Anda di halaman 1dari 14

Referat

Anemia Aplastik

Oleh :
Muhammad Fazar Sidiq Alhayat

Pembimbing :
dr. Rina Kriswiastiny, Sp. PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RS PERTAMINA BINTANG AMIN
BANDAR LAMPUNG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang ditemukan


namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia
sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang
perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala
anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien
tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak aktif). Pada tahun 1904,
Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tah un berikutnya
definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakan
pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada
tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus
pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia susmsum tulang, tanpa ada suatu penyakit
primer y ang menginfiltrasi, mengg anti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum
tulang.

Selain istilah anemia aplastik yang paling sering digunakan, masih ada istilah-istilah
lain seperti anemia hipoplastik, anemia refrakter, hipositemia progresif, anemia aregeneratif,
aleukia hemoragika, panmieloftisisdan anemia paralitik toksik.

Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat. Perbedaan antara keduanya bukan
pada usia pasien, me1a ink an berdasarkan pemeriksaan kl ini s dan laboratorium. Oleh
karena itu, pasien dewasa mungkin membawa kelainan herediter yang muncul di usr a
dewasa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Anemia aplastik merupakan suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang

dikarakterisasi dengan adanya pansitopenia perifer, hipoplasia sumsum tulang dan

makrositosis oleh karena terganggunya eritropoesis dan peningkatan jumlah fetal

hemoglobin.

II. EPIDEMIOLOGI
Insidensi anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2

sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian The

International Aplastic Anemia and Agranulol ytosis Stud y di awal tahun 1980-an menemukan

frekuensi di Eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1 juta penduduk. Penelitian di Perancis

menemukan angka insidensi sebesar 1,5 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Di Cina, insi

densi dilaporkan 0,74 kasus per 100.000 penduduk per tahun dan di Bangkok 3,7 kasus per 1

juta penduduk per tahun. Ternyata penyakit ini lebih banyak ditemukan di belahan Timur

dunia daripada di belahan Barat.

Anemia aplastik didapat umumnya muncul pada usia 15 sampai 25 tahun; puncak

insidens kedua yang lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Umur dan jenis kelamin pun

bervariasi secara geografis. Di Amerika Serikat dan Eropa umur sebagian besar pasien

berkisar antara 15-24 tahun. Cina melaporkan sebagian besar kasus anemia aplastik pada

perempuan berumur di atas 50 tahun dan pria di atas 60 tahun. Di Perancis, pada pria

ditemukan dua puncak yaitu antara umur 15-30 dan setelah umur 60 tahun, sedangkan pada

perempuan kebanyakan berumur di atas 60 tahun.


Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada perempuan. Perbedaan umur

dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis

mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan.

III. KLASIFIKASI
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikan
menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat (Tabel 1). Risiko morbiditas dan mortalitas lebih
berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka
kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat
atau sangat berat mencapai 80%; infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab
kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar
tidak membutuhkan terapi.

IV. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS


Dahulu, anemia aplastik dihubungkan erat dengan paparan terhadap bahan-bahan
kimia dan obat-obatan. Anemia aplastik dianggap disebabkan paparan terhadap bahan- bahan
toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau senyawa kimia tertentu. Penyebab lain
meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak
diketahui faktor penyebabnya, maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Sebagian
besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik. Beberapa etiologi anemia aplastik tercantum
dalam Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia Aplastik
Toksisitas langsung

• latrogenik

• Radiasi

• Kemoterapi

• Benzena

• Metabolit intermediate beberapa jenis obat

Penyebab yang diperantarai imun

• latrogenik: transfusion-associated graft-versus-

host disease

• Fasciitis eosinofilik

• Penyakit terkait hepatitis

• Kehamilan

• Metabolit intermediate beberapa jenis obat

• Anemia aplastik idiopatik

Anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat

yang berlebihan. Obat yang banyak menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol.

Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau

permanen, misalnya virus Epstein- Barr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier) .

Sitomegalo virus dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada

sel-sel stroma sumsum tulang. Infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang
berkembang menjadi acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dapat menimbulkan

pansitopenia. Infeksi kronik oleh parvovirus pada pasien dengan defisensi imun juga

dapat menimbulkan pansitopenia. Akhir-akhir ini, sindrom anemia aplastik dikaitkan

dengan hepatitis walaupun merupakan kasus yang jarang. Meskipun telah banyak studi

dilakukan, virus yang pasti belum diketahui, namun diduga virus hepatitis non-A, non-

B, dan non-C.

Pada kehamilan, kadang -kadang ditemukan pansitopenia disertai aplasia

sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin disebabkan oleh estrogen

pada seseorang dengan predisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau

tidak ada perangsang hematopoiesis. Anemia aplastik sering sembuh setelah terminasi

kehamilan, dapat terjadi lagi pada kehamilan berikutnya.

Namun, sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis anemia aplastik yang masuk

akal, yang disimpulkan dari berbagai observasi klinis hasil terapi dan eksperimen

laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-an, Mathé et al memunculkan teori baru

berdasarkan kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada

pasien anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan

anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi se1 asal {stem cell).

Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh percobaan

iii vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni

hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik

memerantarai destruksi sel-sel asal hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak

lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel-se1

tersebut menghasilkan interferon-y dan TNF-n yang merupakan inhibitor langsung

hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34*. Klon sel-sel T imortal yang
positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastikjuga mensekresi sitokin T-helper-7 yang

bersifat toksik langsung ke sel- se1 CD34 positif autologus.

Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai oleh

destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan respons

imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau pajanan obat

tertentu atau zat kimia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain, seperti

toksisitas langsung pada sel-se1 asal atau defisiensi fungsi faktor pertumbuhan

hematopoietik. Lagipula, derajat destruksi se1 asal dapat menjelaskan variasi perjalanan

klinis secara kuantitatif dan variant kualitatif respons imun dapat menerangkan respons

terhadap terapi imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan adanya

mekanisme imun yang bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik.

1. Kegagalan Hematopoietik

Kegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum t

uang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen

co re biop.sv sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic’ resonance inta ging

vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata.

Secara kuantitatif, set-sel hematopoietik yang imatur dapat dihitung den gan J/ w c y to

me try . S el - sel tersebut mengekspresikan protein c'ytoadhes ive, yang di sebut CD34.

Pada pemeriksaan w c ytonietry, antigen set CD34 dideteksi secara fluoresens satu

persatu, sehingga jumlah sel-se1 CD34“ dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia

aplastik, sel-se1 CD34“ juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk

pembentuk koloni eritroid, m yeloid, dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assa

lain untuk sel-se1 hematopoietik yang sangat primitif dan “tenang” (quiescent), yang

sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel -sel asal, juga memperlihatkan
penurunan. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin telah mengalami penurunan

populasi sel asal dan eel induk sampai sekitar I to atau kurang. Defisiensi berat tersebut

mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh pemendekan telomer

granuJosit pada pasien anemia aplastik.

2. Destruksi Imun

Banyak data laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada pasien

anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jaw ab atas destruksi kompartemen eel

hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa limfosit pasien menekan

hematopoiesis. Sel-set ini memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui

adalah interferon-y. Adanya aktivasi respons sel T helper- 1 (Th,) di simpulkan ddri

sifat imunofenotipik sel-sel T dan produksi interferon, tumor necrosis factor, dan

interleukin- 2 yang berlebihan. Deteksi interferon-y intrasel ular pada sampel pasien

secara ow cytometi ’ mungkin berkorelasi dengan res pons terap i inn unos u pre sif

dan dapat memprediksi relaps.

Pada anemia aplastik, sel -sel CD34+ dan set -sel induk (progenitor)

hemopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid

(granulositik, eritroid, dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,

defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada

hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Lagipula, pemulihan

hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif. Jadi,

eel-sel asal hemopoietik tainpaknya masih ada pada sebagian besar pasien anemia

aplastik.

Perubahan imunitas menyebabk an destruksi ,khususnya kematian sel

CD34 yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraseular yang menyebabkan

penghentian siklus set {cell-c ycle arrest). Sel-sel T dari pasien membunuh se1-sel asal
hemopoietik dengan perilaku (manner) yang HLA-DR-resriced melalui ligan Fas. Sel-

sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak atau sedikit mengekspresikan HLA-DR

atau FAS, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel-sel asal. Jadi, sel-

sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari 10% se1-se1 CD34+

total, relatif tidak terganggu oleh sel-sel T autoreaktif; di lain pihak, sel-sel asal

hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama serangan se1-se1 imun. Sel-sel

asal hemopoietik primitif yang sel amat dari serangan autoimun memungkinkan pemulihan

hemopoietik perlahan-lahan yang terjadi pada pasien anemia aplastik setelah terapi

imunosupresif.

V. MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahan-

lahan (berminggu-minggu atau berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan manifestasi

klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispnea dan jantung berdebar-debar. Trombositopenia

menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan

terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.

Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis

leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang. Pemeriksaan ow

cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan

karyotyping sumsum tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom myelodisplastik.

Pasien berusia kurang dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia Fanconi dengan memakai

obat klastogenik diepoksibutan atau mitomisin.

Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin.

Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 3). Pada Tabel 3 terlihat bahwa

perdarahan, badan lemah, dan pusing merupakan keluhan yang paling sering ditemukan.
TABEL 3 KELUHAN PASIEN ANEMIA APLASTIK
JENIS KELUHAN %
Perdarahan 83

Badan lemas 30

Pusing 69

Jantung berdebar 36

Demam 33

Nafsu makan berkurang 29

Pucat 26

Sesak nafas 23

Penglihatan kabur 19

Telinga berdengung 13

1. PEMERIKSAAN FISIK

Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada

Tabel 4 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan

perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hematomegali, yang sebabnya

bermacam-macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak

ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan

diagnosis.
2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

A. Darah Tepi

Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia

adalah normokrom normositer. Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis, anisositosis,

dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan

bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif

terdapat pada lebih dari 75% kasus.

Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus,

persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap

beratnya anemia (corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal

atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia

aplastik.

B. Sumsum Tulang

Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi,

maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sumsum
tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Hasil pemeriksaan sumsum tulang

sesuai kriteria diagnosis.

C. Lain lain

Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan

sitogenetik dengan fiuorescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan

flowcytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti

myelodisplasia hiposelular.

Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh

trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal.

3. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

A. Nuclear Magnetic Resonance Imaging

Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan

karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum

tulang berselular.

B. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)

Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah

disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum

tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum

tulang dapat ditentukan daerah hemopoeisis aktif untuk memperoleh sel-set guna

pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.

VI. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan anemia aplastik terdiri dari terapi utama, terapi suportif untuk

menangani gejala yang timbul akibat bisitopenia atau pansitopenia, dan terapi jangka panjang

untuk memberikan kesembuhan pada sumsum tulang.Terapi utama adalah hindari pemaparan
lebih lanjut terhadap agen penyebab. Tetapi sering sulit untuk mengetahui penyebab karena

etiologinya yang tidak jelas atau idiopatik.

Terapi suportif diberikan sesuai gejala yang dapat dijelaskan sebagai berikut : (1)

anemia, (2) neutropenia, dan (3) trombositopenia.

Pada anemia. Pada anemia berikan tranfusi packed red cell jika hemoglobin kurang

dari 7g/dl, berikan sampai hb 9-10 g/dl. Pada pasien yang lebih muda mempunyai toleransi

kadar hemogoblin sampai 7-8g/dl; untuk pasien yang lebih tua kadar hemoglobin dijaga

diatas 8g/dl.

Pada neutropenia. Pada neutropenia jauhi buah-buahan segar dan sayur, fokus

dalam menjaga perawatan higienis mulut dan gigi, cuci tangan yang sering. Jika terjadi

infeksi maka identifikasi sumbernya, serta berikan antibiotik spektrum luas sebelum

mendapatkan kultur untuk mengetahui bakteri gram positif atau negatif. Tranfusi granulosit

diberikan pada keadaan sepsis berat kuman gram negatif, dengan netropenia berat yang tidak

memberikan respon terhadap pemberian antibiotik

Pada trombositopenia. Pada trombositopenia berikan tranfusi trombosit jika

terdapat pendarahan aktif atau trombosit kurang dari <20.000/mm3. Terapi jangka panjang

terdiri dari : (1) Terapi imunosupresif , dan (2) terapi transplantasi sumsum tulang.

Terapi transplantasi sumsum tulang lebih direkomendasikan sebagai terapi pertama,

dengan donor keluarga yang sesuai. Maka karena itu, terapi imunosupresif direkomendasikan

pada pasien : (a) lebih tua dari 40 tahun, walaupun rekomendasi berdasarkan dokter dan

faktor pasiennya, (b) tidak mampu mentoleransi transplantasi sumsum tulang karena masalah

penyakit atau usia tua, (c) tidak mempunyai donor yang sesuai, (d) akan diterapi tranplantasi

sumsum tulang, tetapi sedang menunggu untuk donor yang sesuai, dan (e) memilih terapi

imunosupresif setelah menimbang faktor resiko dan manfaat dari semua pilihan terapi.
Terapi imunosupresif adalah dengan pemberian anti lymphocyte globuline (ALG)

atau anti thymocyteglobulin (ATG), kortikosteroid, siklosporin yang bertujuan untuk

menekan proses imunologik. ALG dapat bekerja meningkatkan pelepasan haemopoetic

growth factor. Sekitar 40%- 70% dari kasus memberi respon terhadap pemberian ALG.

VII. PROGNOSIS

Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa: 1). Berakhir dengan remisi

sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali bila iatrogenik at bat kemoterapi atau radiasi.

Remisi sempurna biasanya terjadi segera. 2). Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi

pada sebagian besar kasus. 3). Bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan

bertahan hidup lama namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.

Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk

membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia

aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan pengobatan

prognosis menjadi lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai