Anda di halaman 1dari 20

STEM SEL DAN ALERGI

(Tugas Immunobiology and The Challenge of Stem Cell Transplantation MSC and
Hypersensitivity)

Dosen : Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp. THT-KL (K)

Disusun Oleh :
Tarrayuana Rhamadia : MBK2219010299

Prodi Magister Ilmu Biomedik


Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sultan Agung
Semarang
2022
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka
kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terakhir. Tampaknya alergi
merupakan kasus yang cukup mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan
Pelayanan Kesehatan Anak. Menurut survey rumah tangga dari beberapa negara
menunjukkan penyakit alergi adalah adalah satu dari tiga penyebab yang paling sering
kenapa pasien berobat ke dokter keluarga.

Penyakit pernapasan dijumpai sekitar 25% dari semua kunjungan ke dokter umum dan
sekitar 80% diantaranya menunjukkan gangguan berulang yang menjurus pada kelainan
alergi. BBC beberapa waktu yang lalu melaporkan penderita alergi di Eropa ada
kecenderungan meningkat pesat.Angka kejadian alergi meningkat tajam dalam 20 tahun
terakhir.Setiap saat 30% orang berkembang menjadi alergi. Anak usia sekolah lebih 40%
mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai astma, 6 juta orang mempunyai dermatitis
(alergi kulit). Penderita Hay Fever lebih dari 9 juta orang (Judarwanto, 2005).

Alergi merupakan suatu reaksi abnormal dalam tubuh yang disebabkan zat-zat yang tidak
berbahaya. Alergi timbul bila ada kontak terhadap zat tertentu yang biasanya, pada orang
normal tidak menimbulkan reaksi. Zat penyebab alergi ini disebut allergen. Allergen bisa
berasal dari berbagai jenis dan masuk ke tubuh dengan berbagai cara. Bisa saja melalui
saluran pernapasan, berasal dari makanan, melalui suntikan atau bisa juga timbul akibat
adanya kontak dengan kulit seperti; kosmetik, logam perhiasan atau jam tangan, dan
lainlain. Zat yang paling sering menyebabkan alergi: Serbuk tanaman; jenis rumput
tertentu; jenis pohon yang berkulit halus dan tipis; serbuk spora; penisilin; seafood; telur;
kacang panjang, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang-kacangan lainnya; susu; jagung
dan tepung jagung;sengatan insekta; bulu binatang; kecoa; debu dan kutu. Yang juga tidak
kalah sering adalah zat aditif pada makanan, penyedap, pewarna dan pengawet kekebalan
tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang
bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal
sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Alergi disebabkan oleh produksi
antibodi berjenis IgE.

Penyakit alergi telah menjadi masalah kesehatan global dan gangguan alergi yang paling
umum termasuk asma alergi, penyakit kulit alergi, rinitis alergi, dan konjungtivitis alergi.
Dalam terapi penyakit alergi, kortikosteroid, antihistamin, antileukotrien dan agonis
reseptor adrenergik β2 untuk sementara menghambat mediator inflamasi dan sel imun.
Namun, pengobatan jangka panjang menyebabkan berbagai efek samping. Resistensi obat
dan intoleransi juga membatasi penerapannya pada beberapa pasien. Oleh karena itu,
metode terapi baru sangat dibutuhkan untuk penyakit alergi

Mesenchymal stem cell (MSCs) adalah stem sel multipoten yang memiliki kemampuan
imunoregulasi dan antiinflamasi dengan mensekresikan berbagai sitokin termasuk IL-10
dan TGF-β yang berpotensi sebagai modalitas terapi yang menjanjikan untuk penyakit
saluran napas alergi, termasuk AR.

I.2 Definisi

World Allergy Organization (WAO) pada Oktober 2003 telah menyampaikan revisi
nomenklatur penyakit alergi untuk digunakan secara global. Alergi adalah reaksi
hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. Pada keadaan normal
mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivasi sel B
dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan
menimbulkan suatu keadaan imun patologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda yang secara objektif dapat ditimbulkan
kembali dengan diawali oleh pajanan terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang
ditoleransi oleh individu yang normal. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas
dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang
disebut juga reaksi anafilaktik atau reaksi alergi.
Menurut para ahli definisi alergi adalah
 Alergi merupakan suatu perubahan reaksi menyimpang dari tubuh seseorang terhadap
lingkungan berkaitan dengan peningkatan kadar IgE suatu mekanisme system imun.
(retno W subaryo,2002).
 Alergi merupakan respon system imun yang tidak tepat dan seringkali
membahayakan terhadap substansi yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi alergi
merupakan manifestasi cedera jaringan yang terjadi akibat interaksi antara antigen dan
antibody. (Brunner , 2002)
 Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon prtahanan tubuh yang menolak dan
tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya. (Robert davies, 2003)

Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada suatu zat (alergen)
yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi. Namun, sebagian besar para pakar
lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respon imun berlebihan
yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hal ini bergantung
pada berbagai keadaan, termasuk pemaparan antigen, predisposisi genetik, kecenderungan
untuk membentuk IgE dan faktor-faktor lain, misalnya adanya infeksi saluran nafas bagian
atas, infeksi virus, penurunan jumlah sel T-supresor dan defisensi IgA.

Tubuh mulai menghasilkan antibody tertentu, yang disebut IgE, untuk mengikat allergen.
Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast. Sel mast dapat ditemukan
di saluran udara, usu dan ditempat lain. Kehadiran sel amst dalam saluran udara dan saluran
pencernaan membuat daerah ini lebih rentan terhadap paparan allergen. Mengikat allergen
ke IgE, yang melekat pada sel mast. Hal ini menyebabkan sel mast melepaska berbagai
bahan kimia ke dalam darah. Histamine menyebabkan sebagain besar gejala reaksi alergi

I.3 Etiologi

Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya
dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen. Antibiotik dapat menimbulkan
reaksi alergi anafilaksis misalnya penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin,
streptomisin, sulfonamid dan lain-lain. Obat-obatan lain yang dapat menyebabkan alergi
yaitu anestesi lokal seperti prokain atau lidokain serta ekstrak alergen seperti rumput-
rumputan atau jamur, Anti Tetanus Serum (ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti
bisa ular juga dapat menyebabkan reaksi alergi. Beberapa bahan yang sering dipergunakan
untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan alergi misalnya zat radioopak,
bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin. Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular,
semut, udara (kotoran tungau dari debu rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti
gamaglobulin dan kriopresipitat juga dapat merangsang mediator alergi sehingga timbul
manifestasi alergi.

Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan dikarenakan maturitas
mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain selain ASI (Air Susu Ibu),
contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12bulan akan menimbulkan manifestasi
penyakit alergi. Hal ini disebabkan makanan yang masuk masih dianggap asing oleh
mukosa usus di saluran pencernaan.

I.4 Epidemiologi

Prevalensi penyakit alergi terus meningkat secara dramatis di dunia, baik dinegara maju
maupun negara berkembang, terlebih selama dua dekade terakhir. Diperkirakan lebih dari
20% populasi di seluruh dunia mengalami manifestasi alergi seperti asma,
rinokonjungtivitis, dermatitis atopi atau eksema dan anafilaksis. WHO memperkirakan
alergi terjadi pada 5-15% populasi anak diseluruh dunia. Pada fase 3 dari studi yang
dilakukan oleh International Study of Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) pada
tahun 2002-2003 dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial, rhinitis alergi dan dermatitis
atopik cenderung meningkat di sebagian besar lembaga dibandingkan data 5 tahun
sebelumnya.

Pada tahun pertama kehidupan bayi dengan kadar IgE <0,1 IU/ml,manifestasi alergi yang
sering dijumpai adalah atopi simptom (40%), dermatitisatopi (35,3%), rhinitis
alergi/hipersekresi nasal (15,4%), asma/”wheezy infant”(7,7%), gangguan gastrointestinal
(7,7%), dan konjungtivitis alergi (1,5%). Dermatitis atopi merupakan manifestasi awal
penyakit atopi dengan insiden tertinggi pada 3 bulan pertama kehidupan dan mencapai
prevalensi tertinggi selama 3 tahun pertama kehidupan. The Copenhagen Prospective Study
on Asthma in Childhood (COPSAC) melaporkan dermatitis atopi pertama kali dijumpai
pada usia 1 bulan, kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 2,5 tahun.

I.5 Patofisiolog Alergi

I.5.1 Mediator alergi


Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi, yang termasuk sel mediator
adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan basofil mengandung mediator
kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah
histamin, newly synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan heparin. Mekanisme alergi
terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan
dengan mediator alergi yaitu sel mast. Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua
atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen. Rangsang ini
meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik yang meninggikan
rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan
menyebabkan pelepasan mediator lain.

Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang


menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula
kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi
karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler
dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare
(triple respons dari Lewis) dan bila terjadi sistemik dapat menimbulkan hipotensi,
urtikaria dan angioderma. Pada tractus gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi
mukosa lambung dan bila pelepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas otot polos
usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.

Gambar 1. Mast sel dan Mediator pada alergi

Newly synthesized mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin dan tromboksan.


Leukotrien dapat menimbulkan efek kontraksi otot polos,peningkatan permeabilitas
dan sekresi mukus. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan juga
meningkatkan permeabilitas kapiler,sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara
langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus. Eosinophyl chemotacting factor-
anaphylazsis (ECF-A) dilepaskan segera waktu degranlasi. ECF-A menarik eosinofil
ke daerah tempat reaksi alergi untuk memecah kompleks antigen-antibodi dan
menghalangi aksi new lysynthesized mediator dan histamin. Plateletes Activating
Factor (PAF) menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas
pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII yang akan menginduksi pembuatan
bradikinin. Bradikinin dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara
lambat,lama dan hebat. Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam
trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit yang juga akan menyebabkan
kontraksi otot bronkus tapi hanya sebentar.

Gambar 2. Reaksi alergi

1.5.2 Fase Sensitisasi

Alergen memasuki tubuh manusia melalui berbagai rute diantaranya kulit, saluran
nafas, dan saluran pencernaan. Ketika masuk, alergen akan dijamu serta diproses oleh
Antigen Presenting Cells (APCs) di dalam endosom. Kemudian APC akan
mempresentasikan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II kepada sel
limfosit T helper (Th0) di dalam limfe sekunder.
Gambar 3. Mekanisme Molekuler reaksi alergi

Sel Th0 akan mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) yang merubah proliferasi sel Th
menjadi Th2. Sel Th2 akan menginduksi sel limfosit B (sel B) untuk memproduksi
Imunoglobulin (Ig). Pada orang dengan alergi, Th1 tidak cukup kuat menghasilkan
interferon gamma (IFN-ɤ) untuk mengimbangi aktivitas Th2,sehingga Th2 akan lebih
aktif memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel Bmenukar produksi antibodi IgM
menjadi IgE. IgE akan menempel pada reseptor IgE berafinitas tinggi (FcƐRI) pada sel
mast, basofil dan eosinofil.

1.5.3 Fase reaksi

Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan mengalami degranulasi
yaitu suatu proses pengeluaran isi granul ke lingkungan ekstrasel yang berupa histamin,
prostaglandin, serta sitokin-sitokin yang menimbulkan gejala klinis.

1.5.4 Fase reaksi lambat

Fase ini dimulai pada 2-6 jam setelah paparan alergen dan puncaknya setelah 6-9 jam.
Mediator inflamasi akan menginduksi sel imun seperti basofil,eosinofil dan monosit
bermigrasi ke tempat kontak dengan paparan alergen. Sel-sel tersebut akan
mengeluarkan substansi inflamasi spesifik yang menyebabkan aktivitas imun
berkepanjangan serta kerusakan jaringan.
I.6 Faktor Resiko

Faktor risiko Alergi Penyakit alergi pada bayi terjadi akibat interaksi dari faktor
genetik,lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan hygiene. Beberapa faktor
risiko yang dianggap berkontribusi terhadap angka kejadian alergi pada bayi yaitu paparan
asap rokok, konsumsi alkohol pada masa kehamilan, pola diet atau komponen makanan
ibu ketika masa kehamilan dan menyusui, penggunaan antibiotik, metode persalinan
seksio sesarea, bayi lahir prematur, bayi berat lahir rendah, nutrisi yang diperoleh bayi
serta ada atau tidaknya hewan peliharaan.

Gambar 4. Faktor faktor yang mempengaruhi Alergi

I.7 Manifestasi Alergi

Manifestasi klinis Alergi Manifestasi klinis alergi pada bayi dapat dibagi menurut organ
target yang terkena. Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada
bayi, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit. Secara klinis berbentuk dermatitis akut
eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas.
Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan yang
menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang
mencolok sehingga bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu.

Pada mukosa respirasi dapat terjadi rhinitis alergi yang ditandai dengan nasal pruritis,
rinorea, hidung tersumbat dan asma yang ditandai dengan bronkospasme, inflamasi jalan
nafas kronis. Pada mukosa gastrointestinal bermanifestasi sebagai alergi makanan dengan
gejala nyeri perut kolik, muntah, diare.

Jika reaksi alergi terjadi sistemik dapat terjadi syok anafilaksis. Penyakit alergi pada mata
juga dapat dijumpai pada bayi namun dengan presentase kecil. Secara klinis ditandai dengan
mata berair, hiperemiakonjungtiva, gatal mata, bayi menunjukkan gerakan menggosok
mata. Gejala muncul setidaknya 2 minggu dan tidak ada hubungannya dengan infeksi.

I.8 Diagnosa Alergi

Diagnosis Alergi Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan riwayat klinis dengan


melakukanan amnesis. Anamnesis diperjelas dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
sensitivitas IgE, tes pada kulit atau allergen specific serum IgE measurements (RAST).
Skin-prick testing (SPT) dilakukan dengan ekstrak alergen, diujikan pada kulit. Pemeriksaan
darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan IgE spesifik (RAST). Pemeriksaan IgE
total digunakan sebagai marker diagnosis alergi, tetapi memiliki kelemahan. IgE meningkat
pada penyakit alergi dan juga non alergi seperti infestasi parasit, sehingga kurang spesifik.
Sedangkan pemeriksaan IgE spesifik untuk mengukur IgE spesifik alergen dalam serum
pasien . Adapun pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi dalah
skrining antibody IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan Cellular antigen stimulation test
(CAST).
II. PEMBAHASAN

II.1 Definisi Stem Sel


Secara umum definisi stem sel adalah sel yang memiliki kemampuan memperbaharui diri
dan berdiferensiasi menjadi berbagai turunan sel yang spesifik. Pembaharuan diri terjadi
melalui pembelahan simetris dan atau asimetris. Sekalipun demikian definisi tersebut
belum dapat membedakan antara stem sel dengan sel yang membelah lainnya, namun
definisi ini lebih praktis sehingga lebih banyak digunakan. Kriteria tambahan yang lebih
ketat diperlukan untuk memperkuat definisi tersebut. Kriteria tersebut berupa ekspresi
marker spesifik pada permukaan membran stem sel dan kontribusi substansial stem sel
dalam proses regenerasi jaringan.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mengusulkan definisi stem sel sebagai berikut :

1. Terminologi klasik stem sel

Terminologi klasik stem sel didasarkan atas gambaran morfologi stem sel berdasarkan
pada aktivitas pembaharuan diri dan potensi berdiferensiasi. Secara spesifik
pembaharuan diri mengambarkan kemampuan stem sel untuk menghasilkan turunan sel
yang identik dengan induk baik melalui pembelahan simetris dan atau asimetris. Sisi
lain diferensiasi menunjukan kemampuan stem sel dalam menghasilkan berbagai
turunan sel yang spesifik. Terminologi klasik stem sel merupakan definisi minimal
yang harus dipenuhi oleh setiap stem sel. Sekalipun demikian terminologi klasik ini
sering digunakan dalam berbagai studi stem sel.

2. Terminologi molekuler stem sel

Terminologi molekuler stem sel didasarkan atas kemampuan stem sel dalam
mengeskpresikan berbagai protein marker pada membran sel yang dikenal sebagai
cluster of diffrentiation (CD). Sisi lain identitas molekuler stem sel juga didasarkan
atastidak diekspresikannya/ terekspresi lemah CD tertentu atau tidak ditemukannya
marker diferensiasi (lineage(-)). Setiap kelompok stem sel memiliki marker CD tertentu
yang seringkali lebih dari satu. Hal ini menunjukan bahwa identifikasi molekuler stem
sel didasarkan atas CD+ dan atau CD-.

