Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Reaksi anafilaksis menurut World Allergy Organization (2011)


didefinisikan sebagai reaksi hipersensitivitas umum atau sistemik yang
mengancam jiwa atau reaksi alergi serius dengan onset cepat dan dapat
mengakibatkan kematian. Oleh karena itu reaksi anafilaksis termasuk reaksi alergi
berat yang menakutkan bagi tenaga medis.1
Tingkat misdiagnosis reaksi anafilaksis sekitar 80% di instalasi gawat
darurat (IGD), saat anestesi dan operasi, atau saat menjalani pengobatan
kemoterapi, antibodi monoklonal, atau lainnya.Hal ini karena gejala reaksi
anafilaksis dapat menyerupai gejala penyakit umum lainnya seperti asma dan
urtikaria, dan bisa terjadi tanpa hipotensi.2
Reaksi anafilaksis menyebabkan pasien berada pada risiko tinggi sehingga
membutuhkan penanganan segera yang tepat, maka dokter umum sebagai lini
pertama pelayanan kesehatan penting untuk mengenal cara diagnosis dan tata
laksana anafilaksis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anafilaksis menurut World Allergy Organization (2011) didefinisikan
sebagai reaksi hipersensitivitas umum atau sistemik yang mengancam jiwa atau
reaksi alergi serius dengan onset cepat dan dapat mengakibatkan
kematian.Sementara menurut European Academy of Allergy and Immunology
(2014) anafikaksis adalah reaksi hipersensitivitas umum atau sistemik berat
yang mengancam nyawa.1
Istilah anafilaksis tercetus pada tahun 1901 oleh Charles Richet dan Paul
Portier untuk mendeskripsikan fenomena yang ditemukan saat melakukan
eksperimen menggunakan ekstrak gliserin dari racun anemone laut. Tujuan
awal dari eksperimen adalah memberikan “imunisasi” pada anjing terhadap
racun anemone laut, tetapi setelah diberikan ekstrak tersebut yang muncul
adalah “reaksi yang berlawanan” berupa peningkatan sensitifitas terhadap
injeksi ulang ekstrak racun tersebut. Oleh karena tujuan memberikan
“profilaksis” menimbulkan efek berlawanan maka disebut sebagai
“anafilaksis”. Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani ana yang berarti
berlawanan dan phylaxis berarti perlindungan.2
Penemuan immunoglobulin E (IgE) memperjelas bahwa reaksi anafilaksis
dimediasi oleh antibodi tersebut. Namun setelah diketahui bahwa karakteristik
klinis anafilaksis tidak hanya dihasilkan oleh satu mekanisme saja, maka
muncul istilah “anafilaktoid” yaitu merujuk pada reaksi mirip anafilaksis yang
tidak dimediasi oleh IgE.2Pada tahun 2003, World Allergy Organization
meninggalkan istilah anafilaktoid, dan membagi anafilaksis menjadi
imunologik, nonimunologik, dan idiopatik.Imunologik dibagi menjadi
dimediasi IgE atau tidak dimediasi IgE, sementara reaksi nonimunologik dapat
terjadi pada paparan pertama alergen.Terdapat sejumlah kasus yang tidak
sesuai dengan mekanisme imuologik dan nonimunologik sehingga disarankan
termasuk klasifikasi idiopatik.Walaupun demikian istilah anafilaktoid
terkadang masih digunakan.3

2
2.2 Epidemiologi
Terdapat perbedaan studi prevalensi dan insiden anafilaksis
berdasarkan letak geografis.Prevalensi seumur hidup anafilaksis di Amerika
Serikat menurut American College of Allergy Asthma and Immunokogy
(ACAAI) tahun 2006 diestimasikan antara 0,05% dan 2%. Laporan penelitian
di Manchester, Inggris, 0,2% pasien kasus emergensi yang ditolong oleh
paramedik mengalami anafilaksis. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari 3
studi diestimasikan prevalesnsi anafilaksis di Eropa mencapai 3%.4
Antibiotik adalah pencetus anafilaksis paling sering di Amerika Serikat,
sementara data studi di jerman, Austria dan Switzerland menunjikkan bahwa
pencetus paling sering adalah racun serangga, diikuti oleh makanan dan obat-
obatan.4 Studi retrospektif di Cina menunjukkan bahwa 108 pasien mengalami
anafilaksis saat dirawat di rumah sakit Beijing, antara tahun 1990-2013, jumlah
pasien terbanyak masuk setelah tahun 2005 (68,5%), paling banyak perempuan
dan 89,5% kejadian diperkirakan dipicu oleh obat.4 Hasil penelitian di RSUP
Sanglah Denpasar, Bali pada tahun 2007-2010, laki-laki dan perempuan
memiliki risiko reaksi anafilaksis yang sama, dan penyebab terbanyak adalah
akibat obat yakni sebesar 63,9%.5
Berdasarkan 3 data rekam medis database Amerika Serikat meliputi
Nationwide Inpatient Sample (NIS), Nationwide Emergency Department
Sample (NEDS), dan Multiple Cause of Death Data (MCDD) menunjukkan
fatality rate kasus anafilaksis yang dirawat di rumah sakit atau di instalasi
gawat darurat (IGD) mencapai 0,25%-0,33%. Meskipun rerata fatality rate
konsisten di angka sekitar 0,3% pada studi ini, tetapi angka kasus rawat inap di
rumah sakit tercatata meningkat 2,23% setiap tahun. Studi terbaru di Inggris
menemukan bahwa insiden rawat inap terkait anafilaksis meningkat drastis dari
tahun 1992 hingga 2002, namun fatality rate stabil, hal ini diperkirakan karena
diagnosis terhadap anafilaksis meningkat.Analisis US National Mortality
Database selama lebih dari 11 tahun oleh Jerschow et al. menunjukkan bahwa
anafilaksis fatal dari seluruh kasus kecuali venom diasosiasikan dengan kulit
putih, usia lanjut, an laki-laki. Risiko fatality tertinggi anafilaksis juga

3
dihubungkan dengan usia lanjut ≥60 tahun di Inggris berdasarkan studi Turner
et al.5
Keterlambatan injeksi epinefrin intramuskular (IM) dikaitkan dengan
peningkatan risiko fatality, dan beberapa studi menunjukkan disparitas antara
diagnosis anafilaksis dan frekuensi terapi epinefrin.Penelitian terkait pasien
anafilaksis yang mendapat terapi epinefrin oleh Brown et al., Renaudin et al. ,
dan Calderon et al. berturut-turut 73%, 57,9%, 63%.5

2.3 Faktor Risiko dan Kofaktor Amplifikasi Anafilaksis


Faktor risiko dan derajat berat penyakit dijekaskan dalam bentuk tabel
di bawah ini.6

Tabel 2.1 Faktor Risiko dan Derajat Berat Anafilaksis 6


Sumber: LoVerde D, Iweala OI, Eginli A, Krishnaswamy G. Anaphylaxis. 2018.

2.4 Faktor Pencetus dan Komorbid


Mayoritas reaksi anafilaksis tercetus melalui mekanisme yang
melibatkan IgE, mengaktivasi sel mast dan basofil, hingga mengeluarkan
mediator inflamasi seperti histamin, platelet activating factor, leukotrien,
triptase, dan prostaglandin. Berbagai zat berpotensi menimbulkan reaksi
anafilaksis, tetapi penyebab tersering reaksi anafilaksis dimediasi IgE adalah
makanan (contoh: kacang-kacangan, makanan laut, susu sapi, telur, dan
gandum), obat (contoh: penisilin dan antibiotik lainnya), dan serangga

4
menyengat. Latihan fisik, aspirin, non-steroidal anti-inflammatory drugs
(NSAID), opiat, dan radiokontras dapat menimbulkan reaksi anafilaksis yang
tidak dimediasi oleh IgE.Pada beberapa kasus penyebab anafilaksis tidak
diketahui atau idiopatik. Reaksi anafilaksis pada anak-anak paling sering
disebabkan oleh makanan, sedangkan reaksi anafilaksis diinduksi obat atau
venom lebih sering pada dewasa.7
Faktor komorbid mempengaruhi beratnya reaksi anafilaksis. Pasien
asma dan penyakit kardiovaskular lebih berpotensi mengalami reaksi
anafilaksis berat.Terapi beta blocker dapat mengganggu kemampuan
pasienmerespon terhadap epinefrin. Terapi ACE inhibitor memengaruhi
respon kompensasi fisiologis tubuh terhadap reaksi anafilaksis.7

2.5 Patogenesis

IgE berperan penting dalam patogenesis reaksi anafilaksis.IgE


ditemukan dalam konsentrasi yang terendah dalam sirkulasi (50-200 ng/mL
total IgE pada sirkulasi individu sehat; sementara kadar IgG normal 10
mg/mL), dan IgE ditemukan dengan level yang lebih tinggi pada pasien
alergi. Reaksi yang diperantai IgE ini merupakan reaksi hipersensitifitas tipe
1, yang terdiri atas 2 fase, yaitu fase cepat dan fase lambat.Reaksi fase cepat
terjadi dalam hitungan menit setelah paparan, dan berkurang dalam beberapa
jam.Reaksi fase lambat muncul dalam 2-24 jam tanpa adanya tambahan
paparan allergen, dan dapat berlangsung selama beberapa hari.Paparan
alergen pada mukosa menstimulasi sel dendritik mempresentasikan alergen
pada sel T helper CD4+ naive.Sebagai respon terhadap antigen dan
pengeluaran sitokin IL-4, maka sel T helper CD4+ naïve berdiferensiasi
menjadi limfosit T-helper 2 (sel Th2).Sel Th2 menghasilkan berbagai sitokin
meliputi IL-4, IL-5, dan IL-13.IL-4 bekerja pada sel B menstimulasi class-
switching ke IgE dan pembentukan tambahan sel Th2. IL-5 terlibat dalam
pembentukan dan aktivasi eosinophil. IL-13 meningkatkan produksi IgE dan
menstimulasi mukosa untuk sekresi mukus.IgE berikatan dengan reseptor
FcꜫRI yang memiliki afinitas tinggi, terletak pada permukaan basophil, sel
mast, dan sel-sel lainnya yaitu neutrophil, eosinophil, monosit, sel dendritik
dan trombosit. Paparan dengan alergen bivalen atau multivalen

5
selanjutnyamenyebabkan adanya cross-link antara antigendengan reseptor
FcꜫRI yang berikatan dengan IgE, memicu aktivasi sel mast dan basofil serta
pengeluaran preformed mediator seperti histamin dan berbagai protease, juga
sintesis mediator inflamasi seperti leukotrien, prostaglandin, dan sitokin.8,9

Gambar 2.1 Jalur Patogenesis Hipersensitifitas Tipe I 9


Sumber: Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins and cotran pathologic basis of disease.
9ed.

Kadar IgE saja tidak dapat menjadi acuan kerentanan seseorang


terhadap reaksi anafilaksis.Beberapa pasien mengalami reaksi anafilaksis
fatal meski IgE spesifik alergen dalam sirkulasinya rendah atau tidak
terdeteksi.Berkebalikan dengan hal tersebut, IgE spesifik alergen dapat
terdeteksi pada sirkulasi subyek yang asimtomatik walau terpapar
alergen.Fenotip patogenesis anafilaksis menurut studi Castells (2017)
didefinisikan sebagai presentasi klinis menjadi reaksi hipersensitifitas tipe I

6
dimediasi IgE dan non IgE, reaksi cytokine-storm like, dan reaksi campuran.
Endotipe dari semua fenotipe tersebut adalah mekanisme yang dimediasi
IgE dan tidak dimediasi IgE, pengeluaran sitokin, reaksi campuran, dan
aktivasi langsung sel imun.8,10

Gambar 2.2 Jalur Fenotipe dan Endotipe Anafilaksis10


Sumber: Castells M. Clinical reviews in allergy and immunology: diagnosis and
management of anaphylaxis in precision medicine. 2017.

Target selular reaksi dimediasi IgE meliputi sel mast, basofil, dan sel-
sel imunlainnya serta gejala yang berhubungan dengan aksi mediator
terhadap target organ. Pemicu tersering untuk tipe reaksi ini adalah makanan
(contoh: kacang, susu, telur), obat (contoh: antibiotik betalaktam, agen
kemoterapi seperti platin dan taxane, anestesi umum dan imunoterapi
alergi), Hymenoptera venom, dan alergen dari lingkungan. Gejala klasik
yang paling sering muncul akibat pengeluaran mediator inflamasi dari sel
mast dan basofil antara lain ruam merah pada kulit (flushing), pruritus,
urtikaria, angioedema, sesak, wheezing, mual, muntah, diare, hipotensi,
desaturasi oksigen, kolaps kardiovaskular. Gejala atipikal yang muncul
dapat berupa demam dan menggigil seperti pada reaksi pada pemberian
agen kemoterapi oxaplatin, serta nyeri pada pemberian taxane. Diketahui
bahwa gejala-gejala ini dapat timbul tanpa adanya keterlibatan IgE.10

7
Reseptor G-coupled MRGPRX2 yang ekspresikan pada sel mast dan
sel lainnya diketahui teraktivasi oleh antibiotik golongan kuinolon seperti
levofloksasin dan siprofloksasin, anestesi umum seperti atrakuronium dan
rokuronium, icatibant, serta obat lainnya yang mengandung
tetraydroisouinoline (THIQ). Keterlibatan reseptor ini pada reaksi
hipersensitifitas dan anafilaksis tidak melibatkan IgE namun masih dalam
penelitian.10
Reaksi cytokine-storm disebabkan oleh pengeluaran mediator
proinflamasi seperti TNF-α, IL-1B, dan IL-6, dan sel target seperti monosit,
makrofag, sel mast, dan sel imun lainnya dengan FcγR. Pencetus reaksi
meliputi kemoterapi dan antibodi monoklonal termasuk oxiplatin. Gejala
klinis dari reaksi ini meliputi menggigil, demam, malaise generalisata,
diikuti dengan hipotensi, desaturasi, dan kolaps kardiovaskular.10
Reaksi campuran adalah gabungan reaksi hipersensitifitas tipe I dan
reaksi cytokine storm-like, dipicu oleh pemberian kemoterapi dan antibody
monoclonal, dengan gejala klinis berupa gatal, urtikaria, edema, menggigil,
demam, hipotensi dan desaturasi.10
Reaksi aktivasi langsung sel mast oleh sel-sel imun lainnya dapat
terjadi pada pemberian vankomisin, kondroitin sulfat glikosaminoglikan
muatan tinggi, atau media kontras.Reaksi ini terjadi karena terbentuk
anafilatoksin C3a dan C5a, yang dapat berikatan dengan reseptor
komplemen. Akibatnya terjadi pengeluaran histamin, leukotrien, dan
prostaglandin yang menginduksi terjadinya flushing, urtikaria, hipoksia,
vasodilatasi, dan hipotensi.10

2.6 Diagnosis

Diagnosis reaksi anafilaktik bergantung pada anamnesis riwayat onset


munculnya gejala dan tanda dalam berapa waktu setelah pajanan pemicu
yang diduga menimbulkan reaksi.11 Konfirmasi diagnosis juga
memerlukan deskripsi detail mengenai episode akut, termasuk aktivitas
dan kejadian sebelum terjadinya reaksi.7 Oleh karena konfirmasi diagnosis

8
dan etiologi anafilaksis merupakan hal yang kompleks, maka merujuk
pada ahli alergi sangat disarankan.7

2.6.1 Anamnesis
Anamnesis riwayat penyakit sangat penting dilakukan bahkan
diutamakan sebelum penegakan diagnosis.7 Anamnesis harus mencakup
manifestasi klinis (urtikaria, angioedema, ruam kemerahan, pruritus,
obstruksi saluran nafas, gejala GI, syncope, dan hipotensi), agen pajanan
terdekat dengan onset reaksi (makanan, obat-obatan, gigitan/sengatan
serangga), serta aktivitas atau kejadian (olahraga, aktivitas seksual). 7 jika
tidak ditemukan gejala pada kulit, maka diagnosis masih diragukan,
karena mayoritas epidose anafilaktik melibatkan gejala kulit; namun
ketidakadaan gejala kulit tidak dapat menyingkirkan anafilaksis.7
Sangat penting untuk mendapatkan informasi mengenai makanan
atau obat-obatan yang dikonsumsi dalam 6 jam terakhir, serta adanya
sengatan atau gigitan serangga.11 Aktivitas fisik dan olahraga yang
dilakukan pasien juga perlu dievaluasi. 11 Serta perlu menggali informasi
mengenai riwayat alergi, penyakit alergi lain seperti dermatitis atopik,
asma, rhinitis alergika, dan riwayat alergi pada keluarga.11

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik, perhatian awal difokuskan pada airway,
breathing, dan circulation sekaligus dengan kesadaran pasien. 11 Pasien
dengan anafilaksis dapat memiliki temuan pemeriksaan fisik yang
berakaitan dengan gangguan saluran nafas ataus atau bawah seperti stridor,
batuk, atau mengi, disfungsi kardiovaskular mencakup hipotensi atau
aritmia, dan manifestasi kulit mencakup eritema, urtikaria, atau
angioedema.11

Tabel 2.2 Kriteria klinis diagnosis anafilaksis7

9
Mengarah ke diagnosis anafilaksis jika terdapat 1 dari 3 kriteria berikut
didahului dengan riwayat pajanan alergen
1. Onset akut penyakit (menit hingga beberapa jam) dengan adanya
gejala pada kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (bercak merah
generalisata, gatal, atau kemerahan) dan paling tidak 1 dari gejala
berikut:
a. Pernapasan (dyspnea, wheezing, bronkospasm, stridor,
hipoksemia)
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
end-organ disfuction (syncope)
2. Dua atau lebih gejala berikut yang terjadi cepat setelah pajanan
yang diduga elergen (dalam menit hingga beberapa jam)
a. Jaringan kulit-mukosa (bercak merah generalisata, ruam
kemerahan dan gatal, bibir-lidah-uvula bengkak)
b. Pernapasan (dyspnea, wheezing, bronkospasm, stridor,
hipoksemia)
c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
end-organ disfuction (syncope)
d. Gejala GI persisten (kram abdomen, muntah)
3. Penurunan tekanan darah setelah pajanan alergen yang sudah
diketahui (menit hingga beberapa jam)
a. Bayi dan anak-anak: sistolik rendah (spesifik usia*) atau >30%
penurunan sistolik
b. Dewasa: tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30%
penurunan dari baseline pasien.
*sistolik rendah pada anak (spesifik usia):
- <70 mmHg untuk usia 1 bulan – 1 tahun ;
- <70 mmHg + [2 x usia] untuk usia 1-10 tahun;
- <90 mmHg untuk usia 11-17 tahun

2.6.3 Tes Diagnostik


Diagnosis penyebab spesifik dari anafilaksis dapat didukung
dengan hasil skin-test dan atau tes IgE in vitro.7 Tes tersebut dapat
menentukan adanya antibodi IgE spesifik terhadap makanan, obat (misal
penisilin), dan sengatan serangga.7 Diagnosis klinis anafilaksis dapat
didukung dengan adanya peningkatan konsentrasi mediator sel mast dan
basofil seperti histamin plasma atau total triptase plasma atau serum.c
Maka sangat penting untuk megambil sampel darah dalam pemeriksaan
tersebut segera setelah onset gejala.7
Dalam beberapa menit setelah gejala anafilaksis muncul, triptase
dirilis dari sel mast dan basofil dapat dideteksi dalam serum.10 Peningkatan
tersebut terjadi transien dan biasanya menurun dalam 24 hingga 48 jam. 10

10
Pemeriksaan tersebut dapat mendeteksi total triptase dan triptase matur
(hanya dirilis saat aktivasi).10 Peningkatan lebih dari rentang normal 11,4
ng/mL menandakan aktivasi sel mast atau basofil akut. 10 Spesifisitas
triptase dapat tinggi namun sensitivitasnya rendah karena triptase dirilis
dari sel mast dan basofil yang berbeda-beda, tergantung pada pemicu. 10
Level triptase lebih rendah pada sel mast mukosa dibandingkan dengan sel
mast kutan atau perivaskular, dan reaksi anafilaksis yang dipicu obat-
obatan intravena lebih besar dibanding dengan yang dipicu melalui oral,
misalnya makanan.10
Beberapa jenis protease lain dari sel mast yaitu chymase dan
karboksipeptidase, dapat dideteksi selama anafilaksis, tetapi tidak ada
pemeriksaan komersil yang tersedia.10 Mediator lain dari sel mast dan
basofil yag dirilis selama anafilaksis adalah histamin dan metabolitnya
(methylhistamine), prostaglandin D2 dan metabolitnya, dan leukotrien E4
dan C4 dan dapat diperiksa dengan tampung urin 24 jam.10 Meskipun
pemeriksaan tersebut spesifik untuk anafilaksis, namun sensitivitasnya
rendah karena kesulitan dalam menampung urin 24 jam sejak gejala
muncul.10
Skin-test dapat dilakukan 2-4 minggu setelah anafilaksis, dan
hasilnya menunjukkan keterlibatan IgE dan sel mast.10 Skin test
mempunyai spesifisitas yang tinggi terhadap reaksi tipe I pada makanan,
obat-obatan, beta laktam, general anestesia, dan racun Hymenoptera.10
Skin test termasuk aman pada pasien dengan riwayat anafilaksis dan asma
yang terkontrol, serta obat-obatan seperti beta bloker, angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitors terlebih dahulu dihentikan sebelum
skin test.10 Pasien dengan reaksi cytokine storm-like dan aktivasi
komplemen cenderung memiliki hasil skin test negatif, menunjukkan
kurangnya peran IgE tapi jika pasien memiliki reaksi keduanya mungkin
akan memiliki hasil positif.10

11
2.7 Tatalaksana
2.7.1 Tatalaksana Awal
Anafilaksis merupakan keadaan gawat-darurat di midang medis
yang mana penanganan cepat harus dilakukan. 12 Guideline internasional
menyetujui bahwa epinefrin (adrenalin) adalah obat pilihan pertama
dalam kasus anafilaksis karena merupakan satu-satunya yang mengurangi
kesakitan dan kematian.12 Efek epinefrin yang berupa vasokonstriktor
agonis alfa-1 yang mencegah dan memperbaiki gejala edema saluran
nafas, hipotensi, dan syok; efek kronotropik dan inotropik agonis beta-1
dapat meningkatkan frekuensi dan daya kontraksi otot jantung, dan efek
agonis beta-2 menyebabkan bronkodilasi dan mengurangi rilis mediator
anafilaksis.12
Pada satu studi cohort restrospektif tentang keamanan epinefrin,
58% dari 573 pasien diberikan epinefrin karena anafilaksis. 12 Hanya 4 dari
316 pasien (1%) yang mendapat epinefrin intramuskular (IM) timbul efek
samping; seangkan 3 dari 30 pasien (10%) yang mendapatkan epinefrin
bolus intravena (IV) timbul efek samping. Tidak ditemukan kejadian
overdosis pada pemberian IM, namun terdapat overdosis sebanyak 13%
setelah pemberian bolus IV.12 Data tersebut mendukung keamanan
pemberian epinefrin secara IM dan menyarankan pengawasan ketat ketika
pasien diberikan epinefrin secara bolus IV.12 Epinefrin diberikan secara
IM pada paha bagian anterolateral (m. vastus lateralis) karena absorpsi
lebih cepat dan level epinefrin plasma dapat lebih tinggi dibandingkan jika
diberikan secara IM pada lengan atas.7
Epinefrin diberikan secara IM dengan dosis 0,3-0,5 mL (0,01
mg/kgBB) dengan perbandingan 1:1000 (1 mg/mL) dosis diulang dalam
interval 5-20 menit.11 Kegagalan dalam pemberian epinefrin pada 20 menit
pertama munculnya gejala merupakan faktor risiko terjadinya hasil yang
memburuk pada pasien.11 variabel lain yang mempengaruhi survival
anafilaksis yaitu postur tubuh, sebagaimana posisi tegak dan duduk dapat
mengarahkan ke “empty heart syndrome” yaitu insufisiensi venous return
ke jantung karena hipotensi yang terjadi secara tiba-tiba dan deplesi

12
volume intravaskular.11 Empty heart syndrome dapat memperparah
penurunan tekanan darah hingga menyebabkan kematian.7 Epinefrin dapat
mempercepat terjadinya empty heart syndrome karena memiliki efek
kronotrofik.11 Oleh karena itu direkomendasikan pasien untuk diposisikan
supine sebelum pemberian epinefrin.11 Ketika pasien sudah terbaring,
dilarang untuk duduk hingga keadaan stabil.7
Selain epinefrin, pasien anafilaksis sebaiknya diberikan juga
antagonis H1 seperti difenhidramin, antagonis H2 seperti ranitidin,
resusitasi cairan dengan normal salin, dan kortikosteroid seperti
metilprednisolon.11 Oksigen dapat diberikan melalui nasal kanul atau
sungkup wajah dan dapat dibantu dengan nebulisasi albuterol. Intubasi
endotrakeal atau trakeostomi disarankan pada pasien jika hipoksia
progresif.11
Guideline internasional menyetujui bahwa antihistamin H1,
antihistamin H2, dan glukokortikoid dapat digunakan sebagai lini kedua
atau ketiga pada terapi anafilaksis.12 Obat-obatan tersebut tidak bersifat
life-saving dan sebaiknya tidak diberikan pada terapi awal namun berguna
dalam terapi urtikaria/angioedema dan bronkospasm ketika hemodinamik
pasien stabil.11

13
14
Gambar 2.3 Algoritma Tatalaksana Anafilaksis11

Gambar 2.3 Algoritma tatalaksana anafilaksis akut c

Jika pasien anafilaksis tidak berespon terhadap pemberian epinefrin


IM dan cairan intravena, maka pemberian epinefrin IV mungkin
diperlukan.7 Namun epinefrin IV hanya boleh diberikan oleh dokter yang
terlatih dan berpengalaman dalam penggunaannya dan mampu
memonitoring tekanan darah dan jantung secara kontinyu.7

2.7.2 Tatalaksana Jangka Panjang


Terapi jangka panjang terhadap pasien yang memiliki riwayat
anafilaksis yaitu: evaluasi dari dokter spesialis, peresepan epinefrin auto-
injector, edukasi pasien dan pengasuh, dan perencanaan perawatan
anafilaksis individual.7
Pemeriksaan spesialis. Setelah anafilaksis akut, pasien sebaiknya
diperiksa untuk mengetahui apakah terdapat risiko terjadi anafilaksis

15
kembali, idelanya dilakukan oleh ahli alergi dan imunologi.7 Spesialis
tersebut berpengalaman dalam mengidentifikasi dan mengonfirmasi
penyebab anafilaksis, mengedukasi pasien dengan perencanaan, dan
menyarankan apakah pasien memerlukan imunoterapi.7
Peresepan epinefrin auto-injector. Peresepan sebaiknya diberikan
kepada semua pasien yang memiliki riwayat anafilaksis akut termasuk
pasien yang memiliki reaksi alergi sistemik onset cepat (ganstrointestinal,
respiratorik, jantung); gejala muncul bintik merah dan gatal setelah
konsumsi makanan atau tersengat serangga; atau reaksi onset cepat apapun
(menit hingga jam) terhadap makanan berisiko tinggi seperti kacang-
kacangan atau makanan laut.7
Edukasi pengenalan terhadap faktor risiko. Pasien diedukasi
mengenai ko-faktor yang dapat mengarahkan ke reaksi anafilaksis berat.7
Olahraga secara signifikan dapat meningkatkan keparahan reaksi alergi. 7
Agen ko-faktor lain yaitu: penggunaan NSAID atau asam asetilsalisilat,
konsumsi alkohol, menstruasi, dan infeksi virus akut.7
Edukasi pencegahan. Pasien dan pengasuhnya sebaiknya diedukasi
mengenai agen atau pajanan yang dapat menimbulkan risiko reaksi.7 Juga
dilakukan konseling mengenai cara pencegahan.7 Strategi pencegahan
direncanakan secara individual dan mencakup beberapa pertimbangan
seperti pencetus, usia, aktivitas, hobi, pekerjaan, kondisi tempat tinggal,
akses menuju fasilitas kesehatan, dan level ansietas personal pasien. 7
Pasien yang memiliki reaksi anafilaksis terhadap makanan diharuskan
untuk membaca komposisi makanan yang mungkin tersamarkan seperti
bumbu alami atau rempah yang mengindikasikan alergen (kacang, susu,
telur, kerang, ikan, wijen, kedelai, dan gandum).7
Perencanaan terapi anafilaksis. Perencanaan terapi anafilaksis
harus dipersiapkan secara komprehensif dan individual. Informasi-
informasi dan planning dapat dirangkum seperti pada tabel.

16
Tabel 2.2 Komponen perencanaan terapi anafilaksis 7

Detail kontak
- Nama dan detail kontak emergensi, termasuk keluarga, dokter
spesialis atau dokter keluarga
- Kontak emergensi terdekat atau layanan ambulance
Alergen/pencetus
- Identifikasi secara jelas mengenai alergen atau pencetus yang harus
dihindari
(termasuk nama obat generik atau merek, dan kemungkinan
interaks obat)
Cara mengenali tanda dan gejala anafilaksis
- Mulut: gatal, bibir atau lidah membengkak
- Tenggorokan: gatal, sesak, seperti tersumbat, suara serak
- Kulit: gatal, bentol, eksim, membengkak, memerah
- Perut: muntah, diare, nyeri perut
- Paru: Nafas pendek, batuk, mengi
- Jantung: hipotensi, pusing, pingsan, takikardi
- Lain-lain: cemas
Obat yang diresepkan dan waktu penggunaan
- Epinefrin auto-injector (lini pertama); sebaiknya disertai petunjuk
penggunaan yang jelas
- Antihistamin
- Beta 2 agonis inhalasi
Informasi letak penyimpanan obat-obatan tersebut di rumah, tempat
kerja atau sekolah

