Pembimbing:
Dr. dr. Surilena Hasan, Sp.KJ (K)
Disusun oleh:
Levina Audrey Kusumadjaja
(2012-061-058)
ii
DAFTAR ISI
ii
1
2
2
2
3
3
3
3
3
3
5
5
5
7
7
7
7
8
8
9
9
9
9
10
11
13
14
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan bipolar atau dahulu disebut gangguan manik-depresif, adalah gangguan mood
yang sering, berat, dan kebanyakan rekuren. Gangguan ini berhubungan dengan morbiditas
yang tinggi. Penelitian komorbiditas nasional (National Comorbidity Study) melaporkan
prevalensi hampir 4% pada gangguan bipolar. Gangguan ini lebih sering terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki dengan rasio sekitar 3:2. Meski dapat muncul pada usia
berapapun, gangguan bipolar paling sering ditemukan sebelum usia 25 tahun. Usia ratarata awitan adalah 18 tahun pada gangguan bipolar I dan 22 tahun pada gangguan bipolar
II, dengan usia awitan yang lebih awal pada laki-laki. 1,2 Perempuan lebih sering mengalami
gangguan bipolar siklus cepat (rapid-cycling bipolar disorder), yaitu gangguan bipolar
dengan 4 atau lebih episode dalam setahun, serta gangguan bipolar II dibandingkan lakilaki.2
Manifestasi klinis gangguan bipolar beragam, dari hipomanik atau depresi ringan,
hingga bentuk berat dari manik atau depresi disertai psikosis. Karena tingginya risiko
rekurensi dan bunuh diri, dibutuhkan pengobatan profilaksis jangka panjang. Obat pilihan
lini pertama adalah lithium yang juga memiliki efek antisuicidal. Dalam pencegahan relaps
jangka panjang lithium juga memiliki bukti terkuat dibandingkan penggunaan
antikonvulsan seperti divalproex ataupun lamotrigine. Saat ini, intervensi psikososial mulai
mendapat peran penting dalam terapi gangguan bipolar, terutama bila dikombinasikan
dengan obat. Kombinasi ini membantu pasien mempertahankan fase rumatan jangka
panjang dan kemungkinan stabilisasi akut dari episode depresi.3
Klarifikasi mekanisme mengenai efek tatalaksana terhadap ritme tidur dan sirkadian
serta hubungannya dengan fluktasi mood harian kemungkinan besar membantu pemilihan
terapi untuk tiap individu. Maka itu penting mengetahui dan mempertimbangkan
mekanisme neurobiologis dan psikososial yang mendasari penyakit gangguan bipolar ini.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
kardiovaskular yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan kondisi kesehatan mental
lainnya. Meski penggunaan obat untuk gangguan bipolar dapat meningkatkan kerentanan
terhadap sindroma metabolik, pasien gangguan bipolar yang tidak mendapat terapi
memiliki prevalensi kematian akibat penyebab kardiovaskular yang lebih tinggi.2
2.3. Klasifikasi2
2.3.1. Gangguan bipolar I
Suatu tipe gangguan bipolar dengan karakteristik satu atau lebih episode manik
atau campuran, seringkali dengan riwayat satu atau lebih episode depresi
mayor.
2.3.2. Gangguan bipolar II
Suatu tipe gangguan bipolar dengan karakteristik satu atau lebih episode
depresi mayor disertai dengan paling tidak satu episode hipomanik tetapi tanpa
episode manik ataupun campuran.
2.3.3. Gangguan siklotimik
Gangguan mood yang memiliki karakteristik beberapa siklus pendek periode
hipomanik dan depresif yang bergantian dengan gejala seperti episode manik
atau depresi mayor tetapi dengan tingkat keparahan yang lebih rendah. Disebut
juga siklotimia.
2.3.4. Gangguan bipolar yang tidak terklasifkasikan
Gangguan bipolar yang tidak memenuhi kriteria depresi mayor, gangguan
bipolar I, gangguan bipolar II, ataupun siklotimia. Contohnya gejala manik
kurang dari 1 minggu tanpa gejala psikosis ataupun rawat inap.
2.4. Emosi dan hubungannya dengan otak
Terdapat empat regio utama di otak yang meregulasi emosi normal, yaitu korteks
prefrontal, cingulata anterior, hipokampus, dan amigdala. Korteks prefrontal adalah
struktur yang menyimpan representasi tujuan dan respon yang sesuai untuk mencapai
tujuan tersebut. Terdapat bukti adanya hemisfer spesialistik dalam fungsi korteks
prefrontal, yaitu bagian kiri cenderung terlibat pada perilaku bertujuan atau apetitif,
sedangkan bagian kanan pada perilaku menghindar dan inhibisi perilaku apetitif. Subregio
korteks prefrontal melokalisasi representasi perilaku yang berhubungan dengan reward dan
punishment.5
3
Korteks cingulata anterior memiliki peran sebagai titik integrasi input atensi dan
emosi Terdapat dua subdivisi berupa subdivisi afektif di daerah rostral dan ventral, dan
subdivisi kognitif melibatkan daerah dorsal. Subdivisi afektif memiliki hubungan ekstensif
dengan regio limbik lainnya, sedangkan subdivisi kognitif berhubungan dengan korteks
prefrontal dan regio korteks lainnya. Aktivasi dari daerah ini memfasilitasi kontrol emosi,
terutama bila terdapat masalah dalam mencapai tujuan atau masalah baru lainnya.6
Bagian hipokampus terlibat dalam pembelajaran dan memori, termasuk fear
conditioning dan regulasi inhibisi dari aktivitas aksis hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA). Pembelajaran emosional atau kontekstual tampaknya melibatkan hubungan
langsung antara hipokampus dan amigdala.5
Amigdala merupakan stasiun penting untuk memproses stimulus baru yang memiliki
signifikansi dalam hal emosi dan mengkoordinasi atau mengatur respon korteks. Amigdala
terletak di atas hipokampus secara bilateral dan dianggap sebagai daerah utama sistem
limbik.5
Pada depresi terjadi gangguan dalam proses informasi sehingga informasi yang
masuk diproses sebagai sesuatu yang negatif, akses ke memori menjadi bias ke arah
negatif, dan pada kondisi ekstrim dapat terjadi halusinasi, delusi, dan distorsi dalam
menilai realitas. Hal ini melibatkan hipokampus, korteks prefrontal, dan struktur limbik
lainnya.5
Sistem reward seperti hilangnya ketertarikan akan suatu aktivitas, menurunnya
mood, napsu makan, libido dan anhedonia melibatkan talamus, hipotalamus, nukleus
akumbens, dan korteks prefrontal.5 Penelitian oleh Linke, dkk. juga mendukung adanya
disfungsi dalam aktivasi sistem yang berhubungan dengan motivasi dan reward pada
pasien bipolar. Secara spesifik, peningkatan aktivitas korteks orbitofrontal bagian medial
terjadi pada pasien bipolar yang eutimik.7
Adanya retardasi psikomotor yang kadang disertai agitasi melibatkan daerah
subkortikal seperti talamus, ganglia basalis, dan striatum. Sedangkan perubahan ritme
sirkadian melibatkan talamus dan batang otak. Pada usia kurang dari 40 tahun seringkali
berupa hipersomnolen, peningkatan napsu makan dan berat badan. Pada usia di atas 50
tahun berupa insomnia dan pasien mengeluhkan sering terbangun, dan sulit tidur kembali
(insomnia terminal). Hal ini menyebabkan perubahan variasi mood diurnal pasien.5
load,
teori
neurodevelopmental,
dan
teori
neuroprogresi.
Teori
dopaminergik
dan
serotonergik.
Seiring
waktu,
penelitian
10
2.6.3. Lithium
Terdapat meta-analisis yang menemukan bahwa neuroleptik lebih superior
dibandingkan mood stabilizers termasuk lithium dalam penanganan manik akut.
Tetapi meta-analisis ini hanya meneliti hasil akhir jangka pendeknya (3 minggu).
