Dosen Pengampu
Oleh
YAYASAN KHAZANAH
2020 - 2021
ABSTRAK
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk memaparkan tentang anti alergi. Adapun
yang menjadi latar belakang penulisan ini karena Indonesia merupakan salah satu
negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Ini terjadi dikarenakan
jumlah kelahiran di Indonesia yang tidak dapat terkendali.
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi.
Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda
yang secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan
terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang
normal. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4
tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga
reaksi anafilaktik atau reaksi.
Kata Kunci : Alergi, Hipersensitivitas,
1.1 Definisi Alergi
Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara (kotoran
tungau dari debu rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti
gamaglobulin dan kriopresipitat juga dapat merangsang mediator alergi
sehingga timbul manifestasi alergi. Alergi makanan biasanya terjadi pada satu
tahun pertama kehidupan dikarenakan maturitas mukosa usus belum cukup
matang, sehingga makanan lain selain ASI (Air Susu Ibu), contohnya susu
sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan akan menimbulkan manifestasi
penyakit alergi. Hal ini disebabkan makanan yang masuk masih dianggap
asing oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang belum matur sehingga
makanan tidak terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan kemudian
menimbulkan hipersensitivitas.
Penyakit alergi pada bayi terjadi akibat interaksi dari faktor genetik,
lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan hygiene. Beberapa
faktor risiko yang dianggap berkontribusi terhadap angka kejadian alergi pada
bayi yaitu paparan asap rokok, konsumsi alkohol pada masa kehamilan, pola
diet atau komponen makanan ibu ketika masa kehamilan dan menyusui,
penggunaan antibiotik, metode persalinan seksio sesarea, bayi lahir prematur,
bayi berat lahir rendah, nutrisi yang diperoleh bayi serta ada atau tidaknya
hewan peliharaan.
Manifestasi klinis alergi pada bayi dapat dibagi menurut organ target yang
terkena. Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai
pada bayi, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit. Secara klinis berbentuk
dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan
daerah ekstensor ekstremitas. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah
vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang
infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok sehingga bayi gelisah
dan rewel dengan tidur yang terganggu.
Pada mukosa respirasi dapat terjadi rhinitis alergi yang ditandai dengan
nasal pruritis, rinorea, hidung tersumbat dan asma yang ditandai dengan
bronkospasme, inflamasi jalan nafas kronis.
1.9.1 Gejala
Keterangan :
Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen akan
diikat antibody yang berada di permukaan sel makrofag/K
cell membentuk antigen antibody kompleks. Kompleks ini
menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9) yang berakibat
kerusakan.
Keterangan :
Alergen (makanan) akan diikat antibody yang berada di
permukaan K cell, dan akan melekat pada permukaan sel darah
merah. Kompleks ini mengaktifkan komplemen, yang berakibat
hancurnya sel darah merah.
Contoh penyakit-penyakit :
Goodpasture (perdarahan paru, anemia)
Myasthenia gravis (MG)
Immune hemolytic (anemia Hemolitik)
Immune thrombocytopenia purpura
Thyrotoxicosis (Graves' disease)
Complemen aktif
M’release histamine,
leukotrienes INFLAMASI
Keterangan :
Adanya antigen antibody kompleks di jaringan, menyebabkan
aktifnya komplemen. Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast
aktif dan merelease histamine, leukotrines dan menyebabkan
inflamasi.
Keterangan gambar :
Alergen (makanan) yang terikat pada antibody pada
netrofil (yang berada dalam darah) dan antibody yang
berada pada jaringan, mengaktifkan komplemen.
Kompleks tersebut menyebabkan kerusakan pada
jaringan.
Penyakit :
the protozoans that cause malaria
the worms that cause schistosomiasis and filariasis
the virus that causes hepatitis B, demam berdarah.
Systemic lupus erythematosus (SLE)
"Farmer's Lung“ (batuk, sesak nafas)
Kasus lain dari reaksi alergi tipe III yang perlu diketahui
menyebutkan bahwa imunisasi/vaksinasi yang menyebabkan
alergi sering disebabkan serum (imunisasi) terhadap. Dipteri
atau tetanus. Gejalanya Disebut dg. Syndroma sickness, yaitu :
• fever
• Hives/urticaria
• arthritis
• protein in the urine.
Keterangan :
Makrofag (APC) mengikat allergen pada permukaan sel dan akan
mentransfer allergen pada sel T, sehingga sel T merelease
interleukin (mediator kimia) yang akan menyebabkan berbagai
gejala.
A.Farmakologi
1)Antagonis Terhadap Histamin
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-
macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan histamin endogen
berlebihan.
