Anda di halaman 1dari 32

Syok anafilaktik atau anafilaksis adalah reaksi alergi yang tergolong berat karena dapat

mengancam nyawa penderitanya. Reaksi alergi ini dapat berkembang dengan cepat. Kondisi ini
diawali dengan gejala-gejala umum, seperti mual, muntah, dan rasa sakit di daerah perut.

Syok anafilaktik umumnya muncul dalam beberapa menit setelah penderita terpapar oleh
alergen, namun juga dapat muncul setelah beberapa jam sehingga penyebab berikut gejalanya
perlu dikenali.

Penyebab Syok Anafilaktik


Alergen adalah apa pun benda yang menjadi penyebab terjadinya syok anafilaktik. Reaksi alergi
berlebih ini adalah bagaimana sistem imun tubuh merespons zat-zat yang dianggap berbahaya
oleh tubuh secara alamiah. Beberapa alergen yang dapat memicu reaksi syok anafilaktik di
antaranya:
 Makanan, seperti hidangan laut, telur, susu, atau buah-buahan.

 Sengatan serangga, seperti lebah atau tawon.

 Kacang-kacangan, seperti kacang tanah, kacang mede, kacang almond, dan lain-lain.
 Obat-obatan tertentu, seperti antibiotik,

 Lain-lain, seperti karet lateks.


Penderita penyakit asma atau orang yang memiliki kelainan kulit menahun, seperti atopik
dermatitis, lebih berisiko terkena syok anafilaktik. Terdapat juga kasus anafilaktik idiopati, yaitu
reaksi alergi yang tidak dapat diketahui penyebabnya.

Gejala Syok Anafilaktik


Saat tubuh terpapar alergen, sistem imun tubuh Anda akan mengeluarkan berbagai zat kimia,
seperti histamin. Inilah yang menyebabkan munculnya reaksi syok anafilaktik. Gejala syok
anafilaktik lain yang patut diperhatikan selain yang sudah disebutkan di atas adalah:
 Ruam merah pada kulit

 Bentol yang gatal

 Pembengkakan pada mata, bibir, tangan, dan kaki

 Pembengkakan pada mulut, lidah, atau tenggorokan

 Pusing atau pingsan

 Mengi
Temui dokter jika Anda mengalami gejala-gejala ini setelah mengonsumsi atau terpapar
substansi penyebab reaksi alergi.

Diagnosis dan Klasifikasi Syok Anafilaktik


Syok anafilaktik memiliki beberapa klasifikasi yang terbagi berdasarkan alergen, reaksi yang
ditimbulkan, serta periode munculnya reaksi alergi. Tiga klasifikasi utama syok anafilaktik
adalah:
 Syok anafilaktik yang berhubungan dengan sistem vasodilatasi. Reaksi ini menyebabkan
rendahnya tekanan darah hingga 30 persen dari batas bawah tekanan darah normal penderitanya.

 Anafilaktik bifasik adalah reaksi alergi yang muncul kembali setelah reaksi alergi pertama
muncul pada penderita tanpa melalui paparan dari alergen. Reaksi kedua umumnya muncul
dalam periode waktu 72 jam setelah reaksi pertama.

 Pseudo anafilaktik atau reaksi anafilaktoid atau nonimun anafilaktik adalah jenis anafilaksis yang
tidak melibatkan reaksi alergi melainkan degranulasi pada sel mast penghasil zat kimia seperti
histamin.
Diagnosis syok anafilaktik diperoleh berdasarkan gejala dan riwayat alergi pada penderitanya.
Dokter juga akan melakukan beberapa tes alergi pada penderita sebelum menentukan diagnosis
syok anafilaktik. Beberapa tes yang mungkin dilakukan adalah tes alergi pada kulit dengan
menggunakan alat uji tempel, menyerupai sebuah koyo, untuk mengetahui jenis alergen
penyebab reaksi alergi. Alat uji tempel umumnya digunakan untuk mengetahui jenis makanan,
racun, dan antibiotik apa yang menimbulkan reaksi alergi. Pemeriksaan alergi juga bisa
dilakukan dengan cara tes darah.

Pengobatan Syok Anafilaktik


Salah satu pengobatan yang diberikan pada pasien syok anafilaktik adalah suntikan adrenalin.
Suntikan adrenalin harus segera diberikan jika reaksi alergi disertai gejala seperti kesulitan
bernapas dan kehilangan kesadaran. Pastikan untuk memindahkan sumber alergi, seperti sengat
lebah, sebelum memberikan pertolongan lanjutan kepada penderita. Alat suntik hendaknya
didiamkan selama 5-10 detik setelah suntikan adrenalin diberikan. Berikan dosis suntikan
adrenalin kedua jika kondisi pasien tidak tampak membaik setelah 5-10 menit pertama. Pelajari
dan baca instruksi pemberian suntikan adrenalin sebagai tindakan pertolongan pertama sebelum
memberikan tindakan. Suntikan adrenalin dapat membantu mengurangi pembengkakan,
melancarkan saluran udara sehingga memudahkan pernapasan, serta meningkatkan tekanan
darah pasien. Pada pasien dengan henti nafas dan henti jantung, petugas kesehatan akan
melakukan resusitasi jantung paru (CPR).
Beberapa posisi juga dapat diterapkan untuk membantu meningkatkan kondisi pasien paska
pemberian suntikan adrenalin. Posisi telentang dengan kaki terangkat dapat membantu
melancarkan aliran darah ke kepala dan jantung. Pada perempuan hamil, pasien dapat berbaring
dengan bertumpu pada tubuh bagian kiri untuk menjaga kelancaran aliran darah. Segera hubungi
rumah sakit setelah suntikan adrenalin diberikan untuk mendapatkan penanganan medis
selanjutnya.

Obat-obatan seperti kortikosteroid dan antihistamin dapat diberikan setelah pasien


menyelesaikan perawatan di rumah sakit untuk mengurangi serta mencegah kembalinya gejala
syok anafilaktik. Pasien juga dapat diberikan suntikan adrenalin sebagai tindakan pengamanan
darurat selama menjadi pasien rawat jalan pasca perawatan.

Pencegahan Syok Anafilaktik


Syok anafilaktik dapat berujung kepada kematian yang disebabkan oleh terhentinya detak
jantung dan pernapasan. Pengenalan gejala dan mempelajari tindakan pencegahan dapat
membantu pasien terhindar dari risiko kematian akibat syok anafilaktik. Kenali alergen Anda
dengan melakukan tes alergi di rumah sakit atau klinik terdekat. Buat dan bawalah selalu obat-
obatan serta catatan kecil berisi daftar alergen Anda dan apa yang harus dilakukan oleh orang di
sekitar Anda, termasuk dokter Anda, jika serangan syok anafilaktik terjadi. Selalu perbarui
persediaan obat-obatan Anda agar terhindar dari kekurangan obat saat situasi darurat terjadi.
Hindari juga makanan atau pemicu alergi lain yang dapat menimbulkan reaksi alergi dengan cara
membaca label keterangan pada kemasan makanan, menggunakan losion antiserangga, dan
mengonsumsi antibiotik jenis lain yang tidak menyebabkan alergi.

Syok Anafilaktik Penatalaksanaan Syok Anafilaktik Jika seseorang sensitif terhadap suatu
antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi
hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast
sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin, dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia
relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas
kapiler menyebabkan udem. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme yang menurunkan
ventilasi. Syok Anafilaktik Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang
diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras. Sengatan serangga seperti lebah juga
dapat menyebabkan syok pada orang yang rentan. Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada
keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat
emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini
diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat
organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat
kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah: Segera
baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: Airway (membuka
jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk
penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan
buka mulut. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-
tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang
disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan,
juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian
terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol
resusitasi jantung paru. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita
dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang
tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus
kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian
adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis
awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus. Dapat diberikan
kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5–10 mg intravena sebagai
terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid
tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan
kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya,
pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma
protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. Dalam keadaan gawat, sangat tidak
bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah
harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus
dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih
tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi
harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah
mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam
untuk observasi. Pencegahan Syok Anafilaktik Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah
terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada
beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain: Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi
yang kuat dan tepat. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang
mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap
kemungkinan terjadinya syok anafilaktik. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada
umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti
penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan
mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1–3% dibandingkan
dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif. Yang paling utama adalah
harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Mempertahankan
Suhu Tubuh Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk
mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh
penderita karena akan sangat berbahaya. Pemberian Cairan Jangan memberikan minum kepada
penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi
cairan ke dalam paru. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius
dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak). Penderita hanya boleh minum bila
penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila
penderita menjadi mual atau muntah. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna
untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang
diberikan harus seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis
cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar.
Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan
elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan
kristaloid memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila
menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang
hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan
ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap. Pemantauan tekanan vena sentral penting
untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan. Pada penanggulangan syok kardiogenik
harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan
oksigenasi darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri. Pemberian cairan pada syok septik
harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ
majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa
pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah. Kesimpulan
Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala
syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita
pada saat-saat/menit-menit pertama penderita mengalami syok. Daftar Pustaka Franklin C M,
Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed,
Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders
Co. 1995 ; 441 – 499. Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life
Support Course for Physicians. USA, 1993 ; 75 – 94 Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and
Anaphylactoid Reactions. Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of
Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 – 1002. Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis
on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah: Indonesian Symposium On Shock & Critical Care.
Jakarta-Indonesia, August 30 – September 1, 1996 ; 1 – 4. Zimmerman J L, Taylor R W,
Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of Shock, dalam buku: Fundamental
Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997. Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E
C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.
Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42. Bartholomeusz L,
Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap


copyaskep
Tempat Berbagi Askep
Lanjut

 BERANDA

POS KOMENTAR

 ASKEP
 BUKAN MATERI BIASA
 GA-DAR

← ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MYASTHENIA GRAVIS


ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TUMOR OTAK →
SYOK ANAFILAKTIK
10 OKTOBER 2011 3 KOMENTAR

DEFINISI
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam
hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan
dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas
tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh
adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu
sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa
adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.
EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-
3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian
terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan
mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus
anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan
prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering
terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai
risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-
anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur pemberian obat,
riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis
adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-
bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-
obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan
otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan
fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
PATOFISIOLOGIS
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai
timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag
segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik
untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada
kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin
dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan
leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang
dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot
polos. Platelet activating factor(PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume
dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti
dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia
ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat
yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai
24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan
alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat.
Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering
dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti
hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam
pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme
dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-
gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang
sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai
kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia,
keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat
disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target,
antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing,
dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal
pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat
dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan
hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan
telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan
sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari
pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna
mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema,
gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi oksigen, peningkatan
tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah
atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus
memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi
napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu
juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan
pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-
tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan
aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri
atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi
peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral, peningkatan kadar enzim hati,
dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang
terjadi akibat iskemia atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi
pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar
adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan
metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis
terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal,
dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung
eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai
normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-
immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji
gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji
cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun
uji intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi
hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan
alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam) dengan terlibatnya
kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik
pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya
bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory
compromise(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal
yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit
hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur)
atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90
mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
DIAGNOSA BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari anafilaksis
mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini
terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan
berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang
berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok
anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid
syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat dan
berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi
sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti
anafilaktik.Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran.
Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada
anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat,
berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi
saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris,
tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun
hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas
seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah
pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan
asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang
diberi makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas mengi (wheezing).
Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada
pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang
hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.
PENATALAKSANAAN
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun parenteral, maka tindakan
pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang
diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi
dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk
memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas
agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah
tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Breathing support, segera memberikan
bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total
atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga
harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada
arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaksis. Obat ini
berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan
meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain
yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin
selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung
sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga
merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari
pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk
anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan
perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya pada saat syok
(mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan
sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi
intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan
kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10
mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama
beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya
perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang
lain dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering dimanfaatkan adalah
antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses
vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan
cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin.
Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus
diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin
pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan
adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata
laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6
jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang
biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap
6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat
diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau
NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin,
salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99%
diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor melalui cairan infus
intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4
mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis
maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan
dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan
cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume
plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan
volume plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. Cairan
intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma
berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat
meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi
waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi,
penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut
tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring,
gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan.
Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.2,9,12
Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh
obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai
riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita
dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi
sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan, intradermal,
intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi
yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status
yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan
alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta
adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan
jangka panjang.
Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang
menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik
yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi
kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan menentukan tingkat
keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif
kronis,asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE
Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.
KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka
mortalitas yang sangat tinggi.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau
racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang
mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi
berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan
laboratorium diperlukan dan sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa
pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok
anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi
anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan
resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik
penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah
sakit.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh
obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaidah kegawat daruratan, reaksi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian.
Terkait

SEPSISdalam "GA-DAR"

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN COMBUSTIOdalam "ASKEP"

ASAM BASAdalam "BUKAN MATERI BIASA"


FILED UNDER GA-DAR TAGGED WITH ADRENALIN, ANAFILAKTIK, ANAFILAKTIK SYOK, SYOK, SYOK ANAFILAKSIS

3 Responses to SYOK ANAFILAKTIK

1. Ridwan Permana says:

4 Juni 2012 pukul 16:28

terima kasih atas informasinya….. =D

Balas
2. mataayu703 says:

31 Desember 2012 pukul 14:59

Reblogged this on Berbagi Itu Indah.

Balas

3. ave says:

12 April 2013 pukul 20:40

boleh tahu daftar pustakanya? diambil dari mana ya? terima kasih…

Balas

Tinggalkan Balasan

Tulisan Terakhir
 ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN TRAUMA SPINAL
 ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN KELAINAN JANTUNG BAWAAN VENTRIKEL SEPTAL DEFEK ( VSD )
 PENINGKATAN TEKANAN INTRA KRANIAL ( PTIK )
 ASAM BASA
 CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE)

Arsip

Arsip

Kategori

Kategori
Awan Tag

acidosis alkalosis anafilaktik analisa data appendik asamasetilcolin askep Asuhan


keperawatan basa Cidera kepalacombustio cvd definisi askep demam demam berdarahDengue
haemorhagic fever DHF diagnosa keperawatanelectrical burn evaluasi fraktur gangguan imunologi gigitan
serangga globuler hot infark infeksi usus inflamasi vena iritasi vena jaringan panas kelemahan keracunan luka bakar metoda
askep miastenia gravis miastenia krisis myastenianeuromuscular nyamuk aedes

aegypty osserman otak panas patah tulang


P3K PEMERIKSAAN PASIEN SAKIT
KERAS pemfis penanganan kegawatan pengertian askep penurunan kesadaranperadangan vena perdarahan pH Plebitis praktik
keperawatanprostigmin sakit keras sarkoma Sepsis serangan mendadakstroke synovial. trauma syok syok anafilaksis Syok
septikSystemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) thermal burn tia tindakan keperawatan transmisi trauma trauma pada
otak traumatic usus buntu wanita 15 tahun

Pintu Belakang
 Daftar
 Masuk
 RSS Entri
 RSS Komentar
 WordPress.com

 Ikuti

yansri
Smile! You’re at the best WordPress.com site ever
Navigation
Skip to content
 Home
 Etika
 Materi

PEMERIKSAAN TANDA-TANDA VITAL /


EMPAT GEJALA KARDINAL
Posted on August 15, 2013 by banjarkebon

PEDOMAN UNTUK MENGUKUR TANDA VITAL ( TTV )

1. Pedoman untuk mengukur tanda vital


2. Pengertian tanda-tanda vital

Tanda-tanda vital adalah ukuran dari berbagai fisiologi statistik, sering diambil oleh profesional
kesehatan, dalam rangka untuk menilai fungsi tubuh yang paling dasar.

Pemeriksaan tanda vital terdiri atas pemeriksaan nadi, pernapasan, tekanan darah, dan suhu.
Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dalam menilai fisiologis dari sistem tubuh secara
keseluruhan.

1. Pedoman untuk mengukur tanda vital

1) Pedoman bagi perawat dalam pengukuran tanda vital

 Perawat yang merawat klien bertanggung jawab terhadap pengkajian TTV


 Peralatan harus berfungsi dan sesuai
 Peralatan harus dipilih berdasarkan kondisi dan karakteristik klien
 Perawat mengetahui batas normal Tanda-Tanda Vital
 Perawat mengetahui riwayat medis pasien
 Perawat mengontrol dan meminimalkan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi TTV
 Perawat menggunakan pendekatan yang teratur dan sistematik ketika mengukur TTV
 Cara pendekatan pada klien dapat mengubah tanda vital
 Perawat berkolaborasi dengan dokter untuk menentukan frekwensi pengkajian TTV
 Perawat menganalisis hasil pengukuran vital
 Perawat memeriksa dan mengkomunikasikan perubahan yang signifikan

2) Macam-macam tanda vital

Ada empat tanda-tanda vital yang standar dalam sebagian besar pengaturan medis:

 Nadi (Pulse rate/Heart rate/HR


 Tekanan darah (blood pressure/BP)
 Pernafasan (Respiration rate/RR)
 Suhu Tubuh (body temperature)

1. Tujuan pemeriksaan tanda vital

Pengkajian/pemeriksaan tanda vital yang dilaksanakan oleh perawat digunakan untuk memantau
perkembangan pasien saat dirawat. Tindakkan ini bukan hanya sekedar rutinitas perawat tetapi
merupakkan tindakkan pengawasan terhadap perubahan/gangguan sistem tubuh selama dirawat.
Pada prinsipnya pemeriksaan tanda vital tidak selalu sama antara pasien satu dengan yang lainya.
Tingkat frekuensi pengukuran akan lebih sering atau lebih ketat pada pasien dengan kegawat
daruratan di banding dengan pasien yang tidak mengalami kegawat daruratan/kritis.

PEMERIKSAAN SUHU TUBUH

BAHAN PEMBELAJARAN 2

PEMERIKSAAN SUHU TUBUH

2. Pemeriksaan suhu tubuh

1. Pengertian pengukuran suhu tubuh

Suhu tubuh adalah keseimbangan antara panas yang diperoleh dan panas yang hilang. Nilai normal
suhu tubuh antara 35,8°-37° C. Setiap peningkatan suhu tubuh 1°C terjadi peningkatan frekuensi
nadi sekitar 20 kali denyut per menit. Pemeriksaan suhu merupakan salah satu pemeriksaan yang
digunakan untuk menilai kondisi metabolism dalam tubuh, dimana tubuh menghasilkan panas secara
kimiawi melalui metabolism darah.

1. Tujuan pengukuran suhu tubuh

 Mengetahui suhu badan klien untuk menentukan tindakan dan membantu menegakkan
diagnose.
 Untuk menilai keseimbangan suhu tubuh

1. Macam – macam pengukuran suhu

 Suhu oral

Mengukur suhu badan dengan menggunakan thermometer yang ditempatkan di mulut.

 Suhu aksila

Mengukur suhu badan dengan menggunakan thermometer yang ditempatkan di ketiak

 Suhu rektal
Mengukur suhu badan dengan menggunakan thermometer yang ditempatkan di rektal/anus.

1. Pembuangan atau pengeluaran panas dapat terjadi melalui berbagai proses di antaranya:

1) Radiasi, yaitu proses penyebaran panas melalui gelombang elektromagnetik

2) Konveksi, yaitu proses penyebaran panas karena pergeseran antara daerah yang kepadatannya
tidak sama seperti dari tubuh pada udara dibngin yang bergerak atau pada air di kolam renang

3) Evaporsi, yaitu proses perubahan cairan menjadi uap

4) Konduksi, yaitu proses pemindahan panas pada objek lain dengan kontak langsung tanpa gerakan
yang jelas, seperti bersentuhan dengan permukaan yang dingin, dan lain lain.

PEMERIKSAAN PERNAFASAN

4. Pemeriksaan nafas

Pengertian penghitungan nafas, Pernapasan yang normal dapat diobservasi dari frekuensi per menit,
kedalaman, keteraturan dan tanda-tanda yang menyertai, seperti bunyi napas dan bau napas. Dalam
keadaan istirahat, pernapasan orang dewasa normal berkisar 12-20 kali dalam 1 menit. Setiap orang
dapat mengendalikan pernapasan secara individual dalam waktu tertentu, misalnya pada waktu
berenang, bernyanyi, berpidato, lari cepat, dan sebagainya. Dalam kondisi normal, pernapasan
berlangsung secara otomatis. Frekuensi Pernafasan Normal Bayi baru lahir 40 – 60 x/menit.

• 1 – 11 bulan 30x/menit

2 tahun 25x/menit

 • 4 – 12 tahun 19 – 23x/menit
 • 14 – 18 tahun 16 – 18x/menit
 • Dewasa 12 – 20x/menit
 • Lansia (>65 tahun ) Jumlah respirasi meningkat bertahap

1. b. Tujuan penghitungan nafas

 Mengetahui keadaan umum pasien


 Mengetahui jumlah dan sifat pernapasan dalam 1 menit
 Mengikuti perkembangan penyakit
 Membantu menegakkan diagnose

1. c. Anatomi dan fisiologi pernafasan

Saluran pernafasan (conducting airway) : Berfungsi sebagai saluran udara ke daerah pertukaran gas.
Terdiri dari hidung, pharynx, larynx, brokhus, bronkhiolus terminalis. Saluran pernafasan ini dilapisi
oleh membran mukosa bersilia yang berfungsi sebagai filter (penyaring), menghangatkan dan
melembabkan (humidifikasi). Saluran Pernafasan Bagian Atas :
Hidung :
Terdiri atas nares anterior yang memuat kelenjar sebaseus dgn ditutupi bulu kasar.
Fungsi dari hidung: pengatur kondisi udara (air conditioning): Fungsi ini perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk kedalam alveolus paru.
Fungsi ini dilakukan dengan cara: mengatur kelembapan, mengatur suhu, penyaring dan pelindung

Faring :
Merupakan jalan persimpangan antara saluran pencernaan dan saluran pernafasan, dan merupakan
sebuah pipa yang memiliki otot, terletak di belakang nasofaring (dibelakang hidung), orofaring
(dibelakang mulut) dan laringofaring
Larynx :

Merupakan bagian yang terbawah dari saluran nafas bagian atas.


Terdapat pita suara dan epiglotis yang merupakan katup tulang rawan yang bertugas membantu
menutup laring pada saat menelan.
Fungsi dari larynx adalah untuk fonasi dan pelindung saluran pernafasan (mencegah aspirasi)

Trakhe :
Trakhea mempunyai tulang rawan.Tempat percabangan trakhea menjadi cabang utama bronkhus kiri
dan cabang utama bronkhus kanan disebut karina
Bronkus:

Bronkhus mempunyai tulang rawan datar irreguler otot polos dibronkhus tersusun secara spiral.
Bronkhus utama kanan lebih pendek, lebih besar dan hampir vertikal. Bronkhus utama kiri lebih
panjang, sempit dan sudut antara trekhea dan bronkhus lebih lebar.
Bronkhiolus :
Merupakan cabang terkecil dari bronkhus, tidak mempunyai tulang rawan pada dindingnya tetapi
dikelilingi oleh otot polos
Alveoli :
Fungsi alveoli sebagai saluran akhir dan untuk melakukan pertukaran gas (O2 dan CO2 ).
Paru-paru :
Paru terletak disebelah dalam dan dilindungi oleh rongga thoraks. Kerangka tulang ini terdiri dari
sternum dan kosta dianterior serta skapula, kolumna vertebralis dan kosta diposterior

1. d. Faktor-faktor yang mempengaruhi pernafasan

Ada beberapa factor yang dapat mempengaruhi pernapasan, yaitu :

1. Kondisi kesehatan yang menyebabkan gangguan pada organ napas dan berhubungan dengan
pernapasan, misalnya infeksi pada paru-paru.
2. Pemakaian obat-obatan, misalnya obat penenang, narkotika, analgetik, yang dapat
menurunkan kedalaman pernapasan. Kecepatan pernapasan berhubungan dengan kecepatan
denyut nadi dengan perbandingan satu kali bernapas lebih kurang 4 kali denyut nadi. Dalam
keadaan suhu tubuh meningkat, kecepatan bernapas juga meningkat karena tubuh berupaya
melepaskan kelebihan panas. Pusat pernapasan berada pada medulla oblongata pada
tengkorak. Apabila tekanan pada tengkorak kepala bertambah akan mempengaruhi
pernapasan menjadi tidak teratur. Dalam keadaan anemia, ketika terjadi penurunan jumlah
sel-sel darah merah daya angkut oksigen dalam darah berkurang untuk mengompensasi
jumlah pemasukan oksigen ke dalam tubuh maka frekuensi pernapasan bertambah cepat.
3. Olahraga
Olahraga meningkatkan frekuensi dan kedalaman untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan
menambah oksigen
4. Nyeri Akut

Sebagai akibat stimulasi simpatik sehingga meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernafasan. Klien
dapat menghambat pergerakkan dada bila ada nyeri pada area dada.

1. Usia (secara normal kecepatan berbeda)


2. Ansietas
3. Anemia
4. Posisi tubuh
5. Medikasi
6. Cedera batang otak

1. e. Indikasi penghitungan nafas

BAHAN PEMBELAJARAN 6

PEMERIKSAAN NADI

1. Pemeriksaan nadi.
1. a. Pengertian penghitungan nadi

Denyut nadi adalah pelebaran dan recoil arteri elastis berirama pada saat ventrikel memompakan
darah kedalam sirkulasi. Memeriksa denyut nadi merupakan indicator menilai sistem kardiovaskular.
Denyut nadi dapat diperiksa dengan mudah menggunakan jari tangan (palpasi) atau dengan alat
elektronik yang sederhana maupun canggih. Pemeriksaan denyut nadi ini dilakukan pada daerah
arteri radialis pergelangan tangan, arteri brachialis pada siku bagian dalam, arteri karotis pada leher,
arteri temporalis, arteri femoralis, arteri dorsalis pedis, atau arteri frontalis pada ubun bayi, guna
mengetahui denyut nadi (irama, frekuensi) dan menilai kemampuan fungsi kardiovaskular.

1. b. Anatomi dan fisiologi jantung

1. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi nadi

1. d. Tempat/lokasi menghitung nadi

Pemeriksaan denyut nadi ini dilakukan pada daerah

 arteri radialis pergelangan tangan


 arteri brachialis pada siku bagian dalam
 arteri karotis pada leher
 arteri temporalis
 arteri femoralis
 arteri dorsalis pedis
 arteri frontalis pada ubun bayi
1. e. Tujuan penghitungan nadi
1. a. Menghitung denyut nadi dalam satu menit
2. b. Mengetahui keadaan umum klien
3. c. Mengetahui integritas system kardiovaskuler
4. d. Mengetahui perkembangan jalannya penyakit

1. e. Indikasi penghitungan nadi

BAHAN PEMBELAJARAN 8

PEMERIKSAAN TEKANAN DARAH

1. Pemeriksaan tekanan darah


1. a. Pengertian pengukuran tekanan darah

Tekanan darah adalah daya dorong ke semua arah pada seluruh permukaan yang tertutup pada
dinding bagian dalam jantung darah . Pemeriksaan tekanan darah merupakan indicator penting dalam
menilai fungsi kardiovaskular. Tekanan maksimum pada dinding arteria yang terjadi ketika bilik kiri
jantung menyemprotkan darah melalui klep aortic yang terbuka ke dalam aorta disebut sebagai
tekanan sistolik. Pada titik terendah, tekanan yang konsisten terdapat di dinding arteri

1. b. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah


1. Curah jantung

Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung (ditentukan berdasarkan isi sekuncup dan
frekuensi jantungnya).

1. Tekanan Perifer terhadap tekanan darah

Tekanan darah berbanding terbalik dengan tahanan dalam pembuluh. Tahanan perifer memiliki
beberapa faktor penentu :

1) Viskositas darah.

Semakin banyak kandungan protein dan sel darah dalam plasma, semakin besar tahanan terhadap
aliran darah. Peningkatan hematokrit menyebabkan peningkatan viskositas : pada anemia, kandungan
hematokrit dan viskositas berkurang.

2) Panjang pembuluh

Semakin panjang pembuluh, semakin besar tahanan terhadap aliran darah.

3) Radius pembuluh

Tahanan perifer berbanding terbalik dengan radius pembuluh sampai pangkat keempatnya

a) Jika radius pembuluh digandakan seperti yang terjadi pada fase dilatasi, maka aliran darah
akan meningkat enambelas kali lipat. Tekanan darah akan turun.
b) Jika radius pembuluh dibagi dua, seperti yang terjadi pada vasokontriksi, maka tahahan
terhadap aliran akan meningkat enambelas kali lipat dan tekanan darah akan naik.

Karena panjang pembuluh dan viskositas darah secara normal konstan, maka perubahan dalam
tekanan darah didapat adri perubahan radius pembuluh darah

1. c. Tujuan pengukuran tekanan darah

1. d. Indikasi pengukuran tekanan darah

1. e. Tempat/lokasi pengukuran tekanan darah

1. f. Pengukuran Tekanan Darah Arteri Sistolik dan Diastolik


1. Tekanan darah diukur secara tidak langsung melalui metode auskultasi dengan menggunakan
sfigmomanometer :

 Peralatannya terdiri dari sebuah manset lengan untuk mengehentikan aliran darah arteri
brakial, sebuah manometer raksa untuk membaca tekanan, sebuah bulb pemompa manset
untuk menghentikan aliran darah arteri brakial, dan sebuah katup untuk mengeluarkan udara
dari manset.
 Sebuah stetoskop dipakai untuk mendeteksi awal dan akhir bunyi Karotkoff, yaitu bunyi
semburan darah yang melalui sebagian pembuluh yang tertutup. Bunyi dan pembacaan angka
pada kolom raksa secara bersamaan merupakan cara untuk menentukan tekanan sistolik dan
diastolik.

2. Tekanan darah rata-rata pada pria dewasa muda adalah sistolik 120 mmHg dan diastolic 80
mmHg, biasanya ditulis 120/80. Tekanan darah pada wanita dewasa muda, baik sistolik maupun
diastolic biasannya lebih kecil 10 mmHg dari tekanan darah laki-laki dewasa muda

3. Tekanan darah arteri adalah tekanan darah lateral yang disebabkan oleh volume darah pada
dinding pembuluh darah. Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan pembuluh darah tepi.
Tekanan darah bergantung pada volume darah yang diejedinding erteri, ksikan, kecepatan,
distensibilitas, viskositas darah, dan tekanan di dalam pembuluh setelah ejeksi terakhir.

4. Tekanan darah sistolik merupakan puncak tekanan di dalam arteri yang diatur oleh isi sekuncup
dan kelenturan pembuluh darah. Tekanan darah diastolik merupakan tekanan darah di dalam arteri
dan bergantung pada tahanan perifer. Perbedaadan diastolik dan tekanan sistolik adalah tekanan nadi.

Tekanan darah pada lengan kanan biasanya 5-10 mmHg lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan
darah pada lengan kiri. Sedangkan tekanan darah di tungkai biasanya 15-20 mmHg lebih tinggi
dibandingkan dengan tekanan darah pada lengan , meskipun dengan berbaring. Hal ini sebagian
berkaitan dengan hukum Poisuille, yang pada intinya menyatakan tahanan total pembuluh darah yang
dihubungkan secara parallel lebih besar daripada tahanan satu pembuluh darah besar. Tekanan darah
di dalam aorta lebih kecil dibandingkan tekanan darah di dalam cabang-cabang arteri ekstremitas
bawah.
Tekanan darah sangat bervariasi, bergantung pada tingkat eksitasi pasien, tingkat aktivitas, kebiasaan
merokok, nyeri, distensi kandung kemih atau pola diet. Selama pernapasan tenang biasanya terjadi
penurunan tekanan sistolik sampai 10 mmHg pada waktu inspirasi.

1. g. Teknik Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan pasien berbaring terlentang yang nyaman. Kantong
manset diletakkan di atas arteri brakhialis kanan. Jika lengannya terlalu gemuk, pakailah manset
paha. Lengan sedikit difleksikan dan disokong kira-kira setinggi jantung. Pengukuran tekanan darah
secara palpasi ini seperti diuraikan di atas untuk menentukan tekanan sistolik secara memadai dan
untuk menyingkirkan permasalahan karena adanya celah auskultasi, sebaiknya tekanan darah mula-
mula diperiksa dengan cara palpasi.

Menurut prosedur ini, arteri brakhialis atau radialis kanan dipalpasi sementara manset dipompa di
atas tekanan darah yang diperlukan untuk menghilangkan denyut nadi. Sekrup yang dapat diputar
dibuka perlahan untuk mengurangi tekanan di dalam kantong karet secara lambat. Tekanan sistolik
dikketahui dengan timbulnya kembali denyut brachial. Segera setelah denyut teraba, sekrup itu
dibuka untuk mengurangi tekanan kantong karet dengan cepat. Ini adalah tekanan darah sistolik.

PEMBELAJARAN 11

PEMERIKSAAN FISIK

URAIAN MATERI

PEMERIKSAAN FISIK

1. A. PENGERTIAN

Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses dari seorang ahli medis
memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit. Hasil pemeriksaan akan dicatat
dalam rekam medis. Rekam medis dan pemeriksaan fisik akan membantu dalam penegakkan
diagnosis dan perencanaan perawatan pasien.

Tahap ketiga dalam pengumpulan data adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dalam
keperawatan digunakan untuk mendapatkan data objektif dari riwayat keperawatan klien.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan bersamaan dengan wawancara. Fokus pengkajian fisik
keperawatan adalah pada kemampuan fungsional klien. Misalnya , klien mengalami gangguan sistem
muskuloskeletal, maka perawat mengkaji apakah gangguan tersebut mempengaruhi klien dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari atau tidak.

1. TUJUAN

Tujuan dari pemeriksaan fisik dalam keperawatan adalah untuk menentukan status kesehatan klien,
mengidentifikasi masalah klien dan mengambil data dasar untuk menentukan rencana tindakan
keperawatan.
Pemeriksaan fisik merupakan salah satu cara untuk mengetahui gejala atau masalah kesehatan yang
dialami oleh pasien. Dalam melakukan pemeriksaan fisik dikerjakan dengan hari- hati, menjaga
privasi, tidak menyakiti dan kenyamanan pasien tetap terjaga.

1. C. Biometrika dasar
1. 1. Tinggi

Tinggi merupakan salah satu ukuran pertumbuhan seseorang. Tinggi dapat diukur dengan
[[stasiometer]] atau tongkat pengukur. Pasien akan diminta untuk berdiri tegak tanpa alas
kaki. Anak-anak berusia dibawah 2 tahun diukur tingginya dengan cara dibaringkan.

1. 2. Berat atau massa

Berat atau massa tubuh diukur dengan pengukur massa atau timbangan.

[[Indeks massa tubuh]] digunakan untuk menghitung hubungan antara tinggi dan mssa sehat
serta tingkat kegemukan.

1. 3. Nyeri

Pengukuran nyeri bersifat subyektif namun penting sebagai tanda vital. Dalam klinik, nyeri
diukur dengan menggunakan skala FACES yang dimulai dari nilai ‘0’ (tidak dirsakan nyeri
pada pasien dapat dilihat dari ekspresi wajah pasien), hingga ‘5’ (nyeri terburuk yang pernah
dirasakan pasien).

1. D. Teknik Dasar Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan dilakukan pada pasien yang baru pertama kali datang periksa, ini dilakukan dengan
lengkap, pada pemeriksaan ulang dilakukan yang perlu saja jadi tidak semua pemeriksaan dilakukan;
untuk penderita yang belum pernah diperiksa dilakukan dengan lengkap bila masih ada waktu dan
bagi penderita yang pernah diperiksa dilakukan yang perlu saja.

Ada 4 teknik dalam pemeriksaan fisik yaitu:

1. Inspeksi

Inspeksi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan menggunakan indra penglihatan untuk
mendeteksi karakteristik normal atau tanpa tertentu dari bagian tubuh atau fungsi tubuh
lainnya, Inspeksi digunakan untuk mendeteksi betuk, warna, posisi, ukuran, tumor dan lainya dari
tubuh pasien.

Cara Pemeriksaan:
1. Atur posisi pasien sehingga bagian tubuhnya dapat diamati secara detail, posisi duduk, tidur
ataupun berdiri.
2. Berikan pencahayaan yang cukup.
3. Bagian tubuh yang akan diperiksa (upayakan pasien sendiri membuka pakainnya), tidak
dibuka sekaligus namun dibuka seperlunya untuk pemeriksaan sedangkan bagian lain ditutupi
dengan selimut.
4. Lakukan inspeksi pada area tubuh tertentu untuk ukuran, bentuk, warna, kesimetrisan; posisi
dan abnormalitasnya.
5. Bandingkan suatu area sisi tubuh dengan bagian tubuh lainnya.
6. Jangan melakukan inspeksi secara terburu-buru.

2. Palpasi

Palpasi merupakan pemeriksaan dengan indra peraba, yaitu tangan untuk menentukan ketahanan,
kekenyalan, kekerasan, tekstur dan mobilitas. Palpasi membutuhkan kelembutan dan sensitivitas.
Untuk itu hendaknya mengunakan permukaan palmar jari, yang dapat digunakan untuk mengkaji
posisi testur konsistensi, bentuk massa dan pulsasi. Pada telapak tangan dan permukaan ulnar tangan
lebih sensitive pada getaran. Sedangkan untuk mengkaji temperature, hendaknya menggunakan
bagian belakang tangan dan jari. Rasa nyeri tekan dan kelainan dari jaringan atau organ tubuh dapat
dirasakan oleh pasien saat dilakukan palpasi. Palpasi juga merupakan tindakan penegasan dari hasil
inspeksi disamping untuk menemukan yang tidak terlihat.

Cara Pemeriksaan

1. Posisi pasien bisa tidur, duduk atau berdiri tergantung bagian mana yang diperiksa dan
bagian tubuh yang diperiksa harus dibuka.
2. Pastikan pasien dalam keadaan rileks dengan posisi yang nyaman untuk menghindari
keteganan otot yang dapat mengganggu hasil pemeriksaan.
3. Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
4. Minta pasien untuk menarik nafas dalam agar meningkatkan relaksasi otot.
5. Lakukan palpasi dengan sentuhan perlahan-lahan yaitu dengan tekanan ringan dan sebentar-
sebentar.
6. Palpasi daerah yang dicurigai, adanya nyeri tekan menandakan kelainan.
7. Lakukan palpasi secara hati-hati, apabila dicurigai adanya farkur tulang.
8. Hindari tekanan yang berlebihan pada pembuluh darah.
9. Lakukan palpasi ringan atau memeriksa organ/jaringan yang dalamnya kurang dari 1 cm.
10. Lakukan palpasi agak dalam apabila memeriksa organ atau jaringan dengan kedalaman 1-2,5
cm.
11. Lakukan palpasi bimanual apabila kedalaman lebih dari 2,5 cm. Yaitu dengan
mempergunakan kedua tangan dimana satu tangan direlaksasikan dan diletakkan dibagian
bawah organ/ jaringan tubuh, sedangkan tangan lain menekan kearah tangan yang dibawah
untuk mendeteksi karakteristik organ atau jaringan.
12. Rasakan dengan seksama kelainan organ/ jaringan, adanya nodul, tumor bergerak/tidak
dengan konsistensi padat/ bersifat kasar atau lembut, ukurannya dan ada tidaknya getaran/
triil, serta rasa nyeri raba/ tekan.
13. Catatlah hasil pemeriksaan yang didapat.

3. Perkusi
Perkusi merupakan pemeriksaan dengan melakukan pengetukan yang menggunakan ujung-ujung jari
pada bagian tubuh untuk mengetahui ukuran, batasan, konsistensi organ-organ tubuh dan
menentukan adanya cairan dalam tubuh. Ada dua cara dalam perkusi yaitu cara langsung dan cara
tidaak langsung. Cara langsung dilakukan dengan mengetuk secara langsung menggunakan satu atau
dua jari. Sedangkan cara tidak langsung dilakukan dengan menempatkan jari tengah tangan diatas
permukaan tubuh dan jari tangan lain, telapak tidak pada permukaan kulit. Setelah mengetuk, jari
tangan ditarik kebelakang. Secara umum, hasil perkusi dibagi menjadi tiga macam, diantaranya
sonor, Sonor adalah suara yang terdengar pada perkusi paru-paru normal, pekek suara yang terdengar
pada perkusi otot dan timpani adalah suara yang terdengar pada abdomen dan bagian lambung.
Selain itu terdapat suara yang terjadi pada diantara suara tersebut, seperti redup dan hipersonor.
Redup adalah suara antara sonor dan pekek sedangkan hipersonor adalah antara sonor dan timpani.

Cara pemeriksaan :

1. Posisi pasien dapat duduk, tidur, atau berdiri tergantung pada bagian mana yang akan
diperiksa dan bagian tubuh yang diperiksa harus dibuka.
2. Pastikan pasien dalam keadaaan rileks dan posisi yang nyaman untuk mengurangi
ketegangan otot yang dapat menggangu hasil perkusi.
3. Minta pasien menarik nafas dalam agar meningkatkan relaksasi otot .
4. Kuku jari pemeriksa harus pendek.
5. Tangan hangat dan kering.
6. Lakukan perkusi secara seksama dan sistematis yaitu dengan metode langsung yaitu
melakukan perkusi atau pegetokan jari tangan langsung dengan menggunakan satu atau dua
ujung jari.
7. Metode tidak langsung yaitu:
1. Jari tengah tangan kiri yang tidak dominan sebagai fleksi meter diletakkan dengan lembut di
atas permukaan tubuh, upayakan telapak tangan dan jari-jari lain tidak menempel pada
permukaan tubuh.
2. Ujung jari tengah dari tangan kanan (dominan) sebagai fleksor, untuk memukul/mengetuk
persendian distal dari jari tengah tangan kiri.
3. Pukulan harus cepat, tajam dengan lengan tetap/ tidak bergerak dan bergerak dan
pergelangan tangan rilek.
4. Berikan tenaga pukulan yang sama pada setiap area tubuh.
5. Bandingkan bunyi frekuensi dengan akurat
6. h. Bandingkan atau perhatikan bunyi yang dihasilkan oleh perkusi
1. Bunyi timpani mempunyai intensitas keras, nada tinggi, waktu agak lama dan kualitas seperti
drum (lambung)
2. Bunyi resonan mempunyai intensitas amat keras, waktu lebih lama, kualitas
ledakan(empisema paru)
3. Bunyi pekak mempunyai intensitas lembut sampai menengah, nada tinggi, waktu lama
kualitas seperti petir (hati)
4. Bunyi kemps mempunyai intensitas lembut, nada tinggi, waktu pendek, kualitas datar (otot)

4. Auskultasi

Auskultasi merupakan pemeriksaan dengan mendegarkan bunyi yang dihasilkan oleh tubuh melalui
stetoskop. Hal ini dimaksudkan untuk mendeteksi adanya kelainan dengan cara membandingkan
dengan bunyi yang normal. Auskultasi dilakukan di dadad untuk mendengar suara nafas dan bila
dilakukan di abdomen mendengarkan suara bising usus.

Penilaian pemeriksaan auskultasi meliputi:

1. Frekuensi yaitu menghitung jumlah getaran permenit


2. Durasi yaitu lama bunyi yang terdengar
3. Intensitas bunyi yaitu ukuran kuat/ lemahnya suara.
4. kualitas yaitu warna nada/ variasi.

Pemeriksaan harus mengenal berbagai tipe bunyi normal yang terdengar pada organ yang berbeda
sehingga bunyi abnormal dapat terdeteksi dengan sempurna. Untuk mendeteksi suara diperlukan alat
yang disebut stetoskup yang berfungsi menghantarkan, memilih, dan mengumpulakan frekwensi
suara. Stetoskup terdiri dari beberapa bagian yaitu bagian kepala, selang karet/plastic dan telinga.
Slang plastik stetoskup harus lentur dengan panjang 30-40 cm dan telinga stetoskup mempunyai
sudut binaural dan bagian ujung mengikuti lekuk dari rongga telinga kepala stetoskop pada waktu
digunakan menempel pada kulit pasien.Ada 2 jenis kepala stetoskup yaitu;

1. Bel stetoskup digunakan untuk bunyi bernada rendah pada tekanan ringan seperti bunyi
jantung dan tekenan vaskuler. Bila ditekankan lebih kuat maka nada frekwensi tinggi
terdengar lebih kuatmaka nada frekwensi tinggi terdengar lebih keras karena kulit menjadi
terenggang, maka cara kerjanya seperti diagframa.
2. Diagfragma digunakan untuk bunyi bernada lebih tinggi seperti bunyi usus dan paru

Cara pemeriksaan :

1. Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri tergantung bagianmana yang diperiksa dan
bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
2. Pastikan pasien dalam keadaan rilek dengan posisi yang nyaman
3. Pastikan stetoskup sudah terpasang baik dan tidak bocor antara bagian kepala selang dan
telinga
4. Pasanglah ujung stetoskup bagian telinga ke lubung telinga periksa sesuai arah, ukuran dan
lengkungannya . Stetoskup telinga
5. Hangatkan dulu kepala stetoskup pada telapak tangan atau mengosokan pada pakaian
pemeriksa.
6. Tempelkan kepala stetoskup pada bagian tubuh pasien yang akan diperiksa dan lakukan
pemeriksaan dengan seksama dan sistematis.
7. Pergunakanlah bel stetoskop untuk mendengarkan bunyi bernada rendah pada tengan ringan
yaitu pada bunyi jantung, dan faskuler. Dan gunakan diafragma untuk bunyi yang bernada
tnggi seperti bunyi usus dan paru.
8. Informasikan hasil pemeriksaan dan catat pada status.

Posisi pemeriksaan

Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang optimal, maka posisi pemeriksaan sangat menentukan.
Beberapa posisi pemeriksaan yang umum dilakukan :
1. Posisi duduk dapat dilakukan di kursi atau tempat tidur. Digunakan untuk pemeriksaan pada
kepala, leher, dada, jantung, paru, mamae, extremitas atas.
2. Posisi supine (terlentang) yaitu posisi berbaring terlentang dengan kepala disangga bantal.
Posisi ini untuk pemeriksaan pada kepala, leher, dada depan, paru, mamae, jantung,
abdomen, ekstremitas, dan nadi perifir.
3. Posisi dorsal recumbent yaitu posisi berbaring dengan lutut ditekuk dan kaki menyentuh
tempat tidur .
4. Posisi sims (tidur miring) untuk pemeriksaan rectal dan vagina.
5. Posisi litotomi yaitu posisi tidur terlentang dengan lutut dalam keadaan fleksi. Untuk
pemeriksaan rectal dan vagina.
6. Posisi prone (terlungkup), untuk evaluasi sendi pinggul dan punggung.
7. Posisi knee chest (menungging), untuk pemeriksaan rectal
8. Posisi berdiri yaitu untuk evaluasi abdonormalitas postural, langkah dan keseimbangan.

Dibawah ini

1. E. Organ-organ yang diperiksa

1. Pemeriksaan kepala

Tujuan

1. Mengetahui bentuk dan fungsi kepala.


2. Mengetahui kelainan yang ada di kepala.

2. Pemeriksaan Mata

Tujuan

1) Mengetahui bentuk dan fungsi mata.

2) Mengetahui adanya kelainan pada mata.

3) Pemeriksaan Telinga

Tujuan

Mengetahui telinga luar saluran telinga, gendang telinga, dan fungsi pendengaran

3) Pemeriksaan Hidung

Tujuan

(1) Mengetahui bentuk dan fungsi hidung


(2) Menentukan kesimetrisan struktur dan adanya imflamasi atau insfeksi.

4) Pemeriksaan Mulut dan Faring

Tujuan

Mengetahui bentuk dan setiap kelainan mulut.

5) Pemeriksaan Dada dan Paru

Tujuan

1. Mengetahui bentuk, kesemirtrisan, ekspansi, keadaan kulit didnding dada.


2. Mengetahui frekuensi, sifat, irama pernafasan.
3. Mengetahui adanya nyeri tekan, massa, peradangan, taktil fremitus.
4. Mengetahui keadaan paru, rongga pleura.
5. Mengetahui batas paru-paru dengan organ lain di sekitarnya.
6. Mengkaji aliran udara melalui batang trakeobronkial.
7. Mengetahui adanya sumbatan aliran udara, dll.

6). Pemeriksaan jantung

Tujuan

1. Mengetahui ketidaknormalan denyut jantung.


2. Mengetahui ukuran dan bentuk jantung secara kasar.
3. Mengetahui bunyi jantung normal atau abnormal.
4. Mendeteksi gangguan kardiovaskular.

7). Pemeriksaan payudara dan ketiak

Tujuan

1. Mengetahui adanya massa atau tidanya ketidakteraturan dalam jaringan payudara.


2. Mendeteksi awal adanya kankerb payudara.

8). Pemeriksaan perut (abdomen)

Tujuan

1. Mengetahui bentuk dan gerakan-gerakan perut


2. Mendengar suara peristaltic usus.
3. Meneliti tempat nyeri tekan, organ-organ dalam rongga perut, benjolan dalam perut, dll

9). Pemeriksaan Genetalia

Tujuan
1. Melihat dan mengetahui organ-organ yang termasuk dalam genetalia.
2. Mengetahui adanya abnormalitas pada genetalia, misalnya varises, edema, tumor/benjolan,
infeksi, luka/iritasi,pengeluaran cairan/darah, dsb.
3. Melakukan perawatan genetalia.
4. Mengetahui kemajuan proses persalinan pada ibu hamil/ persalinan.

10). Pemeriksaan Rektum dan Anus

Tujuan :

1. Mengetahui kondisi anus dan rektum


2. Menetukan adanya massa atau bentuk tidak teratur dari dinding rektal.
3. Mengetahui integritas spingter anal eksternal.
4. Memeriksa kanker rektal, dll.

11). Pemeriksaan Sistem Muskuloskeletal

Tujuan :

1. Memperooleh data dasar tentang otot, tulang dan persendian.


2. Mengetahui adanya mobilitas, kekuatan atau adanya gangguan pada bagian-bagian tertentu.

12). Pemeriksaan Sistem Neurologi

a) Difinisi

Neurologi adalah cabang dari ilmu kedokteran yang menangani kelainan pada sistem saraf.
Dokter yang mengkhususkan dirinya pada bidang neurologi disebut neurolog dan memiliki
kemampuan untuk mendiagnosis, merawat, dan memanejemen pasien dan kelainan saraf.
Kebanyakan para neurolog dilatih untuk menangani pasien dewasa. Untuk anak-anak dilakukan oleh
neurolog pediatrik, yang merupakan cabang dari pediatri atau ilmu kesehatan anak. Di Indonesia,
dokter dengan spesialisasi neurologi diberi gelar Sp.S. atau Spesialis Saraf.

b) Tujuan :

Mengetahui integritas sistem persarafan yang meliputi fungsi saraf kranial, fungsi sensorik, fungsi
motorik, dan refleks.

c) Cara pemeriksaan

Kondisi mayor termasuk:

 sakit kepala seperti migrain


 epilepsi
 kelainan saraf yang degeneratif seperti penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, ataksia
 penyakit sistem peredaran darah di otak atau serebrovaskular seperti stroke
 kesulitan tidur
 palsi otak kecil
 infeksi otak seperti ensefalitis, meningitis, mielitis pada sum-sum tulang belakang
 kanker atau tumor di otak dan selaputnya, sistem saraf
 kelainan pergerakan seperti tremor pada penyakit Parkinson, khorea
 penyakit demielinasi pada sistem saraf pusat seperti sklerosis ganda, dan pada sistem saraf
tepi seperti sindrom Guillain-Barré
 kelainan pada sum-sum tulang belakang
 kelainan sistem saraf tepi
 cedera traumatik
 status mental seperti koma
 kesulitan berbicara dan berbahasa

Pemeriksaan

Selama pemeriksaan, neurolog meninjau riwayat kesehatan pasien dengan perhatian khusus pada
kondisi saat ini. Pasien akan menjalani berbagai pemeriksaan klinis seperti pemeriksaan penglihatan,
kekuatan, koordinasi, refleks, dan rangsangan. Informasi tersebut akan membantu neurolog untuk
memastikan penyakit tersebut berhubungan pada sistem saraf. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan
untuk mendiagnosis penyakit yang diderita pasien.

Neurolog juga bertanggung jawab untuk beberapa tindakan medis seperti fungsi lumbal. Namun bila
neurolog tidak hadir, dokter umum yang berkemampuan dapat melakukan fungsi lumbal tersebut.

3. Rangkuman

Pemeriksaan fisik merupakan salah satu cara untuk mengetahui gejala atau masalah kesehatan yang
dialami oleh pasien. Pemeriksaan dilakukan pada pasien yang baru pertama kali datang periksa, ini
dilakukan dengan lengkap, pada pemeriksaan ulang dilakukan yang perlu saja jadi tidak semua
pemeriksaan dilakukan.Teknik pemeriksaan fisik terdiri dari inspeksi, palpasi, perkuasi dan
auskultasi. Organ – organ yang dilakukan pemeriksaan fisik antara lain pada kepala, mata, telingan
dan hidung, mulut dan faring, dada dan paru-paru,jantung , payudara dan ketiak, perut, genetalia.
Rektum dan anus, sistem muskuloskeletal, dan neurologis.

Anda mungkin juga menyukai