“Hipersensitivitas”
Modul Gangguan Sistem Hemopoetik Dan
Limforetikuler
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, tauhid,
dan hidayah yang telah dilimpahkanNya sehingga tugas makalah “HIPERSENSITIVITAS”
dapat diselesaikan.
Dalam pembuatan makalah ini terasa tidak sulit karena mendapat bantuan dari sumber-
sumber seperti internet dan buku pedoman.
Makalah yang berjudul “HIPERSENSITIVITAS” ini dibuat sebagai salah satu upaya
agar semua orang mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya alergi yang disebabkan oleh
factor benda mati ( anorganik) yang meliputi debu, suhu dan makanan. Sehingga dapat
diketahui pasti mekanisme yang terjadi, diagnosis dan penanggulangan terhadap reaksi alergi
yang terjadi.
Disadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan, agar isi dan makna makalah ini dapat mendekati tujuan
dan sasaran yang sebenarnya. Makalah ini dipersembahkan dengan penuh rasa terima kasih dan
semoga makalah ini bermanfaat.
Palamgka Raya, 4 November 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik
dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif
diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA,
IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T,
yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan
zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan,
sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh
menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu
timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen,
sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada
orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat
berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-
sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di
permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut
saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses
inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat
perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan
sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi dan pertahanan tubuh pada
kondisi lingkungan (suhu, debu dan udara) yang tidak sesuai (ekstrem), belum dapat
bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang
berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor
polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan
kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia
relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi.
Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang
dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga
pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat
melebihi normal.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?
2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?
3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
6. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?
7. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?
8. Bagaimana diagnostik hipersensitivitas?
9. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?
C. TUJUAN
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan
lebih dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi khususnya
penyakit hipersensitifitas (alergi) serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi I
D. MANFAAT
Manfaat yang dapat diperoleh dengan pembuatan makalah ini adalah menambah
pemahaman dan wawasan penulisan maupun pembaca tentang reaksi alergi yang
terjadi pada tubuh yang dipengaruhi oleh berbagai factor.
BAB II
ALERGI YANG DISEBABKAN OLEH FAKTOR ANORGANIK
A. DEFINISI
B. MEKANISME ALERGI
Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala alergi yang
ringan dapat berupa bersin – bersin, hidung meler, gatal – gatal baik bersifat lokal atau
seluruh tubuh, hidung mampet dan gejala alergi lainnya. Gejala alergi dapat dapat terlihat
pada kulit, mata, hidung, paru-paru dan perut, tergantung pada jenis alerginya. Gejala-gejala
alergi bisa mulai dari ringan ke sangat serius adalah :
1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini adalah yang
paling umum gejala alergi obat.
2. Batuk, wheezing, Hidung, dan kesulitan bernapas.
3. demam.
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dgn kulit
necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa maut, dan
Anda akan memerlukan perawatan darurat. Gejala, seperti hives dan kesulitan bernapas,
biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat, reaksi cepat tanpa perawatan,
Anda dapat masuk ke shock.
Gambaran lain yang menandakan adanya alergi adalah :
1. Adanya penonjolan kemerahan, seperti orang terkena cacar
2. Adanya biduran
3. Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik kulit.
4. Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada penderita demam berdarah
dengue.
5. Adanya radang pada pembulih darah (vaskulitis)
6. Adanya rekasi kemerahan karena kontak dengan sinar matahari
7. Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat.
8. Kelainan lain gawat darurat, seperti kulit seperti terbakar yang dalam klinik disebut
nekrolisis epidermal toksik.
Gejala alergi yang berbahaya meliputi rekasi anafilaksis. Reaksi alergi yang sangat
berbahaya adalah gejala anafilaksis, gejalanya dapat berupa shock berupa tekanan darah
secara tiba – tiba dan cepat sehingga membahayakan nyawa si penderita, kepala pusing
dan sang penderita terlihat sangat cemas sehingga perlu penanganan yang cepat dan harus
segera di bawa ke klinik atau RS. Gejala alergi anafilaksis paling sering terjadi pada gigitan
serangga dan alergi obat tertentu namun reaksi anafilaksis akibat minum obat tersangat
jarang terjadi.
Kerasnya reaksi alergi, gejala dapat sangat bervariasi. Gejala ringan mungkin tidak
begitu terlihat, hanya membuat tubuh merasa sedikit sakit. Gejala sedang dapat membuat
tubuh merasa sakit, seolah-olah mendapat flu atau bahkan dingin.sedangkan gejala parah
dari reaksi alergi akan menimbulkan rasa yang sangat tidak nyaman, bahkan
melumpuhkan. Kebanyakan gejala reaksi alergi menghilang tak lama setelah berhenti
eksposur. Reaksi alergi yang paling parah disebut anafilaksis. Anafilaksis dapat
mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis segera. Penanganan cepat sangat
penting untuk anafilaksis. Jika tidak ditangani secara cepat, anafilaksis dapat menyebabkan
koma atau kematian Gejala dapat berkembang pesat. Dalam anafilaksis, alergen
menyebabkan reaksi alergi seluruh tubuh yang dapat mencakup:
1. Gatal-gatal dan gatal-gatal di seluruh (bukan hanya di daerah terbuka)
2. Mengi atau sesak napas
3. Suara serak atau sesak di tenggorokan
4. Kesemutan di tangan, kaki, bibir, atau kulit kepala
Tidak, tidak semua orang memiliki alergi. Orang-orang mewarisi kecenderungan
untuk menjadi alergi, meskipun tidak ke alergen tertentu. Bila salah satu orangtua alergi,
anak mereka memiliki kesempatan 50% memiliki alergi. risiko itu melompat hingga 75%
jika kedua orang tua memiliki alergi.
D. MACAM-MACAM ALERGI
1. Alergi makanan
Alergi makanan adalah merupakan respon alamiah imun tubuh yang bersifat
negatif terhadap protein dari makanan yang kita konsumsi. Intolerance atau alergi
terhadap jenis makanan, umumnya dapat berpengaruh pada siapa saja serta dapat
menimbulkan reaksi yang berbeda pada tiap individunya. Maka tidak semua intolerance
atau alergi makanan itu nantinya dapat menyebabkan terganggunya sistem imunitas
tubuh manusia. makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi alergi yaitu makanan
yang berasal dari laut, seperti udang, lobster, kepiting, ikan dan telur, kacang polong
Pada anak-anak, penyebab alergi makanan yang paling sering yaitu telur, susu, kacang,
dan
2. Alergi obat-obatan
Jenis alergi ini disebabkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu. Reaksi alergi obat
merupakan reaksi alergi di mana system kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan
terhadap obat-obatan tertentu yang dikonsumsi oleh seseorang. yang diberikan tubuh
pun sangat keras. Contohnya dapat menyebabkan gatal-gatal, terdapat bercak-bercak
merah pada kulit, mual dan muntah. Obat yang berpotensi menimbulkan alergi antara
lain antibiotic alergi (sulfonamid), vaksin , dan obat non alergik ( kontras x-ray,
aspirin, antibiotic, dan obat tekanan darah tinggi.
3. Alergi debu
Alergi debu disebabkan ketidakbiasaan tubuh dalam menerima kehadiran debu. Hal
ini dapat menimbulkan penderita dapat mengalami bersin-bersin dalam frekuensi
yang sering, flu, rasa gatal, dan hidung tersumbat.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek
pada penderita. Bila ada orang tua, keluarga atau kakek/nenek yang menederita
alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah
satu orang tua yang menderita gejala alergi, maka dapat menurunkan resiko pada
anak sekitar 17 – 40%, Bila ke dua orang tua alergi maka resiko pada anak
meningkat menjadi 53 – 70%.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau
beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan
reaksi alergi.
3. Faktor Risiko
a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak keluarga
yang mengalami gangguan ini.
b. Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapat mengatasi
gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan ini kembali di
kemudian hari.
c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai risiko
alergi terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis reaksi alergi
yang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi makanan lebih besar.
d. Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama balita dan
bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap komponen makanan
atau makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-anak biasanya dapat mengatasi
alergi terhadap susu, gandum kedelai, dan telur. Alergi parah dan alergi terhadap
kacang-kacangan dan kerang mungkin dapat diderita seumur hidup.
e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika terjadi, baik
alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah
G. PATOFISIOLOGI
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen
akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T
tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini
mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila
seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan
terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan
nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun,
kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian
H. KLASIFIKASI ALERGI
1. Hipersensitivitas tipe I
Hipersensitivitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala
yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi
berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat
mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit
atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan
eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I
adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan
antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang
dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat
hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun,
peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi
cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi
hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitivitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG)
dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang
langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung
berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel
atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi
dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan
leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari
hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak
(kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type
hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.
Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis
Epidermal (senyawa
Limfosit, diikuti
48-72 organik, jelatang atau
Kontak Eksim (ekzema) makrofag; edema
jam poison ivy, logam berat
epidermidis
, dll.)
Intraderma
48-72 Pengerasan Limfosit, monosit,
Tuberkulin (tuberkulin, lepromin,
jam (indurasi) lokal makrofag
dll.)
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat. Adapun Gejala klinis umumnya :
I. PEMERIKSAAN FISIK
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan
seperti susu, telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah
atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM.
IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
H. DIAGNOSTIK
1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik,
Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic
fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan
pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi
(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli,
Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat,
pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang,
tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
3. Reaksi psikologi
I. TERAPI
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,
isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol,
metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ).
Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya
selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen
inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis
kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot
polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif
unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau
ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan
alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral
atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal
mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema,
produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat
pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro.
Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E
yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama
seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa
penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara
sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed
pada kadar berapapun
4. Profilaksis
B. SARAN
Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Untuk mencegah alergi ini kembali,.
Merubah pola hidup menjadi dasar perbaikan seluruh kondisi alergi. Prinsip utama dalam
menangani reaksi alergi adalah menghindari pencetusnya, dan bukan memberinya obat-obatan.
Jadi, perhatikan faktor lingkungan di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA