Anda di halaman 1dari 21

Makalah Kapita Selekta Hematologi

Anemia Makrositik (Anemia Aplastik)

Kelompok 5

Anni Atiqah Mahdiyyah (PO.714.203.1.91.008)


Ilmia Putri Usnul (PO.714.203.1.91.016)
Magfiratul Muradifah (PO.714.203.1.91.052)
Muhammad Irsal Qadri (PO.714.203.1.91.056)
Nur Islamiyah Saleh (PO.714.203.1.91.062)
Syakila Khaera Syah (PO.714.203.1.91.033)
Umi Kalsum Satria P (PO.714.203.1.91.069)

PRODI SARJANA TERAPAN

TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul
‘Anemia Makrositik (Anemia Aplastik).

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk


memenuhi tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Hematologi. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang anemia
makrositik khususnya pada anemia aplastik.

Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membagi


sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 28 Agustus
2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………… ii


DAFTAR ISI ………………………………………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………... 1
A. Latar Belakang ………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………....... 2
C. Tujuan ………………………………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………… 4
A. Definisi Anemia ………………………………………………………. 4
B. Definisi Anemia Aplastik ……………………………………………… 4
C. Epideomiologi Anemia Aplastik …………………................................. 5
D. Etiologi Anemia Aplastik………………………………………………. 6
E. Patofisiologi Anemia Aplastik………………………………………….. 6
F. Manifestasi klinis Anemia Aplastik…………………………………….. 8
G. Diagnosis Anemia Aplastik……………………………………………... 9
H. Pemeriksaan penunjang pada Anemia Aplastik…………………………. 11
I. Terapi yang dilakukan pada Anemia Aplastik…………………………… 13
J. prognosis Anemia Aplastik………………………………………………. 15
BAB III PENUTUP ………………………………………………………… 17
A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 17
B. Saran …………………………………………………………………… 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh belahan
dunia terutama di Negara berkembang. Anemia didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana berkurangnya volume konsentrasi hemoglobin, hematoktrit
dan juga jumlah sel darah merah yang menyebabkan tidak terpenuhinya
oksigen bagi tubuh. Anemia secara umum dibagi beberapa jenis yaitu
anemia pasca perdarahan, anemia defisiensi zat besi, anemia hemolitik serta
anemia aplastik (Wijaya & Putri, 2013).
Banyak orang berasumsi, bahwa anemia merupakan penyakit kurang
darah, 5L (lesu, lemah, letih, lunglai dan loyo) adalah serangkaian
gejalanya. Secara ilmiah anemia adalah suatu keadaan dimana jumlah sel
darah merah atau jumlah Hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel
darah merah berada di bawah normal (kadar Hb<10g/dl). Sel darah merah
membawa oksigen (O2) dari paruparu ke jaringan dan organ-organ tubuh
yang akan digunakan sebagai energi. Tanpa Oksigen jaringan dan organ-
organ ini (khususnya hati dan otak) tidak dapat melaksanakan tugas dengan
semestinya. Untuk alasan inilah mengapa orang yang terkena anemia lebih
mudah lelah dan kelihatan pucat. Anemia menyebabkan berkurangnya
jumlah sel darah merah atau jumlah Hemoglobin (Hb) dalam sel darah
merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai
yang diperlukan tubuh.
Kejadian anemia di dunia sekitar 40-88% (WHO, 2011). The
International Aplastic Anemia And Agranulocytosis Study menemukan
kejadian anemia aplastik di Amerika dan Eropa sekitar 23% dari 1.000.000
penduduk pertahun. Kejadian anemia aplastik di Asia Timur sekitar 4-6 juta
lebih tinggi dibandingkan dengan Negara barat sekitar 2 juta per 1.000.000
penduduk. Tingkat kejadian anemia aplastik di Asia sekitar 39%-50% per
100.000 penduduk (Wang et al., 2011). Berdasarkan data Kemenkes RI,
angka kejadian anemia aplastik di Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan
sebesar 2 sampai 5 kasus per 1.000.000 penduduk. Anemia aplastik bisa
terjadi di segala umur dengan awitan klinis pertama terjadi pada usia 1,5
sampai 22 tahun. Meskipun prevalensi penyakit ini jarang terjadi, tetapi
anemia aplastik berpotensi menyebabkan kematian.. Frekuensi tertinggi
penyakit ini muncul pada usia 15 sampai 25 tahun dan muncul kembali
setelah usia 65 sampai 69 tahun. Wanita lebih jarang terkena anemia
aplastik dibandingkan dengan pria. Perjalanan penyakit pada pria juga lebih
berat dibandingkan dengan wanita.
Mekanisme primer terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui
kerusakan pada sel induk (seed theory), kerusakan lingkungan mikro (soil
1
theory) dan melalui mekanisme imunologi (immune suppression).
Mekanisme ini terjadi melalui berbagai faktor (multi faktorial) yaitu:
familial (herediter), idiopatik (penyebabnya tidak dapat ditemukan) dan
didapat yang disebabkan oleh obatobatan, bahan kimia, radiasi ion, infeksi,
dan kelainan imunologis. Anemia aplastik merupakan kegagalan
hematopoiesis yang relatif jarang dijumpai namun berpotensi mengancam
nyawa.
Anemia aplastik merupakan penyakit yang akan diderita seumur
hidup, sehingga diperlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan
lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan
keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan
sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat
membantu memperbaiki kualitas hidup pasien

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari Anemia ?
2. Bagiamana definisi dari Anemia Aplastik ?
3. Bagaimana epideomiologi Anemia Aplastik ?
4. Bagaimana etiologi dari Anemia Aplastik ?
5. Bagaimana patofisiologi Anemia Aplastik ?
6. Bagaimana manifestasi klinis Anemia Aplastik ?
7. Bagaimana diagnosis Anemia Aplastik ?
8. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada Anemia Aplastik ?
9. Bagaimana terapi yang dilakukan pada Anemia Aplastik ?
10. Bagaimana prognosis Anemia Aplastik ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Anemia.
2. Untuk mengetahui definisi dari Anemia Aplastik.
3. Untuk mengetahui epideomiologi Anemia Aplastik.
4. Untuk mengetahui etiologi dari Anemia Aplastik.
5. Untuk mengetahui patofisiologi Anemia Aplastik.
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis Anemia Aplastik.
7. Untuk mengetahui diagnosis Anemia Aplastik.
2
8. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada Anemia Aplastik.
9. Untuk mengetahui terapi yang dilakukan pada Anemia Aplastik.
10. Untuk mengetahui prognosis Anemia Aplastik.

3
BAB II

PEMBHASAN

A. DEFINISI ANEMIA
Anemia adalah Keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa
hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. (I Made Bakta, 2007).
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah
merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells
(hematokrit) per 100 ml darah. (Price, 2006)
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan
komponen darah, eleman tidak adekuat atau kurang nutrisi yang
dibutuhkan untuk pembentukan sel darah, yang mengakibatkan penurunan
kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada banyak tipe anemia dengan
beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 2000).
Dengan demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau
penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit
ataugangguan fungsi tubuh dan perubahan patotisiologis yang mendasar
yang diuraikan melalui anemnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
informasi laboratorium. Anemia , Adapun klasifikasi Anemia dapat dibagi
menjadi 3 yaitu :
1. Makrositik, ketika ukuran sel darah merah bertambah besar
sebagaimana jumlah hemoglobin di setiap sel yang juga bertambah.
Anemia makrositik dibagi menjadi dua yakni megaloblastik yang
dikarenakan kekurangan vitamin B12, asam folat, dan gangguan
sintesis DNA, dan anemia non megaloblastik yang disebabkan oleh
eritropoesis yang dipercepat dan peningkatan luas permukaan
membran.
2. Mikrositik, yakni kondisi dimana mengecilnya ukuran sel darah merah
yang disebabkan oleh defisiensi zat besi, gangguan sintesis globin,
profirin dan heme serta gangguan metabolisme besi lainnya.
3. Normositik, dimana ukuran sel darah merah tidak berubah, namun
terjadi kehilangan darah yang parah, peningkatan volume plasma darah
berlebih, penyakit hemolitik dan gangguan endokrin, hati dan ginjal.

B. DEFINISI ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik adalah anemia kegagalan sumsum tulang ditandai
adanya pansitopenia dengan sebagian besar kasus terjadi kelainan
sumsum tulang hypoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi, atau
pendesakan sumsum tulang( Bakta, 2003). Pada anemia aplastic terjadi
penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia,
monositopenia, dan trombositopenia (Young NS, Maciejweski, 1997).
4
Anemia aplastik merupakan anemia normokromik normositer yang
disebabkan oleh disfungsi sumsum tulang sedemikian sel darah yang
mati tidak terganti. Pada tujuh puluh persen kasus penyebab anemia
aplastik didapat tidak dapat diterangkan, sedangkan sisanya diduga
akibat radiasi, bahan kimia termasuk obat-obatan, infeksi virus, dan lain-
lain. Gejala-gejala yang timbul pada pasien anemia aplastik merupakan
gejala pansitopenia seperti pucat, perdarahan, dan infeksi.
Anemia aplastik merupakan anemia akibat terganggunya fungsi
sumsum tulang belakang dalam memproduksi sel darah.Meskipun kasus
penyakit ini hanya terjadi lima sampai tujuh kasus dalam satu juta
penduduk per tahunnya, kejadian anemia aplastik terjadi dari kasus yang
ringan, sedang, berat, hingga mengakibatkan kematian. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu tindakan penanganan yang tepat untuk penyakit ini
Anemia Aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di
Negara maju: 3-6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia
aplastic di timur jauh mempunyai pola yang berbeda dengan di negara
barat.
 Di Negara timur (Asia Tenggara dan Cina) Insidennya 2-3 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan di Negara barat
 Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita
 Faktor lingkungan, seperti infeksi virus, antara lain virus hepatitis
diduga memegang peranan penting.

C. EPIDEMIOLOGI ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh
dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.
Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia
aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun.
The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan
French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.
Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai
25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia
aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kirakira 7
kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di
Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa
insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas.
Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor
lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik,
dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak
ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.

5
D. ETIOLOGI ANEMIA APLASTIK
Penyebab anemia aplastik sebagian besar tidak diketahui atau
bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini
disebabkan oleh proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan.
Penulusuran penyebab dilakukan melalui penelitian epidemiologi.
Penyebab anemia aplastik dapat dibagi dua sebagai berikut :
 Penyebab Kongenital (20% dari kasus) antara lain :
a) Anemia fanconi,
b) Non fanconi Seperti cartilage hair hypoplasia, pearson
syndrome, amegakaryotic thrombocytopenia, scwachman-
diamond syndrome, dubowitz syndrome, diamond
blackfan syndrome, familial aplastic anemia, dan
c) Dyskeratosis congenital.
 Penyebab yang didapat (80% dari kasus) antara lain :
a) akibat infeksi Seperti virus hepatitis, epstein barr virus,
HIV, parovirus, dan mycobacteria,
b) akibat terpaparnya radiasi, bahan kimia seperti Benzene,
Chlorinated hycrocarbons, dan organophospates,
c) akibat pemakaian obat-obatan seperti chloramphenicol,
phenylbutazone,
d) akibat penyakit jaringan ikat seperti rheumatoid arthritis
dan systemic lupus erythematosus (SLE), dan
e) akibat kehamilan. Anemia aplastik juga dapat disebabkan
oleh dari iradiasi. Hal tersebut dapat terjadi pada
seseorang yang melakukan pengobatan penyakit ganas
dengan sinar 3 X. Peningkatan dosis penyinaran sekali
waktu akan menyebabkan terjadinga pansitopenia. Bila
penyinaran dihentikan, maka sel-sel akan berpoliferasi
kembali.
Anemia aplastic juga dapat disebabkan oleh zat-zat anti
terhadap selsel hematopoietik dan lingkungan mikro.

E. PATOFISIOLOGIS ANEMIA APLASTIK


Mekanisme terjadinya anemia aplastic diperkirakan melalui tiga faktro
berikut:
1. Kerusakan sel induk
2. Kerusakan lingkungan mikro
3. Mekanisme imunologis

6
Kerusakan sel induk telah dapat dibuktikan secara tidak langsung
melalui keberhasilan transplantasi sumsum tulang pada penderita anemia
aplastik, yang berarti bahwa penggantian sel induk dapat memperbaiki
proses 10 patologik yang terjadi. Teori kerusakan lingkungan mikro
dibuktikan melalui tikus percobaan yang diberikan radiasi, sedangkan
teori imunologik dibuktikan secara tidak langsung melalui keberhasilan
pengobatan imunosupresif. Kelainan imunologik diperkirakan menjadi
penyebab dasar dari kerusakan sel induk atau lingkungan mikro sumsum
tulang.

Gambar. Destruksi imun pada sel hematopoeitik


Proses tersebut dapat diterangkan sebagai berikut: sel target
hematopoeitik dipengaruhi oleh interaksi ligan-reseptor, sinyal
7
intrasesuler dan aktivasi gen. Aktivasi sitotoksik T-limfosit berperan
penting dalam kerusakan jaringan melalui sekresi IFN-γ dan TNF.
Keduanya dapat saling meregulasi selular reseptor masing-masing dan
Fas reseptor. Aktivasi tersebut menyebabkan terjadinya apoptosis pada
sel target. Beberapa efek dari IFN-γ dimediasi melalui IRF-1 yang
menghambat transkripsi selular gen dan proses siklus sel sehingga
regulasi sel-sel darah tidak dapat terjadi. IFN-γ juga memicu produksi
gas NO yang bersifat toksik terhadap sel-sel lain. Selain itu, peningkatan
IL-2 menyebabkan meningkatnya jumlah T sel sehingga semakin
mempercepat terjadinya kerusakan jaringan pada sel2 .

F. MANIFESTASI KLINIS ANEMIA APLASTIK


Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan
gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia
eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala
anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi,
pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan
granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka
terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik
bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat
mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di
organ-organ. Manifestasi klinis pada pasien dengan anemia aplastik
dapat berupa :
 Sindrom anemia :
a. Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi,
sesak napas intoleransi terhadap aktivitas fisik, angina
pectoris hingga gejala payah jantung.
b. Susunan saraf : sakit kepala, pusing, telingga
mendenging, mata berkunang – kunang terutama pada
waktu perubahan posisi dari posisi jongkok ke posisi
berdiri, iritabel, lesu dan perasaan dingin pada
ekstremitas.
c. Sistem pencernaan : anoreksia, mual dan muntah,
flaturensi, perut kembung, enek di hulu hati, diare atau
obstipasi.
d. Sistem urogeniatal : gangguan haid dan libido menurun.
e. Epitel dan kulit: kelihatan pucat, kulit tidak elastis atau
kurang cerah, rambut tipis dan kekuning kuningan.
 Gejala perdarahan : ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan
subkonjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis/melenaatau

8
menorhagia pada wanita. Perdarahan organ dalam lebih jarang
dijumpai, namun jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
 Tanda-tanda infeksi: ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis
leher, febris, sepsis atau syok septik.

Anemia aplastik mungkin muncul mendadak atau perlahan-lahan,


tersembunyi dan berbahaya, yang disertai dengan penurunan sel darah
merah Makalah Hematologi – Anemia Aplastik Page 11 secara berangsur
sehingga menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih
hebat dengan disertai panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan
faringitis atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia. Selain itu
pasien sering melaporkan terdapat memar (eccymoses), bintik merah
(petechiae) yang biasanya muncul pada daerah superficial tertentu,
pendarahan pada gusi dengan bengkak pada gigi, dan pendarahan pada
hidung (epitaxis).
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda
infeksi atau pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah)
menandakan jumlah platelet kurang dari 10.000/l (10  109/liter) yang
menandakan risiko yang lebih besar untuk pendarahan otak. Pendarahan
retina mungkin dapat dilihat pada anemia berat atau trombositopenia.
Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu ditemukan pada anemia
aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru terjadi atau
diagnosis alternatif seperti leukemia atau limpoma.

