Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

1,1 Latar Belakang

Alergi adalah penyakit atau kelainan yang tidak menular tetapi kecenderungan

seseorang mengalami alergi akan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu genetik

(keturunan) dan lingkungan sebagai faktor eksternal tubuh. Alergi terjadi karena

adanya zat yang menimbulkan reaksi yang disebut alergen. Alergen dapat masuk

dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan), pencernaan (ingestan), suntikan

(injektan) atau yang menempel pada kulit (kontaktan). Alergi sebagai bentuk reaksi

menyimpang dari tubuh ternyata bisa menimpa siapa saja termasuk anak-anak.

Kenyataannya, setiap orang memiliki risiko mengidap alergi meskipun tidak ada

riwayat penyakit ini dalam keluarga. Reaksi alergi dapat digolongkan berdasarkan

prinsip kerjanya menurut Cell dan Coombs pada tahun 1968, yaitu: Tipe I, Tipe II,

Tipe III dan Tipe IV. Tipe I, II dan III tergantung pada interaksi antara antigen dan

antibodi hormonal yang cenderung disebut reaksi tipe cepat. Reaksi tipe IV

membutuhkan waktu yang cukup lama maka disebut reaksi tipe lambat (Luhulima,

Stella Joice 2017). Alergi tipe I antara lain alergi makanan, asma, rhinitis, dan

dermatitis atopi.

Faktor dari orang tua yang menderita alergi merupakan faktor pencetus yang

paling kuat dari alergi karena kecenderungan faktor - faktor modifikasi dan ekspresi

genetik yang dimiliki kedua orang tua akan diturunkan kepada keturunannya. Reaksi

alergi dapat mempengaruhi hampir separuh jaringan atau organ di dalam tubuh.
2

Manifestasi klinis umum pada alergi diantaranya asma, dermatitis atopik, rinitis

alergik, dan urtikaria atau angioderma. Kelompok Usia yang lebih rentan terkena

alergi makanan dan dermatitis atopik adalah pada usia bayi yang lebih muda,

sedangkan pada alergi asma dan rinitis alergi lebih sering terjadi pada usia yang lebih

dewasa (RAMADHONA, RIMA TRICES 2018). Manifestasi pada kulit salah

satunya adalah dermatitis atopic. Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang

paling sering dijumpai pada anak anak dengan ditandai reaksi inflamasi (peradangan)

pada kulit yang didasari oleh faktor lingkungan dan genetik. Dermatitis atopik terjadi

dengan jumlah Angka kejadian antara 10 – 20%.

Dalam pengobatan penyakit alergi, penderita dapat melakukan berbagai upaya

mulai dari menghindari pemicu alergi (alergen), mencari dan mendapatkan informasi

tentang alergi lewat kegiatan edukasi dan penyuluhan, medapatkan pengobatan yang

tepat atau bahkan terapi kekebalan (immunoterapi).

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah penyebab alergi?

2. Apa peran genetik pada alergi?

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penyebab dan peran genetik

pada alergi.
3

1.4 Manfaat

1. Memeberikan wawasan dan pengetahun tentang peran genetik pada alergi.

2. Medapatkan dasar pengetahuan untuk menghindari bertambhanya jumlah

penderita alergi.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Alergi

Alergi adalah perubahan reaksi tubuh/pertahanan tubuh dari sistem imun

terhadap suatu benda asing yang terdapat di dalam lingkungan hidup sehari-hari.

Orang-orang yang memiliki alergi memiliki sistem kekebalan tubuh yang bereaksi

terhadap suatu zat yang biasanya tidak berbahaya di lingkungan. Substansi/ zat itu

(serbuksari, jamur, bulu binatang, dll) disebut sebagai alergen jika seseorang tersebut

mengalami alergi dengan menghirup, menelan, atau mendapatkan substansi pada atau

di bawah kulit mereka Imansyah, Muhammad Nur (2019).

Ketika kekebalan tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara

imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) dapat

dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia

bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap

asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat

atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.

Alergi disebabkan oleh produksi antibodi berjenis IgE.Tubuh mulai

menghasilkan antibody tertentu, yang disebut IgE, untuk mengikat alergen. Antibodi

melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast. Sel mast dapat ditemukan di

saluran udara, usus dan ditempat lain. Kehadiran sel mast dalam saluran udara dan

saluran pencernaan membuat daerah ini lebih rentan terhadap paparan alergen.
5

Mengikat alergen ke IgE, yang melekat pada sel mast. Hal ini menyebabkan sel mast

melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam darah. Histamin menyebabkan sebagian

besar gejala reaksi alergi .

2.1.2 Etiologi

Etiologi alergi multifaktorial. Diantaranya dapat berasal dari agen, host, dan

lingkungan. Host dapat berupa daya tahan tubuh dan usia dimana usia dini semakin

rentan terhadap alergi. Lingkungan dapat berupa suhu, musim. Agen dapat berupa

alergen. Reaksi alergi yang timbul akibat paparan alergen pada umumnya tidak

berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan dan sangat beragam.4

Diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa

(venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain.

Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin,

sterptomisin, sulfonamid. Ekstrak alergen dapat berupa rumput-rumputan atau jamur,

serum ATS, ADS, dan anti bisa ular. Produk darah seperti gamaglobulin dan

kriopresipitat dapat menyebabkan alergi. Makanan yang dapat menjadi penyebab

alergi diantaranya susu sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur, dan udang.

2.1.3 Epidemiologi Alergi

Prevalensi alergi di dunia meningkat secara dramatis di negara maju dan

negara berkembang. Peningkatan alergi terutama terjadi pada anak dari meningkatnya

tren yang telah terjadi selama dua dekade terakhir. Meskipun begitu, pelayanan untuk

pasien dengan penyakit alergi jauh dari ideal. 1 Prevalensi alergi telah meningkat,
6

maka alergi harus dianggap sebagai masalah kesehatan utama. Menurut Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO). Diperkirakan 300 juta 11 orang memiliki asma, sekitar

50% diantaranya tinggal di negara-negara berkembang dengan akses terbatas

terhadap obat esensial. Oleh karena itu, asma sering tidak terkontrol di daerah-daerah.

Empat ratus juta orang di seluruh dunia memiliki rhinitis, 1,2,3 serta 5-15% populasi

anak di seluruh dunia menderita alergi. Dua studi internasional besar mengenai alergi,

International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) dan European

Community Respiratory Health Survey (ECRHS), telah mempelajari prevalensi asma

dan rhinitis alergi di seluruh dunia melalui standar kuisioner. ECRHS dan ISAAC

telah menunjukkan variasi yang cukup besar dalam prevalensi asma dan alergi

rhinoconjunctivitis di seluruh negara terutama di wilayah asia pasifik.

2.1.4 Patogenesis

Ekspresi penyakit alergi saluran napas atas ini menunjukkan pola pewarisan

autosomal dominan dengan penetrasi yang tidak lengkap. Pola pewarisan ini

diwujudkan sebagai kecenderungan untuk menanggapi paparan alergen dengan cara

memproduksi alergen-spesifik IgE dalam jumlah yang tinggi. Respon IgE

dikendalikan oleh respon gen imun yang terletak di dalam kompleks

histokompatibilitas utama (MHC) pada kromosom .

Mekanisme imunologi dari atopi ini telah dipelajari di model murine dan pada

manusia. Mekanisme ini melibatkan ekspresi repertoar terkait dengan tanggapan

limfosit T helper tipe 2 (Th2). Ada banyak kemungkinan genetik dan pengaruh
7

lingkungan yang menyebabkan overekspresi dari respon relatif sel Th2 terhadap

respon Th1 .Sensitasi terhadap alergen ini diperlukan untuk memperoleh suatu respon

IgE. Setelah terhirup, alergen pertama harus diinternalisasi oleh antigen-presenting

cells (APCs), yang meliputi makrofag, sel dendritik CD1+, limfosit B, dan mungkin

sel-sel epitel. Setelah alergen diproses dan dikenali, fragmen-fragmen peptida dari

alergen akan diekspos dan disajikan kepada molekul MHC kelas II dari APCs inang

ke limfosit T CD4.

2.1.5 Manifestasi Klinis Alergi

Alergi yaitu suatu bentuk reaksi hipersensitivitas akibat mekanisme imunologi

yang sebagian besar dipengaruhi oleh aktivitas imunoglobulin E (IgE) secara

berlebih. Atopi adalah suatu kecenderungan seseorang dan atau keluarga untuk

membentuk imunoglobulin E sebagai respon terhadap zat alergen. Manifestasi yang

dapat muncul pada penderita atopi diantaranya asma, dermatitis/ekzema atopik atau

rinitis alergi (Yudho P, Pipim Septiana Bayasari 2020).

2.1.6 Faktor Risiko Alergi

Penyebab alergi berasal dari dalam tubuh (intrinsik) yaitu faktor genetik dan

penyebab dari luar tubuh (ekstrinsik) yang terdiri atas lingkungan dan gaya hidup

termasuk pola makanan dan hygiene. Pola makan terdiri dari konsumsi alkohol pada

masa kehamilan, pola diet atau komponen makanan ibu ketika masa kehamilan dan

menyusui, penggunaan antibiotik pada ibu hamil, dan nutrisi yang diperoleh bayi.

Sedangkan hygiene terdiri dari paparan asap rokok dan hewan peliharaan. Metode
8

persalinan seksio sesarea, bayi lahir premature (maturitas) dan berat badan bayi lahir

termasuk ke dalam faktor risiko alergi pada bayi.

2.1.7 Jenis Alergi yang Bersifat Genetik

Faktor genetik berperan besar terhadap terjadinya alergi. Artinya alergi

memang bisa diturunkan atau diwariskan kepada keturunannya. Faktor lain yang juga

ikut berperan antara lain faktor lingkungan, kebiasaan merokok, polusi, infeksi dan

faktor hormona.

Ada 4 jenis alergi yang bersifat genetik :

1. Alergi Makanan

Hasil penelitian yang dipublikasikan di Nature Communications, melibatkan

para peneliti dari Berlin, Frankfurt, Greifswald, Hanover, Wangen, dan

Chicago memaparkan bukan hanya ukuran, namun juga metodologi

diagnostik yang andal. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa kelompok

gen SERPINB yang terdapat pada kromosom 18 diidentifikasikan sebagai

faktor risiko genetik spesifik untuk alergi makanan.

2. Rhinitis

Alergi Penderita RA umumnya baru menunjukkan manifestasi klinis pada

anak usia diatas 4-5 tahun dan dapat mengalami peningkatan insidensi secara
9

progrsif 10-15% di usia dewasa. Manifestasi RA yang khas ditemukan pada

orang dewasa dan dewasa muda. Pada anak yang muncul biasanya berupa

rhinosinusitis berulang, adenoiditis, otitis media, dan tonsilitis. Sesuai

patogenesisnya, gejala RA dapat pula terasa seperti gatal di area hidung dan

mata, bersin berulang, sekresi hidung hingga tersumbat, dan bernapas melalui

mulut hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral, atau bergantian.

Bernapas melalui mulut sering terjadi saat malam hari dan biasanya memicu

tenggorokan kering, mengorok, dan berakhir pada gangguan tidur. Gejala

yang terkombinasi merupakan gejala yang paling mengganggu dan

menjengkelkan.

3 Asma

Tanda yang umum didapati pada pasien ialah munculnya mengi dan/atau

batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada

malam hari/dini hari/saat suhu dingin, musiman, setelah aktivitas fisik).

Manifestasi klinis lainnya yang mungkin ditemukan adalah adanya gejala

saluran napas atas mendengkur, rinitis, rinosinusitis, dan beberapa poin-poin

waktu seperti timbul sejak awal kehidupan, tibatiba/mendadak, terkadang

diikuti pula dengan gejala imunodefisiensi sistemik. Jadi dapat dikatakan

semua mengi adalah asma sampai dapat dipastikan bahwa itu bukan asma
10

4 Eksim

adalah istilah terkait gangguan pembengkakan pada kulit. Gangguan ini

disebut juga dengan dermatitis. Saat terjadi, reaksi alergi pada kulit dapat

ditandai dengan timbulnya warna kemerahan, ruam, dan rasa gatal. Dermatitis

atopik sering menjadi manifestasi pertama atopi pada pasien yang kemudian

juga menderita rinitis alergika, asma, atau keduanya. Pola ini sering disebut

juga atopic march. Alergi makanan juga sering timbul bersamaan dengan DA

selama 2 tahun pertama kehidupan yang akan membaik pada usia pra sekolah.

Rinitis alergika dan asma pada anak-anak DA dapat bertahan atau membaik

sejalan dengan bertambah nya usia. DA, rinitis alergika dan asma disebut

juga.

2.1.8 Diagnosis Alergi

Diagnosis alergi tergantung terutama pada riwayat klinis. Anamnesis,

diperjelas oleh pemeriksaan fisik, tes sensitivitas IgE, tes kulit atau alergen spesifik

serum. Skin-prick testing (SPT) diujikan pada kulit, dilakukan dengan ekstrak

alergen. Pemeriksaan darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan IgE spesifik

Radio Allergosorbent test (RAST). Pemeriksaan IgE total digunakan sebagai marker

diagnosis alergi, tetapi memiliki kelemahan karena kurang spesifik. Hal tersebut

disebabkan IgE meningkat pada penyakit alergi dan juga non alergi seperti infestasi

parasit. Pemeriksaan IgE spesifik dilakukan dengan mengukur IgE spesifik alergen

dalam serum pasien. Selain itu, pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis
11

penyakit alergi adalah skrining antibodi IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan

Cellular antigen stimulation test (CAST).

2.1.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dilakukan bertujuan untuk mengendalikan gejala alergi,

meringankan intensitas serangan, mengurangi frekuensi serangan, dan membatasi

penggunaan obat karena pada prinsipnya alergi tidak dapat 18 disembuhkan.

Penatalaksanaan dermatitis atopik pada sebagian penderita mengalami perbaikan

dengan sendirinya sesuai dengan bertambahnya usia. Menghindari atau mengurangi

faktor penyebab menjadi langkah pertama penatalaksanaannya. Sedangkan untuk

penatalaksanaan rinitis alergi pada anak dilakukan dengan penghindaran alergen

penyebab dan kontrol lingkungan. Medikamentosa diberikan bila perlu dengan

antihistamin oral sebagai obat pilihan utama.

Asma dibagi dalam tiga derajat, yaitu asma episodik jarang, sering dan

persisten. Untuk “asma episodik jarang” tidak perlu menggunakan anti inflamasi.

Terapi “asma episodik sering” pada anak menggunakan anti inflamasi dan obat non

steroid. Terapi “asma persisten” menggunakan anti inflamasi dan obat steroid.
12

2.1.10 Urgensi Deteksi Dini Alergi

Menurut Rekomendasi IDAI yang tertuang dalam Jurnal Pediatri, penentuan

risiko alergi merupakan tindakan yang sangat penting dalam penanganan pencegahan

primer Menentukan anak berisiko alergi dapat dilakukan dengan melakukan

identifikasi penyakit alergi (asma, dermatitis atopik, rinitis alergi) pada kedua orang

tua maupun saudara kandung. Kartu deteksi dini alergi dapat digunakan untuk

menentukan risiko penyakit alergi pada anak (Trihono, P. P., Prayitno, A., Muktiarti,

D., & Soebadi, A. 2014).).

Salah satu faktor risiko yang mudah untuk dilakukan deteksi dan ikut

berperan sebagai pemicu kejadian alergi adalah riwayat atopi atau alergi pada orang

tua ataupun saudara kandung (Wahyuhadi, Joni., 2010). IDAI telah merilis sebuah

kartu deteksi dini alergi yang dapat dijadikan sarana untuk mempermudah melakukan

skrining sejak awal.


13

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Alergi adalah penyakit atau kelainan yang tidak menular tetapi kecenderungan

seseorang mengalami alergi akan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu genetik

(keturunan) dan lingkungan sebagai faktor eksternal tubuh. Alergi terjadi

karena adanya zat yang menimbulkan reaksi yang disebut alergen..

2. Saran

Diharapkan bagi pembaca untuk mengingingatkan keluarganya melakukan

deteksi dini alergi.


14

DAFTAR PUSTAKA

RAMADHONA, RIMA TRICES, Arie Kusumaningrum, and Dhona Andhini

(1018). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Alergi pada Balita. Diss.

Sriwijaya University.

Luhulima, Stella Joice, Anang Kukuh Adisusilo, and Nia Saurina (2017). "Permainan

Tiga Dimensi (3d) Untuk Pengenalan Makanan Alergen Telur, Kacang Dan

Susu Serta Tahap Intervensi Diet Pada Anak." Melek IT Information

Technology Journal 3.1 .1-6.

Imansyah, Muhammad Nur (2019). "HUBUNGAN SKOR ALERGI DENGAN

MANIFESTASI KLINIS ALERGI PADA ANAK DI FASILITAS

KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP) WILAYAH NGAGLIK." .

Yudho P, Pipim Septiana Bayasari (2020). Pengaruh Ekstrak Lumbricus Rubellus

Terhadap Kadar Interleukin 10, Immunoglobulin E Dan Eosinofil Pada

Penderita Dermatitis Atopik. Diss. UNIVERSITAS HASANUDDIN.

Trihono, P. P., Prayitno, A., Muktiarti, D., & Soebadi, A. (2014). Pendekatan Holistik

Penyakit Kronik Pada Anak untuk Meningkatkan Kualitas Hidup. Edisi, 1,

104-111.

Wahyuhadi, Joni (2020). Buku Ajar Ilmu Bedah Saraf: Pemeriksaan Fisik dan

Diagnostik pada Glioma. Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai