Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN PANSITOPENIA

I. KONSEP DASAR MEDIK


A. Defenisi Pansitopenia
Pansitopenia adalah keadaan dimana terjadi penurunan jumlah
eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pansitopenia ini merupakan suatu
kelainan di dalam darah tepi. Biasanya kadar hb juga ikut rendah akibat
rendahnya eritrosit.
Pansitopenia ini merupakan suatu gejala, bukan penyakit. Ada dua
kelompok penyakit yang bisa menyebabkan kondisi ini; produksi sel
darah di sumsum tulang yang menurun, atau akibat penghancuran sel di
darah tepi meningkat walaupun produksi sel darah di sumsum tulang
berlangsung baik. Terdapat dua contoh penyakit yang menggambarkan
gejala pansitopenia yang sangat jelas adalah Anemia Aplastik dan
Leukemia.
Anemia aplastik merupakan hasil dari kegagalan produksi sel darah
pada sumsum tulang belakang. Anemia aplastik juga merupakan anemia
yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan oleh
kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau
hipoplasia. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat
hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai
anemia hipoplastik. Kelainan ini ditandai oleh sumsum hiposelular dan
berbagai variasi tingkat anemia, granulositopenia, dan trombositopenia.
Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang
bersifat irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari
mana sel itu berasal. Sel-sel tesebut, pada berbagai stadium akan
membanjiri aliran darah. Pada kasus Leukemia (kanker darah), sel darah
putih tidak merespon kepada tanda/signal yang diberikan. Akhirnya
produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari
sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah
tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat
mengganggu fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti
ini (Leukemia) akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena
penyakit infeksi, anemia dan perdarahan.
B. Etiologi Pansitopenia
1. Anemia Aplastik
Masih belum terdapat bukti yang sangat jelas mengapa
seseorang dapat diduga secara potensial menderita keracunan sumsum
tulang berat dan sering terdapat kasus cedera sumsum tulang yang
tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu, penyebab pasti seseorang
menderita anemia aplastik juga belum dapat ditegakkan dengan pasti.
Namun terdapat beberapa sumber yang berpotensi sebagai faktor yang
menimbulkan anemia aplastik. Anemia aplastik dapat diggolongkan
menjadi tiga berdasarkan penyebabnya yaitu : anemia aplastik didapat
(acquired aplastic anemia); familial (inherited); idiopathik (tidak
diketahui). Sumber lainnya membagi penyebabnya menjadi primer
(kongenital, idiopatik) dan sekunder (radiasi, obat, penyebab lain).
Berikut ini merupakan penjelasan mengenai ketiga penyebab tersebut:
a. Anemia Aplastik Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
1) Bahan Kimia.
Berdasarkan pengamatan pada pekerja pabrik sekitar
abad ke-20an, keracunan pada sumsum tulang, benzene juga
sering digunakan sebagai bahan pelarut. Benzene merupakan
bahan kimia yang paling berhubungan dengan anemia aplastik.
Meskipun diketahui sebagai penyebab dan sering digunakan
dalam bahan kimia pabrik, sebagai obat, pewarna pakaian, dan
bahan yang mudah meledak. Selain penyebab keracunan
sumsum tulang, benzene juga menyebabkan abnormalitas
hematologi yang meliputi anemia hemolitik, hiperplasia
sumsum, metaplasia mieloid, dan akut mielogenous leukemia.
Benzene dapat meracuni tubuh dengan cara dihirup dan dengan
cepat diserap oleh tubuh, namun terkadang benzene juga dapat
meresap melalui membran mukosa dan kulit dengan intensitas
yang kecil. Terdapat juga hubungan antara pengguanaan
insektisida menggunakan benzene dengan anemia aplastik.
Chlorinated hydrocarbons dan organophospat menambah
banyaknya kasus anemia aplastik seperti yang dilaporkan 280
kasus dalam literatur. Selain itu DDT(chlorophenothane),
lindane, dan chlordane juga sering digunakan dalam
insektisida.1 Trinitrotolune (TNT), bahan peledak yang
digunakan pada perang dunia pertama dan kedua juga terbukti
sebagai salah satu faktor penyebab anemia aplastik fatal. Zat
ini meracuni dengan cara dihirup dan diserap melalui kulit.
Kasus serupa juga diamati pada pekerja pabrik mesia di Great
Britain dari tahun 1940 sampai 1946.
2) Obat
Beberapa jenis obat mempunyai asosiasi dengan
anemia aplastik, baik itu mempunyai pengaruh yang kecil
hingga pengaruh berat pada penyakit anemia aplastik.
Hubungan yang jelas antara penggunaan obat tertentu dengan
masalah kegagalan sumsum tulang masih dijumpai dalam
kasus yang jarang. Hal ini disebabkan oleh dari beberapa
interpretasi laporan kasus dirancukan dengan kombinasi dalam
pemakaian obat. Kiranya, banyak agen dapat mempengaruhi
fungsi sumsum tulang apabila menggunakan obat dalam dosis
tinggi serta tingkat keracunan tidak mempengaruhi organ lain.
Beberapa obat yang dikaitkan sebagai penyebab anemia
aplastik yaitu obat dose dependent (sitostatika, preparat emas),
dan obat dose independent (kloramfenikol, fenilbutason,
antikonvulsan, sulfonamid)
3) Radiasi
Penyinaran yang bersifat kronis untuk radiasi dosis
rendah atau radiasi lokal dikaitkan dengan meningkat namun
lambat dalam perkembangan anemia aplastik dan akut
leukemia. Pasien yang diberikan thorium dioxide melalui
kontras intravena akan menderita sejumlah komplikasi seperti
tumor hati, leukemia akut, dan anemia aplastik kronik.
Penyinaran dengan radiasi dosis besar berasosiasi dengan
perkembangan aplasia sumsum tulang dan sindrom
pencernaan.1 Makromolekul besar, khususnya DNA, dapat
dirusak oleh: (a) secara langsung oleh jumlah besar energi
sinar yang dapat memutuskan ikatan kovalen; atau (b) secara
tidak langsung melalui interaksi dengan serangan tingkat
tinggi dan molekul kecil reaktif yang dihasilkan dari ionisasi
atau radikal bebas yang terjadi pada larutan. Secara mitosis
jaringan hematopoesis aktif sangat sensitif dengan hampir
segala bentuk radiasi. Sel pada sumsum tulang kemungkinan
sangat dipengaruhi oleh energi tingkat tinggi sinar , yang
dimana dapat menembus rongga perut. Kedua, dengan
menyerap partikel dan (tingkat energi yang rendah
membakar tetapi tidak menembus kulit). Pemaparan secara
berulang mungkin dapat merusak sumsum tulang yang dapat
menimbulkan anemia aplastik.
4) Virus
Beberapa spesies virus dari famili yang berbeda dapat
menginfeksi sumsum tulang manusia dan menyebabkan
kerusakan. Beberapa virus seperti parvovirus, herpesvirus,
flavivirus, retrovirus dikaitkan dengan potensi sebagai
penyebab anemia aplastik
b. Familial (Inherited) Anemia Aplastik
Beberapa faktor familial atau keturunan dapat
menyebabkan anemia aplastik antara lain pansitopenia
konstitusional Fanconi, defisiensi pancreas pada anak, dan
gangguan herediter pemasukan asam folat ke dalam sel.
2. Leukemia
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari Leukemia tidak
diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diketahui
dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor prediposisi
Leukemia pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang
banyak digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara
berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk Leukemia.
Selain itu radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan Leukemia.
Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus
leukemia, termasuk Leukemia, pada orang-orang yang selamat bom
atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek leukomogenik dari
paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah
pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah
pengeboman. Faktor lain yang diketahui sebagai predisposisi untuk
Leukemia adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit
herediter sindrom down. Pasien Sindrom Down dengan trisommi
kromosom 21 mempunyai resiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk
menderita leukemia, khususnya Leukemia tipe M7. Selain itu pada
beberapa pasien sindrom genetik seperti sindrom bloom dan anemia
Fanconi juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi
dibandingkan populasi normal untuk menderita Leukemia. Faktor lain
yang dapat memicu terjadinya Leukemia adalah pengobatan dengan
kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. Leukemia akibat
terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan
limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium, dan
kanker testis. Jenis terapi yang paling sering memicu timbulnya
Leukemia adalah golongan alkylating agent dan topoisomerase II
inhibitor.
C. Patofisiologi Pansitopenia
1. Anemia Aplastik
Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan
proses hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan drastis
jumlah sel primitif hematopoetik. Dua mekanisme dijelaskan pada
kegagalan sumsum tulang. Mekanisme pertama adalah cedera
hematopoetik langsung karena bahan kimia seperti benzene, obat, atau
radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik yang tidak
bergerak. Mekanisme kedua, didukung oleh observasi klinik dan studi
laboratorium, yaitu imun sebagai penekan sel sumsum tulang, sebagai
contoh dari mekanisme ini yaitu kegagalan sumsum tulang setelah
graft versus host disease, eosinophilic fascitis, dan hepatitis.
Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan kehamilan, dan beberapa kasus
obat yang berasosiasi dengan anemia aplastik masih belum jelas tetapi
dengan terperinci melibatkan proses imunologi. Sel sitotoksik T
diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor penghambat dalam sel
hematopoetik dalam menyelesaikan produksi hematopoesis inhibiting
cytokinesis seperti interferon dan tumor nekrosis faktor .. Efek
dari imun sebagai media penghambat dalam hematopoesis mungkin
dapat menjelaskan mengapa hampir sebagian besar pasien dengan
anemia aplastik didapat memiliki respon terhadap terapi
imunosupresif.
Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih
dari 10% jumlah sel batang normal. Bagaimanapun, studi
laboratorium menunjukkan bahwa sel stromal dari pasien anemia
aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari sel
induk hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas faktor
pertumbuhan hematopoetik dengan jumlah normal atau meningkat.
2. Leukemia
Patogenesis utama Leukemia adalah adanya blokade maturitas
yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti
pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di
sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang akan
menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya
akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow
failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia ( anemia,
leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan menyebabkan
pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas,
adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan,
sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap
infeksi, termausk infeksi oportunis dari flora normal bakteri yang ada
di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga
punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan
berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak
dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan
segala akibatnya.
Dalam hematopoiesis normal, myeloblast merupakan prekursor
belum matang myeloid sel darah putih, sebuah myeloblast yang
normal secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah dewasa putih.
Namun, dalam Leukemia, sebuah myeloblast tunggal akumulasi
perubahan genetik yang "membekukan" sel dalam keadaan imatur dan
mencegah diferensiasi.Seperti mutasi saja tidak menyebabkan
leukemia, namun ketika seperti "penangkapan diferensiasi"
dikombinasikan dengan mutasi gen lain yang mengganggu
pengendalian proliferasi, hasilnya adalah pertumbuhan tidak
terkendali dari klon belum menghasilkan sel, yang mengarah ke
entitas klinis Leukemia.
Sebagian besar keragaman dan heterogenitas Leukemia berasal
dari kenyataan bahwa transformasi Leukemia dapat terjadi di
sejumlah langkah yang berbeda di sepanjang jalur diferensiasi. Para
translokasi kromosom yang abnormal menyandikan protein fusi,
biasanya faktor transkripsi yang mengubah sifat dapat menyebabkan
"penangkapan diferensiasi." Sebagai contoh, pada leukemia
promyelocytic akut, t (15; 17) translokasi menghasilkan protein fusi
PML-RARα yang mengikat ke reseptor unsur asam retinoat dalam
beberapa promotor myeloid-gen spesifik dan menghambat diferensiasi
myeloid. Klinis tanda dan gejala hasil AML dari kenyataan bahwa,
sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia cenderung untuk menggantikan
atau mengganggu perkembangan sel-sel darah normal dalam sumsum
tulang. Hal ini menyebabkan neutropenia, anemia, dan
trombositopenia.
D. Manifestasi Klinis Pansitopenia
1. Anemia Aplastik
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan
dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut.
Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul
gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi
cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis
menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita
menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan
gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.
Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit,
selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Pada
kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering
dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau
infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.
a. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada
pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat
bervariasi. Pada tabel dibawah ini terlihat bahwa pendarahan,
lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan. Keluhan Pasien Anemia Aplastik:
Jenis keluhan %
Pendarahan 83
Lemah badan 80
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak nafas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13
b. Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat
bervariasi. Pada tabel dibawah ini terlihat bahwa pucat ditemukan
pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan
pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang
sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien
sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun.
Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
diagnosis. Pemeriksaan fisik pada Pasien Anemia Aplastik
Jenis pemeriksaan fisik %
Pucat 100
Pendarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0
2. Leukemia
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien
Leukemia tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada
sekitar 50% kasus Leukemia, sedang 15% pasien mempunyai angka
leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami netropenia.
Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di
darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus Leukemia. Oleh karena itu
sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah
tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan
diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.
Tanda dan gejala utama Leukemia adalah adanya rasa lelah,
perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan
sumsum tulang sebagaimana telah disebutkan di atas. Perdarahan
biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering
dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi
dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada
kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini pling sering dijumpai
pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-
paru, kulit dan daerah peri rektal, sehingga organ-organ tersebut harus
diperiksa secara teliti pada pasien Leukemia dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari
100 ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit
yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala
leukositosis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala
yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri
dada dan priapismus.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang
bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di
kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang
tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di
jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma).
Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan meninbulkan nyeri tulang
yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakkan gusi
sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam
gusi. Meskipun jarang, pada Leukemia juga dapat dijumpai infiltrasi
sel-sel blast ke daerah menings dan untuk penegakan diagnosis
diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang
diambil melalui prosedur pungsi lumbal.
E. Pemeriksaan Diagnostik Pansitopenia
1. Anemia Aplastik
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah lengkap kita dapat mengetahui
jumlah masing-masing sel darah baik eritrosit, leukosit maupun
trombosit. Apakah mengalami penurunan atau pansitopenia.
Pasien dengan anemia aplastik mempunyai bermacam-macam
derajat pansitopenia. Tetapi biasanya pada stadium awal
penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia
dihubungkan dengan indeks retikulosit yang rendah, biasanya
kurang dari 1% dan kemungkinan nol walaupun eritropoetinnya
tinggi. Jumlah retikulosit absolut kurang dari 40.000/μL
(40x109/L). Jumlah monosit dan netrofil rendah. Jumlah
netrofil absolut kurang dari 500/μL (0,5x109/L) serta jumlah
trombosit yang kurang dari 30.000/μL(30x109/L)
mengindikasikan derajat anemia yang berat dan jumlah netrofil
dibawah 200/μL (0,2x109/L) menunjukkan derajat penyakit
yang sangat berat. Jenis anemia aplastik adalah anemia
normokrom normositer. Adanya eritrosit muda atau leukosit
muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.
Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Ini dapat
dibedakan dengan anemia hemolitik dimana dijumpai sel
eritrosit muda yang ukurannya lebih besar dari yang tua dan
persentase retikulosit yang meningkat.
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan
biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan
akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada
anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia
aplastik konstitusional.
Plasma darah biasanya mengandung growth
factor hematopoiesis, termasuk eritropoietin, trombopoietin,
dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum
biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan
penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.
2) Pemeriksan sumsum tulang
Pada pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pemeriksaan
biopsi dan aspirasi. Bagian yang akan dilakukan biopsi dan
aspirasi dari sumsum tulang adalah tulang pelvis, sekitar 2 inchi
disebelah tulang belakang. Pasien akan diberikan lokal anastesi
untuk menghilangkan nyerinya. Kemudian akan dilakukan
sayatan kecil pada kulit, sekitar 1/8 inchi untuk memudahkan
masuknya jarum. Untuk aspirasi digunakan jarung yang ukuran
besar untuk mengambil sedikit cairan sumsum tulang (sekitar 1
teaspoon). Untuk biopsi, akan diambil potongan kecil
berbentuk bulat dengan diameter kurang lebih 1/16 inchi dan
panjangnya 1/3 inchi dengan menggunakan jarum. Kedua
sampel ini diambil di tempat yang sama, di belakang dari
tulang pelvis dan pada prosedur yang sama. Tujuan dari
pemeriksaan ini untuk menyingkirkan faktor lain yang
menyebabkan pansitopenia seperti leukemia atau
myelodisplastic syndrome (MDS).
Pemeriksaan sumsum tulang akan menunjukkan secara
tepat jenis dan jumlah sel dari sumsum tulang yang sudah
ditandai, level dari sel-sel muda pada sumsum tulang (sel darah
putih yang imatur) dan kerusakan kromosom (DNA) pada sel-
sel dari sumsum tulang yang biasa disebut kelainan sitogenik.
Pada anaplastik didapat, tidak ditemukan adanya kelainan
kromosom. Pada sumsum tulang yang normal, 40-60% dari
ruang sumsum secara khas diisi dengan sel-sel hematopoetik
(tergantung umur dari pasien). Pada pasien anemia aplastik
secara khas akan terlihat hanya ada beberapa sel hematopoetik
dan lebih banyak diisi oleh sel-sel stroma dan lemak. Pada
leukemia atau keganasan lainnya juga menyebabkan penurunan
jumlah sel-sel hematopoetik namun dapat dibedakan dengan
anemia aplastik. Pada leukemia atau keganasan lainnya terdapat
sel-sel leukemia atau sel-sel kanker.
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan
kurang dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60
tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur
lebih dari 60 tahun. International Aplastic Study Group
mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum
tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang
dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.
3) Pemeriksaan Flow cytometry dan FISH (Fluoresence In Situ
Hybridization)
Kedua pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan spesifik.
Pada pemeriksaan Flow cytometry, sel-sel darah akan diambil
dari sumsum tulang, tujuannya untuk mengetahui jumlah dan
jenis sel-sel yang terdapat di sumsum tulang. Pada pemeriksaan
FISH, secara langsung akan disinari oleh cahaya pada bagian
yang spesifik dari kromosom atau gen. Tujuannya untuk
mengetahui apakah terdapat kelainan genetic atau tidak
4) Tes fungsi hati dan virus
Tes fungsi hati harus dilakukan untuk mendeteksi hepatitis,
tetapi pada pemeriksaan serologi anemia aplastik post hepatitis
kebanyakan sering negative untuk semua jenis virus hepatitis
yang telah diketahui. Onset dari anemia aplastik terjadi 2-3
bulan setelah episode akut hepatitis dan kebanyakan sering
pada anak laki-laki. Darah harus di tes antibodi hepatitis A,
antibodi hepatitis C, antigen permukaan hepatitis B, dan virus
Epstein-Barr (EBV). Sitomegalovirus dan tes serologi virus
lainnya harus dinilai jika mempertimbangkan dilakukannya
BMT (Bone Marrow Transplantasion). Parvovirus
menyebabkan aplasia sel darah merah namun bukan merupakan
anemia aplastik.
5) Level vitamin B-12 dan Folat
Level vitamin B-12 dan Folat harus diukur untuk
menyingkirkan anemia megaloblastik yang mana ketika dalam
kondisi berat dapat menyebabkan pansitopenia
6) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal
khususnya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang
yang diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan
abnormalitas skeletal
a) Pemeriksaan X-ray rutin dari tulang radius untuk
menganalisa kromosom darah tepi untuk menyingkirkan
diagnosis dari anemia fanconi.
b) USG abdominal. Untuk mencari pembesaran dari limpa dan/
atau pembesaran kelenjar limfa yang meningkatkan
kemungkinan adanya penyakit keganasan hematologi
sebagai penyebab dari pansitopenia. Pada pasien yang muda,
letak dari ginjal yang salah atau abnormal merupakan
penampakan dari anemia Fanconi.
c) Nuclear Magnetic Resonance Imaging. Pemeriksaan ini
rnernpakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya
perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara
daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang
berselular.
d) Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow
Scanning. Luasnya kelainan sumsum tulang dapat
ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik dengan
koloid radoaktif technetium sulfur yang akan terikat pada
makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang akan
terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang
dapt ditentukan daerah hemopoesis aktif untuk memperoleh
sel-sel guna pemeriksaan sitogenik atau kultur sel-sel induk
2. Leukemia
Secara klasik diagnosis Leukemia ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti
sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu
berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping
dan analisis sitogenik.
Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap
jenis sel darah yang berbeda dan melihat apakah mereka berada dalam
batas normal. Dalam AML, tingkat sel darah merah mungkin rendah,
menyebabkan anemia, tingkat-tingkat platelet mungkin rendah,
menyebabkan perdarahan dan memar, dan tingkat sel darah putih
mungkin rendah, menyebabkan infeksi.
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum
tulang mungkin dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama
biopsi sumsum tulang, jarum berongga dimasukkan ke tulang pinggul
untuk mengeluarkan sejumlah kecil dari sumsum dan tulang untuk
pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum tulang, sampel
kecil dari sumsum tulang ditarik melalui cairan injeksi.
Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk
melihat apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan
cerebrospinal, yang mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem saraf
pusat (SSP) - otak dan sumsum tulang belakang. Tes diagnostik
mungkin termasuk flow cytometry penting lainnya (dimana sel-sel
melewati sinar laser untuk analisa), imunohistokimia (menggunakan
antibodi untuk membedakan antara jenis sel kanker), Sitogenetika
(untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi
genetika molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker). Penyakit
Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan, diantaranya
adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)},
CT or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray,
Ultrasound, Spinal tap/lumbar puncture. Kelainan hematologis :
a. Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x
106/mm3.
b. Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 103 /mm3.
Leukosit yang ada dalam darah tepi terbanyak adalah myeloblas.
c. Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-
kadang mengandung “badan auer” suatu kelainan yang
pathogonomis untuk LMA.
F. Penatalaksanaan Pansitopenia
1. Anemia Aplastik
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi immunosupresi atau
transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia pasien
adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), dan
faktor-faktor risiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik
mendapatkan terapi immunosupresi atau TST. Pasien yang lebih
mudah mentoleransi TST lebih baik dan sedikit mengalami GVHD.
Pasien yang lebih tua dan mempunyai komorbiditas biasanya
ditawarkan serangkaian terapi immunosupresif. Pasien berusia lebih
dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-500/ mm3 tampaknya lebih
mendapat manfaat manfaat immunosupresi dibandingkan TST.
Secara umum pasien dengan hitung neutrofil yang sangat rendah
cenderung lebih baik dengan TST., karena dibutuhkan waktu yang
lebih pendek untuk resolusi neutropenia (harus diingat bahwa
neutropenia pada pasien yang mendapat terapi immunosupresif
mungkin baru membaik setelah 6 bulan). Untuk pasien usia menengah
yang memiliki donor saudara yang cocok, rekomendasi terapi harus
dibuat setelah memperhatikan kondisi kesehatan pasien secara
menyeluruh, derajat keparahan penyakit, dan keinginan penyakit.
Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan
anemia aplastik. Manajemen Awal Anemia Aplastik
1) Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang
diduga menjadi penyebab anemia aplastik.
2) Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang
dibutuhkan.
3) Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit
sesuai yang dibutuhkan.
4) Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia
berat.
5) Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila
organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus
yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada
(misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan
transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-
CSF.
6) Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan
yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi
imunosupresif (ATG, siklosporindan metilprednisolon) atau
pemberian dosis tinggi siklofosfamid.
a. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit
berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau
lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari
20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat
pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai
profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan
pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi
sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang
tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai
profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek
samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup
leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b. Terapi imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah
antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin
(ALG) dan siklosporin A (CSA).
c. Terapi Penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang,
pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan
pemberian steroid anabolik. Pasien yang refrakter dengan
pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus
imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien
yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG
kelinci. Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik
seperti Granulocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF)
bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi
neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter.
Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak
bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak
boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia
aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah
digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang
refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan
pemulihan hitung darah pada beberapa pasien. Steroid anabolik
seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan
sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat
untuk anemia aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat
biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi
penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada
pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki
saudara dengan kecocokan HLA (Human leukocyte antigen).
Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia
hanya pada sebagian kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien
yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia
untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum
dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik
bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin
meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian
dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft
Versus Host Disesase/GVHD). Pasien dengan usia > 40 tahun
terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien
yang berusia muda. Pasien yang mendapatkan transplantasi
sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik daripada
pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. Pasien dengan
umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi
imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum
tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetapi survival pasien yang
menerima transplanasi sumsum tulang namun telah
mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien
yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali
diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Transfusi
komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor
yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini
diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft
rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow
Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut:
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-
kurangnya 2000/mm3 dan trombosit sekurang-kurangnya
100.000/mm3
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit
dibawah 2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
2. Leukemia
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan
suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia,
komplikasi dan tindakan yang mendukung penyembuhan, termasuk
perawatan psikologi. Perawatan suportif tersebut antara lain transfusi
darah/ trombosit, pemberian antibiotik pada infeksi/ sepsis, obat anti
jamur, pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan aspek psikososial.
Terapi kuratif/ spesifik bertujuan untuk menyembuhkan penderita.
Strategi umum kemoterapi leukemia akut meliputi induksi remisi,
intensifikasi (profilaksi susunan saraf pusat) dan lanjutan. Klasifikasi
resiko standar dan resiko tinggi, menentukan protokol kemoterapi.
Pada induksi remisi diberikan kemoterapi maksimum yang dapat
ditoleransi dan perawatan suportif yang maksimum. Kemungkinan
hasil yang dicapai remisi komplet, remisi parsial atau gagal.
Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi
komplet dan untuk profilaksi terjadi leukemia pada saluran syaraf
pusat.
Hasil yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi dan
meningkatkan kesembuhan. Pengobatan lanjutan sampai sekitar 2
tahun, diharapkan tercapai perpanjangan remisi dan dapat bertahan
hidup.
Sitostatika yang digunakan pada tiap tahap pengobatan leukemia
merupakan kombinasi dari berbagai sitostatika. Pengobatan dengan
granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF) bermanfaat untuk
mengatasi penurunan granulosit sebagai efek samping sitistatika,
namun tidak mengurangi lama perawatan di rumah sakit.
Penderita dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan
bebas gejala leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapat
selularitas normal dan jumlah sel blast < 5% dari sel berinti,
hemoglobin > 12 gr/dL tanpa transfusi, jumlah sel leukosit > 3000/µl,
dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit > 2000/ µl,
jumlah trombosit > 100.000/ µl, dan pemeriksaan cairan serebropinal
normal.
Permasalahan yang dihadapi pada penanganan pasien leukemia
adalah obat yang mahal, ketersediaan obat yang belum tentu langkap,
dan adanya efek samping, serta perawatan yang lama. Obat untuk
leukemia dirasakan mahal bagi kebanyakan pasien apalagi dimasa
krisis sekarang ini, Selain macam obat yang banyak , juga lamanya
pengobatan menambah beban biaya untuk pengadaan obat. Efek
samping sitostatika bermacam-macam seperti anemia, pedarahan,
rambut rontok, granulositopenia (memudahkan terjadinya infeksi),
mual/ muntah, stomatitis, miokarditis dan sebagainya. Penderita
dengan granulositopenia sebaiknya dirawat di ruang isolasi. Untuk
mengatasi kebosanan karena perawatan yang lama perlu disediakan
ruang bermain dan pelayanan psikologis. Penderita yang telah remisi
dan selesai pengobatan kondisinya akan pulih seperti anak sehat.
Problem selama pengobatan adalah terjadinya relap (kambuh). Relaps
merupakan pertanda yang kurang baik bagi penyakitnya. Pada
dasarnya ada 3 tempay relaps :
 Intramedular (Sumsum tulang)
 Ekstramedular (Susunan saraf pusat, testis, iris)
 Intra dan ekstra meduler.
Relaps bisa terjadi pada relaps awal (early relaps) yang terjadi
selama pengobatan atau 6 bulan dalam masa pengobatan dan relaps
lambat (late relapse) yang terjadi lebih dari 6 bulan setelah
pengobatan.
G. Komplikasi Pansitopenia
1. Sepsis
2. Sensitisasi terhadap antigen donor yang bereaksi silang menyebabkan
perdarahan yang tidak terkendali.
3. Kegagalan cangkok sumsum, terjadi setelah transplantasi sumsum
tulang.
4. Leukimia mielogen akut.
5. Hepatitis, hemosederosis dan hemokromatosis.

Anda mungkin juga menyukai