Anda di halaman 1dari 7

Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 dengan onset cepat,

sistematik dan mengancam nyawa. Jika reaksi tersebut hebat dapat


menimbulkan syok yang disebut syok anafilaktik. Syok
anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Untuk
itu dokter membutuhkan pengetahuan serta keterampilan dalam
pengelolaan syok anafilaktik.
Belum ada data yang akurat dalam insiden dan prevalensi
terjadinya syok anafilaktik di Indonesia. Insiden syok
anafilaktik 40-60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40
persen akibat zat kontras radiografi, dan 10-20 persen akibat
pemberian obat penisilin.
Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian
akibat reaksi anafilaksis. Rencana injeksi penisilin dan obat-
obat berpotensi menimbulkan syok anafilaksis di tempat
praktek dokter harus mempersiapkan semua kemungkinan
terburuk terjadinya syok anafilaksis paska-injeksi.

Faktor Risiko Syok Anafilaktik


Faktor risiko terjadinya syok anafilaksis antara lain usia, jenis
kelamin, rute pajanan, maupun riwayat atopi. Anafilaksis lebih
sering terjadi pada wanita dewasa (60%) yang umumnya terjadi
pada usia kurang dari 39 tahun.
Pada anak-anak usia dibawah 15 tahun, reaksi anafilaksis lebih
sering terjadi pada laki-laki. Rute pejanan parenteral biasanya
menimbulkan reaksi yang lebih berat.
Gejala Klinis Syok Anafilaktik
Gamabaran atau gejala klinis suatu reaksi anafilaksis berbeda-
beda derajatnya sesuai dengan tingkat sensitivitas seseorang,
namun pada tingkat yang berat berupa syok anafilaktik, gejala
yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan
respirasi.
Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau
berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa
detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya, makin cepat reaksi
timbul makin berat keadaan penderita.

Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat


atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan sesak
napas.
Gejala pada kulit merupakan gejala yang paling sering
ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak
mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan
sebab ini merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala
yang lebih berat berupa gangguan napas dan gangguan
sirkulasi.

Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan
harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang
lebih berat. Manifestasi dari gangguan gatrointestinal berupa
perut kram, mual, muntah sampai diare yang juga dapat
merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan
napas dan sirkulasi.

Beberapa tanda kelainan fisik yang muncul pada pasien yang


mengalami reaksi anafilaksis adalah tampak sesak, frekuensi
napas meningkat, sianosis karena edema laring dan
bronkospasme.

Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok


anafilaktik. Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair,
hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa
urtikaria dan eritema.
Tatalaksana Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik terjadi tiba-tiba dan mengancam nyawa.
Tindakan cepat gawat darurat harus dilakukan untuk
meminimalkan resiko pasien. Beberapa langkah sistematis
dapat dilakukan seperti diagram dibawah ini.

1. Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai


diangkat (diganjal dengan kursi) akan membantu menaikkan venous
return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
2. Pemberian oksigen 3-5 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan
yang amat ekstrim
3. Trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan
4. Pemasangan infus, cairan plasma expander (Dextran)
merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler
secepatnya. Jika cairan tersebut tidak tersedia, ringer laktat atau NaCl
fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan
infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal
dan stabil.
5. Adrenalin 0,3-0,5 ml dari larutan 1:1000 diberikan secara
intramuskular yang dapat diulangi 5-10 menit. Dosis ulangan
umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat.
Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat
diberikan secara intravenous setelah 0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan
dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan.
Pemberian subkutan sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena
efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada
kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
6. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila
bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg
aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
7. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah
adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok
anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinis mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum
sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan
adalah difenhidramin HCl 5-20 mg IV dan untuk golongan
kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5-10 mg IV atau
hidrokortison 100-250 mg IV.
8. Resusitasi kardio pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti
jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner
segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya.
Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu
syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang
praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency,
perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi
(resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
9. Penatalaksanaan reaksi anafilaksis secara umum
Setelah kegawatdaruratan teratasi, maka selanjutnya dilakukan
terapi stabilisasi dan work-up untuk menegakkan diagnosis
reaksi anafilaksis.
Pemeriksaan Penunjang Untuk Menegakkan Diagnosis Reaksi Anafilaksis
Beberapa gambaran khas yang menunjang diagnosis reaksi
anafilaksis dapat dilakukan dengan pemeriksaan sederhana dan
kompleks. Pemeriksaan laboratorium hitung eosinofil darah
tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE
total sering kali menunjukkan nilai normal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit (skin prick test/SPT)


untuk mencari faktor pencetus yang disebabkan oleh alergen
hirup dan makanan dapat dilakukan setelah pasiennya sehat.

Diagnosis Klinis Reaksi Anafilaksis

World Allergy Organization telah membuat beberapa kriteria


dimana reaksi anafilaksis dinyatakan sangat mungkin bila:
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang
melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria
generalisata, pruritus, dengan kemerahan, pembengkakan
bibir/lidah/uvula) an sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini :
 Gangguan respirasi (misal: sesak napas, wheezing akibat
bronkospasme, stridor, penurunan arus puncak ekspirasi/APE,
hipoksemia)
 Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
kegagalan organ target (misal:hipotonia, kolaps vaskular, sinkop,
inkontinensia)
2. Atau dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa
menit hingga beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin
(likely allergen), yaitu:
 Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit
 Gangguan respirasi
 Penurunan tekanan darah atau gejala yang terkait dengan
kegagalan organ target
 Gejala gastrointestinal yang presisten (misal: nyeri kram
abdomen, muntah)
3. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam)
setelah terpapar alergen yang diketahui (known allergen), sesuai
kriteria berikut:
 Bayi dan anak: tekanan darah sistolik rendah (menurut
umur) atau terjadi penurunan >30% dari tekanan darah sistolik semula
 Dewasa: Tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi
penurunan
 30% dari tekanan darah sistolik semula
Rencana Tindaklanjut Pasien Paska Reaksi Anafilaksis

Setelah kegawatdaruratan teratasi dan diagnosis klinis berhasil


ditegakkan maka tugas dokter selanjutnya adalah mencari
penyebab reaksi anafilaksis dan mencatatnya di rekam medis
serta memberitahukan kepada pasien dan keluarga untuk
menghindari alergen penyebab agar tidak terjadi reaksi
anafilaksis lagi.
Keluarga perlu diberitahu mengenai penyuntikan apapun
bentuknya terutama obat-obatan yang telah dilaporkan bersifat
antigen (serum, penisilin, anestesi lokal, dll) harus selalu
diwaspadai untuk timbulnya reaksi anafilaksis. Penderita yang
tergolong risiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau
penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi.
Jangan mencoba menyuntikkan obat yang sama bila
sebelumnya pernah ada riwayat alergi berapapun kecilnya.
Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.

Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai