Anda di halaman 1dari 28

IMUNOMODULATOR

DIBUAT SEBAGAI SALAH SATU TUGAS


MATA KULIAH FARMAKOLOGI

Dosen pengampu
Herda Ariyani, M.Farm., Apt

Disusun oleh:
Aisa Rizma 2048201110034
Khoirul Usmanul Hakim 2048201110045
Mala Arianti 2048201110048
Nur Syifa Salsabila 2048201110163
Ricky Fradika Mahendra Utama 1748201110073
Siti Rif’ah 2048201110164

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah , Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusun makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi
kefarmasian.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini telah kami selesaikan dengan sebaik-baiknya dan kami akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang.
Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, 25 Juni 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................i

Daftar Isi ..............................................................................................................ii

Batang Tubuh .....................................................................................................1

Pengertian Imunomodulator ......................................................................1

Obat-obat Imunomodulator .......................................................................2

Studi Kasus ..................................................................................................7

Obat Imunomodulator herbal sebagai terapi covid-19 ....................7

Profil dan penggunaan obat ................................................................10

Efek samping imunomodulator ...........................................................16

Mekanisme obat imunomodulator.......................................................18

Kesimpulan .........................................................................................................23

Daftar Pustaka ....................................................................................................24

Lampiran .............................................................................................................25

ii
BATANG TUBUH

A. Pengertian Imunomodulator
Imunomodulator merupakan senyawa yang mengubah aktivitas sistem
imun tubuh dengan dinamisasi regulasi selsel imun seperti sitokin (Spelman et
al., 2006). Cara kerja Imunomodulator meliputi mengembalikan fungsi imun
yang terganggu (imunorestorasi), memperbaiki fungsi sistem imun
(imunostimulasi) dan menekan respons imun (imunosupresi). Imunomodulator
digunakan terutama pada penyakit imunodefisiensi, infeksi kronis dan kanker
(Katzung, 2007).
Sistem imun bila terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka ada dua
jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu: respon imun non spesifik dan
respon imun spesifik. Respon imun non spesifik umumnya merupakan
imunitas bawaan (innate immunity) dalam arti bahwa respon terhadap zat
asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar dengan
zat tersebut, sedangkan respon imun spesifik umumnya merupakan respon
imun didapat (acquired) yang timbul terhadap antigen tertentu (Kresno, 2001).
Akan tetapi penggunaan imunomodulator dalam terapi kadang kala
mengalami hambatan. Diantara hambatan yang sering kali muncul adalah
harga yang kurang terjangkau, obat yang tersedia di pasar dalam bentuk paten,
dan mayoritas diimpor dari luar negeri. Dalam keadaan demikian, sangatlah
perlu dipertimbangkan untuk memperoleh imunomodulator dari bahan alam
agar faktor harga dapat ditekan (Yusuf et. al., 2019).
Imunomodulator adalah obat yang dapatmengembalikan dan memperbaiki
sistem imun yangfungsinya terganggu atau untuk menekan yangfungsinya
berlebihan. Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistim imun dengan
cara stimulasi (imunostimulan) atau menekan/ menormalkan reaksi imun yang
abnormal (imunosupresan). Imunostimulan terdiri dari dua golongan yaitu
imunostimulan biologi dan sintetik. Beberapa contoh imunostimulan biologi
adalah sitokin, antibodi monoklonal, jamur dan tanaman obat (herbal)
sedangkan imunostimulan sintetik yaitu levamisol, isoprinosin dan muramil
peptidase.

1
Untuk meningkatkan sistim kekebalan tubuh dapat dilakukan dengan
banyak cara salah satunya melalui suplemen obat yang berfungsi sebagai
imunomodulator. Saat ini tersedia banyak jenis imunomodulator untuk
suplemen makanan, terutama yang menggunakan bahan herbal alami seperti
Echinacea, Meniran, Mengkudu, Sambiloto dan lain-lain. Disamping
menyeimbangkan sistim imun suplemen tersebut juga berfungsi untuk
meningkatkan dan menguatkan sistim imun.

B. Obat-obat Imunomodulator
1. Fingolimod
a. Indikasi: 
Terapi Relapsing Remitting Multiple Sclerosis (RRMS) pada pasien
dengan gejala penyakit yang berat yang tidak teratasi dengan minimal
satu jenis terapi lainnya untuk menahan perburukan dan mengurangi
frekuensi kambuh.
b. Peringatan: 
Riwayat uvetis dan diabetes melitus: berpotensi meningkatkan resiko
udem makular, bradiaritmia, riwayat penyakit hati, pengobatan
sebelumnya dengan terapi immunomodulatori atau immunosupresan:
penghentian terapi jika jumlah limfosit kembali normal setelah 1-2
bulan penghentian obat, kehamilan, menyusui, lansia.
c. Interaksi: 
Beta bloker, penghambat kanal kalsium (verapamil, diltiazem, atau
ivabradin), digoksin: meningkatkan risiko bradiaritmia. Ketokonazol:
peningkatan AUC fingolimod. Antineoplastik, imunomodulator atau
imunosupresan: risiko efek tambahan pada sistem imun. Vaksin:
vaksinasi tidak efektif selama dan sampai 2 bulan setelah penghentian
terapi.
d. Kontraindikasi: 
Infark miokard, setidaknya selama 6 bulan angina tidak stabil, stroke,
TIA, dekompensasi gagal jantung yang membutuhkan rawat inap atau
gagal jantung kelas III/IV, riwayat mobitz tipe II tingkat ke-2 atau
tingkat blok atrioventikular (AV) ke-3 atau gejala penyakit sinus,

2
interval QTc ≥ 500 msec, terapi dengan obat anti aritmia kelas IA atau
kelas III, sindrom imunodefisiensi, pasien dengan risiko meningkatnya
infeksi oportunistik termasuk imunitas rendah, infeksi berat dan infeksi
kronis aktif (hepatitis, tuberkulosis), keganasan aktif, gangguan fungsi
hati berat, hipersensitivitas, menderita infeksi berat.
e. Efek Samping: 
Sangat umum: influenza, sinusitis, sakit kepala, diare, nyeri punggung,
peningkatan enzim hati (ALT, GGT, AST), batuk. 
Umum: bronkitis, herpes zoster, tinea versikolor, bradikardi, pusing,
migrain, astenia, eksem, pruritus, peningkatan trigliserid, sesak napas,
pandangan kabur, gangguan vaskular, hipertensi, limfopenia,
leukopenia. 
Tidak umum: pneumonia, udem makular. Jarang: posterior
reversible encephalopathy syndrome (PRES).
f. Dosis: 
Oral: 0,5 mg satu kali sehari.
Dosis yang terlupa: terapi dilanjutkan sesuai jadwal.
2. Interferon alfa
Interferon alfa menunjukkan khasiat anti- tumor pada beberapa
limfoma dan tumor padat. Sediaan interferon alfa juga digunakan dalam
terapi hepatitis B kronis dan hepatitis C kronis, yang sebaiknya
dikombinasikan dengan ribavirin.
Interferon alfa mempunyai peran dalam menginduksi regresi awal
dari hemangioma pada bayi yang resisten terhadap kortikosteroid yang
membahayakan jiwa.
Efek samping bergantung pada dosis. Tetapi, anoreksia, mual, flu
like syndrome  dan kelelahan sering sekali terjadi. Efek samping pada mata
dan depresi juga dilaporkan. Mielosupresi dapat terjadi, terutama akan
mempengaruhi jumlah granulosit. Masalah kardiovaskular (hipotensi,
hipertensi dan aritmia) nefrotoksisitas dan hepatotoksisitas telah
dilaporkan. Hiper-trigliseridemia, kadang- kadang berat, pernah terjadi;
dianjurkan memonitor kadar lemak dalam darah. Efek samping lain adalah
reaksi hipersensitivitas, abnormalitas tiroid, hiperglikemia, alopesia, ruam

3
psoriasis, kebingungan, koma dan seizure (biasanya dengan dosis tinggi
pada lansia)
Konjugasi polietilen glikol (pegylated), turunan interferon alfa
(peginterferon alfa 2a dan penginterferon alfa 2b dapat digunakan, pegilasi
(pegylation) meningkatkan ketersediaa n interferon dalam darah.
Peginterferon digunakan untuk pengobatan hepatitis C kronik,
dikombinasi dengn ribavirin. Peg interferon alfa-2a juga diindikasikan
untuk terapi hepatitis kronik B.
Indikasi: 
kambuhan atau metatstasis karsinoma sel ginjal, limfoma sel T kutan yang
progresif, limfoma non Hodgkin folikuler, sarkoma Kaposi, hairy cell
leukemia, hepatitis B kronik aktif, hepatitis C kronik aktif, leukemia
mieloid kronis.
3. Interferon beta
Interferon beta digunakan untuk pengobatan multipel sklerosis
kambuhan (ditandai dengan setidaknya dua serangan disfungsi neurologik
selama 2 – 3 tahun, diikuti dengan pemulihan yang sempurna atau tidak
sempurna) yang mampu berjalan tanpa bantuan. Tidak semua pasien
memberikan respon dan pada beberapa orang, terjadi perburukan kondisi.
Interferon beta-1b juga diindikasikan untuk pasien dengan secondary
progressive multiple sclerosis, tapi fungsinya pada kondisi ini belum
dipastikan.
Interferon beta tidak boleh digunakan pada pasien yang memiliki
riwayat penyakit depresi berat (atau memiliki keinginan bunuh diri), pada
pasien dengan epilepsi yang tidak cukup terkontrol, atau pada gangguan
fungsi hati terdekompensasi; hati-hati penggunaan pada mereka yang
memiliki riwayat dengan kondisi-kondisi tersebut atau memiliki gangguan
jantung atau mielosupresi. Efek samping yang paling sering dilaporkan
diantaranya iritasi pada tempat injeksi (termasuk inflamasi,
hipersensitivitas, nekrosis) dan flu like syndrome (demam, menggigil,
mialgia, atau rasa lemas) tetapi gejala-gejala tersebut lama-lama
berkurang; mual dan muntah kadang terjadi. Efek samping lain
diantaranya reaksi hipersensitivitas (termasuk anafilaksis dan urtikaria),

4
gangguan darah, gangguan menstruasi, perubahan suasana hati dan
kepribadian, keinginan bunuh diri, bingung dan konvulsi; alopesia,
hepatitis, dan kadang- kadang dilaporkan disfungsi tiroid.
a. Indikasi: 
Pengobatan pasien ambulatori dengan relapsing-remitting multiple
sclerosis (MS) yang dikarakterisasi dengan setidaknya 2 serangan
disfungsi neurologik (kekambuhan) selama periode 2 tahun terdahulu.
Mengurangi frekuensi dan keparahan kekambuhan selama 4 tahun, dan
memperlambat progresi ketidakmampuan
b. Peringatan: 
Lihat keterangan di atas. Pasien yang mengalami depresi; pre-existing
seizure disorder; angina, aritmia, gagal jantung kongestif; nekrosis
tempat injeksi, uji laboratorium untuk hitung sel darah lengkap dan
diferensial, hitung platelet, kimia darah dan fungsi hati; gagal ginjal
dan gagal hati berat, dan mielosupresi berat
c. Kontraindikasi: 
Kehamilan (Lampiran 4-disarankan pengukuran kontraseptif jika
memungkinkan), menyusui (Lampiran 5); hipersensitif terhadap
interferon beta alami atau rekombinan, serum albumin manusia;
kehamilan; gangguan depresi berat dan/atau keinginan bunuh diri,
pasien epilepsi dengan riwayat kejang yang tidak terkontrol dengan
pengobatan.
d. Efek Samping: 
Lihat keterangan di atas; sindroma flu: sakit otot, demam, arthralgia,
kedinginan, asthenia, sakit kepala, mual; diare, anoreksia, muntah,
insomnia, pusing, gelisah, kemerahan, vasodilatasi, palpitasi, depresi,
keinginan bunuh diri, aritmia, nekrosis tempat injeksi;
hipersensitivitas; leukopenia, limfopenia, trombositopenia dan
kenaikan AST, ALT, g-GGT dan alkaline fosfatase; kekakuan.
e. Dosis: 
44 mcg tiga kali seminggu dengan injeksi subkutan. 22 mcg tiga kali
seminggu dengan injeksi subkutan jika pasien tidak bisa mentoleransi
dosis tinggi, di bawah pengawasan dokter spesialis.

5
4. Timosin alfa
a. Indikasi: 
pengobatan hepatitis B kronis pada pasien 18 tahun ke atas dengan
penyakit hati yang sudah dipastikan (compensated) dan repilikasi virus
hepatitis B (HBV) (serum HBV DNA positif)
b. Peringatan: 
kehamilan (faktor risiko C, di mana obat dapat diberikan hanya jika
manfaat pemberian melebihi risiko yang dapat ditimbulkan terhadap
janin); selama pengobatan perlu dilakukan pemeriksaan fungsi hati
(termasul ALT, albumin dan bilirubin); menyusui; pada akhir
pengobatan perlu dievaluasi HbeAg, HbsAg, HBV DNA dan ALT
c. Interaksi: 
Hati-hati ketika memberikan obat ini dengan kombinasi obat
imunomodulator lain. Sebaiknya tidak diberikan bersama obat lain
d. Kontraindikasi: 
pasien yang mengalami kelainan imunosupresi seperti pasien
transplantasi kecuali jika manfaat obat tersebut lebih besar daripada
risiko yang akan timbul
e. Efek Samping: 
ketidaknyamanan pada lokasi penyuntikan, eritema, atropi otot
sementara, poliartralgia dengan udema, dan kemerahan
f. Dosis: 
1,6 mg diberikan secara subkutan dua kali seminggu dengan selang 3
atau 4 hari. Terapi harus dilakukan selama 6 bulan (52 dosis) tanpa
berhenti. Jangan diberikan secara intramuskular atau intravena.
Diberikan segera setelah penyiapan.
5. BCG bladder instillation
BCG (Bacillus Calmette-Guerin) merupakan strain yang
dilemahkan, diperoleh dari Mycobacterium bovis. Diindikasikan pada
instilasi saluran kemih pada terapi kanker kandung kemih pertama atau
kambuhan dan untuk mencegah kambuhan setelah reseksi transuretral.

6
C. Studi Kasus
1. Obat imunomodulator herbal sebagai terapi covid-19
PRINSIP PEMANFAATAN OBAT TRADISIONAL DAN SUPLEMEN
KESEHATAN
Definisi:
1) COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh turunan coronavirus
baru. ―CO‖ diambil dari corona, ―VI‖ virus, dan ―D‖ disease
(penyakit). Sebelumnya, penyakit ini disebut ‗2019 novel coronavirus‘
atau ‗2019-nCoV.‘
2) Virus corona baru atau CoV2 adalah virus yang terkait dengan
keluarga virus yang sama dengan Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS) dan beberapa jenis virus flu biasa.
3) Herbal adalah bahan atau produk dari tumbuhan dengan manfaatnya
dalam pengobatan atau kesehatan manusia lainnya yang mengandung
bahan mentah atau olahan dari satu atau lebih tanaman.
4) Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
PEMANFAATAN HERBAL
Berikut tumbuhan obat yang dapat dimanfaatkan setelah
mempertimbangkan keamanan untuk dikonsumsi dan adanya dukungan
data penelitian berkaitan dengan bukti aktivitas ke arah memelihara daya
tahan tubuh:
1) Jahe (Zingiber officinale Roscoe)
a. Informasi Umum
Zingiber officinale Roscoe atau sering disebut Jahe, memiliki
kandungan kimia yaitu minyak atsiri (1-4%): (-)-zingiberene; (+)-
ar-curcumene; (-)-β-Sesquiphellandrene; dan βbisabolene; [3–6]-,
dan zat pedas dengan komponen utama [8]-,[10]-, dan [12]-
gingerol; serta shogaols (WHO, 1999).
b. Khasiat

7
Bukti Empiris Rimpang jahe yang diparut digunakan sebagai obat
oles untuk mengobati pembengkakan, rematik dan sakit kepala.
Masyarakat Melayu memanfaatkan air perasan rimpang untuk obat
kolik. Sedangkan masyarakat Jawa menggunakan rimpang jahe
sunthi yang diperas untuk mengobati luka akibat tertusuk duri,
kuku lecet, luka akibat digigit ular, gatalgatal dan bengkak (Heyne,
1987). Dalam literatur Cina kuno, jahe bermanfaat untuk
mengobati radang ginjal, kram perut saat menstruasi dan
memperlancar haid. Selan itu juga dimanfaatkan untuk mengobati
mual-muntah, batuk, sakit gembur-gembur (pembengkakan yang
disebabkan oleh kelebihan cairan dalam jaringan tubuh), diare serta
sering digunakan untuk mengatasi perut kembung, sebagai
stimulansia dan diuretik (Perry & May, 1980).
Bukti Ilmiah
1. Uji Aktivitas Sebagai Imunomodulator
Uji in vivo pada mencit yang ditekan imunnya menggunakan
siklofosfamid, menunjukkan bahwa minyak atsiri jahe yang
diberikan sehari sekali per oral selama seminggu dapat
meningkatkan respon imun humoral. Imunitas humoral
melibatkan interaksi antara sel-B dengan antigen untuk
selanjutnya terjadi proliferasi dan diferensiasi menjadi sel
plasma yang mensekresi antibodi (Carrasco et al., 2009).
2. Uji Aktivitas sebagai Antiinflamasi
Penelitian secara in vitro dan in vivo untuk menguji aktivitas
antiinflamasi dari jahe telah dilakukan. Penelitian in vivo
menggunakan tikus dengan metode edema kaki menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak jahe dosis 200 mg/kg secara
signifikan menurunkan produksi dari PGE2, TNF-α, IL-6,
monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), pengaturan
aktivasi, sel T normal yang diekpresikan dan disekresikan
(RANTES), aktivitas myeloperoxidase (MPO). Ekstrak jahe
pada 100 dan 200 mg/kg ekuipoten dengan indometasin dalam
mereduksi jumlah NO dan meningkatkan kapasitas total

8
antioksidan (Ezzat et al., 2018). Uji aktivitas anti inflamasi
ekstrak air jahe dosis 100 dan 1.000 mg/kg BB peroral selama
tiga hari pada mencit galur ICR yang diberikan sebelum
induksi inflamasi pada hari ke-3 menggunakan lipopolisakarida
secara intraperitoneal di hati secara signifikan menurunkan
perubahan patologi hati dan proinflamatori sitokin (IFN-𝛾 dan
IL-6) di serum. Selain itu ekstrak dapat menghambat aktivasi
NF-𝜅B dengan cara mencegah degradasi I𝜅B-𝛼, seperti halnya
fosforilasi ERK1/2, SAPK/JNK dan p38 MAPKs. Hal ini
menggambarkan penurunan ekspresi inducible nitric oxide
synthase (iNOS) dan siklooksigenase-2 (COX-2) (Choi et al,
2013). Pada uji klinik acak ganda tersamar untuk mengetahui
efek jahe terhadap sitokin proinflamatori (IL-6 dan TNF-α) dan
protein hs-CRP pada 64 pasien diabetes mellitus tipe 2 yang
menerima 2 g serbuk rimpang segar jahe perhari selama 2
bulan menunjukkan pemberian jahe secara signifikan
menurunkan kadar TNF-α (p=0,006), IL-6 (p=0,02) dan hs-
CRP (p=0,012) dibandingkan praperlakuan, sehingga dari hasil
tersebut diketahui bahwa pemberian jahe dapat menurunkan
inflamasi pada pasien diabetes melitus tipe 2 (Mahluji et al.,
2013).
c. Penggunaan
1). Serbuk sebanyak 2-4 g/hari (Bager, 2012).
2). Untuk preparasi infus, campurkan air mendidih dengan 0,5
sampai 1 gram serbuk dan diamkan selama 5 menit (Brendler et al.,
2000).
d. Keamanan
1) Efek samping yang dilaporkan terutama adalah:
a) Keluhan gastrointestinal ringan-sedang, seperti rasa yang
tidak enak pada mulut, diare, perut tidak nyaman, refluks
dan nyeri ulu hati (Bager, 2012).
b) Dilaporkan pemberian 6 g jahe kering atau lebih dapat
meningkatkan pengelupasan sel-sel lambung, yang memicu

9
timbulnya tukak lambung. Disarankan dosis pada pasien
dengan perut kosong dibatasi maksimal 6 g (Bager, 2012).
c) Uji klinik pemberian jahe pada anakanak menunjukkan
tidak ada efek samping yang dilaporkan (Bager, 2012).
2) Penggunaan jahe dosis besar (12-14 g), tidak dianjurkan
bersama dengan obat antikoagulan karena dapat meningkatkan
efek hipotrombinemia (darah sukar membeku) (WHO, 1999).
3) Dosis besar dapat menyebabkan penekanan sistem saraf pusat
dan aritmia (Heber, 2004).
4) Kontraindikasi: Hati-hati penggunaan pada penderita yang
hipersensitif terhadap jahe karena dapat menyebabkan
dermatitis (Bager, 2012).
e. Status Regulasi di Indonesia
Obat tradisional mengandung jahe sudah banyak didaftarkan
dengan klaim yang disetujui antara lain: membantu memelihara
kesehatan, membantu meredakan gejala masuk angin seperti
mual,muntah dan perut kembung.
2. Profil dan penggunaan obat
Imunomodulator adalah semua obat yang dapat memodifikasi
respons imun dengan menstimulasi mekanisme pertahanan alamiah dan
adaptif, dan dapat berfungsi baik sebagai imunosupresan maupun
imunostimulan. Imunostimulan atau imunostimulator adalah substansi
(obat atau nutrien) yang dapat meningkatkan kemampuan sistem imun
untuk melawan infeksi dan penyakit, dengan meningkatkan aktivitas
komponen sistem imun. Berbagai penyakit kulit misalnya infeksi virus dan
non-virus, dan tumor kulit dapat diterapi dengan imunostimulan.
JENIS-JENIS IMUNOSTIMULAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM
BIDANG DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI
Levamisol
Levamisol pertama kali digunakan sebagai bahan antihelmintik
pada tahun 1969. Obat ini menstimulasi dan mensupresi respons imun
terhadap berbagai antigen. Levamisol bekerja pada limfosit B dan T,
walaupun efeknya terhadap limfosit T lebih bermakna berupa aktivasi dan

10
peningkatan motilitas limfosit T, juga meningkatkan fagositosis makrofag,
meningkatkan perlekatan dan kemotaksis neutrofil, serta meningkatkan
pembentukan antibodi terhadap berbagai antigen. Levamisol dapat
menstimulasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, melalui proliferasi sel T
helper (Th)1 dan produksi interleukin 12 (IL-12), interferon-γ (IFN-γ) dan
atau penurunan jumlah produksi Th 2 dengan efek pada IL-4, IL-5 dan IL-
10. Aktivitas IL-2 yang meningkat akan memengaruhi IL-18 untuk
menstimulasi produksi IFN-γ sehingga terjadi pergeseran keseimbangan
respons imun kearah Th1. Levamisol juga menekan kadar serum IgE.
Dosis umum levamisol adalah 150 mg/hari selama 2-4 hari setiap minggu
atau tiap 2 minggu. Levamisol bermanfaat untuk penyakit infeksi dan
infestasi parasit, terutama pada pioderma kronik rekurens, dan
dermatofitosis kronik. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengobati
pedikulosis dengan dosis 3,5 mg/kgBB/hari selama 10 hari, dan dilaporkan
berhasil dalam mengobati cutaneous larva migrans pada bayi. Infeksi virus
misalnya herpes simpleks rekurens dan herpes neonatal dapat membaik
dengan levamisol, serta mempercepat penyembuhan dan menurunkan
risiko rawat inap pada herpes zoster dibandingkan dengan plasebo.
Penelitian oleh Bera dkk. (1985) menggunakan levamisol 150 mg tablet
tiap 2 minggu bersama dengan obat multy drug treatment (MDT) pada 10
pasien kusta tipe borderline dan lepromatosa, dibandingkan dengan
pemberian hanya obat MDT sebagai kelompok kontrol. Setelah 18 bulan,
didapatkan penurunan bermakna indeks bakteriologis pada kelompok yang
diberikan levamisol. Levamisol juga digunakan untuk penyakit kulit
inflamasi, meliputi akne fulminan, pemfigoid bulosa, psoriasis, ulkus
kruris, alopesia areata, liken nitidus, dan dermatosis likenoid, dengan
rentang dosis 150 mg/hari satu kali seminggu, sampai 150 mg/hari 2 kali
seminggu. Sebuah penelitian buta ganda oleh Lozada (1982), mendapatkan
respons parsial atau penuh pada pasien eritema multiforme yang diobati
dengan levamisol 150 mg/hari selama 3 hari dengan atau tanpa pemberian
prednison. Parsad dkk. (1999) mendapatkan kombinasi terapi simetidin 30
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis dan levamisol 150 mg 2 hari berturut-
turut/minggu, selama 12 minggu, lebih superior daripada hanya simetidin

11
untuk terapi veruka vulgaris, veruka plana, dan veruka plantaris
rekalsitrans pada anak dan dewasa. Zhang dkk. (2009) melakukan
penelitian pada 132 pasien urtikaria idiopatik kronik. Kelompok terapi,
sebanyak 67 pasien, diberikan levamisol 3x50 mg per hari selama 3 hari
berturut-turut setiap 2 minggu dan levosetirizin 5 mg per oral per hari.
Kelompok kontrol mendapatkan levosetirizin 5 mg perhari dan plasebo
selama 6 minggu. Pada dua minggu terapi, tidak didapatkan perbedaan
efektivitas yang bermakna antara kedua kelompok. Namun setelah 6
minggu terapi, terdapat perbedaan efektivitas bermakna antara kelompok
terapi dengan kelompok kontrol (76,27% dan 54,39%). Efek simpang
umumnya bersifat ringan, berupa mual, kram abdomen, perubahan rasa
kecap, alopesia, artralgia, dan flu-like syndrome. Alasan penghentian
terapi tersering adalah karena erupsi kulit dan leukopenia. Levamisol tidak
mengakibatkan toksisitas ginjal atau hati. Efek simpang yang jarang,
namun berpotensi fatal berupa agranulositosis, yang bersifat reversibel jika
obat dihentikan. Efek simpang pada kulit mencakup reaksi
hipersensitivitas tipe I dan III, erupsi likenoid, fixed drug eruption, ulkus
tungkai, dan necrotizing vasculitis.
Simetidin
Peran simetidin terhadap efek imunologis berbagai penyakit, dan
efektivitas monoterapi simetidin terhadap penyakit kulit masih harus
dibuktikan lebih lanjut. Namun, simetidin tampak paling efektif apabila
digunakan sebagai kombinasi dengan obat lain. IL-12 akan meningkatkan
aktivitas sel NK dan produksi IFN-γ, sehingga mengakibatkan pergeseran
respons imun ke arah Th1. Simetidin juga meningkatkan aktivitas
Antigen-presenting cell (APC) sel dendritik. Simetidin dilaporkan
memiliki efek terapi bervariasi untuk beberapa penyakit kulit dengan dosis
secara umum adalah 800-1.600 mg/hari, sebagai dosis tunggal atau terbagi
selama 4-8 minggu. Bukti klinis pertama manfaat simetidin pada
melanoma terdapat pada tiga kasus melanoma maligna rekurens yang
diobati dengan kombinasi kumarin 100 mg/hari dan simetidin 1.000
mg/hari. Terdapat regresi cepat lesi melanoma dan perbaikan kondisi
klinis. Namun pada kasus lain, terjadi perburukan lesi melanoma setelah

12
pemberian kombinasi kumarin dan simetidin dengan dosis yang sama.
Mullen dkk. (2005) menggunakan simetidin pada 216 pasien veruka
plantaris anak dan dewasa dengan dosis 25-40 mg/kgBB/hari (anak) dan
20 mg/kgBB/hari (dewasa). Keberhasilan pengobatan ditemukan pada
semua usia sebesar 84,3%. Rerata durasi keberhasilan terapi adalah 6,1
minggu pada anak, dan 7,9 minggu pada dewasa. Dua belas pasien (7,2%)
mengalami rekurensi. Simetidin juga bermanfaat untuk terapi kondilomata
akuminata ekstensif dan perigenital dengan dosis 30-40 mg/kgBB; lesi
menghilang dalam 24 bulan pengobatan. Sharma (1998) melaporkan
penggunaan simetidin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4
dosis untuk terapi moluskum kontagiosum pada anak dan dewasa.
Didapatkan 2 pasien, dengan 60 lesi, dan 200 lesi; seluruh lesi menghilang
dalam 6 minggu. Namun penelitian oleh Cunningham dkk. (1998)
menemukan bahwa simetidin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 2-3 dosis tidak efektif untuk menghilangkan lesi moluskum pada
anak usia 10 bulan-8 tahun. Untuk dermatografisme simtomatik,
kombinasi klorfeniramin dan simetidin tampak efektif. Simetidin juga
dapat meningkatkan masa laten urtikaria yang diinduksi panas. Efek
simpang meliputi pusing dan somnolen ringan pada dosis 800-1.600
mg/hari, gangguan gastrointestinal, ginekomastia (terapi lebih dari 1
bulan), peningkatan serum transaminase yang reversibel dan terkait dosis,
serta peningkatan kreatinin plasma. Simetidin juga dapat menyebabkan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat, fixed drug eruption, eritema
multiforme, dan toxic epidermal necrolysis (TEN).
Isoprinosin (inosine pranobex/inosine dimepranol acedoben)
Isoprinosin menunjukkan efek antivirus, dan aktivitas
imunostimulan, efektif pada infeksi virus herpes, dan infeksi virus lain.
Isoprinosin dapat menstimulasi diferensiasi sel T menjadi sel T helper dan
sel T sitotoksik, meningkatkan produksi IL-1, IL-2, IFN-γ, IL-12, dan
fungsi sel NK. Obat ini juga menurunkan produksi IL-3 dan IL-4,
menstimulasi diferensiasi limfosit B menjadi sel plasma serta
meningkatkan produksi antibodi, sehingga meningkatkan respons imun
humoral. Isoprinosin dapat menghambat replikasi beberapa virus RNA dan

13
DNA pada kultur jaringan, termasuk virus herpes simpleks. Georgala dkk.
(2006) meneliti 38 perempuan kulit putih Eropa berusia 20-43 tahun,
dengan kondilomata akuminata serviks yang refrakter terhadap terapi
konvensional. Pada penelitian tersebut dibandingkan kelompok terapi
dengan inosiplex (isoprinosin) 50 mg/kgBB tiap hari selama 12 minggu,
dengan kelompok kontrol menggunakan plasebo. Pada kelompok terapi
didapatkan 4 subjek dengan respons lengkap, 7 subjek dengan respons
parsial, dan 6 subjek tanpa respons. Pada kelompok kontrol didapatkan 3
dengan respons parsial dan 16 tanpa respons. Pada tahun yang sama,
Georgala dkk. meneliti penggunaan inosiplex untuk pengobatan alopesia
areata. Randomized placebo-controlled study dilakukan pada 32 subjek
usia 16-48 tahun dengan alopesia areata rekalsitran. Kelompok terapi
mendapat inosiplex 50 mg/kgBB/hari dalam dosis selama 12 minggu,
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Studi ini menemukan bahwa
pada kelompok terapi, 33,3% mengalami remisi total, 53,3% respons
parsial, 13,3% tanpa respons. Pada kelompok plasebo, 28,5% mengalami
respons parsial, dan 71,4% tanpa respons (p < 0,01). You dkk. (2015)
melakukan penelitian buta ganda, penggunaan inosine pranobex
dibandingkan dengan asiklovir pada 288 pasien dengan herpes labialis
atau herpes genitalis rekurens. Kelompok pertama diberikan kombinasi
inosine pranobex 4x1 gram perhari dan plasebo, sedangkan kelompok
kedua diberikan asiklovir 5x200 mg perhari dan plasebo. Studi ini
menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna untuk skor
gejala klinis pada hari ke-3 dan ke-5 pengobatan pada kedua kelompok.
Namun didapatkan angka kejadian rekurensi herpes genitalis selama
follow-up 3 bulan lebih rendah pada kelompok inosine pranobex, dan
insidens hiperurisemia lebih tinggi pada kelompok inosine pranobex. Efek
simpang bersifat ringan. Terdapat peningkatan bermakna kadar asam urat
serum akibat degradasi inosine pranobex menjadi asam urat selama
metabolisme purin. Namun peningkatan ini bersifat reversibel, dan kadar
asam urat akan kembali normal apabila obat dihentikan.

14
Talidomid
Talidomid adalah derivat asam glutamat sintetik. Talidomid
berperan sebagai antiinflamasi, imunomodulator, dan antiangiogenik
dengan fungsi imunostimulan dan imunosupresan, tergantung dari
komponen respons imun yang dipengaruhi. Efek antiangiogenik
didapatkan dari inhibisi vascular endothelial growth factor (VEGF). Pada
sindrom Behcet pemberi talidomid menyembuhkan lesi orogenital dengan
cepat dan bermakna, rekurensi lebih ringan dan singkat. Dosis diberikan
400 mg/hari selama 5 hari pertama, dilanjutkan 200 mg/hari selama 15-60
hari. Kombinasi talidomid dengan narrowband UVB (NB UVB)
menimbulkan respons terapeutik yang baik untuk prurigo nodularis. Dosis
talidomid sebanyak 200-1.000 mg/hari selama 4- 6 bulan bermanfaat
untuk mengobati kasus Graft versus hist disease (GVHD) yang resisten
terhadap prednison dan siklosporin. Peran talidomid adalah melalui jalur
pengenalan antigen dalam menurunkan regulasi respons limfosit.
Talidomid 50-150 mg/hari menyebabkan regresi lesi liken planus oral dan
liken planopapilaris rekalsitran. Dosis 300 mg/hari diperlukan untuk liken
planus oral, generalisata yang refrakter dan mencegah rekurensi. Pada
sarkoma Kaposi terkait AIDS yang diterapi dengan talidomid dosis 100
mg/hari sampai 1.000 mg/hari, terjadi penurunan jumlah satuan DNA
human herpes virus. Talidomid 200 mg/hari dapat mengurangi rasa gatal
pada pruritus refrakter kronik, melalui penurunan persepsi stimulus,
penurunan rasio CD4:CD8, supresi produksi TNF-α dan nuclear factor-kβ
(NF-kβ), dan/atau modulasi saraf perifer. Talidomid juga dapat
memengaruhi serabut saraf tipe C tidak bermielin yang berhubungan
dengan jalur rasa gatal. Daly dkk. (2000) melakukan penelitian mengenai
efek antipruritus talidomid pada 11 pasien psoriasis, dermatitis, prurigo
nodularis, pruritus senilis, dan sirosis biliaris primer. Rasa gatal dievaluasi
dengan visual analog scale (VAS), dan garukan pada malam hari.
responsif dengan metilprednisolon, menunjukkan respons penyembuhan
lengkap setelah diberikan talidomid dosis 100-200 mg/hari selama 10
minggu. Efek simpang talidomid yang umum ditemukan meliputi
teratogenisitas, somnolen, neuropati perifer, konstipasi, ruam kulit,

