Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non spesifik
ialah system imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang
memproduksi 5 macam immunoglobulin yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE. System
imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T bila ana bertemu dengan antigen lalu
mengadakan diferensiasi dan mengahasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk
menghancurkan antigen tersebut.
Bila mana suatu allergen masuk ketubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana allergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan,
sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana jaringan tubuh menjadi rusak,
maka terjadilah reaksi hipersensitiv.
Istilah alergi awalnya berasal dari Clemen Von Pirquet yang artinya adalah
perubahan kemampuan tubuh dalam merespon substansi asing. Definisi ini memang cukup
luas karena mencakup seluruh reaksi imunologi. Alergi saat ini mempunyai definisi yang
lebih sempit yaitu penyakit yang terjadi akibat respon system imun terhadap antigen yang
tidak berbahaya. Alergi merupakan salah satu respon imun yang disebut reaksi
hipersensitif. Reaksi hipersensitiv merupakan salah satu respon imun yang berbahay
karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius.
Reaksi hipersensitif dimediasi oleh kerja system imun dan dapat menimbulkan
kerusakan jaringan. Sejauh ini dikenal ada empat macam tipe hipersensitif. Tipe I – III
dimediasi oleh antibody dan dibedakan satu sama lain dengan perbedaan antigen yang
dikenali dan juga kelas dari antibody yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Reaksi
hipersensitiv tipe IV dimediasi oleh sel T dan dapat dibagi menjasi tiga grup.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan reaksi hipersensitif ?
2. Bagaimana penyebab terjadinya alergi ?
3. Bagaimana gejala terjadinya alergi ?
4. Apasaja macam-macam alergi ?
5. Bagaimana klasifikasi alergi (hipersensitif) ?
6. Bagaimana manifestasi klinis mengenai alergi ?

1
7. Bagaimana mekanisme kerja alergi ?
8. Bagaimana patofisiologi dari alergi ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan reaksi hipersensitif.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyebab terjadinya alergi.
3. Untuk mengetahui bagaimana gejala terjadinya alergi.
4. Untuk mengetahui apasaja macam-macam alergi.
5. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi alergi (hipersensitif).
6. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis mengenai alergi.
7. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme kerja alergi.
8. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari alergi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Alergi (Hipersensitif)


Alergi (reaksi hipersensitif) adalah reaksi-reaksi dari system kekebalan yang
terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka. Mekanisme
dimana system kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi
hipersensitif bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga melibatkan
antibody, limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam system imun
yang berfungsi sebagai pelindung yang normal pada system kekebalan.

2.2 Penyebab Alergi


Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukan adanya reaksi yang
melibatkan antibody IgE (Immunoglubulin E). IgE terikat pada sel khusus, termasuk
basophil yang berada di dalam sirkulasi darah dan juga sel mast yang ditemukan
didalam jaringan. Jika antibody IgE yang terikat dengan sel-sel tersebut berhadapan
dengan antigen (dalam hal ini disebut alergen), maka sel-sel tersebut didorong untuk
melepaskan zat-zat atau mediator jaringan disekitarnya. Allergen bisa berupa partikel
debu, serbuk tanaman obat atau makanan, yang bertindak sebagai atigen yang
merangsang terjadinya respon kekebalan. Kadang istilah penyakit atopic digunakan
untuk menggambarkan sekumpulan penyakit keturunan yang berhubungan dengan IgE,
seperti rhinitis alergika dan asma alergika. Penyakit atopic ditandai dengan
kecenderungan untuk mengahsilkan antibody IgE terhadap inhalan (benda-benda yang
terhirup, seperti sebruk bunga, bulu binatang dan partikel-partikel debu) yang tidak
berbahaya bagi tubuh.

3
2.3 Gejala Alergi
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari
mata berair, mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang ekstrim bisa terjadi
gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah,
yang menyebabkan syok. Reaksi jenis ini disebut anafilaksi, yang bisa terjadi pada
orang-orang yang sangat sensitive, misalnya segera setelah makan makanan atau obat-
obatan tertentu atau setelah disengat lebah dengan segera menimbulkan gejala. Berikut
gejala-gejala alergi bisa mulai dari ringan ke sangat serius adalah :
a. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini adalah yang
paling umum gejala alergi obat.
b. Batuk, wheezing, Hidung, dan kesulitan bernapas.
c. Demam
d. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dgn kulit
necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
e. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa maut, dan
Anda akan memerlukan perawatan darurat. Gejala, seperti hives dan kesulitan
bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat, reaksi cepat
tanpa perawatan, Anda dapat masuk ke shock.

Gambaran lain yang menandakan adanya alergi adalah :


a. Adanya penonjolan kemerahan, seperti orang terkena cacar
b. Adanya biduran
c. Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik kulit.
d. Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada penderita demam berdarah
dengue.
e. Adanya radang pada pembulih darah (vaskulitis)
f. Adanya rekasi kemerahan karena kontak dengan sinar matahari
g. Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat.
h. Kelainan lain gawat darurat, seperti kulit seperti terbakar yang dalam klinik disebut
nekrolisis epidermal toksik.

4
2.4 Macam-macam Alergi
1. Alergi makanan
Alergi makanan adalah merupakan respon alamiah imun tubuh yang
bersifat negatif terhadap protein dari makanan yang kita konsumsi. Intolerance atau
alergi terhadap jenis makanan, umumnya dapat berpengaruh pada siapa saja serta
dapat menimbulkan reaksi yang berbeda pada tiap individunya. Maka tidak semua
intolerance atau alergi makanan itu nantinya dapat menyebabkan terganggunya
sistem imunitas tubuh manusia. makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi
alergi yaitu makanan yang berasal dari laut, seperti udang, lobster, kepiting, ikan
dan telur, kacang polong Pada anak-anak, penyebab alergi makanan yang paling
sering yaitu telur, susu, kacang, dan
2. Alergi obat-obatan
Jenis alergi ini disebabkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu. Reaksi
alergi obat merupakan reaksi alergi di mana system kekebalan tubuh bereaksi
secara berlebihan terhadap obat-obatan tertentu yang dikonsumsi oleh seseorang.
yang diberikan tubuh pun sangat keras. Contohnya dapat menyebabkan gatal-gatal,
terdapat bercak-bercak merah pada kulit, mual dan muntah. Obat yang berpotensi
menimbulkan alergi antara lain antibiotic alergi (sulfonamid), vaksin , dan obat non
alergik ( kontras x-ray, aspirin, antibiotic, dan obat tekanan darah tinggi.
3. Alergi debu
Alergi debu disebabkan ketidakbiasaan tubuh dalam menerima kehadiran
debu. Hal ini dapat menimbulkan penderita dapat mengalami bersin-bersin dalam
frekuensi yang sering, flu, rasa gatal, dan hidung tersumbat.
4. Alergi suhu udara (dingin/panas)
Alergi ini diakibatkan oleh alergen udara. Ketidakmampuan sistem imun
menerima udara dingin misalnya dapat mengakibatkan jaringan dalam hidung
menjadi bengkak, sehingga hidung pun menjadi tersumbat. Alergi dingin terjadi
karena pelepasan histamine dalam jumlah yang cukup besar yang kemudian
menyerang system kekebalan tubuh. Reaksi terjadi ketika seseorang terkena
paparan langsung udara dingin atau air dingin atau ketika terjadi suatu perubahan
suhu yang drastic. Gejala yang dapat dialami jika seseorang menderita alergi udara
adalah seringnya mengalami bersin-bersin, gatal-gata, mata merah dan berair.
Dalam kondisi tertentu, mucul alergi yang disebut urtikaria. Gejalanya adalah
gatal-gatal dan muncul bentol akibat udara dingin. Jenis alergi ini sering dialami

5
orang-orang yang tinggal di negara tropis. Biasanya, penderita biduran (nama lain
alergi ini) memiliki jaringan kulit yang sensitif. Biduran ini muncul karena tubuh
mengeluarkan histamin (salah satu zat pelindung tubuh) berlebih untuk
mempertahankan tubuh dari suhu rendah. Akibatnya, muncul bercak kemerahan
dan bengkak. Jika dibiarkan, produksi histamin berlebih ini dapat menimbulkan
sesak napas dan pelebaran pembuluh darah.
5. Alergi musiman & Alergi yang terjadi terus menerus
Musiman (hay fever) yang umumnya disebabkan kontak dengan allergen
dari luar rumah seperti benang sari, debu, polusi udara atau asap. Serta Rinitis
Alergi yang terjadi terus menerus (parennial) yang diakibatkan karena kontak
dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, debu
parabot, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan yang menyengat
6. Alergi zat kimia tertentu

