurun. Beberapa peniliti menyatakan kemungkinan
kadar plasma GABA sebagai marker gangguan bipolar. Rendahnya
kadar GABA mengakibatkan peningkatan neurotransmisi eksistatorik
yang bersifat toksik dan mengakibatkan apoptosis dan hilangnya sel.
Peningkatan GABA di lain pihak dapat menurunkan kadar glutamat
yang mengakibatkan down-regulation dari reseptor NMDA.
2.5.5. Sistem adenyl cyclase (AC) dan cyclic adenosine monophosphate (cAMP)8
Pada gangguan bipolar, terjadi perubahan dalam sistem second messenger.
Sistem ini terdiri dari enzim dan molekul yang menerjemahkan sinyal yang diterima
reseptor sel permukaan. Reseptor diaktivasi neutoransmiter sebagai sebagai respon
intraselular. Proses transfer informasi ini disebut transduksi sinyal, dan menghasilkan
respon jangka pendek sekaligus jangka panjang. Contoh respon jangka pendek
adalah fosforilasi kanal ion, sedangkan jangka panjang berupa modifikasi transkripsi
gen. Kompleksitas terjadi karena sel dapat memberikan respon berbeda terhadap
stimulus eksitasi atau inhibisi yang sama.
Sistem adenyl cyclase (AC) adalah sistem yang penting yang diaktivasi oleh
neurotransmisi monoaminergik. AC berikatan dengan protein G yang dapat
menstimulasi atau menghambat produksi cAMP. Pada gangguan bipolar, terjadi
perubahan sensitivitas sistem, sehingga stimulasi monoaminergik menyebabkan
menyebabkan fluktuasi kadar AC dan cAMP dan modulasi neurotransmisi menjadi
tidak stabil.

2.5.6. Protein kinase C (PKC)


PKC adalah enzim yang memiliki peran penting dalam neurotransmisi pra- dan
paska-sinaps. PKC sendiri diaktivasi oleh neurotransmiter dan bertanggung jawab
terhadap eksitabilitas neuronal serta perubahan ekspresi gen sekaligus plastisitas sel.
Pada periode neurotransmisi yang intens seperti pada episode manik, terjadi
peningkatan aktivitas PKC. Selain itu terhadap peningkatan kadar PKC pada korteks
prefrontal pasien bipolar.8
Peningkatan aktivitas PKC yang meningkat pada episode manik merupakan
respon yang diakibatkan oleh beberapa hal, contohnya penurunan aktivasi korteks
prefrontal bagian dorsal,12 dan peningkatan glutamat, terutama yang menyebabkan
ketidakseimbangan neurotransmisi eksitasi dan inhibisi.13
2.5.7. Kalsium intraselular8
Kalsium adalah kation yang memiliki beragam peran penting dalam fungsi
selular meliputi regulasi neurotransmisi hingga integritas selular, ataupun transkripsi
metabolisme dan gen. Ketika sel dirangsang lewat ikatan neurotransmiter dengan
reseptor, terjadi peningkatan kadar kalsium intraselular yang mempropagasi sinyal
selular. Ketika rangsangan menghilang, kadar kalsium dikembalikan sesuai semula.
Pada gangguan bipolar terjadi disregulasi kalsium yang menyebabkan peningkatan
kadar intraselular kalsium, baik kadar kalsium basal ataupun yang diregulasi oleh
reseptor.
2.6. Farmakoterapi gangguan bipolar
Diagnosis dini dan penatalaksanaan episode akut gangguan mood dapat
meningkatkan prognosis dengan menurunkan risiko relaps serta melipatgandakan
kecepatan respon terhadap farmakoterapi. Pemilihan pengobatan tergantung dari
manifestasi klinis dan keparahannya. Tatalaksana harus dilanjutkan tanpa waktu yang
ditentukan karena risiko relaps yang muncul pada sepertiga pasien pada tahun pertama dan
lebih dari 70% pasien dalam lima tahun.2
2.6.1. Antipsikotik
Antipsikotik tipikal yang dapat digunakan dalam terapi episode manik akut
adalah haloperidol. Sedangkan dari golongan atipikal antara lain aripripazole,
olanzapine, dan risperidone. Pada gangguan bipolar episode depresi dapat digunakan
olanzapine yang dikombinasikan dengan SSRI. Berdasarkan penelitian, obat
9

antipsikotik yang dikombinasikan dengan lithium atau antikonvulsan lebih superior


dibandingkan monoterapi untuk episode manik. Kombinasi olanzapine dan
aripiprazole efektif dalam mencegah relaps episode manik. Untuk maintenance
gangguan bipolar dapat diberikan olanzapine atau risperidone. Haloperidol sendiri
diberikan hanya untuk episode akut manik, tidak untuk episode depresi ataupun
maintenance.2 Ketika haloperidol diberikan secara kronis, penelitian pada tikus
menunjukkan penurunan volume otak secara keseluruhan dan substansia nigra,
disertai hipertrofi dari korpus striatum.14
2.6.2. Antikonvulsan
Penelitian mendukung efektivitas divalproex sebagai monoterapi pada episode
depresi akut, tetapi seringkali penelitian-penelitian ini dibatasi kecilnya jumlah
sampel.15 Pada penelitian lain dikatakan bahwa valproate lebih efektif dibandingkan
lithium untuk episode campuran.2 Selain digunakan dalam tatalaksana gangguan
bipolar, divalproex juga digunakan salah satunya untuk tatalaksana penyakit
Alzheimer. Data sebelumnya menunjukkan bahwa divalproex memiliki efek
neuroprotektif, akan tetapi penelitian Fleisher,dkk. menunjukkan pengobatan
Alzheimer menggunakan divalproex berhubungan dengan percepatan kehilangan
volume otak dalam 1 tahun dan mungkin gangguan kognitif yang lebih besar. 16
Penelitian lain pada remaja yang meneliti efek divalproex terhadap otak selama 12
minggu menunjukkan tidak ada perubahan signifikan pada volume amigdala atau
korteks. Tetapi terdapat penurunan aktivasi otak prefrontal yang berkorelasi dengan
penurunan keparahan gejala depresi.17
Berdasarkan penelitian, efektivitas lamotrigine tidak dapat disimpulkan, 15 tetapi
pada pasien gangguan bipolar yang sedang hamil dapat diberikan antikonvulsan ini.
Lamotrigine diberikan untuk pasien bipolar dengan depresi dan untuk maintenance.
Selain itu lamotrigine juga berhubungan dengan penurunan berat badan pada pasien
bipolar dengan obesitas.2 Lamotrigine bekerja dengan mentarget voltage-gated
sodium channel, tetapi obat ini juga memiliki efek terhadap stimulasi dari korteks
prefrontal sekaligus memperbaiki fungsi jaringan kortikolimbik.18

