Anda di halaman 1dari 7

Bab 36

INFEKSI FUNGAL, INVASIF


Mikosis sistemik, seperti histoplasmosis, coccidioidomycosis, cryptococosis,
blastomycosis, paracoccidioidomycosis, dan sporotrichosis, disebabkan oleh fungi primer
atau “patogen” yang bisa menyebabkan penyakit pada individu normal dan
immunocompromised. Kontrasnya, mikosis karena fungsi oportunis seperti Candida
albicans, Aspergillus spp., Trichosporon, Torulopsis (Candida) glabrata, Fusarium,
Alternaria, dan Mucor umumnya ditemukan hanya pada inang immunocompromised.
 INFEKSI FUNGAL SPESIFIK
HISTOPLASMOSIS
 Histoplasmosis disebabkan oleh inhalasi debu dari mikrokonidia fungi dimorfik
Histoplasma capsulatum.
 Di AS, kebanyakan penyakit terjadi di Ohio dan lembah sungai Missisipi.
Tampilan Klinik
 Pada sejumlah besar pasien, paparan rendah terhadap inokulum H. capsulatum
menyebabkan histoplasmosis ringan atau asimtomatis. Penyakit awalnya benign
(ringan, jinak), dan simtom biasanya meringan dalam beberapa minggu onset. Pasien
yang terpapar inokulum lebih besar selama infeksi primer atau infeksi ulang bisa
mengalami kondisi akut yang hilang dengan sendirinya, dengan simtom pulmonal
seperti flu, termasuk demam, menggigil, sakit kepala, mialgia (=nyeri otot), dan batuk
kering.
 Histoplasma pulmonal kronik biasanya muncul sebagai infeksi oportunis yang
memperburuk kelainan struktural yang sebelumnya diderita seperti lesi dari
emphysema (= kerusakan kantong udara pada paru). Pasien menunjukkan simtom
pulmonal kronik dan lesi paru apikal yang berlanjut dengan inflamasi, pengerasan
granuloma, dan fibrosis. Perjalanan penyakit dalam periode tahunan, terlihat pada 25-
30% pasien, dihubungkan dengan kavitasi, bronchopleural fistulas, penyebaran ke
paru yang lain, gangguan fungsi pulmonal, dan kematian.
 Pada pasien yang terpapar inokulum dalam jumlah besar dan inang
immunocompromised, kondisi yang lebih buruk, histoplasmosis yang menyebar
terjadi. Tingkat keparahan dari empat bentuk histoplasmosis yang menyebar(Tabel
36-1) umumnya pararel dengan parasitisasi makrofage yang teramati.
 Acute (infant) disseminated histoplasmosis terlihat pada anak dan (jarang) pada
dewasa dengan penyakit Hodgkin atau gangguan limfoproliferatif lainnya. Kondisi ini
dicirikan dengan demam rendah; anemia; leukopeni atau trombositopeni; pembesaran
liver, spleen, dan nodus visceral limfoma; dan simtom saluran cerna, terutama mual,
muntah, dan diare. Penyakit yang tidak diatasi berakibat fatal dalam 1-2 bulan.
 Kebanyakan dewasa dengan histoplasmosis yang menyebar menunjukkan bentukan
ringan, kronik dari penyakit. Pasien yang tidak dirawat seringkali sakit selama 10-20
tahun, dengan periode asimtomatik panjang diselingi dengan serangan ulang.
 Pasien dewasa dengan AIDS menunjukkan bentukan akut dari kondisi penyebaran
yang mencerminkan sindrom yang terlihat pada anak.
Tabel 36-1
Diagnosis
 Identifikasi isolat mycelial dari biakan klinik bisa dibuat dengan konversi mycelium
ke bentuk ragi (butuh 3-6 minggu) atau yang lebih cepat (2 jam) dan 100% sensitif,
DNA probe.
 Pada kebanyakan pasien, bukti serologis tetap menjadi metode primer dalam
diagnosis histoplasmosis. Hasil yang diperoleh dari fiksasi komplemen,
immunodiffusion, dan uji aglutinasi antibodi oleh lateks antigen digunakan tunggal
atau dalam kombinasi.
 Pada pasien AIDS dengan histoplasmosis progresif yang menyebar, diagnosis paling
baik didapatkan dengan biopsi dan biakan sumsum tulang, yang memberikan hasil
biakan positif pada >90% pasien.
Perawatan
 Terapi yang dianjurkan untuk perawatan histoplasmosis dirangkum pada Tabel 36-1
 Pasien asimtomatik atau sakit ringan dan pasien dengan penyakit seperti sarkoid
(=pembesaran nodus limfoma di banyak bagian tubuh) pada umumnya tidak
mendapat manfaat dari terapi antifungal.
 Pada pasien AIDS, amphotericin B sebaiknya diberikan pada pasien yang
membutuhkan masuk rumah sakit. Itraconazole bisa digunakan untuk melengkapi
rangkaian terapi 12 minggu.
 Respon terhadap terapi sebaiknya diukur dengan resolusi dari parameter radiologi,
serologi, dan mikrobiologi dan perbaikan pada tanda dan simtom infeksi.
 Begitu terapi awal untuk histoplasmosis selesai, dianjurkan terapi supresif seumur
hidup dengan azoles oral atau amphotericin B (1-1,5 mg/kg tiap minggu atau tiap 2
minggu), karena seringnya serangan ulang infeksi.
 Tingkat serangan ulang pada pasien AIDS yang tidak menerima terapi penjagaan
adalah 50-90%.
BLASTOMYCOSIS.
 Blastomycosis di Amerika Utara adalah infeksi fungal sistemik yang disebabkan oleh
Blastomyces dermatitidis.
 Penyakit pulmonal mungkin terjadi dengan menghirup. Penyakit bisa akut atau kronik
dan bisa meniru infeksi dari tuberculosis, pyogenic (=terkait dengan atau
menghasilkan nanah)bacteria, fungi lain, atau keganasan.
Tampilan Klinik
 Blastomycosis pulmonal akut umumnya asitomatik atau akan sembuh dengan
sendirinya, dicirikan dengan demam, menggigil, dan batuk berdahak dan bernanah.
 Blastomikosis pulmonal bisamuncul sebagai kondisi kronik atau subakut, dengan
demam rendah, berkeringat di malam hari, berat badan turun, dan batuk berdahak
yang lebih menyerupai tuberkulosis daripada pneumonia bakterial.
 Blastomikosis pulmonal kronik dicirikan dengan demam, malaise (=kondisi sangat
lemah, lelah yang tidak jelas penyebabnya), berat badan turun, berkeringat di malam
hari, dan batuk.
Diagnosis
 Metode termudah dan sangat berhasil dalam diagnosa blastomikosis adalah
visualisasi mikroskopik langsung pada ragi besar, banyak inti dengan tunas(???) lebar
pada sputum atau spesimen respratori lainnya, setelah penghancuran sel dan debris
dengan 10% kalium hidroksida.
 Pemeriksaan histopatologi dari biopsi jaringan dan biakan sekresi sebaiknya
digunakan untuk identifikasi B. dermatitidis.
Perawatan
 Blastomikosis pulmonal akut bisa tidak membutuhkan terapi pada pasien dengan
penyakit ringan, tapi pasien harus diawasi seksama selama beberapa tahun untuk
melihat reaktivasi atau memburuknya penyakit.
 Beberapa penulis menyarankan terapi ketoconazole untuk perawatan penyakit
pulmonal yang sembuh sendiri, dengan harapan mencegah penyakit ekstrapulmonal
lanjutan.
 Ketoconazole tampaknya sama efektif dengan amphotericin B untuk blastomikosis
yang tidak mengancam jiwa, nonmeningeal, ringan sampai sedang pada inang dengan
imunitas normal. Dosis 800 mg/hari ketoconazole lebih efektif dari 400 mg/hari.
Itraconazole, 200-400 mg/hari, merupakan alternatif yang efektif.
 Pasien dengan penyakit sistem saraf pusat dan mereka dengan penyakit
ekstrapulmonal membutuhkan terapi ketoconazole 400 mg/hari oral selama 6 bulan.
Penyakit SSP sebaiknya dirawat dengan amphotericin B sampai dicapai dosis
kumulatif >1 g.
 Pasien terinfeksi HIV sebaiknya menerima terapi induksi dengan amphotericin B dan
terapi supresif kronik dengan antifungal azole oral. Itraconazole adalah obat terpilih
untuk histoplasmosis yang tidak mengancam jiwa.
COCCIDIOIDOMYCOSIS
 Coccidioidomycosis disebabkan infeksi Coccidioides immitis. Area endemik meliputi
area tenggara AS dari Caifornia sampai Texas.
Tampilan klinik.
 Kebanyakan mereka yang terinfeksi asimtomatik atau mempunyai simtom yang non-
spesifik yang sering tidak bisa dibedakan dari infeksi saluran pernafasan atas yang
biasa ditemukan, termasuk demam, batuk, sakit kepala, inflamasi pada tenggorokan,
mialgia, dan fatigue (=kelelahan).
 “Valley fever” adalah sindrom yang dicirikan dengan erythema nodosum dan
erythema multiforme pada tubuh bagian atas dan ekstremitas yang dihubungkan
dengan nyeri sendi atau demam. Valley fever muncul pada sekitar 25% orang yang
terinfeksi meski, yang lebih umum, erythoderma ringan atau maculopapular rash bisa
teramati.
 Coccidioidomycosis pulmonal bisa juga muncul sebagai pneumonia akut atau
berkembang menjadi pneumonia kronik dengan komplikasi hemoptysis (=batuk
berdarah), pulmonary scarring, dan pembentukan rongga bronchopleural fistula.
 Infeksi yang menyebar terjadi pada <1% pasien yang terinfeksi. Penyebaran bisa
muncul di kulit, nodus limfoma, tulang, meninges, spleen, liver, ginjal, dan kelenjar
adrenal.
Diagnosis
 Kebanyakan pasien uji kulitnya positif dalam 3 minggu onset simtom.
 Infeksi dicirikan dengan terbentuknya IgM untuk C. immitis, yang puncaknya dalam
2-3 minggu infeksi lalu turun dengan cepat, dan IgG, puncak dalam 4-12 minggu dan
turun dalam bulan sampai tahun.
 Hilangnya C. immitis pada jaringan yang terinfeksi atau sekret pada pemeriksaan
langsung dan biakan memberikan metode diagnosis yang cepat dan akurat.
Perawatan
 Hanya 5% pasien yang terinfeksi yang membutuhkan terapi. Kandidat untuk terapi
termasuk mereka dengan infeksi pulmonal parah atau adanya faktor resiko (seperti,
infeksi HIV, transplantasi organ, atau glukokortikoid dosis tinggi), terutama pasien
dengan titer antibodi fiksasi komplemen yang tinggi dimana sangat mungkin terjadi
penyebaran infeksi.
 Perawatan untuk penyakit pernafasan primer (terutama pasien simtomatik) temasuk
antifungal azole oral selama 3-6 bulan rangkaian terapi.
 Hampir semua pasien dengan penyakit di luar paru sebaiknya menerima azole oral
400 mg per hari, dengan amphotericin B sebagai alternatif.
 Fluconazole telah menjadi obat terpilih untuk perawatan coccidioidal meningitis
(dosis minimum 400 mg.hari).
CRYPTOCOCCOSIS
 Cryptococcosi adalah infeksi sistemik tidak menular yang disebabkan oleh ragi tanah
Cryptococcus neoformans yang terdapat dimana-mana.
Tampilan klinik
 Cryptococcal primer pada manusia hampir selalu terjadi di paru. Infeksi simtomatik
biasanya dimanifestasikan dengan batuk, rales, dan bernafas pendek, yang biasanya
sembuh sendiri.
 Penyakit bisa tetap di paru atau menyebar ke jaringan lain, terutama SSP, meski kulit
juga bisa terinfeksi.
 Pada pasien non-AIDS, simtom cryptococcal meningitis adalah non-spesifik. Sakit
kepala, demam, mual, muntah, perubahan status mental, dan leher kaku umum
teramati.
 Pada pasien AIDS, demam dan sakit kepala umum, tapi meningismus dan
photophobia lebih jarang dari pasien non-AIDS.
Diagnosis
 Pemeriksaan cairan serebrospinal pada pasien dengan cryptococcal meningitis
biasanya menunjukkan peningkatan tekanan pembukaan, pleocytosis (=banyaknya sel
daraha putih di) cairan serebrospinal (biasanya limfosit), leukositosis, penurunan
kadar glukosa cairan serebrospinal, peningkatan kadar protein cairan cerebrospinal,
dan psotif untuk antigen cryptococcal.
 Antigen untuk C. neoformans bisa dideteksi dengan aglutinasi lateks.
 C. neoformans bisa dideteksi pada sekitar 60% pasien dengan pemeriksaan
mikroskopis cairan serebrospinal dengan pewarnaan tinta India dan >96% pasien
dengan biakan.
Perawatan
 Perawatan cryptococcial secara rinci pada Tabel 36-2
 Untuk individu asimtomatik dengan kondisi imun normal dengan penyakit hanya
pada pulmonal, diperlukan observasi seksama. Pada infeksi simtomatik bisa diberikan
fluconazole atau amphotericin B.
 Kombinasi amphotericin B dengan flucytocine selama 6 minggu sering digunakan
untuk perawatan cryptococcal meningitis. Alternatif adalah amphotericin B selama 2
minggu diikuti fluconazole untuk 8-10 minggu tambahan.
 Penggunaan amphotericin B intratekal tidak dianjurkan untuk perawatan cryptococcal
meningitis kecuali pada pasien yang sangat sakit atau mereka dengan penyakit yang
memburuk atau berulang meski sudah mendapat amphotericin B secara agresif. Dosis
amphotericin B biasanya 0,5 mg diberikan melalui rute lumbar, cisternal, atau
intraventricular (melalui reservoir Ommaya) dua atau tiga kali seminggu.
Tabel 36-2
 Amphotericin B dengan flucytosine adalah perawatan awal terpilih untuk terapi akut
cryptococcal meningitis pada pasien AIDS. Banyak klinisi akan memulai terapi
dengan amphotericin B 0,7 mg/kg per hari IV (dengan flucytosine 100 mg/kg per
hari). Setelah 2 minggu, terapi konsolidasi dengan fluconazole bisa diberikan selama
8 minggu atau sampai biakan cairan serebrospinal negatif. Lalu dianjurkan terapi
seumur hidup dengan fluconazole (atau itraconazole).
 Serangan ulang meningitis C. neoformans terjadi pada sekitar 50% pasien AIDS
setelah selesainya terapi primer. Fluconazole (200 mg per hari) saat ini dianjurkan
penggunaannya untuk terapi supresif kronik cryptococcal meningitis pada pasien
AIDS.
 INFEKSI CANDIDA
Delapan spesies Candida yang dianggap sebagai patogen pada penyakit manusia: C.
albicans, C. tropicalis, C. parapsilosis, C. krusei, C. stellatoidea, C. guilliermondi, C.
lusitaniae, dan C. glabrata.
CANDIDIASIS HEMATOGENUS
 Kandidiasis hematogenus adalah kondisi klinik dimana tunas menyebar menuju organ
dalam seperti mata, otak, jantung, dan ginjal.
 Tiga tampilan yang jelas dari penyebaran C. albicans: (1) onset akut dari demam,
takikardi, takipnea, dan terkadang menggigil atau hipotensi (serupa dengan sepsis
bakterial); (2) demam yang berselingan;(3) memburuknya penyakit dengan atau tanpa
demam.
 Belum ada uji yang menunjukkan akurasi yang bisa diandalkan untuk diagnosis
penyebaran infeksi Candida. Biakan darah positif pada hanya sekitar 25-45% pasien
netropeni.
 Perawatan kandidiasis pada Tabel 36-3
 Pemberian fluconazole, 400 mg sehari, sama efeknya dengan amphotericin B IV 0,5-
0,6 mg/kg per hari, pada pasien non-netropeni dengan biakan darah untuk C.
albicans. Karena fluconazole mempunyai aktivitas yang jelek terhadap Aspergillus
sp., dan beberapa galur non-albicans dari Candida, amphotericin B tetap menjadi
pilihan terapi pada pasien yang dicurigai dengan fungemia. Perawatan sebaiknya
dilanjutkan sampai 2 minggu setelah biakan darah positif yang terakhir dan perbaikan
tanda dan simtom infeksi.
 Pada pasien dengan sistem imun yang utuh, sebaiknya dilakukan pemindahan semua
kateter vena sentral.
 Saat ini, kebanyakan klinisi menganjurkan amphotericin B dalam dosis total 0,5-1 g
yang diberikan selama sekitar 1-2 minggu pada pasien dengan endophthalmitis
Candida dan pada semua pasien netropeni dengan candidemia. Fluconazole bisa
sama efektifnya dengan amphotericin B.
 Banyak klinisi menganjurkan pemberian awal amphotericin B pada pasien dengan
netropeni dan demam yang bertahan (>5-7 hari).
CANDIDURIA
 Dalam saluran urin, kebanyakan lesi yang terjadi adalah cystitis (=inflamasi kandung
kemih) Candida atau abses renal yang menyebar. Pada kebanyakan pasien, infeksinya
asimtomatik dan hilang dengan spontan tanpa terapi antifungal spesifik.
Tabel 36-3
 Terapi awal cystitis kandida sebaiknya dipusatkan pada pemindahan kateter urinari
kapanpun memungkinkan. Jika ini sulit dilakukan, irigasi lokal bisa dilakukan.
Kandiduria asimtomatik jarang membutuhkan terapi.
 Fluconazole, 200 mg sehari selama 14 hari, bisa digunakan dengan pemindahan
kateter.
 Amphotericin B (50 mg dalam 500 ml aqua steril) dimasukkan dua kali sehari ke
kandung kemih melalui three-way catheter hanya efektif untuk sesaat.
 INFEKSI ASPERGILLUS
 Dari sekitar 300 spesies Aspergillus, tiga patogenik yang paling umum: A. fumigatus,
A. flavus, A. niger.
 Aspergillosis umumnya didapat dengan inhalasi konidia di udara yang cukup kecil
(2,5-3 mm) untuk mencapai alveoli atau sinus paranasal.
INFEKSI SUPERFISIAL
 Infeksi superfisial atau invasif setempat pada telinga, kulit, atau appendage bisa
ditangani dengan terapi antifungal topikal.
ALERGI ASPERGILLOSIS BRONKOPULMONAL
 Manifestasi alergi dari Aspergillus berkisar dari asma ringan sampai alergi
bronchopulmonary aspergillosis (BPA) yang dicirikan dengan asma parah dengan
wheezing, demam, malaise, berat badan turun, nyeri dada, dan batuk berdahak dengan
sputum bercampur darah.
 Terapi ditujukan untuk memperkecil jumlah material antigenik yang dilepaskan di
area trakeabronkial.
 Terapi antifungal umumnya tidak diindikasikan pada penanganan manifestasi alergi
dari aspergillosis, meski beberapa pasien menunjukkan penurunan dosis
glukokortikoid setelah terapi dengan itraconazole.
ASPERGILLOMA
 Pada imun immunocompromised, infeksi Aspergillus pada sinus umumnya terjadi
sebagai kolonisasi saprofit (aspergilloma, atau “bola jamur”) pada jaringan sinus yang
sebelumnya abnormal. Perawatan terdiri dari pemindahan aspergilloma. Terapi
dengan glukokortikoid dan operasi umumnya berhasil.
 Meski amphotericin B IV umumnya tidak berguna pada pemusnahan aspergilloma,
pemasukan amphotericin B melalui rute intracavitary terbukti sukses pada sejumlah
terbatas pasien. Hemoptysis umumnya hilang setelah pemusnahan aspergilloma.
ASPERGILOSIS INVASIF
 Pasien sering mempunyai tanda dan simtom klasik dari emboli pulmonal: nyeri dada
pleuritik, demam, hemoptysis, a friction rub, dan infiltrat berbentuk wedge yang
terlihat pada radiograf dada.
Diagnosis
 Adanya Aspergillus dengan biakan berulang dan pemeriksaan mikroskopis jaringan
memberikan diagnosis paling akurat.
 Pada inang immunocompromised, aspergillosis dicirikan dengan invasi vaskular yang
menyebabkan trombosis, infark, dan nekrosis jaringan.
 Uji serologis (immunoprecipitation, immunodiffusion, dan
counterimmunoelectrophoresis) untuk mendeteksi produksi antibodi terhadap
Apergillus secara umum hanya berguna pada diagnosa alergi BPA dan aspergilloma.
Perawatan
 Terapi antifungal sebaiknya dilakukan pada kondisi berikut: (1) demam yang
bertahan atau sinusitis yang tidak merespon terapi antimikroba; (2) bintik hitam pada
hidung, sinus, atau langit-langit mulut; (3) adanya temuan radiologis yang khusus,
termasuk infarcts bentuk wedge, densitas nodular, atau lesi kavitas baru; atau (4)
semua manifestasi klinik yang menandakan adanya penyakit sinus cavernus atau
kejadian vaskular akut yang dihubungkan dengan demam, isolasi Aspergillus sp.dari
sekret nasal atau saluran pernafasan bisa menjadi bukti pengkonfirmasi untuk semua
tanda klinik di atas.
 Amphoterisin B IV tetap menjadi terapi terpilih, paling tidak menjadi terapi awal,
pada pasien dengan penyakit akut. Karena Aspergillus memiliki kepekaan sedang
terhadap amphotericin B, dosis penuh (1-1,5 mg/kg per hari) umumnya dianjurkan,
dengan respon yang diukur dengan turunnya demam dan tidak ditemukan apapun
pada pemeriksaan radiografi. Formulasi dengan basis lipid disukai sebagai terapi awal
pada pasien dengan fungsi renal marginal atau pada pasien yang menerima obat
nefrotoksik lain.
 Itraconazole sebaiknya menjadi agen sekunder untuk pasien yang tidak mentolerir
atau tidak merespon amphotericin B dosis tinggi. Jika itraconazole digunakan, dosis
awal 200 mg tiga kali sehari dengan makanan selama 2-3 hari bisa diberikan, diikuti
itraconazole 200 mg dua kali sehari dengan makanan, selama minimal 6 bulan.
 Caspofungin diindikasikan untuk perawatan aspergillosis invasif pada pasien yang
refrakter atau tidak bisa mentolerir terapi lain seperti amphotericin B dan/atau
itraconazole.
 Penggunaan terapi profilaksis antifungal untuk mencegah infeksi primer atau
reaktivasi aspergillosis selama menjalani kemoterapi masih menjadi kontroversi.

Anda mungkin juga menyukai