3. Terminologi fungsional stem sel


Terminologi fungsional stem sel didasarkan atas kemampuannya dalam mensekresi
berbagai soluble molecule secara parakrin. Secara konseptual parakrin adalah
komunikasi stem sel dengan sel dan matriks sekitarnya melalui molekul sinyal tertentu
yang dilepas stem sel. Hal ini menjadi penting ketika berbagai penelitian melaporkan
bahwa terjadi akselerasi kesembuhan melalui konsep parakrin dan akan dijelaskan
lebih detail pada bab selanjutnya. Secara sepsifik soluble molecule dan liganyang
diekspresikan stem sel berupa: 1. Molekul anti-inflamasi: IL-10, TGF-β, IL-1ra,
TSG6, PGE3 Stem sel terutama MSC paska terpapar molekul inflamasi poten seperti
TNFα, IL-1 dan IFNγ maka akan melepas berbagai molekul anti-inflamasi 2. Molekul
pro-regenerasi: VEGF,PDGF, IGF, FGF-2, Ang-1 Stem sel melepas berbagai molekul
pro-regenerasi sebagai respon inflamasi terhdapa inflamasi yang telah terkendali 3.
Molekul/ ligan kemoatraksi: HGF, CXCR3-R Stem sel mampu mendeteksi berbagai
molekul khemoatraksi seperti HGF dan SDF-1 melalui reseptor CXCR-3 sehingga
homing.

II.2. Klasifikasi Stem Sel

Stem sel dapat diklasifikasikan berdasarkan asal mula jaringan dan tahapan
perkembangan sel. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan potensi dan karakterstem sel
tergantung pada sumber asalnya. Bedasarkan tahapan perkembangan dan sumber asal
stem sel, maka stem seldapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok besar, yaitu:

1. Stem sel embrionik


Stem sel embrionik adalah stem sel yang berasal dari jaringan embrionik tahapan
embriogenesis.Stem sel tipe ini memiliki potensi pembaharuan diri dan diferensiasi
terkuat dibandingkan stem sel tipe lain. Secara spesifik peranan sel embrionik terlihat
jelas pada pertumbuhan dan perkembangan embrio.
Klasifikasi stem sel embrionik Bedasarkan tahapan embriogenesis maka stem sel
embrionik dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
1. Stem sel embrionik totipotent
Stem sel embrionik tutipoten adalah sel embrio dengan 4-8 sel hasil pembelahan
oosit terfertilisasi (zygot) hingga fase morula (3-5 hari paska fertilisasi). Sel
embrionik ini identik secara fenotip maupun genetik. Potensi pembaharuan diri sel
embrionik totipoten adalah terkuat diantara stem sel embrionik lain. Sel embrionik
ini mampu menghasilkan seluruh jaringan embrionik maupun ekstra embrionik,
sehingga dapat menghasilkan individu baru.
2. Stem sel embrionik pluripoten
Stem sel embrionik pluripoten adalah sel embrionik yang mampu menghasilkan
seluruh sel lapisan germinal, baiksel lapisan endoderm, ektoderm dan atau
mesoderm, namun tidak mampu menghasilkan sel jaringan ekstra-embrionik. Sel
embrionik ini didapatkan dari inner cell masspada fase blastomer/blastocyst (paska
fase morula hingga 6 minggu). Sel embrionik ini merupakan turunan epiblas yang
membentuk embrio dan sel penyusun plasenta (ectoderm dan trophectoderm).
Kemampuan pembaharuan diri dan potensi diferensiasi sel embrionik pluripoten
dibawah totipoten.

Gambar 5. Stem Sel Embrionik

Stem sel embrionik tutipoten berupa 4-8 sel hasil pembelahan zygot yang
kemudian terus membelah membentuk inner cell mass (fase blastocyst). Stem sel
yang didapatkan dari inner cell mass adalah stem sel embrionik pluripoten, yang
mampu menghasilkan 3 lapisan sel germinal, yaitu lapisan ektoderm, mesoderm
hingga ektoderm. Ketiga sel lapisan tersebut berdiferensiasi menjadi sel spesifik
(sel matur).
2. Stem sel dewasa
Sekali tiga lapisan sel germinal terbentuk maka stem sel yang berasal dari tiap lapisan
sel ini akan diklasifikasikan sebagai stem sel dewasa.Tipe sel turunan yang dihasilkan
akan tergantung pada asal jaringan stem sel tersebut. Asal sumber stem sel dewasa
menjadi penting dalam kepentingan riset terutama dalam merancang tipe sel spesifik
yang akan dihasilkan. Sebagai contoh adalah hematopoetik stem cell (HSC) asal
sumsum tulang dimana hanya akan menghasilkan seluruh tipe sel darah, namun tidak
mampu menghasilkan turunan sel non-hematopoetik.

Klasifikasi stem sel dewasa Bedasarkan atasjaringan asal lapisan germinal dimana
stem sel diperoleh, maka stem sel dewasa dapat diklasifikasikan seperti pada gambar
6. di bawah ini :

Gambar 6. Klasifikasi Stem Sel Dewasa

Lebih lanjut berdasarkan atas potensi diferensiasi dan marker yang diekspresikan, maka
sel punca dewasa dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Mesencymal stem cell (MSC)

2. Hematopoetic stem cell (HSC)

3. Neural stem cell (NSC)

III. Stem Sel dan Alergi


Untuk memahami status MSC saat ini pada penyakit alergi, kami merangkum sifat
imunomodulator MSC dan secara kritis menganalisis potensi terapeutiknya dalam model
hewan dan uji klinis asma alergi, rinitis alergi, penyakit kulit alergi dan konjungtivitis
alergi dalam ulasan ini. Kami juga menyoroti tantangan yang perlu diatasi sebelum terapi
MSC dapat digunakan secara rutin untuk mengobati penyakit alergi di klinik.

Gambar 7. Efek imunomodulator MSC pada sel imun. Penghambatan diferensiasi, proliferasi
dan generasi sel B dan efektor T; promosi generasi Treg; penghambatan proliferasi dan aktivasi
sel NK; penghambatan pematangan dan aktivasi DC; penghambatan aktivasi MC dan neutrofil;
penghambatan fenotipe makrofag M1 proinflamasi tetapi peningkatan fenotip makrofag M2
anti-inflamasi. Efek imunosupresif MSC dimediasi oleh faktor terlarut dan selekontak sel.
CCL2, kemokin (CeC motif) legenda 2; IL-1ra, antagonis reseptor interleukin-1; IDO,
indoleamin 2,3-dioksigenase; PGE2, prostaglandin E2; TIDAK, oksida nitrat; HLA-G5, antigen
leukosit manusia-G5; IL-6/10, interleukin-6/10; TGF-b,faktor pertumbuhan tumor-b; TSG-6,
faktor nekrosis tumor-sebuahgen/protein 6 terstimulasi; SOD3, superoksida dismutase 3. Garis
merah: efek penekan; panah hijau: efek stimulasi.
1. Asthma
Semua studi ini telah mengkonfirmasi sifat anti alergi dan manfaat terapeutik MSC
dan EV mereka pada asma, menunjukkan masa depan yang menjanjikan untuk
penggunaan klinis mereka. Secara khusus, eksosom memiliki potensi kuat untuk
menjadi pilihan yang lebih baik untuk mengobati penyakit alergi.
Keyhanmaneshet al.menunjukkan bahwa pemberian CM secara sistemik memodulasi
diferensiasi sel T efektor Th1/Th2 dengan mengatur kadar T-bet dan GATA-3 dalam
model asma yang ditantang OVA.Setelah dikultur dalam BM-MSC CM, monosit
menunjukkan penurunan produksi oksida nitrat (NO) dan sekresi faktor seperti IL-12
dan IL-4. Monosit ini juga menghasilkan lebih banyak IL-10 dan TGF-b.
Selain itu, CM mengubah proporsi CD68th/ CD206thsel dalam populasi monosit.
Selanjutnya, dalam model tikus inhalasi OVA, penulis mengkonfirmasi bahwa
pemberian monosit ini mengurangi keparahan asma dengan penurunan kadar IgE
serum dan jumlah eosinofil di BALF dan menekan faktor nuklir kappa-B (NF-kB)
tingkat mRNA dalam jaringan paru-paru.114Temuan ini menunjukkan bahwa MSC
memediasi manfaat terapeutiknya melalui parakrin tetapi bukan pola seluler.

Gambar 8. Efek imunomodulator MSC pada asma. Selama perkembangan asma, MSC
mencegah proses penyajian antigen DC dan diferensiasi sel T melalui penghambatan migrasi
dan perekrutan DC. Selain itu, MSC mempromosikan polarisasi makrofag M2 anti-inflamasi
untuk menghambat aktivasi neutrofil dengan menekan respons sel Th1 dan Th17. Makrofag
dikonversi menjadi fenotipe M2 anti-inflamasi melalui MSC yang memfagositosis. Demikian
pula, MSC juga menekan respon Th2 untuk mencegah sekresi IgE sel B, aktivasi eosinofil
dan degranulasi MC. Selain itu, MSC meningkatkan jumlah dan sekresi Treg IL-10 dengan
memodulasi faktor terlarut, termasuk HO-1, IDO dan TGF-b.MSC juga mempromosikan
fungsi Treg dengan menginduksi fenotip DC semimatur dan meningkatkan sekresi IL-10 dari
makrofag M2. MC, sel mast; DC, sel dendritik; Treg, sel pengatur T; IL-1ra, antagonis
reseptor interleukin-1; IFN-g,interferon-gamma; IL-4/5/10/13/17, interleukin-4/5/10/13/17;
TGF-b,faktor pertumbuhan tumorb;IgE, imunoglobulin E; HO-1, heme oksigenase-1; IDO,
indoleamin 2,3-dioksigenase. Garis merah: efek penekan; panah hijau: efek stimulasi.

2. Penyakit Kulit Alergi


Du et al.menegaskan bahwa eksosom MSC merangsang proliferasi dan kemampuan
imunomodulator Treg dengan meningkatkan sekresi IL-10 dan TGF-b1 di PBMC dari
pasien dengan asma.
Cruz et al.menemukan bahwa CM dan EV dari BMMSC manusia dan BM-MSC tikus
dapat menurunkan keparahan AHR dan peradangan paru-paru pada model tikus AAI.
Begitu pula dengan de Castroet al.melaporkan bahwa dalam model tikus asma yang
diinduksi OVA, AD-MSC manusia dan EV mereka membebaskan AHR dan
remodeling saluran napas tetapi bertindak berbeda pada Treg di BALF, sel T di
kelenjar getah bening, dan molekul inflamasi terkait. Menariknya, penulis selanjutnya
menemukan bahwa hanya EV dan bukan MSC yang menurunkan perubahan mekanis
paru-paru.

Gambar 9. imunomodulator MSC pada penyakit kulit alergi. Selama proses penyakit
kulit alergi, MSC menghambat migrasi dan perekrutan DC melalui mediasi PGE2.
MSC menekan diferensiasi sel Th dan respons sel Th1, Th2 dan Th17, tetapi
meningkatkan jumlah dan fungsi Treg. Selain itu, MSC menekan produksi sitokin
CD8thSel T dan menghambat proliferasi dan sekresi IgE sel B. Selain itu, MSC
menekan aktivasi dan degranulasi MC dengan memodulasi PGE2 dan TGF-b1. MC,
sel mast; DC, sel dendritik; Treg, sel pengatur T; TGF-b1, faktor pertumbuhan tumor-
b1; IgE, imunoglobulin E; HO-1, heme oksigenase-1; IDO, indoleamin 2,3-
dioksigenase. Garis merah: efek penekan; panah hijau: efek stimulasi.

MSC sebagai target terapi potensial untuk penyakit inflamasi. MSC telah diberikan secara
luas dengan hasil yang menguntungkan pada berbagai penyakit autoimun, termasuk lupus
eritematosus sistemik (SLE), penyakit graft-versus-host (GVHD), multiple sklerosis (MS)
dan rheumatoid arthritis (RA).
Selain itu, beberapa peneliti telah menemukan bahwa MSC mampu melemahkan penyakit
alergi, termasuk asma, rhinitis alergi dan penyakit kulit alergi (dermatitis atopik dan
dermatitis kontak alergi).
MSC memiliki fungsi anti-inflamasi dan memberikan efek perlindungan di bawah kondisi
peradangan spesifik penyakit yang berbeda. Oleh karena itu, semua hasil ini menunjukkan
bahwa terapi berbasis MSC dapat menjadi pengobatan potensial pada penyakit terkait alergi.

3. Rhinitis Alergi

Lia, Restimulia et al menunjukkan bahwa administrasi MSC mengurangi populasi


plasma sel B dengan mengatur Treg. MSC mengurangi respons kekebalan dan
peradangan yang melibatkan sel plasma dan meningkatkan produksi sel Treg. Dengan
demikian, MSC menjadi target terapi AR. Selanjutnya, MSCmungkin menjadi target
terapi yang menarik untuk mengobati penyakit alergi yang dimediasi Treg.