15
trombo-emboli, dan pusing. Malformasi fetus yang serius meliputi tidak
adanya telinga, tuli, hipoplasia atau tidak ada lengan (phocomelia)
terutama pada radius dan ibu jari, defek tibia dan femur, malformasi
jantung, usus, uterus dan kandung empedu. Efek simpang lain yang jarang
meliputi xerostomia, neutropenia, TEN/SSJ, trombosis vena dalam,
hipotiroidisme, ketidakteraturan menstruasi, disfungsi seksual pria,
hiper/hipoglikemia, astenia, tremor, edema perifer, pruritus, kerontokan
rambut, demam, dan bradikardia.
3. Efek samping imunomodulator
Perlakuan Hewan Uji
Sebanyak 20 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dibagi dalam 5
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor tikus jantan.
Kelompok I sebagai kontrol normal (tanpa perlakuan), kelompok II
sebagai kontrol Na CMC 1%, kelompok III diberikan sediaan uji ekstrak
etanol herba krokot dengan dosis 100 mg/kgBB, kelompok IV diberikan
sediaan uji ekstrak etanol herba krokot dengan dosis 200 mg/kgBB,
kelompok V diberikan sediaan uji ekstrak etanol herba krokot dengan
dosis 400 mg/kgBB. Selama tujuh hari semua hewan uji diberi perlakuan
sediaan ekstrak uji kecuali kelompok I (kontrol normal) dan II (kontrol
NaCMC) secara peroral sesuai dengan volume pemberiannya. Pada hari
ketiga kelompok II, III, IV dan V diinduksikan antigen SDMD 10% v/v
sebanyak 1 mL secara intraperitonial dan dihari ketujuh kelompok II, III,
IV dan V diinduksikan kembali dengan antigen SDMD 10% v/v sebanyak
0,1 mL secara intraplantar. Pengukuran volume kaki hewan uji dilakukan
pada hari ketujuh sebelum dan setelah penginduksian antigen SDMD 10%
v/v secara intraplantar pada jam ke-4, -24, dan -48 menggunakan
pletismometer (Faradilla, 2013).
Analisis Data
Data hasil pengukuran perubahan volume kaki tikus dianalisis secara
statistik menggunakan uji statistik Paired Samples T test dan uji statistik
One-Way Anova yang dilanjutkan dengan uji lanjutan Post Hoc LSD

16
Sistem imun merupakan suatu sistem pertahanan tubuh yang berfungsi
melindungi, mempertahankan dan menghancurkan antigen seperti bakteri,
virus dan mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan berbagai
penyakit. Salah satu upaya untuk mempertahankan sistem imun adalah
dengan pemberian imunomodulator. Imunomodulator adalah zat yang
dapat memodulasi sistem imun sehingga dapat bekerja lebih baik.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan efek
imunomodulator dan dosis efektif dari ekstrak etanol herba krokot
(Portulaca oleracea L.) dengan parameter Delayed Type Hypersensitivity
(DTH) terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) jantan yang diinduksi
dengan sel darah merah domba (SDMD).
Hasil pengukuran berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa
semua kelompok perlakuan mengalami perubahan sebelum dan sesudah
diinduksi dengan antigen. Induksi ditandai dengan adanya proses inflamasi
pada kaki hewan coba. Pada kelompok normal, tidak terjadi perubahan
volume kaki tikus, dikarenakan tidak adanya perlakuan terhadap kelompok
tersebut dari T0 hingga T48 sehingga volume kaki dari kelompok tersebut
tetap. Pada kelompok NaCMC dan kelompok ekstrak uji dengan dosis 100
mg/kgBB, 200 mg/kgBB, dan 400 mg/kgBB mengalami peningkatan
pembengkakan volume kaki pada T4 setelah penginduksian antigen sel
darah merah domba (SDMD), dikarenakan antigen yang mengandung
lipopolisakarida merangsang makrofag untuk melepaskan TNF (Tumor
Necrosis Factor) dan IL-1 yang merupakan mediator inflamasi. Pada T24
terjadi pembengkakan yang disebabkan oleh aktivasi sel T yang dapat
merangsang pelepasan sitokin (IL-12) dalam memproduksi IFN-ɣ dengan
meningkatkan fungsi sitolitik dari sel NK dan sel T sehingga merangsang
tersekresinya IFN-ɣ yang akan mengaktivasi makrofag untuk
mengeliminasi antigen. Pembengkakan yang terjadi pada T24 disebabkan
oleh peningkatan aktivasi dari makrofag dalam memproduksi sitokin
sehingga terjadi penumpukan sitokin (IL-12) ditempat penginduksian. Hal
ini menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang berlangsung
lambat. Berdasarkan teori hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV),
peningkatan volume kaki tidak terjadi selama 6-12 jam dan mencapai

17
intensitas maksimal sesudah 24-72 jam (Bellanti, 1989). Pada T48 terjadi
penurunan volume kaki tikus (Rattus norvegicus) pada semua kelompok
uji kecuali pada kontrol NaCMC. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak dapat mempercepat terjadinya respon imun sehingga proses
penurunan pembengkakan lebih cepat terjadi.
Dari hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa ekstrak etanol
herba krokot memiliki kemampuan sebagai imunomodulator. Berdasarkan
volume kaki pada T24 menunjukkan bahwa kelompok uji ekstrak dosis
400 mg/kgBB mengalami pembengkakan paling besar diantara kelompok
uji ekstrak yang lain, sehingga dianggap bahwa dosis tersebut yang efektif
sebagai imunomodulator. Pada penelitian ini diketahui bahwa ekstrak
etanol herba krokot (Portulaca oleracea L.) dapat berefek sebagai
imunomodulator. Hal tersebut didasarkan pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Park et al., (2019) bahwa Portulaca oleracea L. berbasis
ekstrak kompleks dapat digunakan sebagai agen imunostimulan dalam
obat-obatan maupun makanan. Hal ini diduga karena adanya kandungan
senyawa flavonoid berdasarkan penelitian oleh Zhou et al., (2015) bahwa
pada herba krokot ditemukan kandungan senyawa flavonoid. Menurut
Devagaran & Diantini (2012) salah satu senyawa yang memiliki
kemampuan dapat meningkatkan sistem imun adalah senyawa flavonoid.
Mekanisme flavonoid sebagai imunomodulator yaitu dengan
meningkatkan aktivitas IL-12 dan proliferasi limfosit. Sel CD4+ akan
mempengaruhi proliferasi limfosit kemudian menyebabkan sel Th-1
teraktivasi. Sel Th-1 yang teraktivasi akan mempengaruhi IFN- Ɣ yang
dapat mengaktifkan makrofag yang ditandai dengan meningkatnya
aktivitas fagositosis secara cepat dan lebih efisien dalam membunuh
antigen (Patroni & Yuniarti, 2003).
4. Mekanisme obat imunomodulator
Imunomodulator yang dikenal pula sebagai biological respons
modifier, imunoaugmentor adalah berbagai macam bahan baik
rekombinan, sintetik, maupun alamiah yang merupakan obat-obatan yang
mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun yang dipakai pada
imunoterapi. Imunoterapi merupakan suatu pendekatan pengobatan

18
dengan cara merestorasi, meningkatkan, atau mensupresi respons imun.
Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up
regulation, imunosupresi disebut down regulation. Obat yang merupakan
imunopotensiasi adalah obat yang dapat digunakan pada infeksi virus.
Imunostimulasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan
menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Interferon (IFN)
adalah suatu kelompok glikoprotein diproduksi oleh sebagian besar sel
eukariotik sebagai respons terhadap induksi berbagai virus maupun agen
bukan virus. Semua IFN mempunyai aktivitas antivirus dan memodulasi
fungsi sel-sel lain. IFN tidak membuat virus nonaktif secara langsung,
namun membuat sel resisten terhadap virus. IFN menunjukkan adanya
aktivitas spesies. Tergantung dari sel yang membentuknya dan modus
induksinya, sel manusia membentuk tiga jenis IFN yang mempunyai sifat
antigenik berbeda, yaitu IFN-α yang diproduksi leukosit, IFN-β yang
diproduksi oleh fibroblas dan IFN-9 γ yang diproduksi oleh sel limfosit
yang diaktifkan. Semua IFN mempunyai kemampuan antivirus,
antiproliferatif, dan imunoregulator. Kemampuan antivirus terjadi oleh
karena IFN menginduksi 2'-5' A synthetase, ribonuclease L, dan protein
kinase P. Kemampuan antiproliferatif IFN 2'-5' A synthetase, menghambat
berbagai f aktor pertumbuhan, meningkatkan ekspresi gen dari p53 tumor
suppresor menimbulkan down regulation dari onkogen c-myc, cfos, c-ras
tertentu. Kemampuan imunoregulator terjadi oleh karena IFN menginduksi
antigen MHC kelas I dan II, meningkatkan jumlah sel NK dan
menghambat 1 produksi sitokin Th-2, seperti IL-4, IL-5, IL-6. Interferon
dapat diberikan pada pengobatan kondilomata akuminata dan sarkoma
kaposi terkait AIDS karena IFN mempunyai kemampuan antivirus,
antiproliferatif dan imunoregulator. IFN dapat diberikan sebagai suntikan
intralesi, preparat topikal berupa krim dan injeksi intramuskuler (IM) atau
subkutan (SK). Data yang ada menunjukkan bahwa pengobatan
kondilomata akuminata menggunakan IFN tidak lebih superior daripada
modalitas terapi lainnya. IFN direkomendasikan hanya pada lesi yang
jumlahnya sedikit dan ukuran lesi yang tidak besar. Berdasarkan harganya
yang mahal, terapi yang harus dilakukan beberapa kali, rasa nyeri saat

19
penyuntikan, maka IFN direkomendasikan hanya pada pasien yang telah
gagal dengan modalitas terapi yang lebih sederhana dan murah. IFN
menunjukkan hasil yang baik sebagai terapi ajuvan pada kondilomata
akuminata yang rekalsitran termasuk papilomatosis respirasi yang rekuren.
Pemberian IFN secara intralesi, dapat terjadi efek samping secara sistemik
seperti rasa lelah, demam, mialgia, anoreksia, mual/muntah, sakit kepala.
Efek samping tersebut dikenal sebagai influenza like symptoms yang
paling sering terjadi. Efek samping dipengaruhi oleh besarnya dosis IFN
yang diberikan dan menghilang bila pemberian obat dihentikan atau
dosisnya diturunkan. Imiquimod merupakan imunomodulator topikal
untuk pengobatan kondilomata akuminata yang dapat diaplikasikan oleh
pasien sendiri. Imiquimod disetujui pemakaiannya oleh FDApada tahun
1997, sedangkan di Indonesia sendiri belum dipasarkan. Imiquimod
mengaktivasi sistem imun melalui toll like receptor (TLR) yang terlibat
dalam pengenalan patogen dipermukaan sel. Sel yang diaktivasi oleh
imiquimod melalui TLR7 mensekresi sitokin terutama interferon (IFN)-α,
interleukin (IL), tumor necrosing factor (TNF)-α. Selain itu imiquimod
akan mengaktivasi sel Langerhans, yang kemudian bermigrasi ke kelenjar
limfe untuk mengaktivasi sistem imun adaptif. Sel-sel lain yang diaktifkan
oleh imiquimod adalah sel natural killer (NK), makrofag, dan limfosit B.
Imiquimod merupakan imunomodulator yang diberikan secara topikal
pada pengobatan kondilomata akuminata. Imiquimod diberikan dalam
bentuk krim 5%. Krim diaplikasikan pada lesi, kemudian digosok sampai
menghilang. Aplikasi dilakukan pada malam hari, seminggu tiga kali dan
dicuci setelah 6-10 jam. Pengobatan dapat dilakukan selama 16 minggu.
Perlu diperhatikan bahwa pemberian pada wanita hamil merupakan
kontraindikasi, sedangkan pemberian pada lesi di daerah perianal, rektum,
vagina dan serviks tidak dianjurkan. Aplikasi imiquimod topikal dapat
menimbulkan inflamasi nonspesifik. Hal itu dapat terjadi bila ada erosi
kulit karena garukan atau erosi pada lesi di daerah lipatan. Dapat terjadi
eritema, edema, indurasi, bula, erosi, ulserasi, krusta, perasaan nyeri,
panas, atau perasaan tidak nyaman. Efek samping lainnya adalah sakit
kepala, nyeri pinggang, nyeri otot, perasaan lelah, keluhan seperti flu,

20
pembesaran 11-13 kelenjar limfa, dan diare. Interleukin (IL) merupakan
suatu sitokin yang disekresikan oleh makrofag dan sel NK pada respons
imun alamiah, sedangkan pada respons imun adaptif disekresikan oleh
limfosit T. Interleukin bereaksi terhadap leukosit dan merupakan mediator
pada reaksi sistem imun dan inflamasi. Beberapa jenis IL telah dapat
disintesis dengan rekayasa genetik dan dapat diberikan pada penderita
acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Imunoglobulin (Ig)
diproduksi oleh sel plasma yang telah matang yang berasal dari sel B yang
teraktivasi. Ig intravena (IgIV) dapat diberikan untuk mempertahankan
kadar antibodi yang adekuat untuk mencegah infeksi. IgIV mempunyai
kemampuan imunoregulasi melalui molekul IgG yang menempel pada
resepor Fc. IgIV mencegah kerusakan yang diperantarai komplemen. IgIV
dapat diberikan pada pasien infeksi HIV anak dengan dosis 100-400
mg/kg BB setiap 3 sampai 4 minggu. Efek samping penggunaan IgIV
jarang terjadi dan bersifat sembuh sendiri. Gejala efek samping yang
paling sering terjadi dalam satu jam pertama setelah infus dimulai adalah
sakit kepala, menggigil, mialgi, nyeri bokong, nausea, dan hipotensi,
namun reaksi anafilaksis jarang terjadi. Faktor transfer (FT) atau ekstrak
leukosit mempunyai fungsi sebagai imunostimulator. Faktor transfer dapat
diberikan pada kandidiasis mukokutan kronik dan koksidiodomikosis,
kedua penyakit tersebut sering merupakan infeksi oportunistik pada
acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Inosipleks yang lebih
dikenal dengan nama isoprinosin (ISO) merupakan bahan sintetis yang
mempunyai efek antivirus dan imunomodulator. Inosipleks berefek
merestorasi imunitas yang diperantarai sel yang terganggu serta
meningkatkan respons sistem imun humoral. Isoprinosin diduga pula
membantu produksi interleukin (IL)-2 yang berperan pada diferensiasi
limfosit, makrofag, dan peningkatan fungsi sel natural killer (NK). Sebagai
imunostimulator, ISO dapat meningkatkan sitotoksisitas sel NK serta
aktivitas sel T dan monosit. Isoprinosin dapat mengurangi intensitas gejala
penyakit, memperpendek durasi infeksi,berkurangnya kejadian
komplikasi, berkurangnya frekuensi, dan beratnya episode rekurensi.
Dosis yang biasa diberikan adalah 50mg/kg 6 BB/hari dan dapat dinaikkan

21
sampai 1-4 gram/hari. Pemakaian ISO selama dua tahun terus menerus
tidak menimbulkan efek samping. Efek samping yang kadang-kadang
dapat timbul adalah peningkatan asam urat plasma. Retinoid merupakan
bahan yang bersifat alamiah maupun sintetik yang struktur kimiawinya
berkaitan dengan vitamin A. Retinoid terikat pada reseptor tertentu dan
menimbulkan perubahan pada proliferasi epidermal dan efek
imunomodulator yang mempunyai persamaan dengan IFN. Retinoid
menunjukkan keberhasilan pada pengobatan dan pencegahan kanker
invasif maupun prakanker serviks dan vulva yang berkaitan dengan infeksi
HPV. Murabutide (MUR) adalah imunomodulator sintetik yang termasuk
muramil dipeptida (MDP) dapat meregulasi fungsi sel dalam
mempresentasikan antigen dan secara selektif mengaktivasi limfosit CD4,
sehingga mampu mensupresi replikasi HIV. Murabutid meningkatkan
resistensi individu terhadap infeksi virus, meningkatkan potensi antiviral
dan antitumor dari sitokin terapeutik. Terhadap HIV, MUR menghambat
replikasi virus pada makrofag dan sel dendritik yang terinfeksi. MUR
bersifat aman, tidak menginduksi reaksi inflamasi dengan toleransi
pemakai yang baik. Pemakaian secara luas masih diperlukan penelitian
dengan pemberian MUR dalam jangka waktu yang lebih lama.
Pemberian rejimen imunomodulator pada infeksi virus merupakan
pendekatan terapi yang atraktif, oleh karena efek samping lebih ringan
dibandingkan efek samping obat yang telah ada, selain itu lebih jarang
menimbulkan resistensi pada pengobatan penyakit akibat infeksi virus.
Beberapa imunomodulator yang telah digunakan antara lain
interferon, imiquimod, isoprinosin, imunoglobulin, interleukin. Saat ini
telah dikembangkan imunomodulator dari herbal. Penggunaan obat-obatan
tradisional di Indonesia sudah dikenal sejak lama dan makin populer
dengan makin berkembangnya obat tradisional. Meskipun masyarakat
sebagai konsumen mengakui adanya dampak positif dari konsumsi obat
tersebut, namun bukti ilmiah dari manfaatnya tetap diperlukan dan tidak
dapat dilupakan kemungkinan adanya efek samping penggunaan obat-obat
tersebut.

22
KESIMPULAN

1. Imunomodulator merupakan senyawa yang mengubah aktivitas sistem


imun tubuh dengan dinamisasi regulasi selsel imun seperti sitokin.
2. Cara kerja Imunomodulator meliputi mengembalikan fungsi imun
yang terganggu (imunorestorasi), memperbaiki fungsi sistem imun
(imunostimulasi) dan menekan respons imun (imunosupresi).
3. Sistem imun bila terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka ada dua
jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu: respon imun non
spesifik dan respon imun spesifik.
4. Imunomodulator adalah obat yang dapatmengembalikan dan
memperbaiki sistem imun yangfungsinya terganggu atau untuk
menekan yangfungsinya berlebihan.
5. Untuk meningkatkan sistim kekebalan tubuh dapat dilakukan dengan
banyak cara salah satunya melalui suplemen obat yang berfungsi
sebagai imunomodulator.
6. Interferon alfa mempunyai peran dalam menginduksi regresi awal dari
hemangioma pada bayi yang resisten terhadap kortikosteroid yang
membahayakan jiwa.
7. Beberapa imunomodulator yang telah digunakan antara lain interferon,
imiquimod, isoprinosin, imunoglobulin, interleukin. Saat ini telah
dikembangkan imunomodulator dari herbal.

23
DAFTAR PUSTAKA

IGA Kencana Wulan; Indropo Agusni. (2015). Penggunaan Imunomodulator


Untuk Berbagai Infeksi Virus Pada Kulit ( Immunomodulators for a Variety
of Viral infections of the Skin ). Bikkk, 63–39.
Puspitaningrum, I., Franyoto, Y. D., & Munisih, S. (2018). AKTIVITAS
IMUNOMODULATOR FRAKSI ETIL ASETAT DAUN SOM JAWA
(Talinum paniculatum (Jacq.) Gaertn) TERHADAP RESPON IMUN
SPESIFIK. JIFFK : Jurnal Ilmu Farmasi Dan Farmasi Klinik, 15(2), 48.
https://doi.org/10.31942/jiffk.v15i2.2566
Putra, B., Azizah, R. N., & Nopriyanti, E. M. (2020). Efek Imunomodulator
Ekstrak Etanol Herba Krokot (Portulaca oleracea L.) terhadap Tikus Putih
(Rattus norvegicus) Jantan dengan Parameter Delayed Type Hypersensitivity
(DTH). Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy) (e-
Journal), 6(1), 20–25. https://doi.org/10.22487/j24428744.2020.v6.i1.14106
Rusdi, M. S. (2021). Mini Review: Farmakologi pada Corona Virus Disease
(Covid-19). Lumbung Farmasi: Jurnal Ilmu Kefarmasian, 103, 54–61.
http://journal.ummat.ac.id/index.php/farmasi/article/view/3974
Subaryono, Perangiangin, R., Suhartono, M. T., & Zakaria, F. R. (2017). Aktivitas
Imunomodulator Oligosakarida Alginat ( OSA ) Yang Dihasilkan Dari
Alginat Asal Sargassum crassifolium. Jphpi, 20(1), 63–73.

24
LAMPIRAN

25

Anda mungkin juga menyukai