2.8 Komplikasi
Anafilaksis bifasik merupakan komplikasi yang bisa ditemukan
setelah pasien mengalami anafilaksis.13 Anafilaksis bifasik muncul dengan
gejala-gejala awal anafilaksis yang berat termasuk mengi dan diare. 13
Namun berdasarkan NIAID/FAAN, kejadian anafilaksis bifasik cukup
rendah.13 Sebanyak 50% pasien yang mengalami anafilaksis bifasik
membutuhkan penanganan epinefrin, dan 8-14% perlu dirawat di ruang
ICU.13 Pilihan farmakologi yang dapat digunakan untuk mencegah
timbulnya anafilaksis bifasik antara lain pemberian segera epinefrin pada
tatalaksana awal.13

17
BAB III
SIMPULAN

Reaksi anafilaksis merupakan suatu kondisi kegawatan yang memerlukan


penanganan segera. Anafilaksis dipengaruhi oleh multifaktorial. Pencetus reaksi
anafilaksis dapat digolongkan yaitu makanan, obat-obatan, racun serangga, atau
alergen lainnya. Reaksi imun pada anafilaksis dapat diperantarai IgE atau yang
tidak diperantarai IgE. Pasien yang mengalami anafilaksis memilki gejala klinis
antara lain gejala pada kulit (ruam, urtikaria, gatal), edema mukosa, gangguan
jalan nafas, gangguan saluran pencernaan, dan kardiovaskular. Penangan segera
pada onset akut anafilaksis yaitu pemberian injeksi epinefrin 0,01 mg/kg IM
selain itu dapat diberikan obat-obatan antihistamin, steroid, dan beta-2 agonis.
Tatalaksana jangka panjang dan pencegahan pada pasien anafilaksis memerlukan
perencanaan bersama oleh ahli alergi dan imunologi. Komplikasi yang dapat
terjadi anafilaksis bifasik yang dapat dicegah dengan penanganan awal yang tepat.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Simons et al.International consensus on (ICON) anaphylaxis. World


Allergy Organization Journal. 2014;7(9):1-19.

2. Lieberman et al. Anaphylaxis-a practice parameter update 2015. Ann


Allergy Asthma Immunol. 2015;115:341-84.

3. Lieberman PL. Recognition and first-line treatment of anaphylaxis. The


American Journal of Medicine. 2014 January;127:6-8.

4. Yu JE, Lin RY. The epidemiology of anaphylaxis. Clinic Rev Allerg


Immunology. 2015 September ;54(3):366-74.

5. Imbawan E, Suryana K, Suadarmana K. Asosiasi Cara Pemberian Obat


dengan Onset dan Derajat Klinis Reaksi Hupersensitifitss Akut
/Anafilaksis pada Penderita yang Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar
Bali. J Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2013;
577-85.

6. LoVerde D, Iweala OI, Eginli A, Krishnaswamy G. Anaphylaxis.


CHEST . 2018 ;153(2):528-43.

7. Fischer D, Leek TK, Ellis AK, Kim H. Anaphylaxis. Allergy Asthma Clin
Immunol. 2018;14(suppl 2):63-4.

8. Reber LL, Hernandez JD, Galli SJ. Mechanisms of allergic diseases: the
pathophysiology of anaphylaxis. American Academy of Allergy, Asthma &
Immunology. 2017 ;140(2):336-40.

9. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins and cotran pathologic basis of
disease. 9ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. 201-2p.

10. Castells M. Clinical reviews in allergy and immunology: diagnosis and


management of anaphylaxis in precision medicine. J Allergy Clin
Immunology. 2017 August;140(2):336-40.

11. Kattan JD. Chapter 29: Anaphylaxis. In: Sampson HA(ed.). Mount Sinai
Expert Guides Allergy and Clinical Immunology. Sussex, UK : John Wiley
& Sons, Ltd; 2015. p. 255-65.

19
12. Simons FER, Ebisawa M, Sanchez-Borges M, Thong BY, Worm M,
Tanno LK, et al. 2015 update of the evidence base: World Allergy
Organization anaphylaxis guidelines. World Allergy Organization Journal.
2015; (8):32.

13. Lee S, Sadosty AT, Campbell RL. Update on biphasic anaphylaxis.


Current opinion in allergy and immunology. 2016 August 16(4):346-51.

20

Anda mungkin juga menyukai