Desai, MB et al menunjukkan bahwa berbeda dengan MSC pada asma alergi, MSC
dalam model tikus AR meningkatkan produksi sitokin inflamasi dan menghadirkan
alergen pada APC, yang menghasilkan promosi, bukan penghambatan, proliferasi
limfosit.
Para penulis lebih lanjut menegaskan bahwa fungsi penyaji antigen dari MSC ini
relevan untuk meningkatkan ekspresi kompleks histokompatibilitas utama (MHC) -
II dan CD86. Efek terapeutik yang berbeda dari MSC pada asma alergi dan AR
mungkin bergantung pada penyakit tertentu.
Kipaset al.menemukan bahwa iPSC-MSC mengubah keseimbangan antara sel Th1
dan Th2, meningkatkan proliferasi limfosit diam, dan meningkatkan aktivasi sel T
dan Treg melalui NF-kpB.
III. KESIMPULAN

Akumulasi studi menunjukkan potensi masa depan untuk aplikasi klinis MSC, terutama pada
penyakit alergi. Di masa depan, banyak penyakit alergi, seperti asma, rinitis, dermatitis,
konjungtivitis, dan anafilaksis, akan mendapat manfaat dari pemberian MSC. Pada beberapa
penyakit, MSC memiliki efek penghambatan yang lemah pada proses remodeling karena
tingkat molekul biologis spesifik dan faktor pertumbuhan yang lebih rendah,karenanya
diperlukan MSC terapeutik yang lebih kuat.

Lia, Restimulia et al menunjukkan bahwa administrasi MSC mengurangi populasi plasma sel
B dengan mengatur Treg. MSC mengurangi respons kekebalan dan peradangan yang
melibatkan sel plasma dan meningkatkan produksi sel Treg. Dengan demikian, MSC menjadi
target terapi AR. Selanjutnya, MSCmungkin menjadi target terapi yang menarik untuk
mengobati penyakit alergi yang dimediasi Treg.

Abreuet al menemukan bahwa serum dari model tikus asma menginduksi apoptosis dan sekresi
mediator anti-inflamasi dari MSC. MSC ini memiliki efek terapeutik yang lebih kuat, lebih
lanjut melemahkan AAI dan remodeling saluran napas serta meningkatkan fungsi paru-paru.

Ada penyakit lain, mekanisme spesifik yang mendasari hasil menguntungkan yang dihasilkan
oleh MSC mungkin lebih kompleks, membutuhkan kombinasi MSC yang telah diobati
sebelumnya. MSC dengan gen erythropoietin dan ekspresi angiopoietin-1 yang tinggi atau
dikombinasikan dengan serelaxin dan simvastatin, dapat meningkatkan kemanjuran modulasi
proses remodeling dan AHR pada gangguan saluran napas alergi.

Dibandingkan dengan MSC, MSC-EV, yang lebih nyaman untuk disimpan dan dikelola,
memiliki imunogenisitas dan penolakan cangkok yang lebih lemah.

Selain itu, MSC-EV lebih baik daripada promotor atau inhibitor lainnya karena tidak terdilusi
di ruang intra atau ekstraseluler.

Semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa MSC-EV memiliki potensi kuat untuk
mengganggu perkembangan kanker, mengurangi penyakit terkait kekebalan tubuh, dan
meningkatkan regenerasi berbagai organ
IV. DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016, Imunologi Dasar Abbas: Fungsi dan Kelainan
Sistem Imun, Edisi Kelima, ELSEVIER, Halaman 15- 18.

Ana Olivera, Dean D. Metcalfe, Michael A. Beaven, Mast Cells Signal their importance in
helath and disease. Journal of Allergy and Clinical Immunology, Vol. 142, Issue 2, p381-393

Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi Imunologi: Imunologi Dasar. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi V. 2009. hal.237-43.

He Li, dkk (2020). Mesenchymal Stem Cells In Allergic Diseases : Current Status. Diakses
dari https://doi.org/10.1016/j.alit.2019.08.001

Putra, A (2019). Basic Molecular Stem Cell, Edisi Pertama, Unisulla Press, Halaman 25-32.

Restimulia, L dkk. (2021). The CD4+CD25+FoxP3+ Regulatory T Cells Regulated by MSCs


Suppress Plasma Cells in a Mouse Model of Allergic Rhinitis. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8563054/

Subowo. (2010). Imunologi Klinik, Ed. 2. Jakarta : Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai