Anda di halaman 1dari 28

QBD 1 IMMUNOLOGI

SYOK ANAFILAKTIK
Di susun oleh :
Rima Dwi Cahyati (8881190045)
Putri Equin (8881190044)
Muhammad Ariq Ridhwan (8881190043)
Shevia Dwie Choirunnisa (881190040)
Fasya Husti Alifa (8881190042)
Salma Sa’diyah (8881190047)
Syok Anafilaktik
Rima Dwi Cahyati
8881190045
Putri Equin
8881190044
Definisi
• Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari ana
yang berarti jauh dan phylaxis yang berarti
perlindungan. Anafilaksis terjadi ketika tubuh
terpapar alergen berulang.
• Anafilaksis Reaksi hipersensitivitas oleh suatu
reaksi antigen antibodi yang berlangsung sangat
cepat.
• Melibatkan aktivasi sel mast dan basofil, serta
pelepasan mediator kimiawi
• Dapat menyebabkan bronkhokontriksi, edema
jaringan, dan kolaps kardiovaskular hingga
menyebabkan kematian.
Dasar Terjadinya
1. Aktivasi sel Th2,
- Allergen yang ditangkap oleh APC dan difagosit,
dipresentasikan ke sel Th2
- Sel Th2 menghasilkan beberapa sitokin yang salah
satunya IL-4 untuk memproduksi IgE

2. Sensitisasi sel mast, IgE kemudian akan berikatan


dengan sel mast. Hal ini disebabkan karena sel mast
mengekspresikan suatu reseptor spesifik dengan afinitas
tinggi yang dapat mengikat IgE.

3. Aktivasi sel mast, seseorang yang terpajan oleh


allergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi, kemudian
Kembali terpajan dan terjadi cross-link antara allergen
dan antibody, maka akan terjadi aktivasi sel mast yaitu
Mediator:
Dasar Terjadinya
1. Amina vasoaktif,
histamin menyebabkan
vasodilatasi,
peningkatan
permeabilitas vaskuler,
peningkatan sekresi
lendirr
2. Mediator lipid,
prostaglandin dan
leukotrien
3. Sitokin, reaksi fase
lambat

Anafilaktik syok: penurunan


tekanan darah, kesulitan
bernapas
Penyebab Terjadinya
Penyebab terjadinya bisa hal-hal seperti makanan, obat-obatan,
kegiatan fisik, latex, dan bisa/sengatan dari serangga.
QBD 1 IMUNOLOGI
no 4 dan 5
Oleh :
Muhammad Ariq Ridhwan
Shevia Dwie Choirunnisa
Apa Tanda-Tanda Klinisnya?
• Terjadi pada kulit, subkutan, mukosa (di
laporkan terjadi 80-90% kasus) yaitu
– Kemerahan, gatal, urtikaria, angioedema, pilor
erection
– Gatal di periorbital, eritema dan edema, eritema
konjunctiva, mata berair
– Gatal pada bibir, lidah, palatum, kanalis auditori
eksternus, bengkak di bibir, lidah, dan uvula.
– Gatal di genital, telapak tangan dan kaki.
• Terjadi pada system respirasi (di laporkan
terjadi 70% kasus) yaitu
– Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea,
pilek
– Gatal pada tenggorokan, disfonia, suara serak,
stridor, batuk kering.dry staccato cough
– Peningkatan laju nafas, susah bernafas, dada
terasa terikat, wheezing, sianosis, gagal nafas.
– Edema laring, bronkospasme dan edema bronkus
• Terjadi pada gastrointestinal (di laporkan
terjadi 45% kasus) yaitu
– Nyeri abdomen, mual, muntah, diare,disfagia
• Terjadi pada sistem kardiovaskuler (di
laporkan terjadi 45% kasus) yaitu
– Nyeri dada, takikardia, bradikardia (jarang),
palpitasi, hipotensi, merasa ingin jatuh, henti
jantung.
APA TINDAKAN SAUDARA JIKA
MENGHADAPI KASUS INI?
• 1) Memiliki protokol darurat tertulis yang dipasang untuk pengenalan dan
pengobatan anafilaksis dan latih protokol secara teratur

• 2) Mengidentifikasi dan menghapus paparan ke pemicu yang diketahui atau


dicurigai
• 3) Menilai ABC yaitu sirkulasi, jalan napas, pernapasan, serta status mental,
kulit, dan berat badan (massa)
• 4) Panggilan bantuan (tim medis) jika tersedia
• 5) Suntikkan epinefrin (adrenalin) secara intramuskular di aspek anterolateral
tengah paha, 0,01 mg / kg larutan dengan perbandingan 1: 1.000 (1 mg / mL),
maksimum 0,5 mg (dewasa) atau 0,3 mg (anak ) catat waktu dosis dan ulangi
dalam 5-15 menit, jika perlu. Kebanyakan pasien merespon 1 dosis atau 2 dosis

• 6) Letakkan pasien telentang, atau dalam posisi nyaman jika ada gangguan
pernapasan atau muntah, meninggikan ekstremitas atau tungkai bawah
• 7) Berikan oksigen tambahan aliran tinggi (6-8 L / menit) dengan masker wajah
atau saluran napas orofaring

• 8) Buat akses intravena menggunakan jarum atau kateter dengan kanula lubang
lebar (ukuran 14 atau 16 untuk dewasa). Jika diindikasikan, berikan 1-2 liter
saline 0,9% (isotonik) dengan cepat. (mis. 5-10 mL / kg dalam 5-10 menit
pertama dewasa; atau 10 mL / kg untuk anak-anak)
• 9) Jika diindikasikan kapan saja, bersiaplah untuk memulai
resusitasi kardiopulmoner dengan kompresi dada terus
menerus
• 10) Pada interval yang sering dan teratur, pantau tekanan
darah, frekuensi detak jantung, status pernapasan dan
oksigenasi serta dapatkan ektrokardiogram (pemantauan
harus dilakukan terus-menerus)
Daftar rujukan

• Alvarez-Perea A, Tanno LK, Baeza ML.


How to manage anaphylaxis in primary
care? Clinical and Translational
Allergy2017. 7:45
• World Allergy Organization Guidelines for the
Assessment and Management of Anaphylaxis.
World Allergy Organization Journal, 2010;
4(2):13-37, February 2011
QBD 6-7
Fasya Husti Alifa
(8881190042)
Salma Sa’diyah
(8881190047)
06
Terapi Medis pada Pasien
Anafilaktik Syok
Penanganan
Anafilaktik Syok
Pemberian Epinefrin

• Epinefrin memberikan efek vasokonstriktor, sehingga mengembalikan edema mukosa

saluran napas dan hipotensi.(1) Pemberiannya pada pasien anafilaksis syok bersifat segera.

• Injeksi epinefrin dapat diulangi sekali atau dua kali dengan interval 5-15 menit pada pasien

yang tidak merespon dosis pertama atau pada anafilaksis bifasik.(1)

• Pemberian dosis terapi epinefrin, seperti yang digunakan dalam anafilaksis, dapat

menyebabkan efek samping, termasuk kecemasan sementara, sakit kepala, pusing, tremor,

pucat, dan palpitasi.


Antihistamin dan kortikosteroid
● Antihistamin dan kortikosteroid merupakan lini kedua setelah
epinefrin diberikan.
● Pemberian antihistamin sangat berperan dalam penanganan
simptomatik seperti urtikaria, angioedema (kemerahan), ataupun
pruritus (gatal). Kombinasi dari H1 dan H2 antagonis akan memiliki
hasil yang lebih efektif dalam penanganan manifestasi pada kulit.(3)
● Kortikosteroid digunakan untuk mencegah reaksi berkepanjangan
ataupun reaksi bifasik
● Kedua obat ini bertujuan untuk mencegah reaksi hipersensitifitas
lanjutan, bukan sebagai tatalaksana utama dari anafilaksis.
Pemberian Oksigen dan Cairan
● Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan atau hipoksemia,
dianjurkan pemberian oksigen. Agonis adrenergik beta-2 yang dihirup,
seperti salbutamol atau terbutalin, dapat berperan dalam anafilaksis
dengan meredakan bronkospasme.
● Resusitasi cairan harus dilakukan (10-20ml/kg) apabila kondisi
hipotensi tidak teratasi dengan pemberian epinephrine. Vasopresor
seperti noradrenalin, vasopressin, atau metaraminol dibutuhkan untuk
mengatasi vasodilatasi.
1. Alvarez-Perea A, Tanno LK, Baeza ML.
How to manage anaphylaxis in primary
care? Clinical and Translational Allergy
2017. 7:45
2. World Allergy Organization Guidelines
for the Assessment and Management
of Anaphylaxis. World Allergy
Referensi Organization Journal, 2010; 4(2):13-37,
February 2011
3. Shandy PP, Saturti TIA. Reaksi
Anafilaksis. Denpasar: Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana;
2016.
07
Menilai Keberhasilan Terapi
pada Pasien Anafilaktik Syok
Keberhasilan terapi
Untuk melihat apakah terapi medis yang telah diberikan berhasil atau tidak yaitu dengan
melihat apakah gejala-gejala dari anafilaktik syok tersebut sudah mulai membaik, berupa:
1. Kestabilan kondisi pasien
· Pernapasan menjadi lebih lancar dan tidak sesak
· Tekanan darah kembali pada rentang normal
· Kesadaran mulai kembali
2. Meredakan gejala
· Ruam pada tubuh mulai pudar
· Bengkak pada mata, bibir, lidah dan tenggorokan mulai mereda
3. Mencegah berulangnya anafilaktik syok
Pencegahan anafilaktik syok untuk kedepannya dapat dilakukan dengan mendeteksi
alergen dan proteksi diri pasien dari kemungkinan untuk terkena alergen selanjutnya.
● Pastikan pasien setidaknya selama 1-72 jam tidak muncul kembali gejala
anafilaktik atau yang dapat disebut sebagai fase bifasik.
● Sekitar 1-20% kasus yang dilaporkan muncul fase bifasik pada anafilaksis.
Fase ini muncul diakibatkan adanya keterlambatan pemberian epinefrin.
(1) Keterlambatan pemberian epinefrin pun juga dapat mengakibatkan
kematian, ensefalopati karena hipoksia dan / atau iskemia. (2)
● Pemberian dosis epinefrin yang tidak tepat juga dapat mengakibatkan
kegagalan dari terapi, yaitu biasanya overdosis atau pemberian bolus
intravena, epinefrin dapat menyebabkan aritmia ventrikel, edema paru,
hipertensi maligna, dan perdarahan intracranial. (3)
Referensi 1. Shandy PP, Saturti TIA. Reaksi Anafilaksis. Denpasar:
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2016.
2. World Allergy Organization Guidelines for the
Assessment and Management of Anaphylaxis.
World Allergy Organization Journal, 2010; 4(2):13-
37, February 2011
3. Alvarez-Perea A, Tanno LK, Baeza ML. How to
manage anaphylaxis in primary care? Clinical and
Translational Allergy 2017. 7:45

Anda mungkin juga menyukai