Pada pedoman praktek klinis, monoterapi lithium masih menjadi pilihan lini pertama
pada manik akut. Ketika diberikan sebagai monoterapi, lithium membutuhkan waktu
6-10 hari untuk menurunkan gejala manik. Maka itu seringkali dikombinasikan
dengan neuroleptik untuk mencapai perbaikan gejala lebih cepat. 8 Lithium juga
memiliki risiko bunuh diri lebih rendah dibandingkan pasien yang menggunakan
valproate atau carbamazepine.
Lithium memiliki sifat neuroproteksi, membantu neuroproliferasi, serta
neuroprogresi dengan menganggu kaskade proses neurotoksik yang menyebabkan
vulnerabilitas jaringan dan perubahan otak dan fungsional progresif. Pada tingkat
struktural, lithium memiliki efek neuroprotektif. Obat ini meningkatkan volume grey
matter secara global. Termasuk daerah amigdala, hipokampus, dan korteks
prefrontal. Pada neurotransmisi, lithium meningkatkan neurotransmiter inhibisi yaitu
GABA dan menurunkan neurotransmiter eksitasi yaitu glutamat dan dopamin.8,19
Pada tingkatan intraselular dan molekular, lithium mengubah sistem second
messenger yang beroperasi dalam neuron seperti protein kinase C (PKC) dan kalsium
intraselular yang akhirnya mengubah kerja neurotransmisi dan membantu viabilitas
selular. Proses seperti ini kompleks dan melibatkan protein-protein yang berbeda. 8
Penelitian mengenai efek lithium terhadap depresi kurang memuaskan. Hal ini
kemungkinan memiliki beberapa penjelasan. Pertama, efek antidepresan lithium
biasanya muncul setelah 6-8 minggu, sehingga lithium dianggap tidak efektif dan
jumlah drop-out meningkat. Kedua, masalah sosial dan psikologis depresi seringkali
lebih kompleks dibanding mania sehingga sampel penelitian lebih heterogen.
Lithium tampaknya paling efektif pada gangguan bipolar dengan episode manik dan
depresi yang dapat dikenali, dimana periode ini rekuren dan dipisahkan secara jelas
oleh periode remisi. 8
Lithium mencegah penurunan regional maupun total pada volume substansia
nigra, serta meningkatkan volume daerah ini. Terutama pada cingulata anterior,
korteks prefrontal bagian ventral, korteks asosiasi paralimbik, girus temporal
superior, amigdala kiri, dan hipokampus. Daerah-daerah ini adalah bagian dari
jaringan fronto-limbik.8,14
11
12
13
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan bipolar kemungkinan adalah proses degeneratif yang berkaitan dengan stresor,
eksitotoksisitas, dan atrofi regio otak. Proses ini menyebabkan perubahan volume di
hipokampus, amigdala, dan striatum. Perubahan juga melibatkan
korteks prefrontal,
terutama bagian medial dan orbitofrontal, serta struktur limbik. Bagian otak ini terlibat
dalam memproses informasi, mengatur sistem reward dan meregulasi emosi.5-7,11 Saat ini
terdapat empat teori yang menjelaskan mengenai perubahan degeneratif pada gangguan
bipolar adalah teori neurosensitisasi, hipotesis allostatic load, teori neurodevelopmental,
dan teori neuroprogresi.8
Selain perubahan tersebut, juga terdapat disregulasi neurotransmisi yang cenderung
ke arah peningkatan aktivitas neurotransmiter dopaminergik dan reseptor protein G serta
glutamat dan reseptor NMDA, disertai penurunan kerja GABA dan reseptor GABA. Hal
ini melibatkan sistem adenyl cyclase dan cyclic adenosine monophosphate, protein kinase
C, serta regulasi kalsium yang seluruhnya mempengaruhi kerja neurotransmiter.8
Farmakoterapi
pada
gangguan
bipolar
meliputi
pemberian
antipsikotik,
14
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Centers for Disease Control and Prevention [Internet]. Burden of Mental Illness.
Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention; 2011 [diupdate: 4 Oktober 2013;
disitasi
16
April
2014].
Dapat
diakses
di:
http://www.cdc.gov/mentalhealth/basics/burden.htm
Price AL, Marzani-Nissen GR. Bipolar Disorders: A Review. Am Fam Physician. 2012
Mar 1;85(5):483-493.
Geddes JR, Miklowitz DJ. Treatment of bipolar disorder. Lancet. 2013 May
11;381(9878):167282.
Dorlands illustrated medical dictionary 32nd hal 549
Kaplan comprehensive textbook psychiatry
Chai XJ, Whitfield-Gabrieli S, Shinn AK, Gabrieli JDE, Nieto Castan A, McCarthy
JM, et al. Abnormal Medial Prefrontal Cortex Resting-State Connectivity in Bipolar
Disorder and Schizophrenia. Neuropsychopharmacology. 2011 Sep;36(10):200917.
Linke J, King AV, Rietschel M, Strohmaier J, Hennerici M, Gass A, et al. Increased
medial orbitofrontal and amygdala activation: evidence for a systems-level
endophenotype of bipolar I disorder. Am J Psychiatry. 2012 Mar;169(3):31625.
Malhi GS, Tanious M, Das P, Coulston CM, Berk M. Potential Mechanisms of Action
of Lithium in Bipolar Disorder: Current Understanding. CNS Drugs. 2013
Feb;27(2):13553.
Hajek T, Kopecek M, Hschl C, Alda M. Smaller hippocampal volumes in patients
with bipolar disorder are masked by exposure to lithium: a meta-analysis. Journal of
Psychiatry & Neuroscience. 2012 Sep 1;37(5):33343.
Haukvik UK, McNeil T, Lange EH, Melle I, Dale AM, Andreassen OA, et al. Pre- and
perinatal hypoxia associated with hippocampus/amygdala volume in bipolar disorder.
Psychological Medicine. 2014 Apr;44(05):97585.
Weathers JD, Stringaris A, Deveney CM, Brotman MA, Zarate CA Jr, Connolly ME,
et al. A developmental study of the neural circuitry mediating motor inhibition in
bipolar disorder. Am J Psychiatry. 2012 Jun;169(6):63341.
Hall J, Whalley HC, Marwick K, McKirdy J, Sussmann J, Romaniuk L, et al.
Hippocampal function in schizophrenia and bipolar disorder. Psychological Medicine.
2010 May;40(05):761.
Lan MJ, McLoughlin GA, Griffin JL, Tsang TM, Huang JTJ, Yuan P, et al.
Metabonomic analysis identifies molecular changes associated with the
pathophysiology and drug treatment of bipolar disorder. Molecular Psychiatry. 2009
Mar;14(3):26979.
Vernon AC, Natesan S, Crum WR, Cooper JD, Modo M, Williams SCR, et al.
Contrasting Effects of Haloperidol and Lithium on Rodent Brain Structure: A
Magnetic Resonance Imaging Study with Postmortem Confirmation. [Abstrak]
Biological Psychiatry. 2012 May;71(10):85563.
Reinares M, Rosa AR, Franco C, Goikolea JM, Fountoulakis K, Siamouli M, et al. A
systematic review on the role of anticonvulsants in the treatment of acute bipolar
depression. The International Journal of Neuropsychopharmacology. 2013
Mar;16(02):48596.
16. Fleisher AS, Truran D, Mai JT, Langbaum JBS, Aisen PS, Cummings JL, et al.
Chronic divalproex sodium use and brain atrophy in Alzheimer disease [Abstrak].
Neurology. 2011 Sep 27;77(13):126371.
17. Chang K, Karchemskiy A, Kelley R, Howe M, Garrett A, Adleman N, et al. Effect of
Divalproex on Brain Morphometry, Chemistry, and Function in Youth at High-Risk for
Bipolar Disorder: A Pilot Study. Journal of Child and Adolescent
Psychopharmacology. 2009 Feb;19(1):519.
18. Large CH, Di Daniel E, Li X, George MS. Neural network dysfunction in bipolar
depression: clues from the efficacy of lamotrigine. [Abstrak] Biochem Soc Trans. 2009
Oct;37(Pt 5):10804.
19. Kessing LV, Forman JL, Andersen PK. Does lithium protect against dementia? Bipolar
Disord. 2010 Feb;12(1):8794.
15