Anda di halaman 1dari 18

Kepada : Yth.

Hari/ tanggal : Senin, 4 September 2023


Waktu : 12.00 WIB s/d selesai
Tempat : Ruang Diskusi Anggrek V
Pembimbing : Dr. dr. Muh. Eko Irawanto, Sp. KK(K)
Moderator : Dr. dr. Muh. Eko Irawanto, Sp. KK(K)
Presentan : Sugih Primas Adjie
Stase : Alergi Imunologi

Tinjauan Pustaka Stase Alergi Imunologi

ALERGI AKIBAT PRODUK PERAWATAN SEHARI-HARI:


TINJAUAN PUSTAKA

Oleh :
Sugih Primas Adjie

Pembimbing :
Dr. dr. Muh. Eko Irawanto, Sp. KK(K)

DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2023
ALERGI AKIBAT PRODUK PERAWATAN SEHARI-HARI:
TINJAUAN PUSTAKA
Sugih Primas Adjie1, Muh. Eko Irawanto1
1
Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret,
Surakarta/RSUD Dr. Moewardi

I. PENDAHULUAN
Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang timbul akibat induksi imunoglobulin E
(IgE) spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan dengan sel mast atau basofil 1.
Gejala alergi dapat bervariasi, tergantung pada jenis alergen dan individu, tetapi gejala
yang umum terjadi meliputi bersin-bersin, gatal pada hidung, mata, atau palatum durum,
hidung berair, atau hidung tersumbat2. Alergi memiliki tingkat kejadian antara 0,5-2%
pada populasi umum di negara-negara industri, dan angka kejadian tersebut cenderung
terus meningkat1.
Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh dunia mengalami manifestasi
alergi seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis atopik atau eksema dan anafilaksis.
World health organization (WHO) memperkirakan alergi terjadi pada 5-15% populasi
anak di seluruh dunia3. Data epidemiologi di Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari
389 kasus penyakit kulit adalah dermatitis kontak, sebanyak 66,3% dari kasus tersebut
adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7% adalah dermatitis kontak alergi 2. Prevalensi
rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5 – 12,4%3.
Parfum banyak digunakan dalam produk-produk beraroma yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga menghasilkan potensi paparan yang tinggi pada populasi
umum. Wewangian dan parfum dapat dibuat dari ekstrak alami atau sintesis. Mereka
menghasilkan aroma yang menyenangkan atau menyamarkan bau tidak sedap dari suatu
produk3. Alergi membutuhkan kepekaan sebelumnya terhadap bahan kimia pewangi.
Bahan pewangi juga merupakan salah satu penyebab reaksi alergi kontak yang
paling sering terjadi. Faktanya, alergi wewangian adalah yang kedua setelah alergi nikel
sebagai penyebab dermatitis kontak alergi4. Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk
mengetahui lebih lanjut terkait alergi terhadap bahan parfum yang terdapat dalam bahan
sehari-hari.
Sejalan dengan perkembangan industri di Indonesia, terjadi perubahan pola
penyakit atau kasus penyakit akibat kerja. Penyakit kulit akibat kerja dapat berupa
dermatitis dan urtikaria. Dermatitis kontak akibat kerja mencapai 90% dari dermatosis
1
akibat kerja (DAK). Kontak dengan bahan kimia merupakan penyebab terbesar
dermatitis kontak akibat kerja1,2. Terdapat akselerator yang ditambahkan pada bahan karet
alami yang terdiri dari Thiuram-mix, Carba-mix, dan Mercapto-mix yang dapat memicu
proses inflamasi9.
Penggunaan perhiasan yang berbahan dasar nikel merupakan masalah kesehatan
yang serius di dalam masyarakat modern. Nikel dapat menimbulkan reaksi alergi melalui
tiga cara, yaitu pertama, nikel akan mengikat protein karier yang ada di ruang
ekstraseluler dan kemudian nikel akan diproses dan dipresentasikan oleh antigen-
presenting cells (APC) sehingga akan mengaktifkan cluster of differentiation 4 (CD4+) .
Kedua, nikel akan berpenetrasi sehingga nikel akan berikatan dengan protein intraseluler
dan selanjutnya akan dipresentasikan oleh APC sehingga akan mengatifkan CD8+ .
Ketiga, nikel juga dapat berperan sebagai “jembatan” antara molekul major
histocompatibility complex (MCH) dan T-cell receptor (TCR) reseptor sehingga nikel
tersebut dapat dianalogikan sebagai superantigen10.
II. ALERGI
A. Definisi
Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang timbul akibat induksi
immunoglobulin E (IgE) spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan dengan sel
mast atau sel basofil. Saat antigen terikat, molekul IgE berinteraksi silang, sel mast
manusia dirangsang untuk berdegranulasi dan melepaskan histamin, leukotrien,
kinin, Platelets Activating Factor (PAF), dan mediator lain dari hipersensitivitas,
dimana histamin merupakan penyebab utama berbagai macam alergi. Menurut Gell
dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dibagi dalam 4 tipe, yaitu tipe I, II, III, dan IV,
dimana hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas anafilaktik atau
reaksi alergi5.

Gambar 1. Tipe Reaksi Hipersensitivitas5


2
Alergi terjadi akibat reaksi berlebihan sistem kekebalan tubuh terhadap zat
asing (alergen) yang umumnya tidak berbahaya bagi sebagian besar orang. Ketika
seseorang dengan alergi terpapar alergen, sistem kekebalan tubuh akan membentuk
antibodi yang disebut IgE. Antibodi akan merespons alergen yang akan
menimbulkan reaksi inflamasi, pruritus, dan berbagai gejala lainnya. Dalam beberapa
kasus, gejalanya cukup ringan, tetapi juga dapat menjadi gangguan yang berarti dan
memiliki dampak yang cukup besar dalam kehidupan sehari-hari1.

B. Etiologi
Anafilaksis adalah bentuk paling parah dari reaksi hipersensitivitas yang
memiliki onset yang cepat dari beberapa menit hingga beberapa jam. 6 Reaksi ini
disebabkan oleh aktivasi sel mast dan basofil melalui pengikatan reseptor membran
sel terhadap antibodi IgE. Aktivasi sel-sel ini menyebabkan pelepasan mediator dari
granul sekretori seperti histamin, tryptase, karboksipeptidase A, dan proteoglikan.
Reaksi ini berlanjut ke aktivasi zat sekunder seperti fosfolipase A2, kemudian
siklooksigenase dan lipogenesis serta asam arakidonat, PAF, dan tumor necrosis
factor-alpha (TNF-α). Sitokin dan kemokin ini menimbulkan gejala yang
mengancam jiwa, termasuk bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, dan flushing pada wajah.7 Reaksi ini berlanjut dengan faktor pengaktifan
trombosit, yang menyebabkan bronkokonstriksi dan permeabilitas pembuluh darah.
Aktivasi neutrofil oleh TNF-α dan perekrutan lebih lanjut sel efektor, dan
meningkatkan sintesis kemokin. Proses yang sangat cepat dan mengancam jiwa ini
dapat menyebabkan kematian jika tidak ada intervensi untuk memicu pemulihan atau
menghentikan prosesnya dengan segera, sehingga mencegah reaksi sekunder. Pemicu
anafilaksis yang umum diketahui adalah sengatan lebah, kacang tanah, lateks, dan
obat-obatan2.

C. Epidemiologi
Alergi memiliki tingkat kejadian antara 0,5-2% pada populasi umum di negara-
negara industri, dan angka kejadian tersebut cenderung terus meningkat. Prevalensi
kejadian alergi di Amerika Serikat mencapai angka 1,6%. Prevalensi dermatitis
atopik alergi di Amerika Serikat mencapai 11%, sedangkan di seluruh dunia
3
mencapai angka 5-20. Prevalensi rinitis alergi berjumlah 10-30% di Amerika Serikat.
Rinokonjungtivitis diketahui prevalensinya sebesar 8,5% pada anak usia 6-7 tahun
dan 14,6% untuk anak usia 13-14 tahun dijelaskan dalam Study of Asthma and
Allergies in Childhood. Penelitian menemukan bahwa prevalensi keseluruhan
meningkat di negara industri. Atopi adalah kecenderungan genetik untuk
memproduksi IgE sebagai respons terhadap paparan alergen dan mungkin berkaitan
dengan peningkatan insidensi terjadinya alergi1.
Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh dunia mengalami manifestasi
alergi seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis atopik atau eksema dan anafilaksis.
World health organization memperkirakan alergi terjadi pada 5-15% populasi anak
di seluruh dunia3. Data epidemiologi di Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari
389 kasus penyakit kulit adalah dermatitis kontak, sebanyak 66,3% dari kasus
tersebut adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7% adalah dermatitis kontak alergi 2.
Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5 – 12,4%.3

D. Patofisiologi
Patofisiologi alergi terjadi akibat pengaruh mediator pada organ target.
Mediator tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam
granula sel mast (performed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian
(newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini dibagi dalam dua kelompok,
yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain
akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).8
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi IgE yang spesifik terhadap alergen
tertentu berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast. Reaksi alergi dimulai
dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil
dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem
nukleotida siklik yang meningkatkan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion
Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.9
Mediator yang telah ada di dalam granula sel mast diantaranya histamin,
eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemotactic
factor (NCF).10 Histamin memiliki peranan penting pada fase awal setelah kontak
dengan alergen (terutama pada mata, hidung, dan kulit). Histamin dapat
menyebabkan hidung tersumbat, berair, sesak napas, dan kulit gatal. Histamin
4
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan menyebabkan bronkokonstriksi. Pada
sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah
yang lebih besar konstriksi karena kontraksi otot polos. Histamin meningkatkan
permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular menyebabkan
respons wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan jika terjadi secara sistemik dapat
menyebabkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema.11 Pada traktus gastrointestinal,
histamin menaikkan sekresi mukosa lambung dan apabila pelepasan histamin terjadi
secara sistemik, aktivitas otot polos usus dapat meningkat dan menyebabkan diare
dan hipermotilitas.
Newly synthesized mediator diantaranya adalah leukotrien, prostaglandin, dan
tromboksan. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan
permeabilitas, dan sekresi mukus. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi
otot polos dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan
E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus. Kallikrein
menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan tekanan
darah. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi dan memecah kompleks
antigen-antibodi dan menghalangi newly synthesize mediator dan histamin. Platelets
Activating Factor menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah, mengaktifkan faktor XII yang akan menginduksi pembuatan
bradikinin. Bradikinin menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara
lambat, lama, dan hebat. Bradikinin juga merangsang produksi mukus dalam traktus
respiratorius dan lambung. Serotonin dalam trombosit yang dilepaskan waktu
agregasi trombosit melalui mekanisme lain menyebabkan kontraksi otot bronkus
yang pengaruhnya sebentar.12

E. Manifestasi Klinis
Salah satu mediator inflamasi yang dikeluarkan oleh sel mast atau basofil
selama degranulasi adalah histamin. Histamin berinteraksi dengan reseptor pada
berbagai sel kekebalan tubuh, termasuk sel mast, eosinofil, basofil, sel dendritik, dan
sel T, serta pada sel endotel dan epitel, dan juga pada beberapa jaringan, termasuk
kulit dan paru-paru, untuk menyebabkan peradangan alergi. 13,14 Histamin adalah
biomolekul multifungsi yang dapat mengendalikan sistem saraf pusat dan periferal.
Selain sel-sel kekebalan, neuron otak dapat melepaskan histamin.14 G-protein
5
coupled receptors (GPCRs) termasuk reseptor histamin (H1R, H2R,H3R, dan
H4R).1315 Ikatan histamin dengan reseptor menghasilkan sejumlah gejala atau
konsekuensi klinis Seperti yang ditunjukkan dalam tabel13–16

Receptors Effects Clinical Manifestation

Stimulates nociceptive nerve fiber;


Itching; urticaria; allergic
H1 bronchoconstriction; increase mucus
rhinoconjunctivitis; allergic asthma
secretion

Peptic ulcer anaphylaxis;


Gastric acid secretion;
H2 negative feedback on mast cell
arrhythmia; increase intracellular cAMP
activation

Neuro-inflammatory diseases
H3 Inflammation on the neurons
such as epilepsy; CNS disorder

Induce eosinophil shape change; activates


H4 Lung asthma
eosinophils

Manifestasi gejala alergi juga bervariasi, tergantung pada jenis alergen dan
individu, tetapi gejala yang umum terjadi meliputi:

● Bersin-bersin

● Gatal pada hidung, mata, atau palatum durum

● Hidung berair atau tersumbat

● Mata berair, merah, atau bengkak (konjungtivitis)

● Reaksi kulit seperti gatal-gatal atau ruam

● Pembengkakan pada bibir, lidah, wajah, atau tenggorokan

● Batuk, sesak dada, mengi, atau sesak napas

● Gejala gastrointestinal seperti kram perut atau muntah

Reaksi alergi biasanya terjadi di area tubuh yang bersentuhan langsung dengan
alergen. Misalnya, makanan dapat menyebabkan gatal dan bengkak di mulut dan
lidah. Bagian tubuh pertama yang terkena serbuk sari adalah saluran pernapasan
bagian atas, yang menyebabkan hidung berair dan bersin-bersin.
6
Alergi terhadap makanan, racun serangga, atau obat-obatan tertentu dapat
menyebabkan reaksi anafilaksis. Reaksi anafilaksis adalah keadaan darurat medis
dan dapat mengancam jiwa.17 Hal ini terjadi ketika reaksi alergi mulai mempengaruhi
bagian lain dari tubuh seperti saluran pencernaan, saluran udara atau sistem
kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah). Reaksi anafilaksis dapat menyebabkan
hal-hal seperti gatal, bengkak, sakit perut, mual, muntah, kebingungan, mengantuk,
masalah pernapasan, dan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba1.

F. Diagnosis
Diagnosis yang akurat ditambah dengan terapi yang optimal membutuhkan tes
yang tepat untuk mengkonfirmasi sensitisasi alergen dan informasi rinci tentang
paparan alergen yang diduga. Tes kulit, terutama skin prick test, merupakan alat yang
paling andal dan hemat biaya untuk diagnosis dan pengelolaan penyakit yang
dimediasi oleh IgE. Setelah diagnosis ditegakkan dan alergen yang relevan telah
diidentifikasi, perawatan khusus, termasuk obat-obatan, tindakan pengendalian
lingkungan dan/atau imunoterapi alergen (ITA) diperlukan untuk mencapai hasil
yang optimal dan berjangka panjang.18
● Skin prick test: Tes ini digunakan jika diperkirakan seseorang memiliki alergi
yang menyebabkan reaksi segera setelah orang tersebut bersentuhan dengan
pemicunya, seperti demam. Tes ini melibatkan penempatan tetesan kecil
berbagai alergen pada kulit lengan bawah, menyisakan ruang yang cukup di
antara keduanya, lalu menusuk permukaan kulit di mana alergen berada,
sehingga zat-zat tersebut masuk ke dalam kulit. Jika kulit menjadi merah dan
bengkak, seperti gigitan nyamuk yang besar, berarti pasien mengalami reaksi
alergi19.

7
Gambar 1. Skin Prick Test1
● Patch test: Tes ini digunakan jika pasien diduga memiliki alergi yang gejalanya
baru muncul setengah hingga tiga hari setelah kontak dengan alergen. Tes ini
melibatkan penempelan patch yang mengandung alergen yang dicurigai di
punggung selama satu hingga dua hari, dan memeriksa apakah kulit menjadi
bengkak, merah, dan gatal. Meskipun tidak ada kontraindikasi formal, patch test
harus dihindari pada wanita hamil.20

Gambar 2. Patch Test21


● Provocation test: Dalam tes provokasi, tubuh dipaparkan pada berbagai alergen
untuk melihat apakah ada reaksi. Misalnya, pasien diduga menderita rinitis
alergi (peradangan yang berhubungan dengan alergi pada bagian dalam hidung),
sampel alergen potensial akan ditempatkan pada lapisan hidungnya dengan
menggunakan nasal spray atau obat tetes. Jika lapisan hidung pasien menjadi
bengkak, pasien akan bersin dan hidung pasien mulai berair, kemungkinan besar
pasien menderita rinitis alergi. Tes provokasi biasanya hanya dilakukan jika tes
8
lainnya tidak memberikan hasil yang jelas.
Kadang-kadang mungkin perlu dilakukan tes sampel darah ke laboratorium
untuk menemukan antibodi terhadap alergen tertentu: misalnya, jika pengujian
kulit terlalu berisiko atau jika hasilnya tidak jelas. Tidak semua alergen dapat
diuji dengan menggunakan skin test. Tes alergi dilakukan oleh dokter yang
memiliki spesialisasi dalam bidang alergi1.

G. Prognosis
Pasien dapat sembuh secara spontan dari gejala-gejala ringan. Umumnya,
gejala-gejala tersebut akan bertambah parah. Prediksi seberapa parah reaksi yang
terjadi tidak dapat diprediksi. Beberapa faktor dapat menentukan tingkat keparahan.
Pasien dapat mengalami reaksi beragam di mana pasien dapat mengalami
kekambuhan gejala setelah sembuh tanpa paparan berulang, yang telah dilaporkan
pada 15% anak-anak dan 21% pada total populasi; reaksi dapat menjadi berlarut-larut
di mana reaksi tersebut berlangsung selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Ada beberapa kasus dengan reaksi hipersensitivitas yang tertunda yang mengalami
anafilaksis, reaksi ini terjadi beberapa jam setelah terpapar alergen.
Faktor risiko untuk hasil yang parah adalah pasien dengan asma, penyakit paru
obstruktif kronik, dan interstitial lung disease. Pasien dengan kondisi ini mungkin
mengalami reaksi subakut jika mereka telah menerima pengobatan awal dengan
antihistamin dan steroid. Pasien dengan penyakit jantung dan hipertensi, yang
menggunakan alpha-blockers, beta-blockers, ACE inhibitors mungkin memerlukan
dosis epinefrin yang lebih besar untuk mengobati anafilaksis2.

H. Komplikasi
Anafilaksis jika tidak ditangani segera dapat mengakibatkan kematian dalam
hitungan menit. Dari 164 kasus anafilaksis berat, interval waktu rata-rata antara
timbulnya gejala dan henti napas atau henti jantung adalah 5 menit untuk anafilaksis
iatrogenik. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa gejala mulai muncul dalam waktu
15 menit untuk sengatan racun serangga dan 30 menit untuk reaksi yang disebabkan
oleh makanan. Kegagalan untuk mengenali dan mengobati dengan cepat dan tepat
dengan epinefrin dapat menyebabkan gangguan jantung, peredaran darah, dan
pernapasan. Pasien dengan komorbiditas yang mendasari seperti penyakit jantung
9
dapat berisiko mengalami komplikasi dari pengobatan. Pasien-pasien ini harus
menerima terapi karena risiko efek samping dari anafilaksis juga mungkin terjadi.
Pencegahan komplikasi dari pasien dengan komorbid memerlukan antisipasi dan
respons yang tepat. Perlindungan jalan napas untuk kasus asma berat atau penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) mungkin diperlukan2.

III. HUBUNGAN ALERGI DAN PENGGUNAAN PRODUK PERAWATAN SEHARI-


HARI
Parfum banyak digunakan dalam produk-produk beraroma yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga menghasilkan potensi paparan yang tinggi pada populasi
umum3. Produk-produk ini dapat dimaksudkan untuk penggunaan di kulit seperti parfum
dan krim, untuk membilas kulit seperti sampo dan produk cukur, atau digunakan sebagai
barang rumah tangga. Produk beraroma mengandung bahan kimia dengan berat molekul
rendah yang mungkin memiliki potensi untuk menyebabkan sensitisasi kulit dan bila
tingkat paparan cukup dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi 4. Fragrance Mix I
(FM I) adalah alergen yang paling umum ditemukan di sebagian besar pusat setelah
melakukan uji tempel pada pasien yang berurutan dengan seri dasar, setelah nikel3.
Tujuan utama parfum yang digunakan dalam kosmetik dan barang-barang rumah
tangga adalah untuk menghasilkan bau yang menyenangkan secara estetika atau untuk
menutupi bau yang tidak sedap. Parfum dapat dibuat di laboratorium atau bisa juga
secara alami, seperti minyak esensial3. Parfum dapat menyebabkan efek kesehatan atau
lingkungan yang merugikan termasuk alergi kontak. Insiden dermatitis akibat kosmetik
sulit untuk ditentukan. Terkadang, dermatitis yang terjadi bersifat ringan dan konsumen
memilih untuk berhenti menggunakan produk daripada mencari pertolongan medis 4.
Bagian tubuh utama yang terlibat adalah tangan dan wajah pada wanita; tangan, wajah,
dan kaki bagian bawah pada pria; dan daerah ketiak pada kedua jenis kelamin.
A. Jenis
i. Kosmetik dan Produk Perawatan Diri
Produk perawatan sehari-hari umum digunakan masyarakat luas kini.
Utamanya parfum sebagai zat pemberi aroma pada berbagai produk. Berbagai
contoh produk yang digunakan seperti lipbalm, lipstik deodoran, lotion, barang
industri, obat topikal, tabir surya, dan sebagainya. Oleh karena itu, semua orang
10
terpapar parfum secara teratur. Parfum merupakan salah satu penyebab terbesar
dermatitis kontak alergi (DKI)22.
Tingkat reaksi alergi terhadap parfum bervariasi antara 0,7% dan 2,6%
pada populasi umum. Tingkat kontak alergi lebih tinggi pada populasi tertentu.
DKA terhadap parfum 1.3 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pada
pria.23
Selain itu, predileksi spesifik dermatitis alergi terhadap parfum dapat
ditemukan di seluruh bagian tubuh. Studi menunjukkan manifestasi dermatitis
akibat parfum utamanya sebagai eksim kronis atau subakut paling banyak pada
tangan dan wajah. Hal ini berkaitan dengan penggunaan kosmetik yang sering
pada area tersebut. Reaksi dapat terjadi melalui kontak langsung dengan kulit
secara topikal maupun melalui airborne.23,24
Dalam sebuah penelitian di Denmark (2005-2009), kosmetik adalah
penyebab dari 42% pasien yang mengalami alergi kontak fragrance contact
allergy. Sumber yang paling umum adalah deodoran (paling sering terjadi pada
pria), losion beraroma dan parfum (paling sering terjadi pada wanita), sampo,
sabun cair, pencukur rambut, dan lipstik. 25 Pada deodoran, daya tahan dan
penetrasi pada kulit ditingkatkan oleh faktor oklusi, folikel rambut, dan iritasi
pencukuran. Paparannya tergantung pada frekuensi pemakaian dan konsentrasi
wewangian. Analisis kimiawi deodoran menunjukkan bahwa limonene dan
sitronelol terkandung dalam konsentrasi tertinggi. Dalam tiga penelitian di
Jerman (2008, 2010, dan 2011), 83% deodoran diberi label mengandung salah
satu dari "26" zat (alergen kuat pada 30%).26 Fragrance mix (FM) II dan
hydroxyisohexyl-3-cyclohexene carboxaldehyde (HICC) positif dalam reaksi dari
deodoran, dan FM I dan Myroxylon pereirae dalam losion dan sampo beraroma.
produk bilas (pembersih wajah, sabun mandi, sampo, dan kondisioner) tidak
cenderung menyebabkan sensitisasi kulit, tetapi paparan yang dihasilkan dari
penggunaan produk bilas (misalnya, krim wajah, make-up, dan losion tubuh)
dapat menyebabkan peningkatan risiko induksi sensitisasi kulit pada konsumen
yang sering menggunakan produk tersebut.27
ii. Produk Kebersihan Penyerap
Produk kebersihan penyerap, seperti tampon, pantyliner, dan pembalut
mengandung wewangian limonene, linalool, citronellol, geraniol,
11
hydroxycitronellal, hexyl cinnamal, dan benzyl salicylate. Kandungan
wewangian pada beberapa produk >10 µg/g.28 Produk popok yang dijual bebas
mengandung M. pereirae. Produk-produk tersebut menimbulkan risiko
sensitisasi tinggi (terutama pada area yang lembap).24
iii. Produk Perawatan Udara
Dermatitis kontak melalui airborne dapat disebabkan oleh beberapa produk
perawatan udara yang umum digunakan oleh masyarakat, seperti diffuser,
semprotan dan pompa aerosol dan pompa, gel, bunga rampai lilin, dupa, lelehan
lilin.29 Terdapat contoh pada pasien yang peka terhadap M. pereirae, mengalami
dermatitis wajah dan kelopak mata yang parah akibat diffuser mobil.30
B. Spektrum Klinis Reaksi Kulit terhadap Parfum
Reaksi klinis yang dapat terjadi, antara lain dermatitis kontak (iritan dan/atau
alergi), reaksi kontak eksim (pigmented, pustular, lichenoid, lymphomatoid),
fotosensitivitas dan foto alergi, dermatitis aktinik kronik.31
1. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi adalah respons imunologi kompleks yang
terutama melibatkan sel T, dipicu oleh paparan kulit terhadap alergen kontak.
Mekanisme kekebalan yang terlibat dalam respons didasarkan pada percobaan
hewan, khususnya model tikus. Sel T CD4+ dan CD8+ terlibat dalam respons
inflamasi, dengan subset dominan bergantung pada alergen dan pengaturan
eksperimental. Respon alergi dibagi menjadi dua fase: sensitisasi dan elisitasi.
Selama sensitisasi, alergen menginduksi respons peradangan, yang mengarah ke
aktivasi APC di kulit. Sel-sel ini bermigrasi ke kelenjar getah bening yang
mengering, di mana mereka menghadirkan sel T CD4+ dan CD8+ yang naif
untuk alergen. Aktivasi dan diferensiasi sel T menyebabkan sel T memori, yang
menjadi peka terhadap alergen. Paparan ulang terhadap alergen menyebabkan
respons peradangan yang lebih cepat dan lebih kuat. Mencampur alergen dapat
menyebabkan respon aditif, sinergis, atau terhambat, dimediasi oleh mekanisme
imunologi seperti sinyal bahaya, sel T, dan mekanisme antiinflamasi. Hapten
tambahan juga dapat mempengaruhi reaksi.32
Rangkaian patch testing merupakan titik awal yang penting untuk
mengidentifikasi potensi DKA, tetapi untuk meningkatkan akurasi diagnostik,
pengujian harus didasarkan pada riwayat medis, lingkungan, dan pekerjaan yang
12
terperinci. Selain itu diperlukan juga pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis. Setelah diagnosis DKA ditegakkan,
pasien perlu untuk diedukasi menyeluruh tentang penghindaran alergen untuk
meningkatkan prognosis dan menghindari kejadian relaps.33
Merupakan kondisi kronis dan dapat terjadi seumur hidup dan
memburuk, sehingga perlu dilakukan tindakan preventif primer sejak masa
kanak-kanak. fragrance yang terkandung di dalam kosmetik sering
memengaruhi kelopak mata34. Dermatitis aksila bilateral dapat menyebar hingga
ke tangan dan badan disebabkan oleh deodoran yang mengandung wewangian.
Organisme M. Pereirae dapat menyebabkan dermatitis sistemik yang
bermanifestasi menjadi stomatitis, cheilitis, palmoplantar, anogenital, atau
dermatitis general. Alergi wewangian sering berhubungan dengan eksim di
tangan, dimana FM, M. Pereiae dan colophonium adalah alergen paling umum
pada eksim tangan setelah logam.35
2. Dermatitis kontak iritan
Iritasi meningkat dengan autooksidasi, dan paparan dengan surfaktan
(misalnya natrium dodesil sulfat), nikel, metildibromo glutaronitrile atau
hydroxycitronellal. Oksidasi udara antara linalool dan limonene meningkatkan
iritasi (terkait dengan konsentrasi preparat uji teroksidasi). R-limonene yang
teroksidasi lebih mengiritasi daripada linalool teroksidasi pada konsentrasi yang
sama.36
3. Reaksi fotoalergi
Pasien dengan fotoalergi ketoprofen sering terdapat alergi cinnamal
dan/atau alkohol cinnamic. Reaktifitas yang tinggi diinduksi oleh gabungan
cincin benzena dan oksigen.3
C. Tatalaksana Alergi akibat Produk Perawatan Sehari-Hari
Penentuan tatalaksana dapat dinilai dari hasil skin patch test, apabila
didapatkan hasil positif 1 pada penanda wewangian diikuti oleh 1 atau lebih positif
dalam seri wewangian tertentu, pasien dapat menghindari bahan-bahan yang
mengandung produk wewangian tersebut.24 Apabila jenis wewangian yang
menyebabkan alergi tidak dapat diidentifikasi, pasien sebaiknya menggunakan
produk perfume-free. Untuk terapi medikamentosa, dapat diberikan secara sistemik
dengan menggunakan antihistamin oral, seperti difenhidramin 25 mg/6 jam, setirizin
13
5 mg/hari, dan loratadin 10 mg/hari untuk meringankan gejala gatal atau diberikan
prednison 20 mg/hari pada pasien dengan derajat sakit berat. Antihistamin mengikat
reseptor histamin pada permukaan sel. Pasien dapat juga diberikan obat topikal yaitu
pelembap yang kaya kandungan lipid, misalnya vaselin.37
D. Pencegahan Alergi akibat Produk Perawatan Sehari-hari
Secara umum, terdapat dua pencegahan pada alergi kontak wewangian, yaitu
pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer bertujuan untuk menghindari
sensitisasi sejak awal, sedangkan pencegahan sekunder menghindari terjadinya
relaps.38,39 Pengawet adalah alergen kedua yang paling umum, yang menyebabkan
reaksi alergi terhadap kosmetik.20 Salah satu upaya mencegah kerusakan biologis
kosmetik oleh mikroorganisme yang dapat mengkontaminasi, perlu ditambahkan
pengawet ke dalam komposisi. Pengawet yang ideal adalah produk yang stabil, tidak
beracun, tidak menyebabkan iritasi dengan spektrum antimikroba yang luas, efektif
pada rentang pH yang besar, namun produk tersebut masih belum banyak diteliti.
Paraben adalah bahan pengawet yang paling banyak digunakan dalam kosmetik,
diikuti oleh formaldehyde-releasing agents, dan isothiazolinones. Bahan pengawet
dengan prevalensi sensitisasi tertinggi adalah methyldibromo glutaronitrile,
formaldehyde, dan kathon CG sedangkan paraben adalah bahan dengan prevalensi
terendah.40 Kosmetik yang mengandung air mengandung pengawet antimikroba
untuk mencegah pertumbuhan bakteri atau jamur. Antioksidan adalah jenis pengawet
lain yang ditambahkan untuk mencegah kerusakan asam lemak tak jenuh dalam
produk kosmetik.20

IV. KESIMPULAN
Penggunaan produk perawatan sehari-hari dapat menjadi antigen perangsang
timbulnya alergi. Fragrance sebagai salah satu produk perawatan sehari-hari juga
berpengaruh terhadap reaksi alergi yang dapat timbul pada tubuh. pencegahan utama
yakni menghindari pencetus utama dari alergi. Penggunaan produk perawatan sehari-hari
tetap dapat digunakan dengan batas kadar tertentu.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. InformedHealth.org. Allergies: overview [Internet]. Cologne, Germany: Institute for


Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG). 2006.
2. Grant JA, Horner CC. Allergy. Encycl Respir Med Four-Volume Set. 2023;65–72.
3. Pastor-Nieto MA, Gatica-Ortega ME. Ubiquity, hazardous effects, and risk assessment
of fragrances in consumer products. Curr Treat options allergy. 2021;8(1):21–41.
4. Ortiz KJ, Yiannias JA. Contact dermatitis to cosmetics, fragrances, and botanicals.
Dermatol Ther. 2004;17(3):264–71.
5. Makrilia N, Syrigou E, Kaklamanos I, Manolopoulos L, Saif MW. Hypersensitivity
reactions associated with platinum antineoplastic agents: a systematic review. Met
Based Drugs. 2010;2010.
6. Vaillant AAJ, Vashisht R, Zito PM. Immediate hypersensitivity reactions. StatPearls.
2023;
7. Tomasiak-Łozowska MM, Klimek M, Lis A, Moniuszko M, Bodzenta-Łukaszyk A.
Markers of anaphylaxis - a systematic review. Adv Med Sci. 2018;63(2):265–77.
8. Akib AA, Munasir Z, Kurniati N. Buku ajar alergi-imunologi anak edisi kedua. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
9. Wistiani W, Notoatmojo H. Hubungan pajanan alergen terhadap kejadian alergi pada
anak. Sari Pediatr. 2016;13(3):185–90.
10. De A, Rajagopalan M, Sarda A, Das S, Biswas P. Drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms: an update and review of recent literature. Indian J Dermatol.
2018;63(1):30.
11. Tramontana M, Hansel K, Bianchi L, Sensini C, Malatesta N, Stingeni L. Advancing
the understanding of allergic contact dermatitis: from pathophysiology to novel
therapeutic approaches. Front Med [Internet]. 2023;10:1184289.
12. Wang J, Zhou Y, Zhang H, Hu L, Liu J, Wang L, et al. Pathogenesis of allergic
diseases and implications for therapeutic interventions. Signal Transduct Target Ther
2023 81. 2023;8(1):1–30.
13. Thangam EB, Jemima EA, Singh H, Baig MS, Khan M, Mathias CB, et al. The role of
histamine and histamine receptors in mast cell-mediated allergy and inflammation: the
hunt for new therapeutic targets. Front Immunol. 2018;9(AUG).
14. Albrecht M, Dittrich AM. Expression and function of histamine and its receptors in
atopic dermatitis. Mol Cell Pediatr. 2015;2(1).
15. Seifert R, Strasser A, Schneider EH, Neumann D, Dove S, Buschauer A. Molecular
and cellular analysis of human histamine receptor subtypes. Trends Pharmacol Sci.
2013;34(1):33–58.
16. Singh M, R. Jadhav H. Histamine h3 receptor function and ligands: recent
developments. Mini-Reviews Med Chem [Internet]. 2012;13(1):47–57.
17. Fischer D, Vander Leek TK, Ellis AK, Kim H. Anaphylaxis. Allergy, Asthma Clin
Immunol. 2018;14(2):1–8.
18. Ansotegui IJ, Melioli G, Walter Canonica G, Caraballo L, Villa E, Ebisawa M, et al.
IgE allergy diagnostics and other relevant tests in allergy, a world allergy organization
position paper. 2019;
19. Heinzerling L, Mari A, Bergmann KC, Bresciani M, Burbach G, Darsow U, et al. The
skin prick test – european standards. Clin Transl Allergy. 2013;3(1):3.
20. Hafner M de FS, Rodrigues AC, Lazzarini R. Allergic contact dermatitis to cosmetics:
retrospective analysis of a population subjected to patch tests between 2004 and 2017.
An Bras Dermatol [Internet]. 2020;95(6):696–701.
15
21. Spiewak R. Patch testing for contact allergy and allergic contact dermatitis. Open
Allergy J [Internet]. 2008;1(1):42–51.
22. Cheng J, Zug KA. Fragrance allergic contact dermatitis. Dermat contact, atopic, Occup
drug. 2014;25(5):232–45.
23. Reeder MJ. Allergic contact dermatitis to fragrances. Dermatol Clin. 2020;38(3):371–
7.
24. Arribas MP, Soro P, Silvestre JF. Allergic contact dermatitis to fragrances: part 2.
Actas Dermo-Sifiliográficas (English Ed [Internet]. 2013;104(1):29–37.
25. Heisterberg M V., Menné T, Andersen KE, Avnstorp C, Kristensen B, Kristensen O, et
al. Deodorants are the leading cause of allergic contact dermatitis to fragrance
ingredients. Contact Dermatitis [Internet]. 2011;64(5):258–64.
26. Klaschka U. Contact allergens for armpits--allergenic fragrances specified on
deodorants. Int J Hyg Environ Health. 2012;215(6):584–91.
27. Drechsel DA, Towle KM, Fung ES, Novick RM, Paustenbach DJ, Monnot AD. Skin
sensitization induction potential from daily exposure to fragrances in personal care
products. Dermat contact, atopic, Occup drug. 2018;29(6):324–31.
28. Desmedt B, Marcelis Q, Zhilivoda D, Deconinck E. Sensitizing fragrances in absorbent
hygiene products. Contact Dermatitis. 2020;82(5):279–82.
29. Johnson MB, Kingston R, Utell MJ, Wells JR, Singal M, Troy WR, et al. Exploring the
science, safety, and benefits of air care products: perspectives from the inaugural air
care summit. Inhal Toxicol. 2019;31(1):12–24.
30. Perper M, Cervantes J, Eber AE, Tosti A. Airborne contact dermatitis caused by
fragrance diffusers in uber cars. Contact Dermatitis. 2017;77(2):116–7.
31. Uter W, Johansen JD, Börje A, Karlberg AT, Lidén C, Rastogi S, et al. Categorization
of fragrance contact allergens for prioritization of preventive measures: clinical and
experimental data and consideration of structure-activity relationships. Contact
Dermatitis. 2013;69(4):196–230.
32. Bonefeld CM, Geisler C, Gimenéz-Arnau E, Lepoittevin JP, Uter W, Johansen JD.
Immunological, chemical and clinical aspects of exposure to mixtures of contact
allergens. Contact Dermatitis. 2017;77(3):133–42.
33. Alani JI, Davis MDP, Yiannias JA. Allergy to cosmetics: a literature review. Dermat
contact, atopic, Occup drug. 2013;24(6):283–90.
34. Klaschka U. Risk management by labelling 26 fragrances? evaluation of article 10 (1)
of the seventh amendment (guideline 2003/15/ec) of the cosmetic directive. Int J Hyg
Environ Health. 2010;213(4):308–20.
35. Scheinman PL. The foul side of fragrance-free products: what every clinician should
know about managing patients with fragrance allergy. J Am Acad Dermatol.
1999;41(6):1020–4.
36. Christensson JB, Forsström P, Wennberg AM, Karlberg AT, Matura M. Air oxidation
increases skin irritation from fragrance terpenes. Contact Dermatitis. 2009;60(1):32–
40.
37. PERDOSKI. Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di
indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia; 2017.
38. Marmgren V, Mowitz M, Zimerson E, Hindsén M, Bruze M. Contact allergy to
fragrance mix i and its components in individuals with photocontact allergy to
ketoprofen. Contact Dermatitis. 2021;85(6):660–70.
39. Bruze M, Mowitz M, Ofenloch R, Coenraads PJ, Diepgen TL, Elsner P, et al. The
significance of batch and patch test method in establishing contact allergy to fragrance
mix i-eden fragrance study group. Contact Dermatitis. 2019;81(2):104–9.
16
40. Halla N, Fernandes IP, Heleno SA, Costa P, Boucherit-Otmani Z, Boucherit K, et al.
Cosmetics preservation: a review on present strategies. Molecules. 2018;23(7).

17

Anda mungkin juga menyukai