Oleh :
Sugih Primas Adjie
Pembimbing :
Dr. dr. Muh. Eko Irawanto, Sp. KK(K)
I. PENDAHULUAN
Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang timbul akibat induksi imunoglobulin E
(IgE) spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan dengan sel mast atau basofil 1.
Gejala alergi dapat bervariasi, tergantung pada jenis alergen dan individu, tetapi gejala
yang umum terjadi meliputi bersin-bersin, gatal pada hidung, mata, atau palatum durum,
hidung berair, atau hidung tersumbat2. Alergi memiliki tingkat kejadian antara 0,5-2%
pada populasi umum di negara-negara industri, dan angka kejadian tersebut cenderung
terus meningkat1.
Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh dunia mengalami manifestasi
alergi seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis atopik atau eksema dan anafilaksis.
World health organization (WHO) memperkirakan alergi terjadi pada 5-15% populasi
anak di seluruh dunia3. Data epidemiologi di Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari
389 kasus penyakit kulit adalah dermatitis kontak, sebanyak 66,3% dari kasus tersebut
adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7% adalah dermatitis kontak alergi 2. Prevalensi
rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5 – 12,4%3.
Parfum banyak digunakan dalam produk-produk beraroma yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga menghasilkan potensi paparan yang tinggi pada populasi
umum. Wewangian dan parfum dapat dibuat dari ekstrak alami atau sintesis. Mereka
menghasilkan aroma yang menyenangkan atau menyamarkan bau tidak sedap dari suatu
produk3. Alergi membutuhkan kepekaan sebelumnya terhadap bahan kimia pewangi.
Bahan pewangi juga merupakan salah satu penyebab reaksi alergi kontak yang
paling sering terjadi. Faktanya, alergi wewangian adalah yang kedua setelah alergi nikel
sebagai penyebab dermatitis kontak alergi4. Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk
mengetahui lebih lanjut terkait alergi terhadap bahan parfum yang terdapat dalam bahan
sehari-hari.
Sejalan dengan perkembangan industri di Indonesia, terjadi perubahan pola
penyakit atau kasus penyakit akibat kerja. Penyakit kulit akibat kerja dapat berupa
dermatitis dan urtikaria. Dermatitis kontak akibat kerja mencapai 90% dari dermatosis
1
akibat kerja (DAK). Kontak dengan bahan kimia merupakan penyebab terbesar
dermatitis kontak akibat kerja1,2. Terdapat akselerator yang ditambahkan pada bahan karet
alami yang terdiri dari Thiuram-mix, Carba-mix, dan Mercapto-mix yang dapat memicu
proses inflamasi9.
Penggunaan perhiasan yang berbahan dasar nikel merupakan masalah kesehatan
yang serius di dalam masyarakat modern. Nikel dapat menimbulkan reaksi alergi melalui
tiga cara, yaitu pertama, nikel akan mengikat protein karier yang ada di ruang
ekstraseluler dan kemudian nikel akan diproses dan dipresentasikan oleh antigen-
presenting cells (APC) sehingga akan mengaktifkan cluster of differentiation 4 (CD4+) .
Kedua, nikel akan berpenetrasi sehingga nikel akan berikatan dengan protein intraseluler
dan selanjutnya akan dipresentasikan oleh APC sehingga akan mengatifkan CD8+ .
Ketiga, nikel juga dapat berperan sebagai “jembatan” antara molekul major
histocompatibility complex (MCH) dan T-cell receptor (TCR) reseptor sehingga nikel
tersebut dapat dianalogikan sebagai superantigen10.
II. ALERGI
A. Definisi
Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang timbul akibat induksi
immunoglobulin E (IgE) spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan dengan sel
mast atau sel basofil. Saat antigen terikat, molekul IgE berinteraksi silang, sel mast
manusia dirangsang untuk berdegranulasi dan melepaskan histamin, leukotrien,
kinin, Platelets Activating Factor (PAF), dan mediator lain dari hipersensitivitas,
dimana histamin merupakan penyebab utama berbagai macam alergi. Menurut Gell
dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dibagi dalam 4 tipe, yaitu tipe I, II, III, dan IV,
dimana hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas anafilaktik atau
reaksi alergi5.
B. Etiologi
Anafilaksis adalah bentuk paling parah dari reaksi hipersensitivitas yang
memiliki onset yang cepat dari beberapa menit hingga beberapa jam. 6 Reaksi ini
disebabkan oleh aktivasi sel mast dan basofil melalui pengikatan reseptor membran
sel terhadap antibodi IgE. Aktivasi sel-sel ini menyebabkan pelepasan mediator dari
granul sekretori seperti histamin, tryptase, karboksipeptidase A, dan proteoglikan.
Reaksi ini berlanjut ke aktivasi zat sekunder seperti fosfolipase A2, kemudian
siklooksigenase dan lipogenesis serta asam arakidonat, PAF, dan tumor necrosis
factor-alpha (TNF-α). Sitokin dan kemokin ini menimbulkan gejala yang
mengancam jiwa, termasuk bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, dan flushing pada wajah.7 Reaksi ini berlanjut dengan faktor pengaktifan
trombosit, yang menyebabkan bronkokonstriksi dan permeabilitas pembuluh darah.
Aktivasi neutrofil oleh TNF-α dan perekrutan lebih lanjut sel efektor, dan
meningkatkan sintesis kemokin. Proses yang sangat cepat dan mengancam jiwa ini
dapat menyebabkan kematian jika tidak ada intervensi untuk memicu pemulihan atau
menghentikan prosesnya dengan segera, sehingga mencegah reaksi sekunder. Pemicu
anafilaksis yang umum diketahui adalah sengatan lebah, kacang tanah, lateks, dan
obat-obatan2.
C. Epidemiologi
Alergi memiliki tingkat kejadian antara 0,5-2% pada populasi umum di negara-
negara industri, dan angka kejadian tersebut cenderung terus meningkat. Prevalensi
kejadian alergi di Amerika Serikat mencapai angka 1,6%. Prevalensi dermatitis
atopik alergi di Amerika Serikat mencapai 11%, sedangkan di seluruh dunia
3
mencapai angka 5-20. Prevalensi rinitis alergi berjumlah 10-30% di Amerika Serikat.
Rinokonjungtivitis diketahui prevalensinya sebesar 8,5% pada anak usia 6-7 tahun
dan 14,6% untuk anak usia 13-14 tahun dijelaskan dalam Study of Asthma and
Allergies in Childhood. Penelitian menemukan bahwa prevalensi keseluruhan
meningkat di negara industri. Atopi adalah kecenderungan genetik untuk
memproduksi IgE sebagai respons terhadap paparan alergen dan mungkin berkaitan
dengan peningkatan insidensi terjadinya alergi1.
Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh dunia mengalami manifestasi
alergi seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis atopik atau eksema dan anafilaksis.
World health organization memperkirakan alergi terjadi pada 5-15% populasi anak
di seluruh dunia3. Data epidemiologi di Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari
389 kasus penyakit kulit adalah dermatitis kontak, sebanyak 66,3% dari kasus
tersebut adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7% adalah dermatitis kontak alergi 2.
Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5 – 12,4%.3
D. Patofisiologi
Patofisiologi alergi terjadi akibat pengaruh mediator pada organ target.
Mediator tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam
granula sel mast (performed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian
(newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini dibagi dalam dua kelompok,
yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain
akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).8
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi IgE yang spesifik terhadap alergen
tertentu berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast. Reaksi alergi dimulai
dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil
dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem
nukleotida siklik yang meningkatkan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion
Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.9
Mediator yang telah ada di dalam granula sel mast diantaranya histamin,
eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemotactic
factor (NCF).10 Histamin memiliki peranan penting pada fase awal setelah kontak
dengan alergen (terutama pada mata, hidung, dan kulit). Histamin dapat
menyebabkan hidung tersumbat, berair, sesak napas, dan kulit gatal. Histamin
4
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan menyebabkan bronkokonstriksi. Pada
sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah
yang lebih besar konstriksi karena kontraksi otot polos. Histamin meningkatkan
permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular menyebabkan
respons wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan jika terjadi secara sistemik dapat
menyebabkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema.11 Pada traktus gastrointestinal,
histamin menaikkan sekresi mukosa lambung dan apabila pelepasan histamin terjadi
secara sistemik, aktivitas otot polos usus dapat meningkat dan menyebabkan diare
dan hipermotilitas.
Newly synthesized mediator diantaranya adalah leukotrien, prostaglandin, dan
tromboksan. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan
permeabilitas, dan sekresi mukus. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi
otot polos dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan
E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus. Kallikrein
menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan tekanan
darah. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi dan memecah kompleks
antigen-antibodi dan menghalangi newly synthesize mediator dan histamin. Platelets
Activating Factor menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah, mengaktifkan faktor XII yang akan menginduksi pembuatan
bradikinin. Bradikinin menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara
lambat, lama, dan hebat. Bradikinin juga merangsang produksi mukus dalam traktus
respiratorius dan lambung. Serotonin dalam trombosit yang dilepaskan waktu
agregasi trombosit melalui mekanisme lain menyebabkan kontraksi otot bronkus
yang pengaruhnya sebentar.12
E. Manifestasi Klinis
Salah satu mediator inflamasi yang dikeluarkan oleh sel mast atau basofil
selama degranulasi adalah histamin. Histamin berinteraksi dengan reseptor pada
berbagai sel kekebalan tubuh, termasuk sel mast, eosinofil, basofil, sel dendritik, dan
sel T, serta pada sel endotel dan epitel, dan juga pada beberapa jaringan, termasuk
kulit dan paru-paru, untuk menyebabkan peradangan alergi. 13,14 Histamin adalah
biomolekul multifungsi yang dapat mengendalikan sistem saraf pusat dan periferal.
Selain sel-sel kekebalan, neuron otak dapat melepaskan histamin.14 G-protein
5
coupled receptors (GPCRs) termasuk reseptor histamin (H1R, H2R,H3R, dan
H4R).1315 Ikatan histamin dengan reseptor menghasilkan sejumlah gejala atau
konsekuensi klinis Seperti yang ditunjukkan dalam tabel13–16
Neuro-inflammatory diseases
H3 Inflammation on the neurons
such as epilepsy; CNS disorder
Manifestasi gejala alergi juga bervariasi, tergantung pada jenis alergen dan
individu, tetapi gejala yang umum terjadi meliputi:
● Bersin-bersin
Reaksi alergi biasanya terjadi di area tubuh yang bersentuhan langsung dengan
alergen. Misalnya, makanan dapat menyebabkan gatal dan bengkak di mulut dan
lidah. Bagian tubuh pertama yang terkena serbuk sari adalah saluran pernapasan
bagian atas, yang menyebabkan hidung berair dan bersin-bersin.
6
Alergi terhadap makanan, racun serangga, atau obat-obatan tertentu dapat
menyebabkan reaksi anafilaksis. Reaksi anafilaksis adalah keadaan darurat medis
dan dapat mengancam jiwa.17 Hal ini terjadi ketika reaksi alergi mulai mempengaruhi
bagian lain dari tubuh seperti saluran pencernaan, saluran udara atau sistem
kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah). Reaksi anafilaksis dapat menyebabkan
hal-hal seperti gatal, bengkak, sakit perut, mual, muntah, kebingungan, mengantuk,
masalah pernapasan, dan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba1.
F. Diagnosis
Diagnosis yang akurat ditambah dengan terapi yang optimal membutuhkan tes
yang tepat untuk mengkonfirmasi sensitisasi alergen dan informasi rinci tentang
paparan alergen yang diduga. Tes kulit, terutama skin prick test, merupakan alat yang
paling andal dan hemat biaya untuk diagnosis dan pengelolaan penyakit yang
dimediasi oleh IgE. Setelah diagnosis ditegakkan dan alergen yang relevan telah
diidentifikasi, perawatan khusus, termasuk obat-obatan, tindakan pengendalian
lingkungan dan/atau imunoterapi alergen (ITA) diperlukan untuk mencapai hasil
yang optimal dan berjangka panjang.18
● Skin prick test: Tes ini digunakan jika diperkirakan seseorang memiliki alergi
yang menyebabkan reaksi segera setelah orang tersebut bersentuhan dengan
pemicunya, seperti demam. Tes ini melibatkan penempatan tetesan kecil
berbagai alergen pada kulit lengan bawah, menyisakan ruang yang cukup di
antara keduanya, lalu menusuk permukaan kulit di mana alergen berada,
sehingga zat-zat tersebut masuk ke dalam kulit. Jika kulit menjadi merah dan
bengkak, seperti gigitan nyamuk yang besar, berarti pasien mengalami reaksi
alergi19.
7
Gambar 1. Skin Prick Test1
● Patch test: Tes ini digunakan jika pasien diduga memiliki alergi yang gejalanya
baru muncul setengah hingga tiga hari setelah kontak dengan alergen. Tes ini
melibatkan penempelan patch yang mengandung alergen yang dicurigai di
punggung selama satu hingga dua hari, dan memeriksa apakah kulit menjadi
bengkak, merah, dan gatal. Meskipun tidak ada kontraindikasi formal, patch test
harus dihindari pada wanita hamil.20
G. Prognosis
Pasien dapat sembuh secara spontan dari gejala-gejala ringan. Umumnya,
gejala-gejala tersebut akan bertambah parah. Prediksi seberapa parah reaksi yang
terjadi tidak dapat diprediksi. Beberapa faktor dapat menentukan tingkat keparahan.
Pasien dapat mengalami reaksi beragam di mana pasien dapat mengalami
kekambuhan gejala setelah sembuh tanpa paparan berulang, yang telah dilaporkan
pada 15% anak-anak dan 21% pada total populasi; reaksi dapat menjadi berlarut-larut
di mana reaksi tersebut berlangsung selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Ada beberapa kasus dengan reaksi hipersensitivitas yang tertunda yang mengalami
anafilaksis, reaksi ini terjadi beberapa jam setelah terpapar alergen.
Faktor risiko untuk hasil yang parah adalah pasien dengan asma, penyakit paru
obstruktif kronik, dan interstitial lung disease. Pasien dengan kondisi ini mungkin
mengalami reaksi subakut jika mereka telah menerima pengobatan awal dengan
antihistamin dan steroid. Pasien dengan penyakit jantung dan hipertensi, yang
menggunakan alpha-blockers, beta-blockers, ACE inhibitors mungkin memerlukan
dosis epinefrin yang lebih besar untuk mengobati anafilaksis2.
H. Komplikasi
Anafilaksis jika tidak ditangani segera dapat mengakibatkan kematian dalam
hitungan menit. Dari 164 kasus anafilaksis berat, interval waktu rata-rata antara
timbulnya gejala dan henti napas atau henti jantung adalah 5 menit untuk anafilaksis
iatrogenik. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa gejala mulai muncul dalam waktu
15 menit untuk sengatan racun serangga dan 30 menit untuk reaksi yang disebabkan
oleh makanan. Kegagalan untuk mengenali dan mengobati dengan cepat dan tepat
dengan epinefrin dapat menyebabkan gangguan jantung, peredaran darah, dan
pernapasan. Pasien dengan komorbiditas yang mendasari seperti penyakit jantung
9
dapat berisiko mengalami komplikasi dari pengobatan. Pasien-pasien ini harus
menerima terapi karena risiko efek samping dari anafilaksis juga mungkin terjadi.
Pencegahan komplikasi dari pasien dengan komorbid memerlukan antisipasi dan
respons yang tepat. Perlindungan jalan napas untuk kasus asma berat atau penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) mungkin diperlukan2.
IV. KESIMPULAN
Penggunaan produk perawatan sehari-hari dapat menjadi antigen perangsang
timbulnya alergi. Fragrance sebagai salah satu produk perawatan sehari-hari juga
berpengaruh terhadap reaksi alergi yang dapat timbul pada tubuh. pencegahan utama
yakni menghindari pencetus utama dari alergi. Penggunaan produk perawatan sehari-hari
tetap dapat digunakan dengan batas kadar tertentu.
14
DAFTAR PUSTAKA
17