2.5 Klasifikasi Alergi


1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini
adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas
tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE
total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab
alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda
terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung
oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit
non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh
untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk

6
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG),
hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G
(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi
yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik
dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)
yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III


Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal
ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora
fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara
otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi
pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi
tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil

7
sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi,
atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks
imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang
dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena
kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan
antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi
timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang
menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora
Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai
sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.
Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis :


Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
1 Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibody Anafilaksis, beberapa
IgE ® pelepasan amino vasoaktif bentuk asma bronchial
dan mediatorlain dari basofil dan
sel mast rektumen sel radang lain

2 Antibodi IgG atau IgM  berikatan dengan Anemia hemolitik

8
terhadap antigen antigen pada permukaan sel        autoimun,
jaringan tertentu fagositosis sel target atau lisis sel eritroblastosis fetalis,
target oleh komplemen atau penyakit Goodpasture,
sitotosisitas yang diperantarai oleh pemfigus vulgaris
sel yang bergantung antibody
3 Penyakit Kompleks antigen-antibodi   Reahsi Arthua, serum
Kompleks Imun mengaktifkan ® komplemen  sickness, lupus
menarik perhatian nenutrofil eritematosus sistemik,
menjadikan pelepasan enzim bentuk tertentu
lisosom, radikal bebas oksigen, glumerulonefritis akut
dll                     
4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi pelepasan Tuberkulosis,
Selular (Lambat) sitokin dan sitotoksisitas yang dermatitis kontak,
diperantarai oleh sel T penolakan transplant

2.6 Manifestasi Alergi


Manifestasi klinis alergi merupakan ekspresi dari aktivitas mediator-mediator
reaksi alergi didaerah yang terpapar dan bisa juga berlangsung secara sistemik.
Manifestasi klinis mempunyai variasi pada tiap jenis alergi Karen jaringan tempat
terjadinya kontak antigen juga berbeda-beda. Namun, hal ini juga beartyi dapat terjadi
kesamaan manifestasi klinis antar jenis alergi. Beberapa hal yang mencetuskan
timbulnya manifestasi alergi merupakan suatu factor pencetus. Factor pencetus
sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya serangan alegi.
Apabila terdapat pencetus alergi disertai terpapaar penyebab alergi akan menyebabkan
gejala alergi yang timbul menjadi lebih berat. Factor herediter merupakan penyebab
terpenting terjadinya penyakit alergi namun paparan lingkungan, infeksi dan kondisi
psikis juga sering kali menjadi factor pencetus.

2.7 Mekanisme Alergi


Seseorang dapat terpajan alergen dengan menghirup, menelan, atau
mendapatkan pada atau di bawah kulit. Setelah seseorang terkena alergi, serangkaian
kegiatan menciptakan reaksi alergi. Reaksi imunologis tubuh mempengaruhi timbulnya
alergi terhadap makanan. Reaksi ini melibatkan imunoglobulin, yaitu protein yang

9
membantu dalam respon kekebalan tubuh, tepatnya Imonuglobulin E (IgE) yang
membentuk respon imun tubuh. Respon imun yang muncul dalam reaksi alergi melalui
dua tahap, yaitu tahap sensitisasi alergen dan tahap elisitasi.
1. Tahap Sensitisasi
Tahap sensitisasi muncul ketika tubuh memproduksi antibodi IgE yang
spesifik. Tahap sensitisasi ini juga disebut dengan tahap induksi, merupakan kontak
pertama dengan alergen (yaitu ketika mengkonsumsi makanan penyebab alergi).

2. Tahap Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang. Ketika terpajan dengan
makanan (penyebab alergi) yang sama, protein akan mengikat molekul di sel
mediator (sel basofil dan sel mast). Tahap elisitasi ini menyebabkan tubuh
mengeluarkan molekul yang menyebabkan inflamasi (seperti leukotrien dan
histamin). Efek yang timbul serta keparahan alergi dipengaruhi oleh konsentrasi
dan tipe alergen, rute pajanan, dan sistem organ yang terlibat (misalnya kulit,
saluran cerna, saluran pernapasan, dan darah).
Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast. sel Mast
dapat ditemukan di saluran udara, di usus, dan di tempat lain. Kehadiran sel mast
dalam saluran udara dan saluran pencernaan membuat daerah ini lebih rentan
terhadap paparan alergen. Mengikat alergen ke IgE, yang melekat pada sel mast.
Hal ini menyebabkan sel mast untuk melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam
darah. Histamin, senyawa kimia utama, menyebabkan sebagian besar gejala reaksi
alergi.
Skema Mekanisme Alergi

2.8 Patofisiologi

10
Saat  pertama kali masuknya alergen (ex.telur) ke dalam tubuh  seseorang  yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk
kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak
gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul
maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang  akan memicu aktifnya sel T,
dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk  mengaktifkan antibodi (IgE).
Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh
basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang
sama maka akan terjadi 2 hal  yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil
dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen  tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang
sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian
histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah.   Saat mereka
mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma,
urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru
paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling
ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan
tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera
dapat menyebabkan kematian

BAB III
11
PEMBAHASAN

3.1 Kasus
Seorang perempuan berusia 24 tahun datang ke UGD RSUD Dr. H Abdoel
Moeloek dengan keluhan bibir melepuh sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Keluhan disertai dengan mata perih dan sulit dibuka serta kulit wajah terasa
panas dan sekujur tubuh terasa menggigil. Pasien merasakan bibirnya melepuh seperti
terbakar sehingga ia menjadi sulit untuk makan dan berbicara. Sejak ±1 minggu
SMRS, pasien merasakan tidak enak badan dan sakit kepala, saat itu pasien hanya
minum obat dari warung (Paracetamol). Sore harinya pasien merasakan panas pada
wajahnya lalu muncul gelembung-gelembung berisi air berukuran kecil seperti cacar
air pada wajah, leher, dada, dan punggung bawah. Sejak 5 hari SMRS, gelembung
pada wajah, leher, dada, dan punggung bawah pasien pecah dan menjadi bercak-bercak
kehitaman. Pasien juga merasakan perih dan gatal pada wajah, leher dada, dan
punggung bawahnya.
Keluhan seperti ini sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit tumor, hipertensi,
kencing manis, dan penyakit berat lainnya disangkal. Riwayat alergi dan asma
bronkhial disangkal. Riwayat penyakit seperti ini pada keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat,
kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 84 x/menit, pernafasan
17 x/menit dan suhu tubuh 36,1 ˚C. Pada pemeriksaan status generalis kepala, leher,
toraks, abdomen, dan ekstremitas dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status dermatologis didapatkan pada regio fasial, regio coli
pars anterior, regio toraks, regio abdomen pars epigastrium dan, regio lumbal, terdapat
krusta hemoragik, sedikit tebal, sulit dilepas, batas ireguler, multipel, ukuran 0,5
sampai 1 cm.Pada regio coli pars anterior dan toraks, terdapat bula flaccid [Nikolsky
sign (-)], berukuran 0,5 sampai 1 cm, multipel, iregular, diskret, simetris. Pada regio
labiaris superior ad inferior terdapat krusta hemoragik, multiple, tebal, sulit dilepas,
batas irregular, sebagian erosi, berukuran 0,5 sampai 1 cm. Total Body Surface Area
yang terkena yaitu: Regio kepala-leher 3% dan regio trunkus 3% sehingga jumlahnya
6%. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 13,1 gr/dL, hematokrit
40%, eritrosit 5,4 juta/µL, leukosit 12.900/µL, trombosit 194.000/µL, ureum 19,
Kreatinin 28, SGOT 16 u/L, SGPT 28 u/L, Kalium 4 mEq/L.
Penatalaksanaan umum pada pasien meliputi perawatan di tempat khusus untuk
mencegah infeksi, mengidentifikasi dan menghentikan penggunaan obat penyebab,
12
serta memberikan informasi mengenai penyakit pasien. Pasien dan keluarga juga
diberikan edukasi bahwa penyakit ini bukanlah penyakit menular, melainkan
disebabkan karena adanya alergi obat, sehingga diperlukan identifikasi obat yang
dikonsumsi oleh pasien. Bila gejala muncul, sebaiknya pasien segera dibawa ke rumah
sakit.
Penatalaksanaan khusus meliputi pemberian IVFD RL 20 tetes/menit,
kortikostreroid topikal Triamsinolon 0,1% yang dioleskan pada bibir pasien dan
kortikosteroid sistemik berupa deksametason dengan dosis awal 5 mg/8 jam yang
diberikan selama 7 hari, lalu dilakukan tappering off sampai dosis 5 mg/hari lalu
kemudian diganti dengankortikosteroid oral saat pasien pulang. Lalu diberikan pula
antibiotik sistemik berupa gentamisin 80 mg/12 jam diberikan selama 5 hari.

3.2 Pembahasan
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) adalah sindrom yang mengenai kulit, mukosa
orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat;
kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. Peradangan kulit
kronis, gatal, sirkumskripta, khas ditandai dengan kulit yang tebal dan likenifikasi
(garis kulit tampak lebih menonjol). Keluhan dan gejala dapat muncul dalam waktu
hitungan minggu hingga bertahun-tahun.
Keluhan utama pada pasien adalah bibir yang terasa melepuh sejak kurang
lebih 4 hari SMRS yang disertai dengan keluhan bercak kehitaman dan gelembung-
gelembung kecil pada wajah, dada, dan punggung. Pada SJS, terlihat gejala trias
kelainan yang terdiri dari kelainan kulit, kelainan mukosa orifisium, dan kelainan mata.
Kelainan mukosa yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul
kelainan di genital (50%), sedang di lubang hidung dan anus sangat jarang (8% dan
4%). Pada bibir, kelainan yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan kulit pada SJS terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula
kemudian pecah menjadi erosi yang luas. Hal ini sesuai dengan manifestasi klinis yang
terjadi pada pasien.
Satu minggu sebelumnya pasien merasa tidak enak badan sehingga pasien
membeli obat paracetamol, lalu sore harinya pasien merasakan panas pada wajahnya
lalu muncul gelembung-gelembung berisi air berukuran kecil-kecil seperti cacar air
pada wajah, leher, dada, dan pungung pasien. Keesokan harinya pasien merasakan
bibirnya seperti terbakar dan melepuh. Pasien juga mengeluh matanya seperti lengket

13
dan sulit untuk dibuka. Dua hari SMRS gelembung-gelembung tersebut pecah dan
meninggalkan bercak-bercak kehitaman pada wajah pasien. Pasien mengkonsumsi
paracetamol yang merupakan obat golongan antipiretik, dimana hal ini sesuai dengan
teori bahwa antipiretik merupakan salah satu obat penyebab terjadinya SJS. Tabel
dibawah ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada salah satu Rumah Sakit di
India, didapatkan bahwa kelompok obat paling sering menyebabkan SJS adalah obat
anti-mikroba (35,55%), diikuti oleh anti-konvulsi (28,89%), antipiretik (17,78%), dan
NSAID (6.67%). Dalam kategori obat individual, parasetamol (17,77%), dan fenitoin
(15,55%) berada di antara obat yang paling sering dilaporkan.

3.3 Patogenesis
Patofisiologi dari SJS sendiri masih belum diketahui, namun penyebab utama
SJS adalah alergi obat, lebih dari 50%. SJS yang diduga alergi obat tersering ialah
analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%), dan jamu (13, 3%). Kausa
yang lain adalah amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan
adiktif.
Sasaran utama SSJ adalah berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan
terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin
yang lain. CD4 terutama ada di dermis, sedangkan CD8 pada epidermis. Keratinosit

14
epidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada
atau sedikit. TNF-α di epidermis meningkat.
Patogenesis SJS belum dapat dipahami sepenuhnya, namun diyakini
disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ target.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen-antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak
ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.
Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan
terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut Reaksi tipe III mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler
ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta
penimbunan sisa sel Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga
terjadi reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T
penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran
sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat
(delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
Antigen precenting cells (APC) dan produksi Tumor Necrosis Factor-Alpha
(TNF-α) oleh hasil jaringan lokal dendrocytes berperan dalam ploriferasi limfosit T
dan meningkatkan sitotoksisitas sel efektor imun lainnya. "Killer molekul efektor"
telah diidentifikasi yang mungkin memainkan peran dalam aktivasi limfosit
sitotoksik. CD8+ limfosit yang diaktifkan, pada gilirannya dapat menginduksi
apoptosis dari sel epidermis melalui beberapa mekanisme, termasuk pelepasan
granzim B dan perforin.
Kedua SJS dan TEN ditandai oleh pelepasan epidermis dari papiler dermis
pada dermal-epidermal junction yang bermanifestasi sebagai lesi papulomakular dan
bula akibat apoptosis keratinosit. Apoptosis keratinosit yang dimediasi oleh limfosit T
sitotoksik (CD8) pada SJS dan TEN dimodulasi oleh TNF-alpha plasma dan
interferon-gamma, yang meningkat pada pasien dengan SJS dan TEN. Proses ini pada

15
hipotesis terbaru menyatakan bahwa kemungkinan terjadi melalui 3 jalur, yaitu:
interaksi ligan Fas-Fas; perforin/granzim B; dan mediasi granulisin.
Gejala klinis yang didapatkan dari anamnesis menimbulkan diagnosa banding
Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), Generalized fixated
bullous drug eruption. Pada Generalized fixated bullous drug eruption, dapat
ditemukan adanya gambaran eritema dan bula yang berbentuk bulat atau lonjong dan
biasanya numular dan kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama
baru hilang. Predileksinya pada mulut, bibir, dan genital. Sementara SJS dan TEN
hanya dapat dibedakan dari seberapa besar Total Body Surface Area yang terkena.
Dari pemeriksaan fisik pasien ditemukan beberapa kelainan pada kulit, mata,
dan bibir pasien. Pada kulit pasien terdapat krusta pada regio fasial, regio coli pars
anterior, regio toraks, regio abdomen pars epigastrium dan regio lumbal, batas
irreguler, multiple, ukuran 0,5 sampai 1 cm. Terdapat juga bula extended pada regio
coli pars anterior dan toraks, berukuran 0,5 sampai 1 cm, multiple, irregular, diskret,
simetris. Pada pemeriksaan fisik mata terlihat konjungtiva hiperemis dan
mengeluarkan sekret purulen berwarna kuning kehijauan. Bibir pasien terlihat
berwarna kehitaman dan menebal, dimana dari hasil pemeriksaan terdapat krusta tebal
hiperpigmentasi pada labium oris, berukuran 0,5 sampai 1 cm batas tegas, multipel.
Secara teori, SJS memiliki trias kelainan berupa kelainan pada kulit, kelainan
mata, dan kelainan pada selaput lendir di orifisium. Kelainan kulit dapat berupa
adanya eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga
terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat pula terjadi purpura. Pada bentuk yang
berat, kelainannya generalisata. Kelainan selaput lendir di orifisium yang paling
sering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang
alat genital (50%), sedangkan lubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan
4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi
dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.
Pada mukosa mulut dapat pula terbentuk pseudomembran. Kelainan yang
paling sering tampak di bibir adalah krusta berwarna hitam yang tebal. Lesi di mukosa
mulut dapat pula terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus.
Dapat pula terjadi stomatitis yang menyebabkan pasien sukar/tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan berupa sulit bernapas.
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering adalah

16
konjungtivitis kataralis. Selain itu dapat pula berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.

3.4 Pemberian Terapi


Pada kasus ini diberikan terapi berupa terapi umum dan terapi khusus. terapi
umum berupa terapi nonfarmakalogi, meliputi perawatan pasien selama berada di
rawat inap yaitu perawatan ditempat khusus untuk mencegah infeksi,
mengidentifikasi dan menghentikan penggunaan obat penyebab serta perbaikan
terhadap keseimbangan cairan, elektrolit, dan protein. Pasien ditempatkan di ruang
isolasi, namun pasien tidak sendirian di dalam ruangan, di ruangan tersebut pasien
bersama dengan 3 orang pasien lainnya sehingga kemungkinan untuk terjadi infeksi
masih ada. Obat penyebab terjadinya SJS pada pasien sudah di identifikasi dan sudah
dihentikan.
Pasien mendapat terapi cairan berupa infus Ringer Laktat (RL) sehingga
kekurangan cairan dan elektrolit pada pasien cukup dapat diatasi. Pada pasien juga
diberikan terapi farmakologi, berupa terapi sistemik dan dermatoterapi. Terapi sistemik
pada pasien berupa pemberian antibiotik gentamisin 80 mg diberikan setiap 12 jam dan
deksametason 5 mg setiap 8 jam. Untuk dermatoterapi pada pasien diberikan topikal
Triamsinolon.
Penatalaksanaan SJS didasarkan atas tingkat keparahan penyakit yang secara
umum meliputi rawat inap, preparat kortikosteroid, antibiotik, transfusi darah, preparat
KCL, dan agen hemostatik.
Pada kasus tidak terjadi penurunan kalium dan prdarahan hebat sehingga rawat
inap bertujuan agar dokter dapat memantau setiap hari keadaan penderita. Penggunaan
preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang biasa
digunakan berupa deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5
mg/hari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, apabila keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru dan lesi lama mengalami involusi, maka dosis
segera diturunkan 5 mg setiap hari.
Setelah dosis mencapai 5 mg sehari kemudian diganti dengan kortikosteroid
sediaan tablet seperti prednison, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian
diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat
dihentikan (tappering off). Lama pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira
berlangsung selama 10 hari.

17
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan imunitas
penderita menurun, maka antibiotik harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik
yang diberikan hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat
bakterisidal, dan tidak nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara
lain siprofloksasin dengan dosis 2x400 mg intravena, klindamisin dengan dosis 2x600
mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2x80 mg.
Penderita juga dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut- turut, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas dan leukopenia.
Pada kasus, tidak terdapat purpura yang luas dan juga tidak terjadi leukopenia
sehingga tidak diberikan transfusi darah.
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya (namun tidak semua)
mengalami penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis
3x500 mg sehari per-oral. Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai
purpura yang luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K. Kedua
terapi ini merupakan terapi pilihan tergantung dari tingkat keparahan dari SJS yang
terjadi.
Pada hari kesepuluh perawatan, keadaan umum pasien tampak membaik, tidak
timbul lesi baru dan lesi lama mengalami involusi sehingga pasien dipulangkan
dengan anjuran kontrol setelah obat habis. Penatalaksanaan yang telah diberikan
untuk pasien ini sudah tepat karena sudah mencakup terapi utama pada SJS yaitu
rawat inap, pemberian kortikosteroid dan antibiotik.

18
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Mekanisme terjadinya alergi terdiri
dari fase sensitasi dan fase elisitasi. Klasifikasi dari hipersensitivitas terdiri dari
empat tipe yaitu tipe I, Tipe II. Tipe III dan Tipe IV.
SJS merupakan suatu penyakit akut yang dapat mengancam nyawa yang
dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Penyakit ini ditandai oleh
nekrosis dan pelepasan epidermis dengan trias kelainan yang khas yaitu kelainan
kulit, mukosa orifisium, dan mata. Patogenesis dan penyebab SJS belum diketahui
secara pasti, namun salah satunya bisa diakibatkan oleh obat. Pada kasus ini
penyebab utama SJS yang diderita pasien adalah obat paracetamol.

4.2 Saran
Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Untuk mencegah alergi ini
kembali,. Merubah pola hidup menjadi dasar perbaikan seluruh kondisi alergi.
Prinsip utama dalam menangani reaksi alergi adalah menghindari pencetusnya,
dan bukan memberinya obat-obatan. Jadi, perhatikan faktor lingkungan di
sekitarnya. 

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Adi Nugraha,dkk. 2017. Stevens Johnson Syndrome-Toxic Epidermal Necrolisis


Overlap Disebabkan Oleh Drug Eruption Obat Anti Tuberkulosis. Lampung:
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
2. Arfiana,dkk. 2011. Reaksi Hipersensitiv Tipe IV dan Tipe V. Makassar: Fakultas
Farmasi, Universitas Hasanuddin
3. Nuzulul Hikmah dan I Dewa Ayu Ratna Dewanti. 2015. Seputar Reaksi
Hipersensitiv (Alergi). Jember: Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas
Jember
4. Riwayati. 2015. Reaksi Hipersensitiv Atau Alergi. UNIMED. Hal.22-27
5. Afifa Kholifatin. 2016. Hubungan Manifestasi Alergi Dengan Riwayat Pemberian
Asi Eksklusif Pada Balita Di Poli Anaka RSUD Dr.R.Sosodoro Sjatikoesoemo
Bojonegoro. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

20

Anda mungkin juga menyukai