10

2.6.3. Lithium
Terdapat meta-analisis yang menemukan bahwa neuroleptik lebih superior
dibandingkan mood stabilizers termasuk lithium dalam penanganan manik akut.
Tetapi meta-analisis ini hanya meneliti hasil akhir jangka pendeknya (3 minggu).
Pada pedoman praktek klinis, monoterapi lithium masih menjadi pilihan lini pertama
pada manik akut. Ketika diberikan sebagai monoterapi, lithium membutuhkan waktu
6-10 hari untuk menurunkan gejala manik. Maka itu seringkali dikombinasikan
dengan neuroleptik untuk mencapai perbaikan gejala lebih cepat. 8 Lithium juga
memiliki risiko bunuh diri lebih rendah dibandingkan pasien yang menggunakan
valproate atau carbamazepine.
Lithium memiliki sifat neuroproteksi, membantu neuroproliferasi, serta
neuroprogresi dengan menganggu kaskade proses neurotoksik yang menyebabkan
vulnerabilitas jaringan dan perubahan otak dan fungsional progresif. Pada tingkat
struktural, lithium memiliki efek neuroprotektif. Obat ini meningkatkan volume grey
matter secara global. Termasuk daerah amigdala, hipokampus, dan korteks
prefrontal. Pada neurotransmisi, lithium meningkatkan neurotransmiter inhibisi yaitu
GABA dan menurunkan neurotransmiter eksitasi yaitu glutamat dan dopamin.8,19
Pada tingkatan intraselular dan molekular, lithium mengubah sistem second
messenger yang beroperasi dalam neuron seperti protein kinase C (PKC) dan kalsium
intraselular yang akhirnya mengubah kerja neurotransmisi dan membantu viabilitas
selular. Proses seperti ini kompleks dan melibatkan protein-protein yang berbeda. 8
Penelitian mengenai efek lithium terhadap depresi kurang memuaskan. Hal ini
kemungkinan memiliki beberapa penjelasan. Pertama, efek antidepresan lithium
biasanya muncul setelah 6-8 minggu, sehingga lithium dianggap tidak efektif dan
jumlah drop-out meningkat. Kedua, masalah sosial dan psikologis depresi seringkali
lebih kompleks dibanding mania sehingga sampel penelitian lebih heterogen.
Lithium tampaknya paling efektif pada gangguan bipolar dengan episode manik dan
depresi yang dapat dikenali, dimana periode ini rekuren dan dipisahkan secara jelas
oleh periode remisi. 8
Lithium mencegah penurunan regional maupun total pada volume substansia
nigra, serta meningkatkan volume daerah ini. Terutama pada cingulata anterior,
korteks prefrontal bagian ventral, korteks asosiasi paralimbik, girus temporal
superior, amigdala kiri, dan hipokampus. Daerah-daerah ini adalah bagian dari
jaringan fronto-limbik.8,14
11

Penelitian pada hewan menunjukkan kadar ekstraneuronal dopamin yang lebih


rendah dengan pemberian lithium. Hal ini berhubungan dengan reaktivitas yang
menurun terhadap stimulus yang merusak. Tetapi penelitian lain menunjukkan bahwa
kadar basal dopamin ekstraneuronal tidak dipengaruhi lithium.8

12

13

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan bipolar kemungkinan adalah proses degeneratif yang berkaitan dengan stresor,
eksitotoksisitas, dan atrofi regio otak. Proses ini menyebabkan perubahan volume di
hipokampus, amigdala, dan striatum. Perubahan juga melibatkan

korteks prefrontal,

terutama bagian medial dan orbitofrontal, serta struktur limbik. Bagian otak ini terlibat
dalam memproses informasi, mengatur sistem reward dan meregulasi emosi.5-7,11 Saat ini
terdapat empat teori yang menjelaskan mengenai perubahan degeneratif pada gangguan
bipolar adalah teori neurosensitisasi, hipotesis allostatic load, teori neurodevelopmental,
dan teori neuroprogresi.8
Selain perubahan tersebut, juga terdapat disregulasi neurotransmisi yang cenderung
ke arah peningkatan aktivitas neurotransmiter dopaminergik dan reseptor protein G serta
glutamat dan reseptor NMDA, disertai penurunan kerja GABA dan reseptor GABA. Hal
ini melibatkan sistem adenyl cyclase dan cyclic adenosine monophosphate, protein kinase
C, serta regulasi kalsium yang seluruhnya mempengaruhi kerja neurotransmiter.8
Farmakoterapi

pada

gangguan

bipolar

meliputi

pemberian

antipsikotik,

antikonvulsan, lithium, atau kombinasi obat-obatan. Diagnosis dini dan penatalaksanaan


episode akut gangguan mood dapat meningkatkan prognosis dengan menurunkan risiko
relaps serta melipatgandakan kecepatan respon terhadap farmakoterapi. Pemilihan
pengobatan gangguan bipolar ini harus mempertimbangkan manifestasi klinis dan
keparahannya.2

14

DAFTAR PUSTAKA

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

14.

15.

Centers for Disease Control and Prevention [Internet]. Burden of Mental Illness.
Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention; 2011 [diupdate: 4 Oktober 2013;
disitasi
16
April
2014].
Dapat
diakses
di:
http://www.cdc.gov/mentalhealth/basics/burden.htm
Price AL, Marzani-Nissen GR. Bipolar Disorders: A Review. Am Fam Physician. 2012
Mar 1;85(5):483-493.
Geddes JR, Miklowitz DJ. Treatment of bipolar disorder. Lancet. 2013 May
11;381(9878):167282.
Dorlands illustrated medical dictionary 32nd hal 549
Kaplan comprehensive textbook psychiatry
Chai XJ, Whitfield-Gabrieli S, Shinn AK, Gabrieli JDE, Nieto Castan A, McCarthy
JM, et al. Abnormal Medial Prefrontal Cortex Resting-State Connectivity in Bipolar
Disorder and Schizophrenia. Neuropsychopharmacology. 2011 Sep;36(10):200917.
Linke J, King AV, Rietschel M, Strohmaier J, Hennerici M, Gass A, et al. Increased
medial orbitofrontal and amygdala activation: evidence for a systems-level
endophenotype of bipolar I disorder. Am J Psychiatry. 2012 Mar;169(3):31625.
Malhi GS, Tanious M, Das P, Coulston CM, Berk M. Potential Mechanisms of Action
of Lithium in Bipolar Disorder: Current Understanding. CNS Drugs. 2013
Feb;27(2):13553.
Hajek T, Kopecek M, Hschl C, Alda M. Smaller hippocampal volumes in patients
with bipolar disorder are masked by exposure to lithium: a meta-analysis. Journal of
Psychiatry & Neuroscience. 2012 Sep 1;37(5):33343.
Haukvik UK, McNeil T, Lange EH, Melle I, Dale AM, Andreassen OA, et al. Pre- and
perinatal hypoxia associated with hippocampus/amygdala volume in bipolar disorder.
Psychological Medicine. 2014 Apr;44(05):97585.
Weathers JD, Stringaris A, Deveney CM, Brotman MA, Zarate CA Jr, Connolly ME,
et al. A developmental study of the neural circuitry mediating motor inhibition in
bipolar disorder. Am J Psychiatry. 2012 Jun;169(6):63341.
Hall J, Whalley HC, Marwick K, McKirdy J, Sussmann J, Romaniuk L, et al.
Hippocampal function in schizophrenia and bipolar disorder. Psychological Medicine.
2010 May;40(05):761.
Lan MJ, McLoughlin GA, Griffin JL, Tsang TM, Huang JTJ, Yuan P, et al.
Metabonomic analysis identifies molecular changes associated with the
pathophysiology and drug treatment of bipolar disorder. Molecular Psychiatry. 2009
Mar;14(3):26979.
Vernon AC, Natesan S, Crum WR, Cooper JD, Modo M, Williams SCR, et al.
Contrasting Effects of Haloperidol and Lithium on Rodent Brain Structure: A
Magnetic Resonance Imaging Study with Postmortem Confirmation. [Abstrak]
Biological Psychiatry. 2012 May;71(10):85563.
Reinares M, Rosa AR, Franco C, Goikolea JM, Fountoulakis K, Siamouli M, et al. A
systematic review on the role of anticonvulsants in the treatment of acute bipolar
depression. The International Journal of Neuropsychopharmacology. 2013
Mar;16(02):48596.

16. Fleisher AS, Truran D, Mai JT, Langbaum JBS, Aisen PS, Cummings JL, et al.
Chronic divalproex sodium use and brain atrophy in Alzheimer disease [Abstrak].
Neurology. 2011 Sep 27;77(13):126371.
17. Chang K, Karchemskiy A, Kelley R, Howe M, Garrett A, Adleman N, et al. Effect of
Divalproex on Brain Morphometry, Chemistry, and Function in Youth at High-Risk for
Bipolar Disorder: A Pilot Study. Journal of Child and Adolescent
Psychopharmacology. 2009 Feb;19(1):519.
18. Large CH, Di Daniel E, Li X, George MS. Neural network dysfunction in bipolar
depression: clues from the efficacy of lamotrigine. [Abstrak] Biochem Soc Trans. 2009
Oct;37(Pt 5):10804.
19. Kessing LV, Forman JL, Andersen PK. Does lithium protect against dementia? Bipolar
Disord. 2010 Feb;12(1):8794.

15

Anda mungkin juga menyukai