Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH ANTI ALERGI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Patofisiologi

Dosen Pengampu

D.Saeful Hidayat, DRS, MS, APT

Oleh

Ria Tamalia (A 181 034)

Kelas : Reguler Pagi A 2018

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA

YAYASAN KHAZANAH

2020 - 2021
ABSTRAK

Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk memaparkan tentang anti alergi. Adapun
yang menjadi latar belakang penulisan ini karena Indonesia merupakan salah satu
negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Ini terjadi dikarenakan
jumlah kelahiran di Indonesia yang tidak dapat terkendali.
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi.
Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda
yang secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan
terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang
normal. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4
tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga
reaksi anafilaktik atau reaksi.
Kata Kunci : Alergi, Hipersensitivitas,
1.1 Definisi Alergi

The World Allergy Organization (WAO) pada Oktober 2003 telah


menyampaikan revisi nomenklatur penyakit alergi untuk digunakan secara
global. Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme
imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral
maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri
berarti gejala atau tanda yang secara objektif dapat ditimbulkan kembali
dengan diawali oleh pajanan terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang
ditoleransi oleh individu yang normal. Menurut Gell dan Coombs, reaksi
hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV.
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga reaksi anafilaktik atau reaksi
alergi.

Definisi Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari


sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami
cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan
mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama.
Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya
yang merupakan komponen dalam system imun yang berfungsi sebagai
pelindung yang normal pada sistem kekebalan. Reaksi ini terbagi menjadi
empat kelas (tipe I – IV) berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama
waktu reaksi hipersensitif. Tipe I hipersensitivitas sebagai reaksi segera atau
anafilaksis sering berhubungan dengan alergi. Gejala dapat bervariasi dari
ketidaknyamanan sampai kematian. Hipersensitivitas tipe I ditengahi oleh IgE
yang dikeluarkan dari sel mast dan basofil. Hipersensitivitas tipe II muncul
ketika antibodi melilit pada antigen sel pasien, menandai mereka untuk
penghancuran. Hal ini juga disebut hipersensitivitas sitotoksik, dan ditengahi
oleh antibodi IgG dan IgM. Kompleks imun (kesatuan antigen, protein
komplemen dan antibodi IgG dan IgM) ditemukan pada berbagai jaringan
yang menjalankan reaksi hipersensitivitas tipe III. hipersensitivitas tipe IV
(juga diketahui sebagai selular) biasanya membutuhkan waktu antara dua dan
tiga hari untuk berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam berbagai
autoimun dan penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam contact
dermatitis. Reaksi tersebut ditengahi oleh sel T, monosit dan makrofag.

Definisi Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi


dari sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal
mengalami cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi
tubuh dan mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh
adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibodi, limfosit dan
sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam system imun yang
berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem kekebalan. Reaksi ini
terbagi menjadi empat kelas (tipe I – IV) berdasarkan mekanisme yang ikut
serta dan lama waktu reaksi hipersensitif. Tipe I hipersensitivitas sebagai
reaksi segera atau anafilaksis sering berhubungan dengan alergi. Gejala dapat
bervariasi dari ketidaknyamanan sampai kematian. Hipersensitivitas tipe I
ditengahi oleh IgE yang dikeluarkan dari sel mast dan basofil.
Hipersensitivitas tipe II muncul ketika antibodi melilit pada antigen sel
pasien, menandai mereka untuk penghancuran. Hal ini juga disebut
hipersensitivitas sitotoksik, dan ditengahi oleh antibodi IgG dan IgM.
Kompleks imun (kesatuan antigen, protein komplemen dan antibodi IgG dan
IgM) ditemukan pada berbagai jaringan yang menjalankan reaksi
hipersensitivitas tipe III. hipersensitivitas tipe IV (juga diketahui sebagai
selular) biasanya membutuhkan waktu antara dua dan tiga hari untuk
berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam berbagai autoimun dan penyakit
infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam contact dermatitis. Reaksi tersebut
ditengahi oleh sel T, monosit dan makrofag.

Alergi atau hipersensitivitas tipe I (1 dari 4) adalah


kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitifitas
dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
imunogenik (antigenic) atau dikatakan orang yang bersangkutan
bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya,
padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik.
Bahan-bahan yangmenyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
simtomnya sendiri meliputi gejala seperti mata merah, gatal-
gatal, rhinorrhoea, eksem, urticaria, atau serangan asma. Pada sebagian orang,
alergi berat terhadap lingkungan, atau alergi makanan atau alergi obat-obatan
atau reaksi terhadap sengatan dari tawon mungkin dapat membahayakan jiwa
dengan timbulnya anafilaksis. Tidak semua reaksi dari hipersensivitas adalah
alergi.
Reaksi alergi dapat diduga dan berlangsung cepat. Alergi disebabkan
oleh produksi antibodi berjenis IgE. Maka pembengkakan terjadi dari bersifat
tidak nyaman hingga membahayakan.
1.2 Etiologi Alergi

Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada


umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut
alergen.2,3,14 . Antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi anafilaksis
misalnya penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin,
streptomisin, sulfonamid dan lain-lain. Obat-obatan lain yang dapat
menyebabkan alergi yaitu anestesi lokal seperti prokain atau lidokain serta
ekstrak alergen seperti rumput-rumputan atau jamur, Anti Tetanus Serum
(ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti bisa ular juga dapat
menyebabkan reaksi alergi. Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk
prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan alergi misalnya zat radioopak,
bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin.

Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara (kotoran
tungau dari debu rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti
gamaglobulin dan kriopresipitat juga dapat merangsang mediator alergi
sehingga timbul manifestasi alergi. Alergi makanan biasanya terjadi pada satu
tahun pertama kehidupan dikarenakan maturitas mukosa usus belum cukup
matang, sehingga makanan lain selain ASI (Air Susu Ibu), contohnya susu
sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan akan menimbulkan manifestasi
penyakit alergi. Hal ini disebabkan makanan yang masuk masih dianggap
asing oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang belum matur sehingga
makanan tidak terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan kemudian
menimbulkan hipersensitivitas.

1.3 Epidemiologi Alergi

Prevalensi penyakit alergi terus meningkat secara dramatis di dunia, baik


di negara maju maupun negara berkembang, terlebih selama dua dekade
terakhir.1,2. Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh dunia
mengalami manifestasi alergi seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis
atopi atau eksema dan anafilaksis. WHO memperkirakan alergi terjadi pada
5-15% populasi anak di seluruh dunia.3 Pada fase 3 dari studi yang dilakukan
oleh International Study of Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) pada
tahun 2002-2003 dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial, rhinitis alergi
dan dermatitis atopik cenderung meningkat di sebagian besar lembaga
dibandingkan data 5 tahun sebelumnya.4. Pada tahun pertama kehidupan bayi
dengan kadar IgE <0,1 IU/ml,

Manifestasi alergi yang sering dijumpai adalah atopi simptom (40%),


dermatitis atopi (35,3%), rhinitis alergi/hipersekresi nasal (15,4%),
asma/”wheezy infant” (7,7%), gangguan gastrointestinal (7,7%), dan
konjungtivitis alergi (1,5%).18 Dermatitis atopi merupakan manifestasi awal
penyakit atopi dengan insiden tertinggi pada 3 bulan pertama kehidupan dan
mencapai prevalensi tertinggi

Selama 3 tahun pertama kehidupan.19 The Copenhagen Prospective


Study on Asthma in Childhood (COPSAC) melaporkan dermatitis atopi
pertama kali dijumpai pada usia 1 bulan, kemudian meningkat dan mencapai
puncaknya pada usia 2,5 tahun.

1.4 Mediator alergi

Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi. Yang


termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mastosit
dan basofil mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi
hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin, newly
synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan heparin.Mekanisme alergi terjadi
akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang
berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast. Reaksi alergi dimulai dengan
cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil
dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem
nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan
masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan
mediator lain.
Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus
yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan
dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar
menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin
meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan
vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan
bila terjadi sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioderma.
Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung
dan bila penglepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas otot polos usus
dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitasNewly synthesized
mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin dan tromboksan. Leukotrien
dapat menimbulkan efek kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas dan
sekresi mukus. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan
juga meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2
secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus. Eosinophyl
chemotacting factor-anaphylazsis (ECF-A) dilepaskan segera waktu
degranlasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi alergi untuk
memecah kompleks antigen-antibodi dan menghalangi aksi newly
synthesized mediator dan histamin. Plateletes Activating Factor (PAF)
menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh
darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII yang akan menginduksi pembuatan
bradikinin. Bradikinin dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan
vaskular secara lambat, lama dan hebat. Serotonin tidak ditemukan dalam sel
mast manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit
yang juga akan menyebabkan kontraksi otot bronkus tapi hanya sebentar
1.4.1 Fase Sensitisasi

Alergen memasuki tubuh manusia melalui berbagai rute


diantaranya kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan. Ketika
masuk, alergen akan dijamu serta diproses oleh Antigen Presenting
Cells (APCs) di dalam endosom. Kemudian APC akan
mempresentasikan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II
kepada sel limfosit T helper (Th0) di dalam limfe sekunder. Sel Th0
akan mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) yang merubah proliferasi sel
Th menjadi Th2. Sel Th2 akan menginduksi sel limfosit B (sel B)
untuk memproduksi Imunoglobulin (Ig). Pada orang dengan alergi,
Th1 tidak cukup kuat menghasilkan interferon gamma (IFN-ɤ) untuk
mengimbangi aktivitas Th2, sehingga Th2 akan lebih aktif
memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel B menukar produksi
antibodi IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada reseptor IgE
berafinitas tinggi (FcƐRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil.

1.4.2 Fase Reaksi

Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan


mengalami degranulasi yaitu suatu proses pengeluaran isi granul ke
lingkungan ekstrasel yang berupa histamin, prostaglandin, serta
sitokin-sitokin yang menimbulkan gejala klinis.

1.4.3 Fase Reaksi Lambat


Fase ini dimulai pada 2-6 jam setelah paparan alergen dan
puncaknya setelah 6-9 jam. Mediator inflamasi akan menginduksi sel
imun seperti basofil, eosinofil dan monosit bermigrasi ke tempat
kontak dengan paparan alergen. Sel-sel tersebut akan mengeluarkan
substansi inflamasi spesifik yang menyebabkan aktivitas imun
berkepanjangan serta kerusakan jaringan.

1.5 Mekanisme Transfer Alergi

Ibu yang memiliki riwayat alergi berpotensi mempengaruhi respon imun


bayi melalui plasenta dan air susu ibu (ASI). Transfer alergen makanan atau
inhalan melalui plasenta atau ASI juga diketahui bisa terjadi. Antibodi yang
bisa diturunkan ke anak melalui plasenta adalah IgG, IgA. Sedangkan
antibodi yang bisa diturunkan melalui ASI yaitu IgA, IgG, IgM, IgE. Transfer
sitokin dan kemokin juga dapat terjadi. Misalnya, interferon-ɤ (IFN-ɤ) dan
interleukin-6 (IL6) terdeteksi dalam kolustrum wanita normal dan ini dapat
diturunkan melalui ASI. Penelitian in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa
transfer tersebut dapat menyebabkan penurunan imunitas neonatus. Kemokin,
misalnya IL-8 (sitokin yang diregulasi pada aktivasi sel T normal), IFN-ɤ-
inducible protein dan monokin yang diinduksi oleh IFN-ɤ juga terdeteksi
dalam ASI ibu. Sitokin dan marker inflamasi lainnya ditemukan dalam ASI
ibu dengan riwayat atopi maupun tanpa riwayat atopi. Faktor lain yang harus
diperhatikan adalah kandungan asam lemak pada ASI, yang juga
mempengaruhi respon imun bayi. Selain faktor-faktor tersebut, sel juga
ditransfer dalam rahim, misalnya sel leukosit yang dapat diturunkan dari ibu
kepada bayi. Hal ini penting karena pada suatu penelitian menunjukkan
bahwa sel T spesifik alergen diturunkan dari satu induk tikus yang dapat
mentransmisikan risiko asma kepada anaknya. Transfer sel bertanggung
jawab atas pewarisan risiko alergi dari ibu kepada fetus.

1.6 Faktor risiko Alergi

Penyakit alergi pada bayi terjadi akibat interaksi dari faktor genetik,
lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan hygiene. Beberapa
faktor risiko yang dianggap berkontribusi terhadap angka kejadian alergi pada
bayi yaitu paparan asap rokok, konsumsi alkohol pada masa kehamilan, pola
diet atau komponen makanan ibu ketika masa kehamilan dan menyusui,
penggunaan antibiotik, metode persalinan seksio sesarea, bayi lahir prematur,
bayi berat lahir rendah, nutrisi yang diperoleh bayi serta ada atau tidaknya
hewan peliharaan.

1.7 Manifestasi Klinis Alergi

Manifestasi klinis alergi pada bayi dapat dibagi menurut organ target yang
terkena. Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai
pada bayi, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit. Secara klinis berbentuk
dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan
daerah ekstensor ekstremitas. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah
vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang
infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok sehingga bayi gelisah
dan rewel dengan tidur yang terganggu.

Pada mukosa respirasi dapat terjadi rhinitis alergi yang ditandai dengan
nasal pruritis, rinorea, hidung tersumbat dan asma yang ditandai dengan
bronkospasme, inflamasi jalan nafas kronis.

Pada mukosa gastrointestinal bermanifestasi sebagai alergi makanan


dengan gejala nyeri perut kolik, muntah, diare. Jika reaksi alergi terjadi
sistemik dapat terjadi syok anafilaksis Penyakit alergi pada mata juga dapat
dijumpai pada bayi namun dengan presentase kecil. Secara klinis ditandai
dengan mata berair, hiperemia konjungtiva, gatal mata, bayi menunjukkan
gerakan menggosok mata. Gejala muncul setidaknya 2 minggu dan tidak ada
hubungannya dengan infeksi

1.8 Diagnosis Alergi

Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan riwayat klinis dengan melakukan


anamnesis. Anamnesis diperjelas dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
sensitivitas IgE, tes pada kulit atau allergen specific serum IgE measurements
(RAST). Skin-prick testing (SPT) dilakukan dengan ekstrak alergen, diujikan
pada kulit. Pemeriksaan darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan IgE
spesifik (RAST). Pemeriksaan IgE total digunakan sebagai marker diagnosis
alergi, tetapi memiliki kelemahan. IgE meningkat pada penyakit alergi dan
juga non alergi seperti infestasi parasit, sehingga kurang spesifik. Sedangkan
pemeriksaan IgE spesifik untuk mengukur IgE spesifik alergen dalam serum
pasien. Adapun pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit
alergi adalah skrining antibody IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan
Cellular antigen stimulation test (CAST).

1.9 Penyebab Alergi

Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang


melibatkan antibodi IgE (immunoglobulin E). Ig E terikat pada sel khusus,
termasuk basofil yang berada di dalam sirkulasi darah dan juga sel mast yang
ditemukan di dalam jaringan. Jika antibodi IgE yang terikat dengan sel-sel
tersebut berhadapan dengan antigen (dalam hal ini disebut alergen), maka
sel-sel tersebut didorong untuk melepaskan zat-zat atau mediator kimia yang
dapat merusak atau melukai jaringan di sekitarnya. Alergen bisa berupa
partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan, yang bertindak sebagai
antigen yang merangsang terajdinya respon kekebalan. Kadang istilah
penyakit atopik digunakan untuk menggambarkan sekumpulan
penyakit keturunan yang berhubungan dengan IgE, seperti rinitis alergika dan
asma alergika. Penyakit atopik ditandai dengan kecenderungan untuk
menghasilkan antibodi IgE terhadap inhalan (benda-benda yang terhirup,
seperti serbuk bunga, bulu binatang dan partikel-partikel debu) yang tidak
berbahaya bagi tubuh. Eksim (dermatitis atopik) juga merupakan suatu
penyakit atopik meskipun sampai saat ini peran IgE dalam penyakit ini masih
belum diketahui atau tidak begitu jelas. Meskipun demikian, seseorang yang
menderita penyakit atopik tidak memiliki resiko membentuk antibodi IgE
terhadap alergen yang disuntikkan (misalnya obat atau racun serangga).
Gambar 1,9. Penyebab reaksi alergi

1.9.1 Gejala

Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan


reaksi terdiri dari mata berair,mata terasa gatal dan kadang bersin.
Pada reaksi yang esktrim bisa terjadi gangguan pernafasan,
kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah,
yang menyebabkan syok. Reaksi jenis ini disebut anafilaksis, yang
bisa terjadi pada orang-orang yang sangat sensitif, misalnya segera
setelah makan makanan atau obat- obatan tertentu atau setelah
disengat lebah, dengan segera menimbulkan gejala.

1.10 Tipe-tipe Alergi


1.10.1Alergi tipe I
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan
kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif
dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan- bahan yang
umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang
bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia
berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang
oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya
tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan
yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
alergen. Terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada mekanisme
reaksi alergi tipe I, yaitu :
Gambar 2 A : Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada
di permukaan sel mast atau basofil, dimana sebelumnya penderita telah
terpapar allergen sebelumnya, sehingga Ig E telah terbentuk. Ikatan
antara allergen dengan Ig E akan menyebabkan keluarnya mediator-
mediator kimia seperti histamine dan leukotrine.

Gambar 2 B : Respons ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah


terpapar dengan allergen penyebab sebelumnya. Alergen yang masuk ke
dalam tubuh akan berikatan.

1.10.2 Alergi tipe II {Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig


G)}
Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan
kerusakan pada sel tubuh oleh karena antibodi
melawan/menyerang secara langsung antigen yang berada pada
permukaan sel Antibodi yang berperan biasanya Ig G. Berikut
(gambar 2 dan 3a) mekanisme terjadinya reaksi alergi tipe II.

Gambar 1.10.2. Reaksi alergi tipe II

Keterangan :
Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen akan
diikat antibody yang berada di permukaan sel makrofag/K
cell membentuk antigen antibody kompleks. Kompleks ini
menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9) yang berakibat
kerusakan.

Gambar 1.10.3. Mekanisme respon alegi pada Anemia hemolitik

Keterangan :
Alergen (makanan) akan diikat antibody yang berada di
permukaan K cell, dan akan melekat pada permukaan sel darah
merah. Kompleks ini mengaktifkan komplemen, yang berakibat
hancurnya sel darah merah.

