Anda di halaman 1dari 34

WRAP UP

BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUH


ALERGI OBAT

B-3
Ketua
Sekretaris
Anggota

: Siti Sarah Novianti Mushafa


: Thalia Shifa Susanto
: Putri Erica Yulinafira
Natasha Mita Dwidita
Noura Alia
Randa
Siti Jarofiyah
Siti Rodhia Dawin
Siti Sarah Novianti Musthafa

(1102015187)
(1102015168)
(1102012215)
(1102015160)
(1102015168)
(1102015187)
(1102015225)
(1102015228)
(1102015229)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JL. LET. JEND. SUPRAPTO, CEMPAKA PUTIH,
JAKARTA PUSAT, 10510
2016

SKENARIO
REAKSI ALERGI
Seorang perempuan berusia 26 tahun, datang ke dokter dengan keluhan gatal-gatal
serta bentol-bentol merah yang hampir merata di seluruh tubuh, timbul bengkak pada
kelopak mata dan bibir sesudah minum obat penurun panas (Parasetamol). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan angioedema di mata dan bibir serta urtikaria di seluruh
tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi
(hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat anti histamine dan
kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum
obat serta berkonsultasi dulu dengan dokter.

KATA SULIT
1. Angioedema : reaksi vascular pada dermis bagian dalam atau jaringan subkutan
atau jaringan mukosa. Dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Ditandai
dengan timbulnya lesi urtikaria yang besar
2. Urtikaria : reaksi vascular lapisan dermis bagian atas yang ditandai dengan
gambaran sementara bercak (bentol) yang agak menonjol dan lebih merah atau
lebih pucat dari pada kulit sekitarnya dan seringkali disertai dengan gatal yang
hebat.
3. Hipersensitivitas : keadaan berubahnya reaktivitas, ditandai dengan reaksi tubuh
berupa respons imun yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai
benda asing.
4. Anti histamine : agen yang melawan kerja histamine
5. Kortikosteroid : setiap steroid yang dikeluarkan oleh korteks adrenal (tidak
termasuk hormone seks) atau setiap hormone sintetik yang setara dengan steroid
ini
6. Alergi : keadaan dimana terjadi hipersensitivitas pada substansi asing bernama
alergen

PERTANYAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Bagaimana mekanisme timbulnya gatal-gatal seluruh tubuh?


Mengapa dokter memberikan anti histamin dan kortikosteroid?
Mengapa terjadi angioedema pada mata dan bibir?
Apa saja tipe-tipe hipersensitivitas?
Bagaimana cara tes alergi?
Bagaimana cara penanganan alergi?
Apa saja macam-macam reaksi alergi?

JAWABAN
1. Antigen masuk ke dalam tubuh, kemudian merangsang sel B membentuk sel
plasma yang akan membentuk IgE. Antibodi IgE berikatan dengan sel mast, yang
akan mendegranulasi sel mast dan menghasilkan mediator-mediator vasoaktif
seperti histamin. Histamin membuat vasodilatasi yang akan membuat kulit gatal.
2. Anti histamin ditujukan untuk menghambat produksi histamin oleh sel mast yang
membuat tubuh gatal. Sementara kortikosteroid ditujukan untuk penurunan
respon imun.
3. Terjadi angioedema karena histamin membuat vasodilatasi pembuluh darah yang
kemudian cairan dalam pembuluh darah akan menuju intersistial.
4. Tipe I, tipe II, tipe III, tipe IV
5. Cara tes alergi salah satunya dengan cara skin prick test.
6. Pemberian anti histamin.
7. Bersin, batuk, edema, urtikaria, demam, kemerahan.

HIPOTESA
Hipersensitivitas merupakan peningkatan respon imun berlebihan yang terbagi
menjadi 4 tipe salah satunya hipersensitivitas tipe cepat dan menyebabkan timbulnya
alergi, alergi tersebut dapat ditangani dengan pemberian anti histamin dan
kortikosteroid serta mempertimbangkan efek samping dari obat tersebut.

SASARAN BELAJAR
LI 1 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas
1.1 Definisi
1.2 Klasifikasi
1.3 Etiologi
LI 2 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I
2.1 Definisi
2.2 Mekanisme dan Respon Imun
2.3 Penanganan
2.4 Pencegahan
LI 3 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II
3.1 Definisi
3.2 Mekanisme dan Respon Imun
LI 4 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III
4.1 Definisi
4.2 Mekanisme dan Respon Imun
LI 5 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV
5.1 Definisi
5.2 Mekanisme dan Respon Imun
LI 6 Pandangan Islam Terhadap Pemilihan Obat
6.1 Maslahat
6.2 Mafsadah

LI 1. Memahami dan Menjelaskan tentang Hipersensitivitas


LO 1.1 Definisi
Peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan
atau dikenal sebelumnya. (Imunologi Dasar)
Respon imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh. (Kapita Selekta)
Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas dimana tubuh bereaksi dengan
respon imun secara berlebihan terhadap bahan asing. (Dorland)
LO 1.2 Klasifikasi
1. Menurut waktu timbulnya reaksi
a. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan
silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi
penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis
sistemik atau anafilaksis berat.
b. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24
jam. Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu
yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK. Manifestasi reaksi
intermediet berupa :
Reaksi transfusi darah (eritroblastosis, fetalis, dan anemia hemolitik
autoimun).
Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik (serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES).
c. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sekitar 48 jam setalah terjadi pajanan dengan antigen
yang terjadi oleh aktivasi oleh sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi
penolakan tandur. (Imunologi Dasar, 2014)
2. Menurut Gell dan Coombs
Tabel Reaksi Hipersensitivitas Tipe I,II,III,IV menurut Gell dan Coombs
Tipe I
Reaksi IgE

Tipe II
Tipe III
Reaksi Sitotoksik Reaksi
(IgG atau IgM)
imun

Tipe IV
kompleks Reaksi selular

Ikatan
silang
anatara
antigen
dan IgE yang
diikat sel mast
yang
basofil
melepas mediator
vasoaktif

Ab
terhadap
antigen permukaan
sel menimbulkan
destruksi
sel
dengan
bantuan
komplemen atau
ADCC

Kompleks
Ag-Ab
mengaktifkan
komplemen
dan
respons
inflamasi
melalui
infiltrasi
masib neutrofil

Sel
Th1
yang
disensitasi melepas
sitokin
yang
mengaktifkan
makrofag atau sel
Tc yang berperan
dalam kerusakan
jaringan. Sel Th2
dan
Tc
menimbulkan
respons sama
Manifestasi khas:
Manifestasi khas:
Manifestasi khas:
Manifestasi khas:
Anafilaksis
Reaksi transfuse, Reaksi local seperti Dermatis kontak,
sistemik dan local eritroblastosis
Arthus dan sistemik lesi
tuberculosis
seperti
rhinitis, fetalis,
anemia seperti
serum dan
penolakan
asma,
urtikaria, hemolitik
sickness, vaskulitis tandur
alergi
makanan autoimun
dengan
nekrosis,
dan ekzem
glomerulonephritis,
AR dan LES
(Imunologi Dasar, 2014)
Tabel Klasifikasi Gell dan Coombs yang Telah Dimodifikasi
Tipe/ Mekanisme
Gejala
Contoh
I/IgE
Anafilaksis, urtikaria,
Penisilin dan -laktam
angioedema, mengi,
lainnya, enzim, antiserum,
hipotensi, nausea,
protamin, heparin antibodi
muntah, sakit abdomen, monoklonal, ekstrak
diare
alergen, insulin
II/Sitotoksik (IgG dan
Agranulositosis
Metamizol, fenotiazin
IgM)
Anemia hemolitik
Penisilin, sefalosporin, laktam, kinidin, metildopa
Trombositopenia

III / Kompleks imun


(IgG dan IgM)

Karbamazepin, fenotiazin,
tiourasil, sulfonamid,
antikonvulsan, kinin,
kinidin, parasetol,
sulfonamid, propil,
tiourasil, preparat emas
Panas,
urtikaria, -laktam,
sulfonamid,
atralgia, limfadenopati
fenotiazin, streptomisin
Serum sickness

serum
penisilin,

xenogenik,
globulin anti7

IV/Hipersensitivitas
selular

timosit
Eksim (juga sistemik) Penisilin, anestetik lokal,
eritema, lepuh, pruritus antihistamin
topikal,
neomisin,
pengawet,
Fotoalergi
eksipien (lanolin, paraben),
desinfekstan
Fixed drug eruption
Salislanilid (halogeneted),
asam nalidilik
Lesi makulopapular
Barbiturat, kinin

V/Reaksi granuloma
VI/Hipersensitivitas
stimulasi

Penisilin, emas, barbiturat,


-blocker
Granuloma
Ekstrak alergen, kolagen
larut
(LE yang diinduksi Hidralazin, prokainamid
obat?)
Antibodi terhadap insulin
Resistensi insulin
(IgG)

(Imunologi Dasar, 2014)


LO 1.3 Etiologi
Saat pertama kali masuknya allergen (ex. Telur) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk
kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak
gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu
muncul maka antigen akan mengenali allergen yang masuk yang akan memicu
aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan
antibody (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibody pada sel mast yang
dikeluarkan oleh basophil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua
kalinya oleh allergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu ;
1 Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya netrofil
dan eosinophil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan
panas.
2 Allergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibody (IgE) yang merangsang
sel mast kemudian melepaskan histamine dalam jumlah yang banyak, kemudian
histamine tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka
mencapai kulit, allergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus,
angioedema, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka
mencapai paru-paru, allergen dapat mencetuskan terjadinya asmaa. Gejala alergi
yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani
segera dapat menyebabkan kematian.
8

LI 2. MM tentang Hipersensitivitas Tipe 1


LO 2.1 Definisi
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat atau reaksi
anafilaksis atau reaksi alergi timbul segera sesudah tubuh terpajan alergen.
(Imunologi Dasar, 2014)
LO 2.2 Respon Imun dan Mekanisme
Pada tipe 1 terdapat beberapa fase, yaitu :
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast/basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi
farmakologik.

Gambar Mekanisme Reaksi Hipersensitifitas Tipe 1


Pajanan dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang
menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh
FceR1 pada sel mast dan basofil (banyak molekul IgE dengan berbagai spesisitas
9

dapat diikat FceR1). Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang
Antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu pelepasan mediator
farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Mediator- mediator
tersebut menimbulkan konstraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vascular
dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.
1. Histamin merupakan kompenen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat
granul. Histamin yang merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh
reseptornya. Ada 4 reseptor histamin ( H1,H2,H3,H4 ) dengan distribusi yang
berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin, menunjukkan
berbagai efek.
2. PG dan LT dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat serta berbagai sitokin
berperan pada fase lambat reaksi tipe 1. PG dan LT merupakan mediator sekunder
yang kemudian dibentuk dari metabolisme asam arakidonat atas pengaruh
fosfolipase A2. Efek biologisnya timbul lebih lambat, namun lebih menonjol dan
berlangsung lebih lama dibanding dengan histamin.
3. Sitokin dilepas sel mast dan basofil (IL-3,IL-4,IL-5,IL-6,IL-10,IL-13,GM-CSF
dan TNF-). Beberapa berperan dalam reaksi tipe 1. Sitokin tersebut mengubah
lingkungan mikro dan dapat mengerahkan sel inflamasi seperti
Mediator primer utama pada hipersensitivitas Tipe 1
Mediator
Efek
H1: Permeabilitas vaskuler meningkat, vasodilatasi,
kontraksi otot polos
Histamin
H2: sekresi mukosa gaster
Aritmia jantung
ECF-A
Kemotaksis eosinofil
NCF-A
Kemotaksis neutrofil
Protease
(triptase, Sekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh
kimase)
darah, pembentukan produk pemecah komplemen
Eosinophil
Kemotaktik untuk eosinofil
Chemotactic Factor
Neutrophil
Kemotaktik untuk neutrofil
Chemotactic Factor
Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos
PAF
paru
NCA
Kemotaksis neutrofil
Hidrolase asam
Degradasi matriks ekstraseluler
BK-A
Kalikrein; kininogenase
Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan: mencegah
Proteoglikan
komplemen yang menimbulkan koagulasi (?)
Enzim
Kimase, triptase, proteolisis
Mediator sekunder utama pada Hipersensitivitas Tipe 1
Mediator
Efek
Sitokin
Aktivasi berbagai sel radang
10

Bradikinin
Prostaglandin
Leukotrin (LTC4 LTD4 LTE4)
Leukotrin B4, 15-HETE

Peningkatan permebilitas kapiler, vasodilatasi,


kontraksi otot polos, stimulasi ujung saraf
nyeri
Kontraksi otot polos paru, vasodilatasi,
agregasi trombosit, kemotaktik neutrophil,
potensiasi mediator
Kontraksi otot polos (jangka lama),
meningkatkan permeabilitas, kemotaksis
Sekresi mukus

Manifestasi reaksi tipe I dapat bervariasi dari local, ringan sampai berat dan keadaan
yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat.
1. Reaksi lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya melibatkan
permukaan epitel tempat alergan masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan
reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi
menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan
dermatitis atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat
oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap
untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah)
orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi
yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas.
Reaksi Alergi
Jenis
Alergi
Anafilaksi
s
Urtikaris
akut
Rinitis
alergi
Asma
Makanan
Ekzem
atopi

Alergen Umum

Gambaran

Obat, serum, kacang-kacangan

Edema
dengan
peningkatan
permeabilitas kapiler, okulasi trakea ,
koleps
sirkulasi
yang
dapat
menyebabkan kematian

Sengatan serangga

Bentol, merah

Polen, tungau debu rumah

Edema dan iritasi mukosa nasal

Konstriksi bronkial, peningkatan


produksi mukus, inflamasi saluran
nafas
Kerang, susu, telur, ikan, bahan Urtikaria yang gatal dan potensial
asal gandum
menjadi anafilaksis
Inflamasi pada kulit yang terasa
Polen, tungau debu runah,
gatal, biasanya merah dan ada
beberapa makanan
kalanya vesikular
Polen, tungau debu rumah

2. Reaksi sistemik anafilaksis adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi
dalam beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan
11

Coombs Tipe 1 atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat
mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas
berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan (asal
laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan
jasmani dan bahan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
3. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE.
Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara
klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi
klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini
tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi
anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium,
AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot. (Imunologi Dasar)
4. Perbedaan anafilaksis dan anafilaktoid
Kriteria kasar untuk membedakan alergi dan pseudoalergi
Alergi
Pseudoalergi (anafilaktoid)
Perlu sensitisasi
Tidak perlu sensitisasi
Reaksi setelah pajanan berulang
Reaksi pada pajanan pertama
Jarang (<5%)
Sering (>5%)
Gejala klinis khas
Gejala tidak khas
Dosis pemicu kecil
Tergantung dosis (tergantung kecepatan
pemberian pada infus)
Ada kemungkinan riwayat keluarga
Tidak ada riwayat keluarga (kecuali
defek enzim)
Pengaruh fisiologis sedang
Pengaruh fisiologis kuat
LO 2.3 Penanganan
1. Antihistamin
Generasi

CTM (klorfeniramin)

AH1
Generasi II

Antihistamin

AH2

Terfenadin, Astemizol,
Loratadin, Akrivastin,

1. Simetidin
2. Ranitidin
3. Famotidin
4. Nizatidin
12

A. Antagonis Reseptor H1 (AH1)


FARMAKODINAMIK AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh
darah, bronkus, bermacam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk
mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan
histamin endogen berlebihan. Obat AH1 dibedakan menjadi 2 yaitu AH1
generasi pertama dan AH2 generasi kedua. Obat AH1 generasi pertama adalah
klorfeniramin (CTM). AH1 generasi kedua tidak menyebabkan efek samping
karena tidak menembus sawar otak sehingga tidak menyebabkan efek pada
SSP seperti kantuk, inkoordinasi, dll. Contoh obat AH1 generasi kedua adalah
terfenadin, astemizol, loratasin, akrivastin, dan setirizin. Obat antihistamin
yang digunakan untuk anestesi local adalah promletazin dan pirilamin.
FARMAKOKINETIK efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit
setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1
umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada
limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama
biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam,
terutama dalam bentuk metabolitnya. Meminum obat saat makan akan
mengurangi efek samping.
INDIKASI untuk alergi debu yang tidak parah, mengatasi urtikaria akut,
dermatitis atopic, dermatitis kontak dan gigitan serangga, anti muntah pasca
bedah atau hamil dan setelah radiasi, paralisis agintans (Parkinson), untuk
mabuk perjalanan. Kontraindikasi untuk pasien penderita penyakit hati.
-

EFEK SAMPING
Mengentalkan sekresi bronkus sehingga menyulitkan ekspektorasi (sehingga
tidak efektif untuk penderita asma
Sedasi (mengantuk parah). Namun ada obat non-sedasi yaitu Astemizol,
Terfenadin, Loratadin.
Vertigo, Insomnia, Tremor, Nafsu makan menurun, inkoordinasi, pandangan
kabur, diplopia, euphoria, gelisah, lemah, penat, mulut kering, disuria,
hipotensi, sakit kepala, dll.
Astemizol yang berlebihan menyebabkan gemuk
Pemberian astemizol, terfenadin yang diberikan bersama makrolida
(eritromisin) seperti ketokonazol, itrakonazol akan menyebabkan keadaan
fatal yaitu aritmia ventrikel.
B. Antagonis Reseptor H2 (AH2)

13

AH2 menghambat sekresi asam lambung. AH2 dibedakan menjadi 4 golongan


yaitu simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin
1) Simetidin dan Ranitidin
FARMAKODINAMIK simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2
secara selektif dan reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung.
Simetadin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan
lambung.
FARMAKOKINETIK absorpsi simetidin diperlambat oleh makan,
sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan
maksud untuk memperanjang efek pada periode pascamakan. Ranitidn
mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar
setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Masa paruh simetidin adalah 2 jam
sedangkan masa paruh ranitidine adalah 1,75-3 jam dan bisa makin lama
pada orang tua, pasien gagal ginjal dan pasien yang mempunyai penyakit
hati.
INDIKASI efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan
mempercepat penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi
gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk
gangguan refluks lambung-esofagus. Untuk melakukan pencegahan
digunakan dosis yang lebih kecil, sedangkan untuk mencegah kekambuhkan
dosis nya setengah.
EFEK SAMPING rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti
nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten.
2) Famotidin
FARMAKODINAMIK Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat
menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat
distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten daripada ranitidin
dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
FARMAKOKINETIK Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira
kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8
jam. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal
berat masa paruh eliminasi dapat melibihi 20 jam.
INDIKASI Efektifitas Obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung,
refluks esofagitis, dan untuk pasien dengan sindrom Zollinger-Ellison.
EFEK SAMPING ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing,
konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.

14

3) Nizatidin
FARMAKODINAMIK Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam
lambung.
FARMAKOKINETIK Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral
dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja
sampai dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal.
INDIKASI Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali
sehari selama 8 minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom
Zollinger-Ellion. Kontraindikasi terhadap ibu hamil dan menyusui.
EFEK SAMPING ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki
efek antiandrogenik
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah hormon kelas steroid yang dihasilkan di korteks adrenal.
Kortikosteroid terlibat dalam berbagai sistem fisiologis seperti respon stres,
respon imun dan regulasi inflamasi, metabolisme karbohidrat, katabolisme
protein, kadar elektrolit darah, dan tingkah laku.Kortikosteroid bekerja dengan
mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel
melewati membran plasma secara difusi pasif.
FARMAKODINAMIK
a. Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak.selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot
lurik, sistem saraf dan organ lain.
b. Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar
yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
- Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan
efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan
elektrolit kecil. Contohnya adalah kortisol.
- Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan
elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar
sangat kecil. Contohnya adalah aldosteron atau desoksikortikosteron.
c. Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan
massa kerjanya.
- Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
- Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
- Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.
FARMAKOKINETIK

15

a. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai


kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan
ikatan protein.
b. Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik.
Untuk mencapai kadar tinggi sebaiknya diberikan secara IV, untuk
mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya diberikan secara IM.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula
kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor,
dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah
menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
c. Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
INDIKASI
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat
ini digunakan :
a. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan
trial dan error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan
perubahan penyakit.
b. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
c. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
d. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis
melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah.
e. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena
efek anti-inflamasinya.
f. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat
mengancam jiwa pasien.
EFEK SAMPING
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
1. Saluran cerna

Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus


peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis
ulseratif.

2. Otot

Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu

3. Susunan saraf pusat

Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,


mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah
16

4. Tulang

6. Mata

Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur


tulang panjang.
Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis
akneiformis, purpura, telangiektasis
Glaukoma dan katarak subkapsular posterior

7. Darah

Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

8. Pembuluh darah

Kenaikan tekanan darah

9. Kelenjar
adrenal bagian
kortek

Atrofi, tidak bisa melawan stres

10. Metabolisme
Protein dan Karbohidrat

Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula


meninggi, obesitas, buffao hump, perlemakan hati.

11. Elektrolit

Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani,


aritmia kor)

12. Sistem
immunitas

Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes


simplek, keganasan dapat timbul.

5. Kulit

a. Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat


menimbulkan insifisiensi adrenal akut dengan gejala demam, malgia, artralgia
dan malaise.
b. Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan
elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama
tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau
perforasi, osteoporosis dll.
c. Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat
kortikosteroid sintetik.
d. Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan
dengan kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk
melaakukan pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas
sebelum obat diberikan.
KLASIFIKASI OBAT KORTIKOSTEROID
Masa bekerja
Short Acting (8-12 hours)
Intermediate Acting (18-36 hours)

Nama obat
Cortisone
Hydrocortisone
Prednisolone
17

Long Acting (36-54 hours)

Triamcinolone
Methylprednisolone
Fludrocortisone
Dexamethasone
Betamethasone

a. Short Acting
1) Cortisone
Cortisone adalah jenis steroid yang diproduksi secara alami oleh
kelenjar dalam tubuh yang disebut kelenjar adrenal. Cortisone berfungsi
untuk meredakan inflamasi. Efek samping yang biasa ditimbulkan
adalah rasa nyeri.
2) Hydrocortisone
Hydrocortisone adalah kostikosteroid topical yang mempunyai efek antiinflamasi, anti alergi dan antipruritus pada penyakit kulit. Indikasi
pemberian obat ini adalah untuk penderita dermatitis atopi, dermatitis
alergik, dermatitis kontak, pruritus anogenital dan neurodermatitis.
Hydrocortisone tidak boleh diberikan kepada penderita yang
hipersensitif, herpes simplex, varicella dan infeksi jamur. Efek samping
yang mungkin ditimbulkan dari obat ini adalah rasa terbakar, gatal,
kekeringan, atropi kulit dan infeksi sekunder
b. Intermediate Acting
1) Prednisolone
Prednisolone diberikan untuk pasien penekanan jangka pendek
peradangan pada gangguan alergi dan pengobatan jangka pendek
peradangan pada mata . Efek samping yang ditimbulkan adalah mual,
dyspepsia, malaise, cegukan, reaksi hipersensitifitas termasuk
anafilaksis, dll.
2) Triamcinolone
Triamcinolone mempunyai efek antiinflamasi dan pembentukan
glikogen yang lebih besar, dan berkurangnya efek samping retensi
garam. Efek samping yang dapat timbul adalah fraktur spontan, ulkus
peptik/tukak lambung, perubahan cushingoid, purpura, flushing, sering
berkeringat, jerawat, striae, hirsutisme, vertigo, sakit kepala,
tromboembolisme, nekrosis aseptik, pangkreatitis akut, kelemahan otot,
esofagitis ulseratif, peningkatan tekanan intrakranial, papiledema,
katarak subkapsular.
3) Methylprednisolone
Methylprednisolone adalah suatu obat glukokortikoid alamiah (memiliki
sifat menahan garam (salt retaining properties)), digunakan sebagai
terapi pengganti pada defisiensi adrenokortikal. Methylprednisolone
dikontraindikasikan pada infeksi jamur sistemik dan pasien yang
hipersentitif terhadap komponen obat.

18

4) Fludrocortisone
Fludrocortisone merupakan mineralokortikoid yang paling banyak
digunakan. Mempunyai aktivitas retensi garam yang kuat dan efek antiinflamasi yang berarti walaupun digunakan dalam dosis yang sedikit.
c. Long Acting
1) Dexamethasone
Obat ini digunakan sebagai glucocorticoid khususnya untuk Anti
inflamasi, Pengobatan rematik arthritis, dan penyakit kolagen lainnya,
Alergi dermatitis, Penyakit kulit, dll. Pengobatan yang berkepanjangan
dapat mengakibatkan efek katabolik steroid seperti kehabisan protein,
osteoporosis, dan penghambatan pertumbuhan anak. Penimbunan garam,
air dan kehilangan potassium jarang terjadi bila dibandingkan dengan
glucocorticoid lainnya. Penambahan nafsu makan dan berat badan lebih
sering terjadi.
2) Betamethasone
Betamethasone digunakan untuk meringankan inflamasi dari dermatosis
yan responsive terhadap kortikosteroid. Penggunaan kostikosteroid
topical dapat menyebabkan efek samping local seperti kulit kering,
gatal-gatal, rasa terbakar, iritasi, hipopigmentasi, dermatitis alergi, dll.
LO 2.4 Pencegahan
Pencegahan hipersensitivitas dapat diterapkan dengan menghindari hal-hal yang
memicu timbulnya reaksi alergi. Hal ini dapat diketahui lebih awal dengan cara tes
alergi, contohnya:
1. Skin Prick Test
Skin prick test merupakan tes yang paling sering dikerjakan untuk menentukan
adanya IgE spesifik untuk beberapa alasan. Skin prick test tidak invasif, aman,
hasil dapat diperoleh dengan cepat (15-20 menit), lebih murah dibandingkan
pemeriksaan IgE spesifik dalam darah dan mempunyai hasil yang cukup baik.
Namun, tes ini tidak dapat dilakukan pada keadaan:
a. Kelainan kulit yang luas karena SPT harus dikerjakan pada kulit yang sehat
b. Anak tidak dapat menghentikan konsumsi obat antihistamin/obat anti alergi,
karena bila obat tersebut dihentikan keluhan alergi yang timbul sangat
berat/mengganggu
c. Dermatografisme (keadaan kulit yang menjadi bentol dan merah apabila
ditekan/digores sesuatu).
Prosedur SPT dimulai dengan meneteskan beberapa jenis cairan alergen yang
akan diujikan di daerah lengan bawah. Jarum akan digunakan untuk
mencukit/menusuk kulit pada lokasi alergen. Proses ini akan menimbulkan sedikit

19

rasa sakit tapi tidak akan menimbulkan perdarahan. Setelah seluruh alergen
dicukit, anak diminta untuk menunggu selama 15 menit. Setelah 15 menit akan
timbul bentol dan kemerahan di lokasi alergen yang sensitif.
2. Pemeriksaan IgE spesifik dalam darah.
Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh dalam hitungan beberapa hari dengan harga
yang lebih mahal dibandingkan SPT. Namun, pemeriksaan IgE spesifik dalam
darah dapat menjadi alternatif pada kondisi yang tidak memungkinkan dilakukan
SPT. Hasil SPT dan pemeriksaan IgE spesifik dalam darah setara, sehingga tidak
diperlukan 2 pemeriksaan untuk saling mengkonfirmasi.
3. Uji tempel kulit.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk evaluasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempelkan alergen di kulit selama 2-3 hari.
Namun pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan.
Hasil tes alergi dapat bervariasi dari waktu ke waktu tergantung pajanan pasien
terhadap alergen. Hasil tes alergi yang positif atau terdeteksinya IgE spesifik baik
pada uji kulit maupun dalam darah hanya menandakan adanya sensitisasi dan
tidak selalu menandakan bahwa alergen tersebut menjadi pencetus gejala alergi
yang dialami pasien.
Untuk itu hasil tes alergi ini perlu digabungkan dengan anamnesis yang cermat
untuk dapat menentukan alergen pencetus. Dokter akan menganalisis hasil
pemeriksaan dan melakukan evaluasi apakah didapatkan hubungan antara hasil
tes alergi dan gejala yang timbul. Konfirmasi pencetus dapat dilakukan dengan
provokasi alergen seperti uji provokasi makanan terbuka.
LI 3 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II
LO 3.1 Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe II juga disebut reaksi sitotoksik atau sitolitik. Terjadi
karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan
bagian sel penjamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan
antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau
molekul asesoris dan metabolisme sel dilibatkan. (Imunologi dasar FKUI edisi 11)
LO 3.2 Mekanisme dan Respon Imun
1. Patogenesis

20

Terbentuknya antibodi (IgM/IgG) terhadap antigen yang merupakaan bagian sel


hospes. Akibatnya, terjadilah ikatan antibodi-antigen yang mengaktivasi
komplemen. Berikutnya, terjadi rekruitmen dan aktivasi leukosit
(noutrofil,makrofag) yang memicu lisis sel.
2. Opsonisasi dan fagositosis
Sel-sel yang diopsonisasi oleh antibodi IgG dekenal oleh reseptor Fc pada fagosit
yang spesifik. Saat antibodi IgM atau IgG berada di permukaan sel, sistem
komplemen akan teraktivasi menghasilkan produk, terutama C3b dan C4b. Kedua
protein ini terletak pada permukaan sel dan dikenali oleh fagosit yang
mengekpresikan untuk keduanya. Terjadilah fagositosis pada sel yang
diopsonisasi tersebut. Selain itu, komplemen teraktivasi memicu peembentukan
membrane attack complex yang menciptakan lubang pada membran dwilapis
lipid. Akibatnya, integritas membrane terganggu menyebabkan lisis osmotic pada
sel. Ada pula yang disebut sitotoksisitas selulaer bergantung antibodi (antibodi
dependent celullar cytotoxicity, ADCC). Sel-sel yang diselubungi IgG konsentrasi
reandah akan dimatikan oleh beragam sel efektor. AADC dapat diperantai oleh
monosit, noutrofil, eosinofil, dan sel natural killer (NK).
3. Inflamasi
Antibodi yang terdeposit pada jaringan mengaktivasi komplemen hingga
terbentuk berbagai produk termasuk agen kemotaktik (terutama C5a, yang
menarik leukosit PMN dan MN) dan anafilaktosin (C3a dan C5a). Akibatnya,
permaebilitas vaskular meningkat. Leukositpun teraktivasi memicu produksi
substansi lain yang menyebabkan kerusakan jaringan. Di samping itu pelepasan
banyak substansi proinflamatorik, vasodilatasi, dan substansi kemotaktik.
Rangkaian kejadian inilah yang menimbulkan inflamasi termediasi antibodi.
4. Disfungsi selular
Pada beberapa kasus, terdapat antibodi yang melawan reseptor pada permukaan
sel. Terjadilah gangguan atau disregulasi fungsi sel tanpa disertai cidera maupun
inflamasi sel. Contoh : anemia hemolitik autoimun,destruksi eritrosit akibat reaksi
transfusi, sebagian gan pada penyakit autoimun (miastesia gravis tirotoksikosis),
sindrom Goddpasture. (Kapita selekta)
Manifestasi Hipersensitivitas Tipe II
1. Transfusi Darah (Destruksi sel darah merah akibat reaksi transfuse)
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran sel darah merah
disandioleh berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat
transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin
berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh
hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat.
Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO
yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan
dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria.

21

Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat
oksik.
Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh
darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria.Reaksi transfusi darah yang
lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi berulang dengan
darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah
lainnya.Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi.Darah yang ditransfusikan
memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan darah,
tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell, dan Duffy.
2. Anemia Hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat
diabsorpsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks
serupa kompleks molekul hapten pembawa.Pada beberapa penderita, kompleks
membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan
bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

22

LI 4 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III


LO 4.1 Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah
reaksi imun tubuh yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan
komplemen sehingga terbentuklah respons inflamasi melalui infiltrasi masif neutrofil.
LO 4.2 Mekanisme dan Respon Imun

Kompleks imun dan hipersensitivitas tipe III


Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh
eritrosit kehati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN.
Kompleks imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati.
Namun, yang menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks
imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di
pembuluh darah atau jaringan.
1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang
dapat merusak jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:
a. Agregasi trombosit
b. Aktivasi makrofag
c. Perubahan permeabilitas vaskuler
d. Aktivasi sel mast
e. Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
f. Pelepasan bahan kemotaksis
g. Influks neutrofil
23

2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan


Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran
kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal
tersebut terjadi karena histamin yangdilepas oleh sel mast.
Manifestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe III
Manifestasi khas : reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES .
1. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus
Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di
tempat yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem
pada kelinci. Lalu setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis
di tempat suntikan. Hal tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk
reaksi kompleks imun. Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus
dalam kilinis dapat berupa vaskulitis dengan nekrosis. Mekanisme pada reaksi
arthus adalah sebaga berikut :
a. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan
tempat kompleksimun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa
pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema)
sampai nekrosis.
b. C3a dan C5a yang terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a
juga bekerja sebagai faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan
trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan trombosit inikemudian
menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah.
c. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahanbahan seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama
trombosit sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis
jaringan setempat.
2. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness
Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme
asebagai berikut:
a. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a)
yang memacu selmast dan basofil melepas histamin.
b. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah
yang tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi
pembuluh darah, plexus koroid, dan korpussilier mata).
c. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mkrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv

24

tersebut mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh


darah dan inflamasi.
d. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan
tetap melepaskan granulnya (angrycell) sehingga menyebabkan lebih banyak
kerusakan jaringan.
e. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediatormediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan.
Dari mekanisme diatas, beberapa hari - minggu setelah pemberian serum asing
akan mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan
rasa sakit di beberapa bagiantubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat
berupa vaskulitis sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi
tersebut dinamakan reaksi Pirquet dan Schick.
LI 5 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV
LO 5.1 Definisi
Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas sitokin,
bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi
yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis
kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin
topikal dan steroid topikal. (Immunologi Dasar, 2014)
LO 5.2 Mekanisme dan Respon Imun

25

(medhcrome)
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV :
1. Fase sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th
diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada
kulit dan makrofag) menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid
regional untuk dipresentasikan ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1.
2. Fase efektor

26

Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan
melepas sitokin yang menyebabkan :
a. Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel
inflamasi). Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
b. Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke
jaringan sekitar.
c. Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan
menginduksi sel Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang
teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan
pada T Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Contoh mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV :
Reaksi pada infeksi parasit dan bakteri intrasel
1. DTH mengaktifkan influks makrofag pada infeksi yang tidak dapat ditemukan
oleh antibodi.
2. Makrofag melepaskan enzim litik yang menyebabkan kerusakan jaringan. Bila
enzim litik terus diproduksi dapat mengakibatkan reaksi granulomatosis yang
akan menyebabkan nekrosis pada jaringan yang dapat mengenai jaringan
pembuluh darah.
Respon pada infeksi M. tuberkulosis
1. Bakteri mengaktifkan respon DTH yang selanjutnya mengaktifkan makrofag yang
merangsang isolasi kuman dalam lesi granuloma (tuberkulin). Tuberkulin akan
melepaskan enzim litik yang akan merusak jaringan paru-paru dan menimbulkan
nekrosis jaringan. Granuloma terbentuk pada :
a. TB
b. Lepra
c. Skistosomiasis
d. Lesmaniasis
e. Sarkoidasis
Respon Imun Hipersesitivitas IV
1. Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak
berbahaya seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi
DTH).
2. Hipersensitivitas tuberculin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan
Mycobacterium tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan
menimbulkan reaksi ini berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan
dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. tuberkulosis,

27

kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi ini diperantarai
oleh sel CD4+.
3. Reaksi Jones Mote
Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang
mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai
hipersensitivitas basofil kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari
setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil, tidak terjadi nekrosis
jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen larut (ovalbumin) dengan
ajuvan Freund.
4. Penyakit CD8+
Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh
sel sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak
sistemik, contoh pada infeksi virus hepatitis.
LI 6 Pandangan Islam Terhadap Pemilihan Obat
LO 6.1 Maslahat
Dalam kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang almaslahah yaitu: Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran untuk
mengambil manfaat atau menghindarkan kemudaratan, tapi bukan itu yang kami
maksudkan, sebab meraih manfaat dan menghindarkan kemudaratan terseut
bukanlah tujuan kemasalahatan manusia dalam mencapai maksudnya. Yang kami
maksud dengan maslahah adalah memelihara tujuan syara.
Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan,
yaitu
1. Kemasalahatan menurut manusia, dan
2. Kemaslahatan menurut syariat.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dikisahkan bahwa seorang Anshar terluka di
perang Uhud. Rasulullah pun memanggil dua orang dokter yang ada di kota Madinah,
lalu bersabda, Obatilah dia.
Dalam riwayat lain ada seorang sahabat bertanya,Wahai Rasulullah, apakah ada
kebaikan dalam ilmu kedokteran? Rasullah menjawab, Ya, Begitu pula yang
diriwayatkan dari Hilal bin Yasaf bahwa seorang lelaki menderita sakit di zaman
Rasulullah. Mengetahui hal itu, beliau bersabda, Panggilkan dokter. Lalu Hilal
bertanya, Wahai Rasulullah, apakah dokter bisa melakukan sesuatu untuknya?
Ya, jawab beliau. (HR Ahmad dalam Musnad: V/371 dan Ibnu Abi Syaibah dalam
Mushannaf: V/21)
Hilal meriwayatkan bahwa Rasulullah mnjenguk orang sakit lalu bersabda,
Panggilkan dokter! kemudian ada yang bertanya, Bahkan engkau mengatakan hal
itu, wahai Rasulullah? Ya, jawab beliau.

28

Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bagaimana Rasulullah menganjurkan


kita untuk berobat dan berusaha menggunakan ilmu kedokteran yang diciptakan Allah
untuk kita. Kita juga ditekankan agar tidak menyerah pada penyakit karena
Rasulullah bersabda, Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah
daripada mukmin yang lemah. (HR Muslim (34) dan Ahmad: II/380)
Di antaranya yang ada di Musnad Ahmad.Hadits Ziyadah bin Alaqah dari Usamah bin
Syuraik menuturkan,Aku berada bersama Nabi lalu datanglah sekelompok orang
Badui dan bertanya,Wahai Rasulullah, apakah kita boleh berobat?Rasulullah
menjawab, Ya, wahai hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak
menciptakan penyakit kecuali Allah menciptakan obatnya, kecuali satu macam
penyakit. Mereka bertanya,Apa itu? Rasulullah menjawab,Penyakit tua.(HR
Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi dalam Sunan (2038))
Nabi bersabda,Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada penyakitnya
maka ia akan sembuh dengan izin Allah. (HR Muslim: I/191)
Abu Hurairah meriwayatkan secara marfu, Tidaklah Allah menurunkan panyakit
kecuali menurunkan obatnya.(HR Bukhari: VII/158)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu,
pisau bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api. (HR
Bukhari dan Muslim)

Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syariat dalam perintah dan larangannya serta hukumhukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah
: jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.

Misal : Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih
besar dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219


29

2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya.

Firman Allah taala :

(157 : )

Dan dia menghalalkan yang baik bagi mereka serta mengharamankan bagi mereka
segala sesuatu yang buruk ( al araf : 157 )
Al-Quran obat terbaik
Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman. Dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang
zalim selain kerugian. (Al-Isra:82)
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, Di dalam tubuh terdapat segumpal darah, jika ia
baik maka seluruh tubuh akan menjadi baik.(HR Bukhari: I/153 (53) dalam Fathul
Bari)
LO 6.2 Maslahah
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum berobat. Menurut jumhur atau
mayoritas ulama, berobat tidaklah wajib. Sebagian ulama berpendapat wajibnya jika
khawatir tidak berobat, malah diri seseorang binasa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Berobat tidaklah wajib


menurut mayoritas ulama. Yang mewajibkannya hanyalah segelintir ulama saja
sebagaimana yang berpendapat demikian adalah sebagian ulama Syafii dan Hambali.
Para ulama pun berselisih pendapat manakah yang lebih utama, berobat ataukah
sabar. Karena hadits shahih yang menerangkan hal ini dari Ibnu Abbas, tentang
budak wanita yang sabar terkena penyakit ayan. (Majmu Al Fatawa, 24: 268)

30

Ibnu Taimiyah melanjutkan, Sekelompok sahabat Nabi dan tabiin tidak mengambil
pilihan untuk berobat. Ada sahabat seperti Ubay bin Kaab dan Abu Dzar tidak mau
berobat, lantas sahabat lainnya tidak mengingkarinya.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, Para ulama berselisih pendapat


manakah yang lebih utama, apakah berobat atau meninggalkan berobat lantas lebih
memilih untuk bertawakkal pada Allah? Ada dua pendapat dalam masalah ini. Yang
nampak dari pendapat Imam Ahmad adalah lebih afdhol untuk bertawakkal bagi yang
kuat. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah membicarakan ada 70.000
orang dari umatku akan masuk surga tanpa hisab. Kemudian beliau bersabda,

Mereka itu adalah orang yang tidak beranggapan sial (tathoyyur), tidak meminta
diruqyah, tidak meminta dikay (disembuhkan luka dengan besi panas) dan kepada
Allah, mereka bertawakkal.
Sedangkan ulama yang lebih memilih pendapat berobat itu lebih utama beralasan
dengan keadaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk berobat. Yang
Nabi shallallahu alaihi wa sallam lakukan tentu suatu hal yang afdhol (utama).
Sedangkan mengenai hadits ruqyah yang dikatakan makruh adalah bagi yang
dikhawatirkan terjerumus dalam kesyirikan (karena tergantung hatinya pada ruqyah,
bukan pada Allah Yang Maha Menyembuhkan, -pen). Dipahami demikian karena
meminta ruqyah tadi dikaitkan dengan meminta dikay dan beranggapan sial, yang
semuanya dihukumi terlarang. (Jaamiul Ulum wal Hikam, 2: 500-501).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata, Tidak termasuk
tercela jika seseorang memilih berobat ke dokter. Karena Nabi shallallahu alaihi wa
sallam tidak mengatakan (mengenai 70.000 orang yang masuk surga tanpa siksa,
-pen), Mereka tidaklah berobat. Namun yang beliau katakan adalah, Mereka tidak
meminta dikay dan tidak meminta diruqyah. Masalahnya jika pasien terlalu
menggantungkan hatinya pada dokter. Yang jadi problema adalah bila harapan dan
rasa khawatirnya hanyalah pada dokter. Inilah yang mengurangi tawakkalnya. Oleh
karenanya, patut diingatkan bahwa setiap orang yang pergi berobat ke dokter,
hendaklah ia yakini bahwa berobat hanyalah sebab sedangkan yang mendatangkan
kesembuhan adalah Allah. Atas kuasa Allah, kesembuhan itu datang. Inilah yang
harus jadi prinsip seorang muslim sehingga tidak kurang tawakkalnya pada Allah.
(Fatwa Nur alad Darb, 3: 213)

31

32

DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG dan Iris R. 2014. Imunologi Dasar Edisi ke-11. Jakarta: FKUI
Dorland, W.A. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Ed 29. Jakarta: EGC
Sherwood, Lauralee. 2013. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. ed. 8. Jakarta:
EGC. pg 444 470.
Soesmasto A S, et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran ed. 4. Jakarta: Media
Aesculapitus
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/perlukah-tes-alergi

33

Anda mungkin juga menyukai