G. DIAGNOSIS ANEMIA APLASTIK


Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya bisitopenia
atau pansitopenia tanpa adanya keganasan, infiltrasi, dan supresi pada
sumsum tulang. Kriteria diagnosis pada anemia aplastik menurut
international agranulocytosis and aplastic anemia study group (IAASG)
antara lain :
1) Satu dari tiga
a. hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang
dari 30%,
b. trombosit kurang dari 50x109/L,
c. leukosit kurang dari 3,5x109/L atau netrofil kurang dari
1,5x109/L,
2) Dengan retikulosit kurang dari 30x109/L, dan
3) Dengan gambaran sumsum tulang

- Diagnosis Diferensial
Yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis differensial adalah
penyakit lain yang memiliki gejala pansitopenia. Penyakit yang memiliki
9
gejala pansitopenia adalah fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria (PNH), myelodysplastic syndrome (MDS),
myelofibrosis, aleukemic leukemia, dan pure red cell aplasia.
- Fanconi anemia.
Anemia fanconi adalah bentuk kongenital dari anemia aplastik
dimana 10% dari pasien terjadi saat anakanak. Gejala fisik yang khas
adalah tinggi badan yang pendek, hiperpigmentasi kulit, microcephaly,
hipoplasia jari, keabnormalan alat kelamin, keabnormalan mata,
kerusakan struktur ginjal dan retardasi mental. Anemia fanconi
terdiagnosis dengan analisis sitogenik dari limfosit darah tepi yang
menunjukkan kehancuran khromosom setelah culture dengan bahan yang
menyebabkan pemecahan khromosom seperti diepoxybutane (DEB) atau
mitomycin C (MMC).
- Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH).
PNH adalah anemia yang terjadi akibat hemolisis dan adanya
hemoglobinuria dengan trombosis vena. 10% sampai 30 % dari pasien
anemia aplastik berkembang menjadi PNH. Hal itu menunjukkan
kemungkinan anemia aplastik merupakan salah satu penyebab PNH.
Diagnosis PNH ditunjukkan dengan adanya penurunan expresi antigen
CD59 sel dengan tes flow cytometry. Tes seperti sucrose hemolysis dan
uji urine dapat melihat terjadinya hemosiderinuria sebagai salah satu
gejala PNH.
- Myelodisplastic syndrome(MDS).
MDS adalah kelompok penyakit clonal hematopoietic stem cell yang
terdapat adanya keabnormalan differensiasi dan maturasi dari sumsum
tulang, yang membawa pada kegagalan sumsum tulang dengan sitopenia,
disfungsi elemen darah, dan kemungkinan terjadi komplikasi leukemia.
Kegagalan sumsum tulang biasanya hiperselular dan normoselular,
walaupun begitu MDS dapat ditemukan dengan hiposelular. Penting
untuk membedakan MDS hiposelular dengan anemia aplastik untuk
menentukan manajemen dan prognosisnya. Yang membedakan MDS
hiposelular adalah adanya abnormalitas clonal cytogenetic yaitu adanya
abnormalitas pada tangan kromosom 5q, monosomi 7q, dan trisomi 8.
Pada MDS juga mungkin ditemukan adanya cincin sideroblas (akumulasi
besi pada mitokondria).

- Myelofibrosis.
Ada 2 ciri utama nyelofibrosis yaitu extramedullary hematopoesis
dan fibrosis sumsum tulang. Extra medullatory hematopoesis
10
menyebabkan hepatosplenomegali yang tidak terjadi pada anemia
aplastik. Biopsi sumsum tulang menunjukkan derajat reticulin dan
fibrosis kolagen dengan terjadinya peningkatan jumlah megakaryocytes.
- Aleukemic leukemia.
Aleukemic leukemia adalah penyakit yang memiliki ciri kehilangan
sel blast pada darah tepi dari pasien dengan leukemia, terjadi pada 10%
dari semua penderita leukemia dan biasanya muncul pada anak yang
sangat muda atau pada orang tua. Aspirasi sumsum tulang dan biopsy
menunjukkan sel blast.
- Pure red cell aplasia.
Penyakit ini sangat jarang dan hanya melibatkan produksi eritrosit
yang ditandai dengan adanya anemia, penghitungan retikulosit kurang
dari 1%, dan sumsum tulang yang normoselular mengandung kurang dari
0,5% eritroblast. Untuk penyakit lainnya yang dapat menunjukkan gejala
sitopenia seperti leukemia dapat dibedakan yang pada leukemia
ditemukan tidak selalu adanya penurunan WBC. Kadar WBC pada
leukemia dapat normal, turun, atau meningkat.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG ANEMIA APLASTIK


Kelainan laboratorik yang dapat dijumpai pada anemia aplastik adalah:
1. Anemia normokromik normositer disertai retikusitopenia
2. Anemia sering berat dengan kadar Hb
3. Leukopenia dengan relatif limfositosis, tidak dijumpai sel muda
dalam darah tepi
4. Trombositopenia, yang bervariasi dari ringan sampai sangat berat
5. Sumsum tulang: hipoplasia sampai aplasia. Aplasia tidak
menyebar secara merata pada seluruh sumsum tulang, sehingga
sumsum tulang yang normal dalam satu kali pemeriksaan tidak
dapat menyingkirkan diagnosis anemia aplastik, harus diulangi
pada tempat-tempat yang lain.
6. Besi serum normal atau meningkat, TIBC normal, HbF
meningkat.
7. Darah Lengkap: Jumlah masing-masing sel darah (eritrosit,
leukosit, trombosit)
8. Hapusan Darah Tepi: Ditemukan normokromik normositer

11
Gambar hapusan darah tepi

9. Pemeriksaan Sumsum Tulang: Aspirasi sumsum tulang biasanya


mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong,
dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel
plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini
lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada
menunjukkan peningkatan elemenelemen ini. Pada kebanyakan
kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah
hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat
ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi
megakariosit rendah. International Aplastic Study Group
mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum
tulang 13 kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang
dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang

Gambaran sumsum tulang belakang pada orang normal


(kiri) dan pada anemia aplastik (kanan)

10. Pemeriksaan Flow cytometry dan FISH (Fluorescence In Situ


Hybridization) Sel darah akan diambil dari sumsum tulang,
tujuannya untuk mengetahui jumlah dan jenis sel-sel yang

12
terdapat di sumsum tulang. Serta untuk mengetahui apakah
terdapat kelainan genetik atau tidak.
11. Tes Fungsi Hati dan Virus Anemia aplastik dapat terjadi pada 2-3
bulan setelah episode akut hepatitis. Tes ini juga dinilai jika
mempertimbangkan dilakukannya bone marrow transplantasion
12. Level Vitamin B-12 dan Folat  menyingkirkan anemia
megaloblastik
13. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis umumnya tidak
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei
skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum
tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya
memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas
yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan
lemak.

I. TERAPI ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari
70% dengan perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan
perawatan harus diputuskan segera. Obatobatan tertentu diberikan
tergantung pada pilihan terapi dan apakah itu perawatan suportif saja,
terapi imunosupresif, atau BMT. Rawat inap untuk pasien dengan anemia
aplastic mungkin diperlukan selama periode infeksi dan untuk terapi
yang spesifik, seperti globulin antithymocyte (ATG).
Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi
menjadi 4 yaitu terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk
memperbaiki fungsi sumsum tulang (terapi ini untuk merangsang
pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi definitif yang terdiri atas
pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi sumsum tulang.
Berikut ini saya akan bahas satu persatu tentang terapi tersebut.
a) Terapi Kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab.
Hindarkan pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang
diketahui, tetapi sering hal ini sulit dilakukan karena etiologinya
yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat dikoreksi.
b) Terapi suportif
Terapi suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat keadaan
pansitopenia yang ditimbulkan. Untuk mengatasi keadaan anemia
dapat diberikan transfusi leukocyte-poor red cells yang bertujuan

13
mengurangi sensitisasi terhadap HLA (human leukocyte antigen),
menurunkan kemungkinan transmisi infeksi hepatitis, virus
sitomegalo dan toksoplasmosis, pada beberapa kasus mencegah
graft- versus host disease (GVHD). Transfusi ini dapat
berlangsung berulang-ulang sehingga perlu diperhatikan efek
samping dan bahaya transfusi seperti reaksi transfusi, hemolitik
dan nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi, dan penimbunan zat
besi. Perdarahan yang terjadi sering menyebabkan kematian.
Untuk mencegah perdarahan terutama pada organ vital dapat
dilakukan dengan mempertahankan jumlah trombosit di atas
20.000/uL. Hal ini dapat dilakukan dengan transfusi suspensi
trombosit. Perlu diingat bahwa pemberian suspensi trombosit
dapat menyebabkan keadaan isoimunisasi apabila dilakukan lebih
dari 10 kali, dan keadaan ini dapat mempengaruhi keberhasilan
terapi.
c) Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang.
Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang
pertumbuhan sumsum tulang, meskipun penelitian menunjukkan
hasil yang tidak memuaskan.
Anabolik steroid. Anabolik steroid dapat diberikan
oksimetolon atau stanozol. Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-
3mg/kg BB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12 minggu. Awasi
efek samping berupa firilisasi dan gangguan fungsi hati.
Kortikosteroid dosis rendah-menengah. Fungsi steroid
dosis rendah belum jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-
100mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak ada respon sebaiknya
dihentikan karena memberikan efek samping yang serius.
Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) atau Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-
CSF. Terapi ini dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah
netrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoetin juga
dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah
merah
d) Terapi definitif
Adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka
panjang. Terapi definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis
pilihan yaitu Terapi imunosupresif dan Transplantasi sumsum
tulang.

14
Terapi imunosupresif. Terapi ini merupakan lini pertama
dalam pilihan terapi definitif pada pasien tua dan pasien muda
yang tidak menemukan donor yang cocok. Terdiri dari
 pemberian anti lymphocyte globulin : Anti lymphocyte
globulin (ALG) atau anti tymphocyte globulin (ATG)
dapat menekan proses imunologi. ALG mungkin juga
bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoetic
growth factor sekitar 40%-70% kasus memberi respon
pada ALG, meskipun sebagian respon bersifat tidak
komplit (ada defek kualitatif atau kuantitatif). Pemberian
ALG merupakan pilihan utama untuk penderita anemia
aplastik yang berumur diatas 40 tahun;
 terapi imunosupresif lain : pemberian metilprednisolon
dosis tinggi dengan atau siklosforin-A dilaporkan
memberikan hasil pada beberapa kasus, tetapi masih
memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Pernah juga
dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis
tinggi. Transplantasi sumsum tulang. Transplantasi
sumsum tulang merupakan terapi definif yang
memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat
mahal, memerlukan peralatan canggih, serta adanya
kesulitan mencari donor yang kompatibel sehingga pilihan
terapi ini sebagai pilihan pada kasus anemia aplastik berat.
Transplantasi sumsum tulang
merupakan pilihan untuk kasus yang berumur dibawah 40 tahun,
diberikan siklosforin-A untuk mengatasi graft versus host disease
(GvHD), transplantasi sumsum tulang memberikan kesembuhan
jangka panjang pada 60%-70% kasus, dengan kesembuhan
komplit. Meningkatnya jumlah penderita yang tidak cocok
dengan pendonor terjadi pada kasus transplantasi sumsum tulang
pada pasien lebih muda dari 40 tahun yang tidak mendapatkan
donor yang cocok dari saudaranya.

J. PROGNOSIS ANEMIA APLASTIK


Prognosis penyakit ini sukar diramalkan namun pada umumnya
buruk, karena seperti telah dikemukakan baik etiologi maupun
patofisiologinya sampai sekarang belum jelas. Sekitar dua pertiga pasien
meninggal sekitar 6 bulan setelah diagnosis ditegakkan, kurang dari 10-
20 % sembuh tanpa transplantasi sumsum tulang dan sepertiga pasien
meninggal akibat perdarahan dan infeksi yang tidak teratasi. Penyebab
kematian pada umumnya adalah sepsis akibat infeksi Pseudomonas dan
15
Stafilokokus. Oleh karena itu, menentukan prognosis pasien anemia
aplastik penting karena akan menentukan terapi yang sesuai.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan
prognosis pasien anemia aplastik adalah usia pasien, gambaran sumsum
tulang hiposeluler atau aseluler, gambaran darah tepi, dan ada tidaknya
infeksi sekunder. Prognosis pasien anemia aplastik disebut buruk jika
ditemukan pada usia muda, gambaran sumsum tulang aseluler dengan
pengurangan proporsi komponen mieloid dari sumsum tulang lebih dari
30% limfosit, gambaran darah tepi dengan jumlah retikulosit<
20.000/uL, disertai infeksi sekunder. Di antara hal-hal di atas yang paling
baik dijadikan sebagai pegangan dalam menentukan prognosis adalah
gambaran sumsum tulang.
Pada pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, angka
kesembuhannya adalah 70-90%, walaupun 20%-30% dari pasien yang
melakukan transplantasi sumsum tulang mengalami Graft versus Host
Disease (GvHD). Pemberian terapi imunosupresif yang intensif
memberikan peningkatan yang signifikan pada Blood Countpada 78%
pasien dalam 1 tahun. Walaupun ada resiko 36% dari pasien kambuh
setelah 2 tahun.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Anemia adalah Keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa
hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. klasifikasi Anemia dapat dibagi
menjadi 3 yaitu, makrositik, mikrositik dan normositik.
Anemia aplastik adalah anemia kegagalan sumsum tulang ditandai
adanya pansitopenia dengan sebagian besar kasus terjadi kelainan sumsum
tulang hypoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi, atau pendesakan
sumsum tulang
Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari
70% dengan perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan
perawatan harus diputuskan segera.dengan perawatan suportif saja. Ini
adalah darurat hematologi, dan perawatan harus diputuskan segera.
Obatobatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan terapi dan apakah
itu perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT.
Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi
menjadi 4 yaitu terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk
memperbaiki fungsi sumsum tulang (terapi ini untuk merangsang
pertumbuhan sumsum tulang), serta terapi definitif yang terdiri atas
pemakaian anti-lymphocyte globuline, transplantasi sumsum tulang.

B. Saran
Selaku penulis kami menyadari masih banyak hal yang salah/keliru dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami
butuhkan untuk perbaikan dari makalah ini agar kedepannya menjdi jauh
lebih baik. Sekian dan terima kasih.

17
Daftar Pustaka

Bakta, IM. Hematologi Klinik ringkas. Penerbit Buku


Kedokteran. EGC: Jakarta. 2003. P: 98-109.
Bakta, I Made, 2007, Hematologi Klinik Ringkas, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doengoes, Marilyn, E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan,
EGC,Jakarta.
Wijaya, A.S dan Puti, Y.M.2013. Keperawatan Medikal Bedah
2, Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep.
Yogyakarta: Nuha Medika
Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired
Aplastic Anemia. In: Eipsten FH, editor. New English
Medical Journal, vol.336. Massachusetts Medical
Society, 1997.
Isyanto, Maria A. Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplastik
Didapat. Sari Pediatri. 2005;7(1):26-31. Tersedia di :
https://saripediatri.org/index.php/saripediatri/article/view
/865
Deby, N.D. Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini
Anemia Aplastik. Majority, 2015;4(7):55-9. Tersedia di :
http://jukeunila.com/wpcontent/uploads/2015/11/55-60-
DEARASIDN

18

Anda mungkin juga menyukai