Contoh penyakit-penyakit :
 Goodpasture (perdarahan paru, anemia)
 Myasthenia gravis (MG)
 Immune hemolytic (anemia Hemolitik)
 Immune thrombocytopenia purpura
 Thyrotoxicosis (Graves' disease)

Terapi yang dapat diberikan pada alegi tipe II:


immunosupresant cortikosteroids- prednisolone).

1.10.3 Alergi Tipe III (Immune Complex Disorders)


Merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena
deposit yang berasal dari kompleks antigen antibody berada
di jaringan. Gambar berikut ini menunjukkan mekanisme
respons alergi tipe III. Secara ringkas penulis merangkum
reaksi alergi tipe 3 seperti pada gambar 5.
Ag - Ab kompleks di jar.

Complemen aktif

Basofil dan sel mast aktif

M’release histamine,
leukotrienes INFLAMASI

Gambar 1.10.3. Mekanisme Reaksi Alergi tipe III

Keterangan :
Adanya antigen antibody kompleks di jaringan, menyebabkan
aktifnya komplemen. Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast
aktif dan merelease histamine, leukotrines dan menyebabkan
inflamasi.

Gambar 1.10.3.2. Reaksi Alergi tipe III

Keterangan gambar :
Alergen (makanan) yang terikat pada antibody pada
netrofil (yang berada dalam darah) dan antibody yang
berada pada jaringan, mengaktifkan komplemen.
Kompleks tersebut menyebabkan kerusakan pada
jaringan.

Penyakit :
 the protozoans that cause malaria
 the worms that cause schistosomiasis and filariasis
 the virus that causes hepatitis B, demam berdarah.
 Systemic lupus erythematosus (SLE)
 "Farmer's Lung“ (batuk, sesak nafas)

Kasus lain dari reaksi alergi tipe III yang perlu diketahui
menyebutkan bahwa imunisasi/vaksinasi yang menyebabkan
alergi sering disebabkan serum (imunisasi) terhadap. Dipteri
atau tetanus. Gejalanya Disebut dg. Syndroma sickness, yaitu :
• fever
• Hives/urticaria
• arthritis
• protein in the urine.

1.10.4 Reaksi Alergi Tipe IV {Cell-Mediated Hypersensitivities


(tipe lambat)}
Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan
intrinsic/internal (“self”). Reaksi ini melibatkan sel-sel
imunokompeten, seperti makrofag dan sel T.
Ekstrinsik : nikel, bahan kimia
Intrinsik: Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM or Type I
diabetes), Multiple sclerosis (MS), Rheumatoid arthritis, TBC.

Gambar 1.10.4. Mekanisme Reaksi alergi tipe IV

Keterangan :
Makrofag (APC) mengikat allergen pada permukaan sel dan akan
mentransfer allergen pada sel T, sehingga sel T merelease
interleukin (mediator kimia) yang akan menyebabkan berbagai
gejala.

1.11 Obat Antihistamin


       Setelah diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses faalan
dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek
histamin. Epinefrin merupakan antagonis faalan pertama yang digunakan.
Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan
sebagian digunakan dalam terapi,tetapi efeknya tidak banyak
berbeda.Yang digolongkan Antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1)
adalah antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis
terapi efektif mengobati udem, eritem dan pruritus.
         Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu
burimamid, metiamid, dan simetidin yang dapat menghambat sekresi asam
lambung akibat histamin. Kedua jenis ini bekerja secara kompetetif yaitu
dengan menghambat interaksi histamin dan reseptor histamin H1 atau H2.

1) Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)


Tabel penggolongan antihistamin (AH1), dosis, masa kerja, aktivitas
antikolinergiknya

Obat / efek sedatif Dosis reguler Masa Aktivitas Keterangan


orangdewasa kerja antikolinergik
(mg) (jam)
ANTIHISTAMIN GENERASI PERTAMA
Ethanolamin / + – +++
Carbinoxamin (listin) 4-8 3-4 +++ Sedasi ringan-
menengah
Dymenhydrinate 50 4-6 +++ Sedasi lanjut;
(garam) aktivitas anti
Diphenydramine motion sickness
(dramamine)
Diphenhydramine 25-50 4-6 +++ Sedasi lanjut;
(benadryl,dll) aktivitas anti
motion sickness
Doxylamine 1,25-25 Sedasi lanjut;
tersedia dalam
bentuk obat
pembantu tidur
Ethylamineddiamine / + – ++
Pyrilamine (Neo- 25-5- + Sedasi menengah;
Antergen) komponen obat
pembantu tidur
Pyrilamine (PB2,dll) 25-50 + Sedasi menengah
Obat / efek sedatif Dosis reguler Masa Aktivitas Keterangan
orangdewasa kerja antikolinergik
(mg) (jam)
Derivat piperazine / + – +++
Hydroxyzine 15-100 6-24 Sedasi lanjut
(Atarak,dll)
Cyclizine (marezine) 25-50 - Sedasi ringan;
aktivitas anti
motion sickness
Meclizine (bonine,dll) 25-50 12-24 - Sedasi ringan;
aktivitas anti
motion sickness
Alkylamine / + – ++
Bropheniramine 4-8 4-6 + Sedasi ringan
(dimetane,dll)
Chlorpheniramine 4-8 4-6 +++ Sedasi ringan;
(chlortrimeton,dll) tersedia dalam
komponen
perawatan flu
Derivat phenothiazine / +++
Promethazine 10-25 4-6 +++ Sedasi lanjut;
(phenergen,dll) antiemetik
Lain-lain
Cyproheptadine 4 + Sedasi menengah;
(periactin,dll) juga mengandung
aktivitas
antiserotonin
ANTIHISTAMIN GENERASI KEDUA
Piperidine
Fexofenadine (allegra) 60 - Resiko rendah dari
aritmia
Lain-lain
Loratadine (claritin) 10 12 - Aksi yang lebih
lanjut
Catirizine (Zyrtec) 5-10 -

A.Farmakologi
1)Antagonis Terhadap Histamin
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-
macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin endogen
berlebihan.

2)Otot Polos
Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos (usus,
bronkus). Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH1 pada
percoabaan dengan marmot.

3)Permeabilitas kapiler
Peninggian permeabilitas kapiler dan udem akibat histamin, dapat dihambat
dengan efektif oleh AH1.

4)Reaksi anafilaksis dan alergi


Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1.
Efektivitas AH1 melawan reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung
beratnya gejala akibat histamin.

5)Histamin eksokrin
Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat
dihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin,
tetapi hewan ini mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung
akibat hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan
sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.

6)Susunan Saraf Pusat


AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek Perangsangan yang
kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisa, dan
eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis
terapi AH1 umunya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya
kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Golongan
etanolamin misalnya difenhidramin paling jelas menimbulkan kantuk, akan tetapi
kepekaan pasien berbeda-beda untuk masing-masing obat.
Antihistamin yang relatif baru misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau sedikit
menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak
menyebabkan kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. Obat-obat
tersebut digolongkan sebagai antihistamin nonsedatif. Dalam golongan ini
termasuk juga loratadin, akrivastin, mequitazin, setirizin, yang data klinisnya
masih terbatas. AH1 juga efektif untuk mengobati mual dan muntah akibat
peradangan labirin atau sebab lain.

7)Anastesi Lokal
Beberapa AH1 bersifat anestik lokal dengan intensitas berbeda. AH1 yang baik
sebagai anastesi lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk
menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi dari
pada sebagai antihistamin.

8)Antikolinergenik
Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi
efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering,
kesukaran miksi dan impotensi. Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh
terhadap reseptor muskarinik.

9)Sistem Kardiovaskular
Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti pada sistem
kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada
konduksi miokard berdasarkan sifat anastetik lokalnya.

10)Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya
timbul 15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian
dosis tunggal kira-kira 4-6jam. Untuk gol. klorsiklizir 8-12 jam, Difenhidramin
yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah
kira-kira 2jam berikutnya. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru. Tempat utama
biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal.
AH1 diekskresi melalui urin setelah 24jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

B. Efek samping
     Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang
bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek
samping yang paling sering adalah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasin
yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur.
     Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo,
tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah,
insimnia dan tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah
nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau
diare. Efek samping ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
     Efek samping yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek
samping karena efek antikolinergenik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.
     AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi
akibat penggunaan lokal berupa dermatitis alergik.Demam dan fotosentivitas juga
pernah dilaporkan terjadi. AH1 sangat jarang menimbulkan komplikasi berupa
leukopenia dan agranulositosis.

Intoksikasi akut AH1


     Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai
obat persediaan rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan,
sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1
sudah bersifat letal bagi anak.
     Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak kecil efek yang
dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia,
inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan
pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol. Gejala lain
mirip gejala keracunan atropin misalnya midriasis, kemerahan dimuka dan sering
timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespiratoar
yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi keracunan
biasanya berupa depresi pada pemulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi
SSP lebih lanjut. 

Pengobatan
Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum
spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturat.
Pernafasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah
dapat dipertahankan secara baik. Bila terjadi gagal nafas, maka dilakukan nafas
buatan, tindakan ini lebih baik daripada memberikan analeptik yang justru akan
mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi, maka diberikan
tiopental atau diazepam.

Perhatian 
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai
campuran pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat
aditif dengan alkohol, obat penenang atau hipnotik sedatif.

Penyakit Alergi
      AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut mislnya pada
polinosis dan urtikaria.Sifatnya bersifat paliatif membatasi dan menghambat efek
histamin yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak
berpengaruh terhadap itensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan penyebab
berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat diatasi hanya dengan menghindari
alergen, desentitasi atau menekan reaksi tersebut dengan kortikosteroid. AH1
tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autakoid lain. Asma bronkial
terutama disebabkan oleh SRS-A atau leukotrien sehingga AH1 saja tidak efektif.
AH1 dapat mengatasi asma bronkial ringan bila diberikan sebagai profilaksis.
Untuk asma bronkial berat, aminofilin epinefrin, dan isoproterenol merupakan
pilihan utama.Epinefrin merupakan obat terpilih untuk mengatasi krisis alergi
karena epinefrin : lebih efektoh daripada AH1, efeknya lebih cepat, merupakan
antagonis fisiologik dari histamin dan autakoid lainnya. 
       AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gagal pada mata, hidung dan
tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang
disebabkan debu, tapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontraknya
lama, AH1 tidak efektif pada rinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati
batuk pada anak dengan asma diragukan karena AH1 mengentalkan sekresi
bronkus sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi. Kadang-kadang AH1 dapat
mengatasi dermatitis kontak, dan gigitan serangga.

2.Antihistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)  


Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan
lambung, perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus dan bronkus domba.
Beberapa jaringan seperti otot polos, pembuluh darah mempuntai kedua reseptor
yaitu H1 dan H2.
1)Simetidin Dan Ranitidin 
Farmakodinamik 
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversibel. Perangsangan H2 akan merangsang sekresi cairan lambung,
sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung
dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2
lainnya, tidak begitu penting. Walau tidak lengkap simetidin dan renitidin
dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat
muskarinik atau gastrin. Semitisin dan ranitidin mengurangi volume dan
kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung
mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.

Farmakokinetik
     Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya
hanya 20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau segera setelah
makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca
makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90.
Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20%
dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral
simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi
sekitar 2jam.
      Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam
pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal
ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang
meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai
dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang
terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi
terutama melalui ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin
yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi
dalam urin dalam bentuk asal.

Efek Samping 
     Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya
berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek
samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek
samping ini antara lain : nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula,
diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.
     Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual
dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga
penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan
impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan
merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah
pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap
peninggian prolaktin ini kecil.

Interaksi Obat 
      Antasid dan metoklopramid mengurangi biovailabilitas oral simetidin
sebanyak 20-30%. Ketakonazol harus diberikan 2jam sebelum pemberian
simetidin karena absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan
bersama simetidin. Selain itu ketakonazol membutuhkan pH lebih tinggi
yang terjadi pada pasien yang juga mendapat AH2.

     Simetidin terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim


mikrosom hati, jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama
simetidin. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin adalah arfarin,
karbamazepin, diazepam, propranolol, metaprolol dan imipramin.
     Ranitidin jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteaksi dengan
ranitidin yaitu nifedifin warfarin, teofilin, dan metaprolol. Ranitidin dapat
menghambat absorbsi diazepam dan dapat mengurangi kadar plasmanya
sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam
sam a dengan penggunaan ranitidin  bersama abtasid atau antikolinergik.
     Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga
akan memperlambat bersihan obat lain. Simetidin dapata menghambat
alkohol dehidrigenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan
peningkatan kadar alkohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan
meningkatkan kadar lidokoin serta meningkatkan antagonis kalsium dalam
serum. Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada
pasien usia lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala ganggua
slurredspeech, somnolen, letargi, gelisah, bingung, disorentasi, agitasi,
halusinasi, dan kejang. Gejala seperti demensia dapat timbul pada
penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai efek samping
simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP ringan karena sukarnya
melewati sawar darah otak.
     Efek samping simetidin yang jarang terjadi adalah trombositopenia,
granulositopenia, toksisitas terhadap ginajal atau hati. Pemberian simetidin
dan ranitidin IV sesekali menyebabkan bradikardi dan efek kardiotoksik
lain.

Indikasi
     Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan
50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800ng/ml
atau kadar renitidin plasma 100 ng/ml. Tetapi yang lebih penting adalah
efek penghambatannya selama 24jam. Simetidin ranitidin atau antagonis
reseptor H2 mempercepat penyembuhan tungkak duodenum. Pada sebagian
besar pasien pemberian obat-obatan tersebut sebelum tidur dapat mencegah
kekambuhan tukak duodeni bila obat diberikan sebagai terapi pemeliharaan.
     AH2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk
penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks esofagitis
seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2 menghilangkan
gejalanya tetapi tidak menyembuhkan lesi.
     Terhadap tukak peptikem yang diinduksi oleh obat AINS, AH2 dapat
mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah terbentuknya
tukak. Pada pasien yang sedang mendapat AINS antagonis reseptor H2
dapat mencegah kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak bermanfaat
untuk tukak lambung.
      Simetidin dan ranitidin talah digunakan dalam penelitian untuk stress
ulcer dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih bermanfaat
untuk profilaksis daripada untuk pengobatan. AH2 juga bermanfaat untuk
hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison . Dalam hal in i
mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk mengurangi kemungkinan
timbulnya efek samping obat akibat besarnya dosis simetidin yang
diperlukan. Ranitidin juga lebih baik dari simetidin untuk pasien yang
mendapat banyak obat, pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien
yang tidak tahan efek samping simetidin dan pada pasien usia lanjut.

2) Famotidin
Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambungpada keadaan basal, malam dan akiabt distimulasi oleh pentagastrin.
Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada
simetidin.

Indikasi
Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu
pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian selama 6
bula famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis
bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien
sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat
terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis
dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang diteliti.

Efek Samping
Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala, pusing,
konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih
baik daripada simetidin karena belum pernah dilaporkan terjadinya efek
antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-hati pada ibu menyusui karena
obat ini belum diketahui apakah obat ini diekskresi kedalam air susu ibu.

Interaksi Obat
Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum
dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak
mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau fenitoin di hati.
Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bial
diberikan bersama AH2.

Farmakokinetik
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah
penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%,
Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar
25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal
berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.

Intravena 
Pada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien yang tidak dapat
diberikan sediaan oral, faotidin diberikan intravena 20 mg tiap 12 jam. Dosis obat
untuk pasien harus ditritasi berdasarkan jumlah asam lambung yang disekresi. 

3) Nizatidin
Farmakodinamik
Potensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama
dengan ranitidin.

Indikasi
Efektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin
dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat
menyembuhkan tukak duodeni dalam 8 minggu dan dengan pemberian satu kali
sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Pada refluks esofagitis, sindrom
Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung lainnyan nizatidin siperkirakan
sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan pembuktian lanjut.

Efek Samping
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek smaping. Efek samping ringan
saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum
ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik
yang bermakna. Pada tikus nizatidin dosis besar berefek antiandrogrnik, tetapi
efek tersebut belum terlihat pada uji klinik. Nizatidin dapat menghambat alkohol
dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih
tinggi dalam serum. Dalam dosis ekuivalen simetidin, nizatidin tidak menghambat
enzim mikrosom hati yang metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat tidak
dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nitazidin diberikan bersama feofilin,
lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau lorezepam. Ketakonazol yang
membetuhkan pH asam menjadi kurang efektiftif bila pH lambung lebih tinggi
pada pasien yang mendapat AH2.
Farmakokinetik
Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan
atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar
puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1jam, masa paruh
plasma sekitar 2 1/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin
diekskresi terutama melalui ginjal 90% dari dosisi yang digunakann ditemukan di
urin dalam 16 jam. 
1.12 Pemilihan Sediaan
     Banyak golongan AH1 yang digunakan dalam terapi tetapi efektivitasnya tidak
banyak berbeda, perbedaan antara jenis obat hanya dalam hal potensi, dosis, efek
samping dan jenis sediaan yang ada. Sebaiknya dipilih AH1 yang efek terapinya
lebih besar dengan efek samping seminimal mungkin, tetapi belum ada AH1 yang
ideal seperti ini. Selain ditentukan berdasarkan potensi terapeutik dan beratnya
efek samping pemilihan sediaan perlu dipertimbangkan berdasarkan adanya
variasi antar individu. Karena itu perlu dicoba dan diperhatikan efek yang
menguntungkan dan efek samping apa yang timbul akibat pemberian AH1.
      Untuk pegangan dalam terapi, disajikan penggolongan AH1 dengan lama
kerja. Walaupun antagonis reseptor H2 lebih kuat menghambat sekresi asam
lambung daripada terapi intensif dengan antasida pada pasien esofagitis refluks,
tukak lambung, tukak duodeni atau pencegahan tukak lambung akibat stress.
Antagonis reseptor H2 disediakan sebagai obat alternatif untuk pasien yang tidak
memberikan respons baik terhadap pengobatan antasida jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA

Nuzulul Hikmah, I Dewa Ayu Ratna Dewanti. 2010. Seputar Reaksi


Hipersensitivitas (Alergi). Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Jember : Jember
Diakses pada 18 Februari 2020
http://eprints.undip.ac.id/46316/3/Luh_Putu_Uthari_22010111110084_
Lap.KTI_Bab2.pdf

Diakses pada 18 Februari 2020


http://eprints.umm.ac.id/40692/2/BAB%20I.pdf

Diakses pada 18 Februari 2020


https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/54e6d8be1664c
070fd038a109f74b098.pdf

Anda mungkin juga menyukai