Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH IMUNOLOGI

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Dosen : Dra. Refdanita.,M.Si.,Apt


Di Susun Oleh :
1. M. Idzhad Adrian

(13330005)

FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA SELATAN
2016

KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah tepat pada
waktunya.
Penyusunan makalah yang berjudul Reaksi Hipersensitivitas bertujuan sebagai nilai
tambah dalam mata kuliah Imunologi. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada Ibu Dra. Refdanita.,M.Si.,Apt selaku dosen pembimbing mata kuliah
imunologi, serta teman-teman yang turut membantu hingga terselesaikannya penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat diharapkan
demi kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya.

Jakarta, September 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................i


DAFTAR ISI
.....................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
.....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................2
1.3 Tujuan
.....................................................................................2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1

Definisi

.....................................................................................

2.2

Etiologi

.....................................................................................

2.3

Patofisiologi .....................................................................................

2.4

Pembagian reaksi menurut waktu timbulnya ..................................

2.5

Pembagian reaksi menurut Gell dan Coombs..................................

2.6

Tanda dan Gejala .............................................................................

15

2.7

Pemeriksaan Fisik............................................................................

16

2.8

Pemeriksaan Penunjang...................................................................

17

2.9

Diagnostik .....................................................................................

17

2.10

Terapi

.....................................................................................

17

2.11

Prognosis

.....................................................................................

19

3.1

Kesimpulan .....................................................................................

20

3.2

Saran

.....................................................................................

20

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

21

BAB III PENUTUP

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan
oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan
antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain
untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi
ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak
terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke
jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara
rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian
kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga
menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos
dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada
alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan
bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang
aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri

menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam
mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang
berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
1.2

Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam makalah ini yaitu :


1.

Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?

2.

Etiologi penyakit hipersensitivitas?

3.

Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?

4.

Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?

5.

Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?

6.

Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?

7.

Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?

8.

Bagaimana diagnostik hipersensitivitas?

9.

Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?

10.

Bagaimana prognosis penyakit hipersensitivitas?

1.3

Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih

dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi khususnya penyakit
hipersensitifitas serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Defenisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang

menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut allergen.
2.2

Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :


1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzymenzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik)
memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa
bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
2.

Faktor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban
latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%;
telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi
alergi.

2.3

Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang

mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang
akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami
paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama
anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran
menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian

2.4

Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya

1. Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara
alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif.
Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
2. Reaksi Intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini
melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi
komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa :
Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun
Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis,
glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel
neutrofil atau sel NK.
3. Reaksi Lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang
terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor
makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis
kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
2.5

Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs

Reaksi tipe 1 yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, tibul
segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von
Pirquet pada tahun 1906 yang berasal dari alol (Yunani) yang berarti perubahan dari asalnya
yang dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan reaktivitas organisme.

Pada reaksi tipe 1, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan
kejadian reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut :

1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silah
oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mast/basofil
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast/ basofil melepas isisnya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik
A. Sel mast dan mediator pada reaksi tipe 1
Sel mast mengandung banyak mediator primer atau preformed antara lain histamin yang
disimpan dalam granul. Sel mast interaksi ikatan silang antara Fce-RI dan IgE pada permukaan
sel mast memacu aktivasi Syk. Sinyal dari Syk dengan cepat ditransduksi yang menimbulkan
degranulasi, produksi LT dan transkripsi gen sitokin/kemokin. Penglepasan mediator inflamasi
tersebut berperan dalam gejala akut dan kronis penyakit alergi.

Pajanan dengan antigen

mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang
memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepaskan diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil
(banyak molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1). Pajanan kedua dengan
alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu
penglepasan mediator farmakologis aktif ( amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Mediatormediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan
vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis. Juga yang diaktifkan dapat memproduksi
mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT dan PG
Histamin
Puncak reaksi tipe 1 terjadi dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi terjadi perubahan dalam
membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca yang
menimbulkanaktivasi fosfolipase. Dalam fase ini energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa
enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP
dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkaatn cAMP akan mencegah, sedangkan
pemingkatan cGMP memacu degranulasi. Penglepasan granul ini adalah fisiologik dan tidak
menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi sel mast dapat pula terjadi atas pengaruh
anafilatoksin, C3a dan C5a.
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul.
Histamin yang merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya. Ada 4

reseptor histamin (H1,H2,H3,H4) dengan distribusi yang berbeda dalam jaringan dan bila
berikatan dengan histamin, menunjukkan berbagai efek.
PG dan LT
Disamping histamin, mediator lain seperti PG dan LT (dulu SRS-A) yang dihasilkan dari
metabolisme asam arakidonat serta berbagai sitokin berperan pada fase lambat reaksi tipe 1.
Fase lambat sering timbul setelah fase cepat hilang yaitu antara 6-8 jam. PG dan LT merupakan
mediator sekunder yang kemudian dibentuk dari metabolisme asam arakidonat atas pengaruh
fosfolipase A2. Efek biologisnya timbul lebih lambat, namun lebih menonjol dan berlangsung
lebih lama dibanding dengan histamin.

LT berperan pada bronkokonstriksi, peningkatan

permeabilitas vaskular dan produksi mukus. PGE2 menimbulkan bronkokonstriksi.


Sitokin
Berbagai sitokin dilepas sel mast dan basofil seperti IL-3 ,IL-4,IL-5,IL-6,IL-10,IL-13,GM-CSF
dan TNF-. Beberapa diantaranya berperan dalam manifestasi klinis reaksi tipe 1. Sitokinsitokin tersebut mengubah lingkungan mikro dan dapat mengerahkan sel inflamasi seperti
neutrofil dan eosinofil. IL-4 dan IL-13 meningkatkan produksi IGE oleh sel B. IL-5 berperan
dalam pengerahan dan aktivasi eosinofil.

Kadar TNF- yang tinggi dan dilepas sel mast

berperan dalam renjatan anafilaksis.


B. Manifestasi reaksi tipe 1
Manifestasi reaksi tipe 1 dapat bervariasi dari lokal, ringan sampai berat dan keadaan
yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat
Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya
melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk. Kecendrungan untuk menunjukan reaksi
tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi.
Sekitar 50-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang masuk kedalam tubuh
melalui mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 10-20%
masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3%-10% yang menderita asma bronkial. IgE
yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang
sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula
terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi
orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit,mata,hidung dan saluran napas.

Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja.
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe 1 atau reaksi alergi yang cepat,
ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel efektor
yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu
berbagai alergen seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan
juga lateks, latihan jasmani dan bahan diagnostik lainnya. Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis,
pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan penglepasan
mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Pekanisme pseudoalegi merupakan
mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi tipe 1 seperti syok,
urtikaria, bronkopasme, anafilaksis, pruritus, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun.
Manifestasi klinisnya sering berupa, sehingga sulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini tidak
memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat
ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin
dan pelemas otot.
Perbedaan anafilaksis dan anafilaktoid
kriteria serta mekanisme untuk membedakan reaksi anafilaksi dari reaksi anafilaktoid berada
pada table dibawah ini :
Kriteria kasar untuk membedakan alergi dan pseudoalergi
Alergi
Pseudoalergi ( anafilaktoid )
Perlu sensitisasi
Tidak perlu sensitisasi
Reaksi setelah pajanan berulang
Reaksi pada pajanan pertama
Jarang (<5%)
Sering (>5%)
Gejala klinis khas
Gejala tidak khas
Dosis pemicu kecil
Tergantung dosis ( tergantung kecepatan
pemberian pada infus)
Ada kemungkinan riwayat keluarga
Tidak ada riwayat keluarga (kecuali detek
enzim)
Pengaruh fisiologis sedang
Pengaruh fisiologis kuat

Reaksi tipe 2 atau sitotoksis atau sitolitik

Reaksi hipersensitivitas tipe 2 disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena
dibentuk antibodi jenis IgG au IgM terhadap antigen yang merupakan bagia sel pejamu. Reaksi
diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari
membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel
dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek
toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK
yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe
2 dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.
Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen.
bila darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh
karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah
direk oleh hemolisis masif intravaskular . reaksi dapat cepat atau lambat, reaksi cepat biasanya
disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IGM. Dalam beberapa
jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan
menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar
tinggi bersifat toksisk. Gejala khasnya berupa demam, mengigil, nausea, bekuan dalam
pembuluh darah, nyeri pinggan bawah dan hemoglobinuria.
Reaksi transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi
berulang dengan darah kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya.
Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu
pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah
golongan Rhesus, Kidd, Kell dan Duffy.
Penyakit hemolitik bayi baru lahir
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam
kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rhesus negatif dan janin dengan Rhesus
positif.
Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul
hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang selanjutnya
mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan anemia
progresif
C. Reaksi tipe 3 atau kompleks imun

Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke
hati, limpa dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama dihati, limpa dan
paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan
cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk
dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan
fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan.
Meskipun kompleks imun berada didalam sirkulasi untuk jangka waktu lama, biasanya tidak
berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap dijaringan.
Kompleks imun mengendap didinding pembuluh darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten(malaria). Bahan yang
terhirup( spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan
sendiri( penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi
tanpa adanya respons antibodi yang efektif. Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat
menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas
berbagai bahan yang dapat merusak jaringan.
Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3( dapat juga
IgA) diendapkan dimembran basal vaskular dan membran basal ginjal yang menimbulkan reaksi
inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregrasi trombosit,
aktivasi makrogfag, perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan
penglepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influks neutrofil. Bahan toksik yang
dilepas neutrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan setempat.
Kompleks imun mengendap dijaringan
hal yang memungkinkan terjadi pengendapan kompleks imun dijaringan ialah ukuran kompleks
imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang meningkat, antara lain karena histamin yang
dilepas sel mast

Bentuk reaksi

reaksi tipe 3 ,mempunyai dua bentuk reaksi, lokal dan sistemik


a. Reaksi lokal atau fenomen arthus
Arthus yang menyuntikan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulangkali ditempat
yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat ditempat suntikan. Mula-mula hanya
terjadi eritem ringan dan edem dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang
keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edem yang lebih besar dan suntikan yang
ke 5-6 menimbulkan pendarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal tersebut disebut fenomena
arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun antibodi yang ditemukan adalah jenis
presipitin.
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vaskular dan
bermigrasi ke jaringan tempat komples imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan
jaringan lokal dan vaskular akibat akumulasi cairan (edem) dan SDM (eritema) sampai nekrosis.
Reaksi tipe arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau protein
fekal kering yang dapat menimbulkan pneumonitis atau alveolitis atau farmers lung.
C3a dan c5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen, meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem. C3a dan c5a berfungsi juga
sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan ditempat reaksi dan
menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh
darah kecil, sel mast, otot polos dan leukosi perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos,
degranulasi sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons tripel terhadap kulit.
Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang
digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase dan bahan vasoaktif.
Akhirnya terjadi pendarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat
Dengan pemeriksaan imunofluoresen, antigen, antibodi dan berbagai komponen komplemen
dapat ditemukan di tempat kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau
jumlah granulosit menurun ( pada hewan, kadar komplemen dapat diturunkan dengan bisa
kobra), maka kerusakan khas dari arthus tidak terjadi. Reaksi arthus didalam klinik dapat berupa
vaskulitis.

b. Reaksi tipe 3 sistemik- serum sickness

Antigen dalam jumlah besar yang masuk kedalam sirkulasi darah dapat membentuk
kompleks imun. Bila antigen jauh berlebihan dibanding antibodi, kompleks yang dibentuk
adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk dibersihkan fagosit sehingga dapat menimbulkan
kerusakan jaringan tipe 3 diberbagai tempat. Dahulu reaksi tipe 3 sistemik demikian sering
terlihat pada pemberian antitoksin yang mengandung serum asing seperti antitetanus atau
antidifteri asal kuda.
Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan
melepas anafilatoksin (C3a,C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator
lainnya dan MCF(C3a,C5a,C5,C6,C7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik
dan protein polikationik. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat
dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus , misalnya dalam kapiler
glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier mata. Pada LES, ginjal
merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada artritis reumatoid, sel plasma dalam sinovium
membentuk anti-IgG (FR berupa IgM) dan membentuk kompleks imun disendi
Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan
melepas amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel mast dan trombosit menimbulkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular dan inflamasi. Neutrifil dikerahkan dan
menyingkirkan kompleks imun. Neutrofil yang terkepung dijaringan akan sulit untuk
menangkap dan makan kompleks, tetapi akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini
menimbulkan lebih banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut
melepas berbagai mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Dalam
beberapa hari minggu setelah permberian serum asing, mulai terlihat manifestasi panas dan
gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit dibeberapa bagian tubuh, sendi dan KGB
yang dapat berupa vaskulitis sistemik( arteritis), glomerulonefritis, dan artritis. Reaksi itu
disebut reaksi Pirquet dan Schick.
Reaksi Herxheimer adalah serum sickness ( Tipe 3) yang terjadi sesudah pemberian
pengobatan terhadap penyakit infeksi kronis (sifilis, tripanosomiasis dan bruselosis). Bila
mikroorganisme dihancurkan dalam jumlah besar juga melepas sejumlah antigen yang cenderung
bereaksi dengan antibodi yang sudah ada dalam sirkulasi.
D. Reaksi hipersensitivitas Tipe 4
Baik CD 4 maupun CD8 berperan dalam reaksi tipe 4. Sel T melepas sitokin, bersama
dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada
penyakit kulit hipersensitivitas lambat.

Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh

etilendiamine, neomisin, anastesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.


Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe 4 telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4
dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8.

1. Delayed Type Hypersensitivity Tipe 4


Reaksi tipe 4 merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi terhadap bahan yang
tidak daapat

disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan

kolagen sapi dari bawah kulit. Ada beberapa fase pada respons Tipe 4 yang dimulai dengan fase
sensitasi yang membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Dalam fase itu,
Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-11, Reaksi khas DTH seperti respons imun lainnya
mempunyai 2 fase yang dapat dibedakan yaitu fase sensitasi dan fase efektor
Berbagi APC seperti sel Langerhans (SD dikulit) dan makrofag yang menangkap antigen dan
membawanya kekelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T. Sel T yang diaktifkan
pada umumnya adalah sel CD4 terutama Th1, tetapi pada beberapa hal sel CD8 dapat juga
diaktifkan. Pajanan ulang lebih aktif berperan sel efektor dan sebagai APC yang melepas IL-12.
Yang akhir menginduksi Th1 dan lebih efektif memproduksi IFN y yang menekan aktivitas sel
Th2 dan mengaktifkan makrofag yang menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan
disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reakti
intermediet, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. IL-18 adalah sitokin lain yang diproduksi
makrofag yang bersama IL-12 memacu Th1 untuk lebih banyak memproduksi IFN-y. Respons
yang sifatnya menetap itu merupakan pisau bermata dua antara respons proteksi yang
menguntungkan dan respons yang merusak yang ditandai oleh kerusakan jaringan.
2. Manifestasi klinis reaksi Tipe 4
Dermatitis kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4 yang dapat terjadi akibat kontak denga
bahan tidak berbahaya, merupakan contoh reaksi DTH. Kontak dengan bahan seperti
formaldehid, nikel, terpenting dan berbagai bahan aktif dalam cat rambut yang
menimbulkan, dermatitis kontak terjadi melalui sel Th1.
Hipersensitivitas tuberkulin
Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk
filtrat biakan M. Tuberkulosis yang bila disuntikan ke kulit, akan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas lambat tipe 4. Yang berperan dalam reaksi ini adalah sel limfosi CD4 T.
Setelah suntikan intrakutan ekstrak tuberkulin atau derivat protein yang dimurnikan
(PPD), daerah kemerahan dan indurasi timbul ditempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada
individu yang pernah kontak dengan M. Tuberkulosis, kulit bengkak terjadi pada hari ke
7-10 pasca induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T.

Reaksi jones mote


Reaksi jones mote adalah reaksi hipersensitivitas tipe 4 terhadap antigen protein yang
berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok dikulit dibawah dermis. Reaksi juga disebut
hipersensitivitas basofil kutan. Dibanding dengan hipersensitivitas tipe 4 lainnya, reaksi ini
adalah lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil.
Tidak terjadi nekrosis dan reaksi dapat diinduksi dengan suntikan antigen larut seperti ovalbumin
dengan ajuvan Freund.
T Cell Mediated Cytolysis (Penyakit CD8)
Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8/CTL/Tc yang
langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung
terbatas kepada perkembanga reaksi DTH mengubah akibat pajanan ulang terhadap alergen
kontak. 80-90% masyarakat amerika menunjukkan reaksi terhadap urushiol dalam poison ivy
yang menembus kulit (1) dan berikatan denga self-protein yang selanjutnya ditela sel Langerhans
(SL). SL mempresentasikan hapten-urushiol ke sel DTH yang melepas berbagai sitokin(2).
Sekitar 48-72 jam setelah pajanan, makrofag terkumpul ditempat kontak dan melepas enzim litik
dan menimbulkan ruam dan pustula spesifik(3).
Setelah kontak dengan antigen, sel Th disensitasi, berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel DTH. Bila sel DTH yang disensitasi terpajan ulang dengan antigen sama, akan
melepas sitokin, menarik dan mengaktifkan makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor dalam
reaksi hipersensitivitas. Beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus
hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respons CTL terhadap
hepatosit yang terinfeksi.
Sel CD8 yang spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel dengan
langsung. Pada banyak pernyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya
ditemukan baik sel CD4 maupun CD8 spesifik untuk self-antigen dan kedua jenis sel tersebut
dapat menimbulkan kerusakan.

2.6

Tanda dan Gejala


Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian

antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan

anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi
akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi
saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian
dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

sering disertai pruritis


Demam
Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
Limfadenopati
kejang perut, mual
neuritis optic
glomerulonefritis
sindrom lupus eritematosus sistemik
gejala vaskulitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin,
nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut

3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal


4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
2.7

Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi:

apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan

terdapat gejala adanya

urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir


2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan
3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng
yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
2.8

Pemeriksaan Penunjang
1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu,
telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi,
atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM.
IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).

7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.


8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
2.9

Diagnostik
1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik,
Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic
fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan
pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi
(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli,
Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat,
pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang,
tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
3. Reaksi psikologi

2.10 Terapi
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis, yaitu dengan :

a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal
salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam,
menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif
mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot
polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak
efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma
alergika atau ekstrinsik.
a.

Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau
intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal
mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema,
produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.

3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau
alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada
tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan
pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin
dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari
beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara
sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar
berapapun
4.

Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali

sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

2.11

Prognosis
Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya

imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna
karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik
maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas
5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi
makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun
biasanya akan tampak mulai membaik sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan
tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.

BAB III
PENUTUP
3.1

KESIMPULAN
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang

menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut allerge.
Hipersensitivitas memiliki 4 reaksi, yaitu type I: reaksi anafilaksis, type II: Reaksi sitotoksik,
type III: Reaksi imun kompleks, dan type IV: Reaksi tipe lambat.
3.2.

SARAN
Makalah ini masih belum cukup sempurna dan masih ada banyak kesalahan sehingga

kami mohon kritik dan saran yang membangun guna untuk menyempurnakan makalah kami
yang selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.

http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas
http://akperkc.blogspot.com/2012/03/makalah-hipersensitivitas.html
http://ennypsik.blogspot.com/201/08/askep-hipersensitivitas.html
Buku imunolgi fakultas kedokteran UI tahun 2008

Anda mungkin juga menyukai