2)Otot Polos
Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos (usus,
bronkus). Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH1 pada
percoabaan dengan marmot.
3)Permeabilitas kapiler
Peninggian permeabilitas kapiler dan udem akibat histamin, dapat dihambat
dengan efektif oleh AH1.
5)Histamin eksokrin
Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat
dihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin,
tetapi hewan ini mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung
akibat hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan
sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
7)Anastesi Lokal
Beberapa AH1 bersifat anestik lokal dengan intensitas berbeda. AH1 yang baik
sebagai anastesi lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk
menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi dari
pada sebagai antihistamin.
8)Antikolinergenik
Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi
efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering,
kesukaran miksi dan impotensi. Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh
terhadap reseptor muskarinik.
9)Sistem Kardiovaskular
Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti pada sistem
kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada
konduksi miokard berdasarkan sifat anastetik lokalnya.
10)Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya
timbul 15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian
dosis tunggal kira-kira 4-6jam. Untuk gol. klorsiklizir 8-12 jam, Difenhidramin
yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah
kira-kira 2jam berikutnya. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru. Tempat utama
biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal.
AH1 diekskresi melalui urin setelah 24jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
B. Efek samping
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang
bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek
samping yang paling sering adalah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasin
yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo,
tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah,
insimnia dan tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah
nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau
diare. Efek samping ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek
samping karena efek antikolinergenik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi
akibat penggunaan lokal berupa dermatitis alergik.Demam dan fotosentivitas juga
pernah dilaporkan terjadi. AH1 sangat jarang menimbulkan komplikasi berupa
leukopenia dan agranulositosis.
Pengobatan
Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum
spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturat.
Pernafasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah
dapat dipertahankan secara baik. Bila terjadi gagal nafas, maka dilakukan nafas
buatan, tindakan ini lebih baik daripada memberikan analeptik yang justru akan
mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi, maka diberikan
tiopental atau diazepam.
Perhatian
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai
campuran pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat
aditif dengan alkohol, obat penenang atau hipnotik sedatif.
Penyakit Alergi
AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut mislnya pada
polinosis dan urtikaria.Sifatnya bersifat paliatif membatasi dan menghambat efek
histamin yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak
berpengaruh terhadap itensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan penyebab
berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat diatasi hanya dengan menghindari
alergen, desentitasi atau menekan reaksi tersebut dengan kortikosteroid. AH1
tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autakoid lain. Asma bronkial
terutama disebabkan oleh SRS-A atau leukotrien sehingga AH1 saja tidak efektif.
AH1 dapat mengatasi asma bronkial ringan bila diberikan sebagai profilaksis.
Untuk asma bronkial berat, aminofilin epinefrin, dan isoproterenol merupakan
pilihan utama.Epinefrin merupakan obat terpilih untuk mengatasi krisis alergi
karena epinefrin : lebih efektoh daripada AH1, efeknya lebih cepat, merupakan
antagonis fisiologik dari histamin dan autakoid lainnya.
AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gagal pada mata, hidung dan
tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang
disebabkan debu, tapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontraknya
lama, AH1 tidak efektif pada rinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati
batuk pada anak dengan asma diragukan karena AH1 mengentalkan sekresi
bronkus sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi. Kadang-kadang AH1 dapat
mengatasi dermatitis kontak, dan gigitan serangga.
Farmakokinetik
Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya
hanya 20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau segera setelah
makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca
makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90.
Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20%
dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral
simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi
sekitar 2jam.
Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam
pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal
ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang
meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai
dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang
terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi
terutama melalui ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin
yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi
dalam urin dalam bentuk asal.
Efek Samping
Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya
berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek
samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek
samping ini antara lain : nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula,
diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual
dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga
penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan
impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan
merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah
pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap
peninggian prolaktin ini kecil.
Interaksi Obat
Antasid dan metoklopramid mengurangi biovailabilitas oral simetidin
sebanyak 20-30%. Ketakonazol harus diberikan 2jam sebelum pemberian
simetidin karena absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan
bersama simetidin. Selain itu ketakonazol membutuhkan pH lebih tinggi
yang terjadi pada pasien yang juga mendapat AH2.
Indikasi
Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan
50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800ng/ml
atau kadar renitidin plasma 100 ng/ml. Tetapi yang lebih penting adalah
efek penghambatannya selama 24jam. Simetidin ranitidin atau antagonis
reseptor H2 mempercepat penyembuhan tungkak duodenum. Pada sebagian
besar pasien pemberian obat-obatan tersebut sebelum tidur dapat mencegah
kekambuhan tukak duodeni bila obat diberikan sebagai terapi pemeliharaan.
AH2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk
penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks esofagitis
seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2 menghilangkan
gejalanya tetapi tidak menyembuhkan lesi.
Terhadap tukak peptikem yang diinduksi oleh obat AINS, AH2 dapat
mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah terbentuknya
tukak. Pada pasien yang sedang mendapat AINS antagonis reseptor H2
dapat mencegah kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak bermanfaat
untuk tukak lambung.
Simetidin dan ranitidin talah digunakan dalam penelitian untuk stress
ulcer dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih bermanfaat
untuk profilaksis daripada untuk pengobatan. AH2 juga bermanfaat untuk
hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison . Dalam hal in i
mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk mengurangi kemungkinan
timbulnya efek samping obat akibat besarnya dosis simetidin yang
diperlukan. Ranitidin juga lebih baik dari simetidin untuk pasien yang
mendapat banyak obat, pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien
yang tidak tahan efek samping simetidin dan pada pasien usia lanjut.
2) Famotidin
Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambungpada keadaan basal, malam dan akiabt distimulasi oleh pentagastrin.
Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada
simetidin.
Indikasi
Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu
pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian selama 6
bula famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis
bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien
sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat
terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis
dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang diteliti.
Efek Samping
Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala, pusing,
konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih
baik daripada simetidin karena belum pernah dilaporkan terjadinya efek
antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-hati pada ibu menyusui karena
obat ini belum diketahui apakah obat ini diekskresi kedalam air susu ibu.
Interaksi Obat
Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum
dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak
mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau fenitoin di hati.
Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bial
diberikan bersama AH2.
Farmakokinetik
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah
penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%,
Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar
25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal
berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.
Intravena
Pada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien yang tidak dapat
diberikan sediaan oral, faotidin diberikan intravena 20 mg tiap 12 jam. Dosis obat
untuk pasien harus ditritasi berdasarkan jumlah asam lambung yang disekresi.
3) Nizatidin
Farmakodinamik
Potensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama
dengan ranitidin.
Indikasi
Efektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin
dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat
menyembuhkan tukak duodeni dalam 8 minggu dan dengan pemberian satu kali
sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Pada refluks esofagitis, sindrom
Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung lainnyan nizatidin siperkirakan
sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan pembuktian lanjut.
Efek Samping
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek smaping. Efek samping ringan
saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum
ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik
yang bermakna. Pada tikus nizatidin dosis besar berefek antiandrogrnik, tetapi
efek tersebut belum terlihat pada uji klinik. Nizatidin dapat menghambat alkohol
dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih
tinggi dalam serum. Dalam dosis ekuivalen simetidin, nizatidin tidak menghambat
enzim mikrosom hati yang metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat tidak
dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nitazidin diberikan bersama feofilin,
lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau lorezepam. Ketakonazol yang
membetuhkan pH asam menjadi kurang efektiftif bila pH lambung lebih tinggi
pada pasien yang mendapat AH2.
Farmakokinetik
Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan
atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar
puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1jam, masa paruh
plasma sekitar 2 1/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin
diekskresi terutama melalui ginjal 90% dari dosisi yang digunakann ditemukan di
urin dalam 16 jam.
1.12 Pemilihan Sediaan
Banyak golongan AH1 yang digunakan dalam terapi tetapi efektivitasnya tidak
banyak berbeda, perbedaan antara jenis obat hanya dalam hal potensi, dosis, efek
samping dan jenis sediaan yang ada. Sebaiknya dipilih AH1 yang efek terapinya
lebih besar dengan efek samping seminimal mungkin, tetapi belum ada AH1 yang
ideal seperti ini. Selain ditentukan berdasarkan potensi terapeutik dan beratnya
efek samping pemilihan sediaan perlu dipertimbangkan berdasarkan adanya
variasi antar individu. Karena itu perlu dicoba dan diperhatikan efek yang
menguntungkan dan efek samping apa yang timbul akibat pemberian AH1.
Untuk pegangan dalam terapi, disajikan penggolongan AH1 dengan lama
kerja. Walaupun antagonis reseptor H2 lebih kuat menghambat sekresi asam
lambung daripada terapi intensif dengan antasida pada pasien esofagitis refluks,
tukak lambung, tukak duodeni atau pencegahan tukak lambung akibat stress.
Antagonis reseptor H2 disediakan sebagai obat alternatif untuk pasien yang tidak
memberikan respons baik terhadap pengobatan antasida jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA