Anda di halaman 1dari 38

1

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru. Pneumonia dapat
disebabkan berbagai spesies bakteri, mikoplasma, klamidia, riketsia, virus, fungi
dan parasit. Pneumonia bukan penyakit tunggal melainkan sekelompok infeksi
spesifik yang masing-masing dengan epidemiologi, patogenesis, gambaran klinis
dan perjalanan klinis yang berlainan. Identifikasi mikroorganisme yang menjadi
penyebabnya sangat penting karena sifat infeksi tersebut yang serius dan pasien
umumnya memerlukan terapi antimikroba yang harus segera diberikan sebelum
kepastian mikroorganisme penyebabnya ditentukan melalui hasil pemeriksaan
laboratorium. Etiologi mikroba yang spesifik masih membingungkan pada sekitar
sepertiga pasien, misalnya jika tidak terdapat sputum untuk pemeriksaan, hasil
kultur darahnya steril dan tidak terdapat cairan pleura. Pilihan awal terapi
antimikroba seringkali dilakukan secara empiris berdasarkan keadaan ketika
infeksi tersebut didapat, gambaran klinis, corak abnormalitas pada hasil foto
toraks, hasil pewarnaan sputum atau cairan tubuh yang terinfeksi lainnya dan
pengetahuan mengenai pola kerentanan pasien terhadap berbagai preparat
antimikroba. Setelah mikroorganisme penyebabnya diketahui, terapi antimikroba
yang khusus dapat dipilih.
1






3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Drfinisi
Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja. ISNBA
dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering adalah dalam bentuk pneumonia.
Pneumonia ini dapat terjadi secara primer atau merupakan tahap lanjutan
manifestasi ISNBA lainnya misalnya sebagai perluasan bronkieaktasis yang
terinfeksi.
1,2
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat. Pada pemeriksaan histologis terdapat pneumomitis atau reaksi inflamasi
berupa alveolitis dan pengumpulan eksudat yang berlangsung dalam jangka waktu
yang bervariasi. Istilah pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh
proses infeksi akut yang merupakan penyebab yang tersering, sedangkan istilah
pneumolitis sering dipakai untuk proses non infeksi. Bila proses infeksi teratasi,
terjadi resolusi dan biasanya struktur paru normal kembali. Namun pada
pneumonia nekrotikans yang disebabkan antara lain oleh staphylococcus atau
kuman Gram negatif terbentuk jaringan parut atau fibrosis.
3
Secara klinis, dagnosis pneumonia didasarkan atas tanda-tanda kelainan
fisik dan adanya gambaran konsolidasi pada foto dada. Namun diagnosis lengkap
4
haruslah mencakup diagnosis etiologi dan anatomi. Pendekatan diagnosis ini
harus didasarkan kepada pengertian patogenesis penyakit hingga diagnosis yang
dibuat mencakup bentuk manifestasi, bertanya proses penyakit dan etiologi
pnumonia. Cara ini akan mengarahkan dengan baik kepada terapi empiris dan
pemilihan anti biotic yang paling sesuai terhadap mikroorganisme penyebabnya.
2
Pneumonia komunitas (PK) adalah infeksi akut pada parenkim paru pada
individu yang tidak dirawat di rumah sakit atau tinggal di fasilitas perawatan
jangka panjang sebelum timbulnya gejala. Pneumonia nosokomial (PN) adalah
pneumonia yang terjadi > 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit baik di
ruang rawat umum ataupun ICU tetapi tidak sedang memakai ventilator.
Pneumonia yang berhubungan dengan pemakaian ventilator (PBV) adalah
pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal.
3
2.2 Epidemiologi
Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru
praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran nafas yang terjadi di
masyarakat (pneumonia komunitas/PK) atau di dalam rumah sakit (pneumonia
nosokomial/PN). Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah
akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%. Pneumonia
nosokomial di ICU lebih sering daripada diruangan umum yaitu 42%: 13% dan
sebagian besar yaitu sejumlah 47 terjadi pada pasien yang menggunakan alat
Bantu mekanik. Kelompok pasien ini merupakan bagian terbesar dari pasien yang
meninggal di ICU akibat PN.
5,6
5
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007, menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka
nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%,
angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5%.

Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang
jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati
adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh.

Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang yang lanjut usia dan
sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi
pada pasien dengan penyakit yang lain seperti diabetes mellitus (DM), gagal
jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit syaraf
kronik dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain adalah kebiasaan
merokok, pasca infeksi virus, diabetes mellitus, imunodefisiensi, kelainan atau
kelemahan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan
invasive seperti infus, intubasi, trakeostomi, atau pemasangan ventilator. Perlu di
teliti juga factor lingkungan khususnya tempat kediaman misalnya panti jompo,
pengguanaan antibiotic, dan obat suntik IV.
4,5
2.3 Patogenesis
Pengertian epidemiologi dan patogenesis serta perkembangan antibiotik
memberikan sumbangan yang besar pada pengelolaan penyakit paru. Patogenesisi
pneumonia mencakup interaksi antara mikroorgaisme (MO) penyebab yang
masuk melalui berbagai jalan, dengan daya tahan tubuh pasien. Proses pneumonia
terutama dapat mengenai interstisium atau alveoli. Terlibatnya seluruh lobus
6
disebut pneumonia lobaris. Bila proses terbatas pada alveoli kemudian menyebar
secara berdekatan dengan ke bronkus, disebut bronkopneumonia.
3,4
Bakteri penyebab bila terhisap ke paru perifer melalui saluran napas
menyebabkan reaksi jaringan berupa edema, yang mempermudah proliferasi dan
penyebaran kuman. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu
terjadinya sebukan sel PMN (polimorfonuklear), fibrin, eritrosit, cairan edema dan
kuman di alveoli. Proses ini termasuk dalam stadium hepatisasi merah, sedangkan
stadium hepatisasi kelabu adalah kelanjutan proses infeksi berupa deposisi fibrin
ke permukaan pleura. Ditemukan pula fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan
proses fagositosis yang cepat, dilanjutkan stadium resolusi dengan peningkatan
jumlah sel makrofag di alveoli, degenerasi sel dan menipisnya fibrin, serta
menghilangnya kuman dan debris.
5
Proses kerusakan yang terjadi dapat dibatasi dengan pemberian antibiotik
sedini mungkin agar sistem bronkopulmonal yang tidak terkena dapat
diselamatkan
2.4 Etiologi
ISNBA dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, tersering
disebabkan oleh bakteri. Kuman penyebab pneumonia yang tersering dijumpai
berbeda jenisnya di suatu negara, dan antara satu daerah dengan daerah lain pada
satu negara, di luar RS dan di dalam RS, antara RS besar/tersier dengan RS yang
lebih kecil. Karena itu perlu diketahui dengan baik epidemiologi kuman di suatu
tempat.
6,7
7
Diketahui berbagai pathogen yang cenderung dijumpai pada faktor resiko
tertentu misalnya H. influenza pada pasien perokok, patogen atipikal pada lansia,
gram (-) pd pasien rumah jompo, PPOK, penyakit jantung, pasca terapi AB
spektrum luas. Ps. aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid (>10
mg/hari), malnutrisi dan imunosupresi disertai lekopeni.
5
Pada PK rawat jalan jenis patogen tidak diketahui 40% kasus, dilaporkan
adanya Str. Pneumoniae 9-20%, M. pneumoniae 13-37%, Chlamydia
pneumoniae 17%. Pada PK rawat inap di luar ICU , 20-70% tdk diketahui, Str.
Pneumoniae 20-60%, H. influenza 3-10%, dan S. aureus, gram (-) enterik, M.
pneumonia, C. pneumoniae legionella dan virus sp 10%. Patogen pada PK rawat
inap ICU , 50-60% tdk diketahui, 33% Str. Pneumoniae. Rumah jompo, S. aureus
resisten methisilin, gram (-), M. tuberculosis, virus tertentu, dan influenza.
10
PN juga tersering disebabkan oleh bakteri. Kuman penyebabnya sering
berbeda jenisnya antara ruangan biasa dengan ruangan perawatan intensif (ICU)
tergantung pada 3 faktor : tingkat berat sakit, ada risiko untuk jenis patogen
tertentu, dan masa menjelang timbul onset pneumonia.
PN bakteri dapat dibagi atas PN awitan awal dalam waktu kurang dari 3
hari yang kumannya sering pula di dapat di luar RS, biasanya disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae (5-10%), M. Catarrhalis (<5%) dan H. Influenzae, PN
awitan lanjut bila lebih dari 3 hari, sering disebabkan oleh kuman Gram negatif
aerob sebesar 60%, berupa P. aeruginosa, Enterobacter spp. K. pneumoniae,
Seratia spp; S. aereus (20-25%). Kelompok kedua biasanya merupakan kuman
8
yang resisten terhadap antibiotik. Kuman anaerob dapat menjadi penyebab pada
kedua kelompok (35%).
10
Tabel 1. Faktor risiko utama untuk pathogen pada PN
Patogen Faktor Risiko
Staphylococcus aureus Koma,cedera
kepala,influenza,pemakaian obat
IV,DM,gagal ginjal
Methicilin resisten S. aureus Pernah dapat AB, ventilator > 2
hari, lama dirawat di ICU, terapi
steroid/AB
Ps. Aeruginosa Kelainan struktur paru
(bronkiektasis,kistik fibrosis),
malnutrisi
Anaerob Aspirasi, selesai operasi
abdomen
Acinobacter spp. Antibiotik sebelum onset
pneumonia dan ventilasi
mekanik
Sumber : Pneumonia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI
Pada waktu akhir-akhir ini sejumlah kuman baru/oportunis telah
menimbulkan infeksi pada pasien dengan kekebalan tubuh yang rendah, isalnya
Legionella, Chlamydia trachomatis, M. atypical, berbagai jenis jamur (C.
albicans, Aspergilus fumigatus) dan virus.
2.5 Gambaran Klini dan Klasifikasi
Gambaran klinis pneumonia bervariasi berdasarkan faktor-faktor infeksi
yang berperan pada pasien. Karena itu perlu dibuat klasifikasi pneumonia.
Terdapat berbagai klasifiksai pneumonia, namun yang terbaik adalah klasifiksai
klinis yang mengarahkan kepada diagnosis dan terapi secara empiris dengan
mempertimbangkan faktor-faktor terjadinya infeksi yaitu faktor lingkungan
9
pasien, keadaan imunitas pasien, dan mikroorganisme. Klasifikasi bisa
berdasarkan kepada 1, 2 atau 3 faktor di atas, atau mengaitkannya dengan data-
data klinis, epidemiologis, dan pemeriksaan penunjang.
2.5.1 Klasifikasi Etiologi
Dibagi atas
1. Bakterial : Streptococcus pneumoniae, H. influenzae, L. pneumophilia,
Klebsiella, Pseudomonas, E. coli, Mycoplsama, Chlamydia, dll.
2. Nonbakterial : tuberculosis, virus, fungi dan parasit.
Pembagian pneumonia ini tidak mempertimbangkan gambaran
klinisnya. Cara ini bermanfaat dari aspek patologi-anatomi, namun
kurang bermanfaat secara klinis karena kuman penyebab datang PN
belum diketahui pada saat pasien datang dan memerlukan terapi
2.5.2 Klasifikasi Klinis
1. Klasifikasi dari radiologis dan gejala klinis.
Dibagi atas :
a. Pneumonia tipikal, didapatkan tanda-tanda pneumonia
lobaris yang klasik antara lain berupa awitan yang akut dengan gambaran
radiologis berupa opasitas lobus atau lobularis, dan disebabkan kuman
yang tipikal terutama S. pneumoniae, Klebsiella pneumoniae atau H.
influenzae.
10
b. Pneumonia atipikal, ditandai oleh gangguan respirasi yang
meningkatkan lambat dengan gambaran inflirat paru bilateral yang difus.
Biasanya disebabkan organisme yang atipikal dan termasuk Mycoplasma
pneumoniae, virus, Legionella pneumophila, Chlamydia psittaci dan
Coxiella burnetti. Di negara Bara mikroorganisme Mikoplsama adalah
prototype penyebab pneumonia atipikal, disamping menyebabkan penyakit
saluran napas atas dan penyakit di luar paru antara lain pada kulit, susunan
saraf pusat, darah jantung dan sendi-sendi. Mikoplasma menjadi penyebab
pada 15-20% pneumonia, bahkan mencapai 60% pada usia sekolah dan
dewasa muda. Dapat juga terjadi infeksi pada usia di atas 60 tahun.
Klasifikasi ini praktis tidak digunakan lagi karena disadari bahwa
gambaran klinis radiologis, atau Laboraturium dari berbagai pneumonia
saling tumpang tindih dan pada klasidikasi ini tidak tercakup pneumonia
yang gambarannya tidak khas.
2.5.3. Klasifikasi berdasarkan faktor lingkungan
Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan faktor lingkungan
Tipe Klinis Epidemiologi
Pneumonia komunitas Sporadis atau endemic; muda
atau orang tua.
Pneumonia nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia rekurens Terdapat dasar penyakit paru
kronik
Pneumonia aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada
gangguan imun
Pada pasien transpalansi,
onkologi, AIDS
11
(Sumber: Pneumonia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI)
Klasifikasi dengan cara ini dapat diperkirakan etiologi pneumonia secara empirik.
1. Pneumonia bakerial (sindrom klinis pneumonia bacterial) diketahui bahwa
kuman kelompok bacteria tertentu memberikan gambaran klinis pneumonia yang
akut dengan konsolidasi paru, dapat berupa:
a. Pneumonia bacterial tipe tipikal yang terutama mengenai parenkim paru
dalam bronkopneumonia dan pneumonia lobar.
b. Pneumonia bacterial tipe campuran (mixed type) dengan prosentasi
klinis atipikal yaitu perjalanan penyakit yang lebih ringan (insidious)
dan jarang disertai konsolidasi paru. Biasanya pada pasien dengan
penyakit kronik.
2. Pneumonia non bacterial.
Dikenal pneumonia atipikal yang disebabkan oleh Mycoplasma,
Chlamydia pneumoniae atau Legionella. Kemudian istilah sindrom pneumonia
atipikal dipakai untuk merangkum pula bentuk lain dengan ciri-ciri gambaran
klinis yang beraneka ragam dan gambaran radiologis yang menyimpang dari
normal, refrakter terhadap terapi antibiotik stadar, lambat dalam
penyembuhannya, dan mempunyai tendesi untuk kambuh, yaitu yang disebabkan
oleh mikobakterium, jamur, virus atau mikroorganisme lain, dan penyakit
peradangan paru yang bukan infeksi, termasuk tumor. Pada PK yang terjadi
pada orang sehat (primer) atau usia muda terutama dijumpai pneumonia tipikal
12
atau antipikal, tetapi pada PK dengan penyakit paru kronik atau kelainan dasar
(sekunder) dan pada PN terutama di jumpai tip campuran.
Foto thorax saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia
lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukan konsolidasi
yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus

1.Pneumonia Lobaris
Pada peumona lobaris di dapatkan gambaran :
konsolidasi pada satu segmen/lobus (lobus kanan bawah PA maupun lateral) atau
bercak yang mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya
ditemukan pada pneumonia jenis ini.

Gambar 2. Foto Thorax Pneumonia Lobaris.
3






13

CT Scan pada apneumonia lobaris menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas
kiri sampai ke perifer.

Gambar 3. CT Scan Pneumonia Lobaris

1. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)
Pneumonia yang terjadi pada bronkiolus yang dapat tersumbat oleh
eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus.
Pada gambar 4 tampak konsolidasi tidak homogen di lobus atas kiri dan lobus
bawah kiri.
3


Gambar 4. Foto thorax pneumonia lobularis

14
Pada hasil CT Scan pneumonia lobularis di dapaatkan gambaran
opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak menjalar sampai
perifer.

Gambar 5. CT Scan pneumonia lobularis
3


2. Pneumonia Interstisial
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial
prebronkial. Terdapat gambaran berupa bayangan udara pada alveolus
yang tidak merata.

15
Gambar 6. Foto Thorax pneumonia intertisial
5

Pada CT Scan pneumonia intertisial akan berkembang menjadi
bronkiektasis atau bronkiolektasis.

2.5.4 Manifestasi Klinik
Secara umum dapat dibagi menjadi:
a. manifestasi nonspesifik infeksi ini dan toksisitas berupa demam, sakit
kepala, iritabel, gelisah, malaise, nafsu makan kurang, keluhan
gastrointestinal.
b. Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipnu,
akspektorasi sputum, napas cuping hidung, sesak napas, merintih, dan
sianosis. Penderita pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri.
c. Tanda pneumonia berupa retraksi, perkusi pekak, fremitus melemah,
suara napas melemah, dan ronki.
d. Tanda efusi pleura atau empiema berupa gerak ekskursi dada tertinggal
di daerah efusi, perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas
melemah, suara napas tubuler tepat diatas batas cairan, friction rub,
16
nyeri dada karena iritasi pleura (nyeri berkurang bila efusi bertambah
dan berubah menjadi nyeri tumpul), kaku kuduk/meningismus (iritasi
meningen tanpa inflamasi) bila terdapat iritasi pleura lobus atas, nyeri
abdomen (kadang terjadi bila iritasi mengenai diafragma pada
pneumonia lobus kanan bawah).
2.6 Penegakan Diagnosis
Diagnosis klinis pneumonia bergantung kepada penemuankelainan fisis
atau bukti radiologis yang menunjukkan konsuidasi. Klasifikasi diagnosis klinis
pada masa kini dilengkapi faktor patogenesis yang berperan (lingkungan, kuman
penyebab). Diagnosis dan terapi pneumonia atau ISNBA umumna dapat
ditegakkan berdasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis
yang diteliti dan pemeriksaan penunjang.
9
2.6.1 Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang
berhubungan dengan faktro infeksi :
a. Evalusai faktor pasien/presdiposisi: PPOK (H. influenzae), penyakit kronik
(kuman ganda), kejang/tidak sadar aspirasi Gram negatif), anaerob),
penuunan imunitas (kuman Gram negatif), Pneumocystic carinil, CMV,
Legionella, jamur, Mycobacterium), kecanduan obat bius (Staphylococcus)
b. Bedakan lokasi infeksi : PK (Stretococcus pneumoniae, H, inflenszae, M.
pneumoniae); rumah jompo, Pn, (Staphylococcus aereus; Gram negatif.
c. Usia pasien: bayi (virus), muda (M, pneumoniae), dewasa (S, pneumoniae)
17
d. Awitan; cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S. pneumoniae);
perlahan dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae).
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis.
Perhatikan gejala klinis yang mengarah tipe kuman penyebab/patogenitas
kuman dan tingkat berat penyakit:
a. Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. pneumoniae,
Streptococcus spp. Staphyloccus. Pneumonia virus ditandai dengan
mialgia, malaise, batuk kering dan nonproduktif. Awitan lebih
insidious dan ringan pada orang tua/imunitas menurun akibat
kuman yang kurang patogen/oportunistik, misalnya; Klebsiella,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anero, jamur.
b. Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berua
demam, sesak napas, tanda-tanda Konsulidasi paru (perkusi paru
yang peka, ronki nyaring, suara pernapasan bronchial). Bentuk
klasik pada PK primer berupa bronkopneumonia, pneumonia
lobaris atau pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas
dijumapi pada PK sekunder ataupun PN. Dapat diperoleh bentuk
manifestasi lain infeksi paru seperti efusi pleura,
pneumotoraks/hidropneumotoraks. Pada pasien PN atau dengan
gangguan imun dapat dijumpai gangguan kesadaran oleh hipoksia.
c. Warna, konsistensi, dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan.
18
2.6.3 Pemeriksaan penunjang
2.6.3.1 Pemeriksaan radiologis
Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air
bronchogram (airspace disease) misalnya oleh Streptococcus pneumoniae;
bronkopneumonia (Segmental disease) oleh antara lain Staphylococcus, virus atau
mikoplasma; dan pneumonia interstisial (interstitial disease) oleh virus dan
mikoplasma. Distribusi infiltrat pada segmen apical lobus bawah atau interior
lobus bawah atau inferior lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada
pasien yang tidak sadar, lokasi ini bisa di mana saja. Infiltrat di lobus atas sering
ditimbulkan Klebsiella, tuberculosis atau amiloidosis. Pada lobus bawah dapat
terjadi atau amiloidosis. Pada lobus bawah dapat terjadi infiltrat akibat
Staphylococcus atau bakteriemia.
Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air fluid level sugestif untuk abses
paru, infeki anaerob, Gram negatif atau amiloidosis. Efosi pleura dengan
pneumonia sering ditimbulkan S. pneumoniae. Dapat juga oleh kuman anaerob, S.
pyogenes, E.coli dan Staphylociccus (pada anak). Kadang-kadang oleh K.
pneumoniae, P. pseudomallei. Pembentukan kista terdapat pada pneumonia
nekrotikans/ supurativa, abses dan fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan dan
fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman, S. Aereus, K.
pneumoniae dan kuman-kuman anaerob (Streptococus anaerob, Bacteroides,
Fusobacterium). Ulangan foto perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan
adanya infeksi sekunder/tambahan, efusi pleura penyerta yang terinfeksi atau
pembentukan abses. Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis ulangan foto
dada dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4-12 minggu.
19
2.6.3.2 Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi yang berat sehingga tidak
terjadi respons leukosit, oran gtua atau lemah. Leukopenia menunjukkan
depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman Gram negatif
atau S. aereus pada pasien dengan keganasan dan gangguan kekebalan.
Faal hati mungkin terganggu.
2.6.3.3 Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
aspirasi, jarum transtokoral, torakkosentesis, bronkoskopi, atau biopsy.
Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin,
Quellung test dan Z. Nielsen. Kuman yang predominan pada sputum yang
disertai PMN yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur
kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk
evaluasi terapi selanjutnya.
2.6.3.4 Pemeriksaan khusus
Titer antibody terhadap virus, legionela, dan mikoplasma. Nilai
diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah
dilakukan untuk menilai tingkat hiposia dan kebutuhan oksigen.


20
2.7 Indikasi Rawat Inap Pneumonia Komunitas
Pada pneumonia komunitas, terdapat stratifikasi untuk perawatan di rumah
sakit. Salah satu metode yang digunakan adalah Pneumonia Severity Indeks (PSI).
Tabel 3. Skor Pneumonia Severity Index
Skor Pneumonia Severity I ndex
Karakteristik Penderita Skor
Faktor demografi
Usia: laki-laki
perempuan
Perawatan di rumah
Penyakit penyerta
Keganasan
Penyakit hati
Gagal jantung kongestif
Penyakit serebrovaskular
Penyakit ginjal

Umur (tahun)
Umur (tahun)
10
+10

+30
+20
+10
+10
+10
Pemeriksaan fisik
Perubahan status mental
Frekuensi nafas 30x/menit
TD sistolik <90 mmHg
Suhu tubuh <35oC atau 40oC
Frekuensi nadi 125x/menit

+20
+20
+20
+15
+15
Hasil laboratorium/radiologi
Analisis gas darah arteri: pH 7,35
BUN 30 mg/dL
Natrium <130 mEq/liter
Glukosa 250 mg/dL
Ht <30%
PO2 <60 mmHg atau SaO2 <90%
Efusi pleura

+30
+20
+20
+10
+10
+10
+10
(Sumber : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. 1- 34).





21

Tabel 3. Stratifikasi Risiko Berdasarkan Total Skor PSI
Stratifikasi Risiko Berdasarkan Total Skor PSI
Risiko Kelas Skor PSI Mortalitas Keterangan
I (ringan) Lihat algoritma 0,1% Tidak perlu dirawat di
rumah sakit
II (ringan) 70 0,6% Tidak perlu dirawat di
rumah sakit
III (ringan) 71-90 0,9% Tidak perlu dirawat di
rumah sakit atau rawat
dalam waktu singkat
IV (sedang) 91-130 9,3% Perlu dirawat di rumah
sakit
V (berat) >130 27% Perlu dirawat di rumah
sakit
(Sumber : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. 2003. 1- 34).
Indikasi rawat inap di rumah sakit adalah bila Skor PSI > 70, dan pneumonia
pada penderita NAPZA, akan tetapi bila skor PORT < 70, penderita tetap di rawat
inap bila:

1. Frekuensi nafas > 30x/mnt
2. Pa)2/ FiO2 kurang dari 250
3. Foto thoraks menunjukkan kelainan bilateral atau lebih dari 2 lobus
4. Tekanan sistolik < 90 mmHg
5. Tekanan diastolik < 60 mmHg
22
Selain menggunakan skor Pneumonia Severity Indeks (PSI), ada juga yang
menggunakan skor CURB-65. Kriteria nya meliputi : Confusion (waktu, tempat,
orang), BUN level > 20 mg/dl, Respiration rate > 30 kali per menit, Blood
Pressure systolic >90 mm/Hg or diastolic <60mm/Hg dan Umur 65 tahun.
Pasien diindikasikan untuk di rawat inap apabila skor CURB-65 >2.
Pasien berindikasi untuk di rawat di ICU menggunakan criteria dari
American Thorasic Society adalah bila bila pasien PK sakit berat terdapat
1 dari 2 kriteria mayor, atau 2 dari kriteria minor.
a. Kriteria mayor : butuh ventilator dan syok septik
b. Kriteria minor : tensi sistolik < 90 mmHg, mengenai multilobar,
PaO2/ FI O2 ratio > 250, Confusion (waktu, tempat, orang), BUN
level > 20 mg/dl, Respiration rate > 30 kali per menit, lekopenia,
trombositopenia, hipotermia.

2.8 Kriteria Diagnosis Pneumonia Nosokomial

Pada penderita pneumonia nosokomial, criteria diagnostic yang digunakan
menurut CDC adalah sebagai berikut :
1. Ronki atau dullness pada perkusi torak. Ditambah salat satu :
a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya
b. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirasi transtrakeal,
biopsi atau sapuan bronkus.
2. Gambaran radiologis berupa infitrat baru yg progresif, konsolidasi,
kavitasi, atau efusi pleura, dan salah satu dari :
a. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret respirasi
23
b. Titer antibodi tunggal yg diagnostik (IgM) atau peningkatan 4x
titer IgG dari kuman.
c. Bukti histopatologis kuman
3. Pasien sama atau <12 thn dengan 2 dari gejala-gejala :
apneu,takipneu,bradikardia,wheezing,ronki,atau batuk disertai salah satu
dari :
a. Peningkatan produksi sekresi respirasi atau salah satu dari kriteria
no.2 di atas.
4. Pasien sama atau < 12 thn yg menunjukkan infiltrat baru atau progresif,
kavitasi, konsolidasi atau efusi pleura pada foto torak ditambah salah satu
dari kriteria no.3 di atas.

2.9 Terapi
2.9.1 Terapi pada Pneumonia Komunitas
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme
dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara
umum pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat
sebagai berikut.
24



2.9.1.1 Pengobatan Penderita Rawat Jalan
1. Sebelumnya sehat dan tidak menggunakan antibiotik dalam 3 bulan
sebelumnya. Antibiotik yang digunakan adalah :
- Macrolide (azithromycin, clarithromycin, atau erythromycin)
- Doksisiklin
2. Kehadiran penyulit, seperti penyakit jantung kronis, paru-paru, liver,
penyakit ginjal; diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan; asplenia,
kondisi immunosuppressing atau penggunaan obat immunosuppressing,
penggunaan antimikroba dalam 3 bulan sebelumnya (dalam hal ini
merupakan alternatif dari kelas yang berbeda harus dipilih), atau resiko
lainnya:
a. Fluorokuinolon respiratory (moksifloksasin, gemiifloxacin atau
levofloksasin
b. B-laktam ditambah sebuah makrolida (amoksisilin dosis tinggi
[misalnya, 1 g 3 kali sehari] atau amoksisilin klavulanat-[2 g 2 kali sehari]
lebih disukai; alternatif termasuk cef triaxone, cefpodoxime, dan
cefuroxime [500 mg 2 kali sehari]; doksisiklin adalah alternatif untuk
makrolida tersebut.)
3. Di daerah dengan tingkat infeksi tinggi (125%) dengan tingkat resistensi
makrolide terhadap S.pneumoniae tinggi (MIC, 16 mg / mL),
pertimbangkan penggunaan agen alternatif yang tercantum dalam
25
rekomendasi diatas di atas untuk setiap pasien, termasuk mereka yang
tanpa komorbiditas .

2.9.1.1 Pengobatan Penderita Rawat Inap non ICU
Rejimen berikut direkomendasikan untuk Rawat inap non ICU:
a. Sebuah fluorokuinolon respiratory
b.Sebuah b-laktam plus makrolida (pilihan b-laktam termasuk agen
sefotaksim, ceftriaxone, dan ampisilin; ertapenem untuk pasien yang
dipilih; Dengan doksisiklin sebagai alternatif makrolida ,fluorokuinolon
respiratory harus digunakan untuk pasien yang alergi penisilin )

2.9.1.1 Pengobatan Penderita Rawat Inap ICU
Sebuah b-laktam (sefotaksim, ceftriaxone, atau ampisilin-sulbactam) plus
azitromisin atau sebuah fluoroquinolone (Untuk pasien alergi penisilin,
fluoroquinolone pernapasan dan aztreonam direkomendasikan.)

2.9.1.1 Pengobatan Penderita keadaan khusus
Regimen yang dianjurkan standar rutin terapi empiris harus
mencakup 3 patogen yang paling umum yang menyebabkan pneumonia
komunitas parah, semua patogen atipikal, dan sebagian besar spesies
Enterobacteriaceae. Treatment MRSA atau infeksi P.aeruginosa adalah
alasan utama untuk memodifikasi empiris standar rejimen. Berikut ini
adalah tambahan atau modifikasi terhadap rejimen empiris dasar yang
dianjurkan jika patogen diatas diduga.
26
a. Untuk infeksi Pseudomonas, gunakan antipneumococcal, suatu anti
pseudomonas b-laktam (piperasilin-tazobactam, cefepime,
imipenem, atau meropenem) ditambah siprofloksasin atau
levofloksasin baik (750 mg dosis)
atau b-laktam ditambah aminoglikosida dan azitromisin, atau b-
laktam diatas ditambah aminoglikosida dan anti pneumokokus
fluorokuinolon. (Untuk pasien alergi penisilin, pengganti
aztreonam untuk b laktam diatas.)
b. Untuk infeksi CA-MRSA, tambahkan vankomisin atau linezolid.
Jangan Gunakan daptomycin untuk pneumonia

2.9.1.1 Pengobatan langsung patogen penyebab
Setelah etiologi CAP telah diidentifikasi pada dasar metode
mikrobiologis dapat diandalkan, antimikroba terapi harus diarahkan pada
patogen itu.
27

Sumber : Mylotte JM, Nursing home-associated pneumonia.

2.9.1 Terapi pada Pneumonia Nosokomial

SUSPEK PN,PBV, PPK
Bahan kultur SNBB & bakteriologik
Dimulai terapi empirik AB berdasarkan algoritme
bagan a dan pola patogen lokal
Hari ke2-3 : evaluasi klinis dan data lab
(suhu,lekosit,foto torak,oksigenasi,sputum
purulent,perubahan hemodinamik & f.organ)
28

Gambar 1 : strategi tatalaksana suspek PN, PBV,atau PPK







Terapi empirik awal untuk pneumonia nosokomial :
Tabel 5. Terapi empirik awal untuk pneumonia nosokomial

Patogen Potensial Antibiotika yang disarankan
S. Pneumonia
H. I nfluenza
Ceftriaxone
Atau
Gram (-) sensitif antibiotik :
Escherichia coli
K.pneumoniae
Enterobacter spp.
Serratia marcescens
Levofloksasin, moksifloksasin atau
ciproflokasasin
Atau
Ampisilin/ sulbaktam
Atau Ertapenem
Patogen Potensial Antibiotika yang disarankan
Perbaikan klinis dalam 48-
72jam
tida
k
y
a
Kultur
(-)
Kultur
(+)
Kultur
(-)
Kultur
(+)
Cari patogen
Lain?
Komplikasi,
D/lain lokasi
Infeksi lain
Sesuaikan AB,
Cari patogen
Lain, komplikasi,
D/lain, lokasi
Infeksi lain
Pikirkan
stop
AB
Tingkatk
an
AB terapi
7-8 hari,
Evaluasi
ulang
29
Patogen seperti tabel di atas dan
patogen resisten AB jamak :
Ps. Aeruginosa
K. pneumoniaw
Acinobacter spp
Methicillin sensitif aureus
Sefalosporin antipseudomonas
(cefeime, ceftazidime)
atau
Carbepenem antipseudomonas
(imipenem atau meropenem)
Atau
Gram (-) sensitif antibiotik :
Escherichia coli
K.pneumoniae
Enterobacter spp.
Proteus spp.
Serratia marcescens
B-laktam/B- laktamase inh
(piperasilin- tazobaktam)
Plus
Kuinolon antipseudomonas
(Ciprofloksasin atau levofloksasin)
Atau
Aminoglikosida (amikasin, gentamisin,
tobramisin) Plus
methicillin resisten Staph.
Aureus
Legionella (jika dicurigai)
Linezolid atau vankomisin

Makrolid (azithromisin) atau
flyuoroqunolon

(Sumber: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. 2003. 1- 34).







DOSIS INTRAVENA AWAL ANTIBIOTIKA UTK EMPIRIK TERAPI
PADA PNEUMONIA NOSOKOMIAL

Tabel 6. Dosis intravena awal antibiotic yang diberikan

Suspek Patogen Antibiotik yang disarankan
Sefalosporin antipseudomonas
Cefepime
Ceftazidime

1-2 gram tiap 8-12 jam
2 gram tiap 8 jam
Carbapenem :
Imipenem
Meropenem

0,5 gr tiap 6 jam / 1 gr tiap 12
jam
1 gram tiap 8 jam
B- laktam / B- laktamase inh :
Piperasilin
tazobaktam

4,5 gram tiap 6 jam
30
Aminoglikosida :
Gentamisin
Toramisin
Amikasin

7 mg/kg/hari
7 mg/kg/hari
20 mg/kg/hari
Kuinolon antipseudomonas
Levofloksasin
Ciprofloksasin

750 mg/ hari
400 gram/ 8 jam
Vankomisin 15 mg/ kg/ 12 jam
Linezolid 600 mg/ 12 jam
(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI).
2.9.2 Terapi Suportif Umum
1. Terapi O
2
untuk mencapai PaO
2
80-100 mmHg atau saturasi 95-
96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang
kental, dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila
terdapat bronkospasme.
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran
untuk batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth
breathing untuk melancarkanekspirasi dan pengeluarn CO
2
. Posisi
tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan.
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada
pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan
terutama bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada
pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan
31
sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud
mengencerkan dahak tidak diperkenankan.
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan.
Terapi ini tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik.
6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang
diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal
ginjal prerenal.
7. Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator
pada pneumonia adalah:
a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O
2
100%
dengan menggunakaan masker. Kosentrasi O
2
yang tinggi
menyebabkan penurunan pulmonary compliance hingga
tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan
PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan
FiO
2
menjadi 50% atau lebih rendah.
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory
distress, dengan atau didapat asidosis respiratorik.
c. Respiratory arrest.
d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
8. Drainase empiema bila ada.
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup
yang didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari
pembentukan CO
2
yang berlebihan.
32
2.9.3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan
perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini
untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial.
Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan antibiotik
yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya mampu
mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini
dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over
(obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda,
potensi lebih rendah).
Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik
sudah stabil dan perbaikan terbukti secara secara klinis, dapat menelan
obat-obatan, dan memiliki saluran pencernaan berfungsi normal. Pasien
harus dilepas sesegera mungkin ketika klinis sudah stabiluntuk Pneumonia
komunitas terkait stabilitas klinis adalah :
a. Temp 37,8 C
b. Denyut jantung 100 denyut / menit
c. Respirasi rate 24 napas / menit
d. Tekanan darah sistolik 90 mmHg
e. Saturasi O2 arteri 90% atau pO2 60 mmHg padaruang udara.
f. Kemampuan untuk mengambil asupan oral
g. Normal satatus mental
33
2.10 Komplikasi
Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus,
terutama pada infeksi bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram
negatif sebesar 60%, Staphylococcus aureus 50%. S. pneumoniae 40-60%,
kuman anaerob 35%. Sedangkan pada Mycoplasmapneumoniae sebesar
20%. Cairannya transudat dan steril. Terkadang pada infeksi bakterial
terjadi empiema dengan cairan eksudat.
Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau
bakteriemia berupa meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan
hiponatremia, anemia pada infeksi kronik, peningguan ureum dan enzim
hati. Kadang-kadang terjadi peninggian fostase alkali dan bilirubin akibat
adanya kolestasis intrahepatik.
Hipoksemia akibat gangguan difusi.
Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia berlangsung
lebih dari 4-6 minggu akibat kuman anaerob S. aureus, dan kuman Gram (-
) seperti Pseudomonas aeruginosa.
Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak-
anak tetapi dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada
cystic fibrosis atau hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau pneumonia
nekrotikans.
2.11 Pencegahan
2.11.1 Pneumonia Komunitas
34
Di luar negeri dianjurkan pemberian vaksinasi influenza dan
pnemukokus terhadap orang dengan risiko tinggi, misalnya pasien dengan
gangguan imunologis, penyakit berat termasuk penyakit paru kronik, hati,
ginjal dan jantung. Di samping itu vaksinasi juga perlu diberikan untuk
penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan
usia di atas 65 tahun.
2.11.2 Pneumonia Nosokomial
Pencegahan PN berkaitan erat dengan prinsip umum pencegahan
infeksi dnegan cara penggunaan peralatan invasif yang tepat. Perlu
dilakukan terapi agresif terhadap penyakit pasien yang akut atau dasar.
Pada pasien dengan gagal organ multipel (multiple organ failuere), skor
Apache-II yang tinggi dan penyakit dasar yang dapat berakibat fatal perlu
diberikan terapi pencegahan. Terdapat berbagai faktor terjadinya PN. Dari
berbagai resiko tersebut beberapa faktor penting tidak bisa dikoreksi
seperti terlihat pada tabel 5. Beberapa faktor dapat dikoreksi untuk
mengurangi terjadinya PN, seperti terlihat pada tabel 6, yaitu antara lain
dengan pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal atau
pemakaian obat sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H
2
dan antasid.
2.11.3 Nutrisi Enteral
Penilaian status nutrisi yang tepat dan pembatasan pemakaian cara
pemberian nutrisi enteral dapat mengurangi resiko PN. Pelaksanaan
pemberian nutrisi enteral secara dini dapat membantu pemeliharaan epitel
35
pencernaan dan mencegah terjadinya translokasi kuman, dengan
peningkatan risiko distensi gaster, kolonisasi, aspirasi dan PN. Posisi
pasien setengah duduk dapat menurunkan risiko aspirasi.
2.13 Prognosis
2.13 .1 Pneumonia Komunitas
Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak
ditemukannya antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman,
usia, penyakit dasar dan kondisi pasien. Secara umum angka kematian
pneumonia pneumokokus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat
menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi yang buruk misalnya
gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif kronik, atau
kanker. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus dan
komplikasi ekstraparu merupakan petanda prognosis yang buruk. Kuman
gram negatif menimbulkan prognosis yang lebih jelek.
Prognosis pada orang tua dan anak kurang baik, karena itu perlu
perawatan di RS kecuali bila penyakitnya ringan. Orang dewasa (<60
tahun) dapat berobat jalan kecuali:
a. Bila terdapat penyakit paru kronik
b. PN Meliputi banyak lobi
c. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang
tinggi yaitu:
Usia > 60 tahun.
36
Dijumpai adanya gejala pada saat masuk perawatan RS:
frekuensi napas > 30 x/m, tekanan diastolik < 60 mmHg
bingung.
Hasil pemeriksaan setelah perwatan: tensi < 60 mmHg,
leukosit abnormal (<4.000 atau > 30.00/mm
3
), Urea N
meningkat, pO
2
= turun, dan albumin serum rendah (< 3,5
g%).
2.13 .2 Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial di Amerika Serikat merupakan urutan ke-2
penyebab kematian yang diakibatkan infeksinosokomial. Pneumonia
nosokomial merupakan penyebab kematian utama oleh infeksi pada pasien
yang berusia tua, pascaoperatif, dan yang menjalani ventilasi mekanis.

BAB III
PENUTUP

Pneumonia merupakan bentuk utama ISNBA yang menimbulkan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja. Pneumonia
dapat terjadi secara primer atau merupakan tahapan lanjutan manifestasi ISNBA
lainnya misalnya sebagai peruasan bronkiektasis yang terinfeksi.
37
Pneumonia dapat berupa pneumonia komunitas yang terjadi di
masyarakat dan pneumonia nosokomial yang terjadi di rumah sakit. Penyakit ini
menyebabkan angka kematian di antara pasien terutama yang terinfeksi di ICU.
Berbagai aspek penyakit ini perlu dipahami untuk dapat mengatasinya dengan
baik. Terapi empirik perlu segera diberikan dengan pemilihan antibiotik yang
tepat dan selanjutnya dilakukan penyesuaian pemberian antibiotik untuk
mendapatkan hasil yang maksimal, hingga biaya obat dapat ditekan seoptimal
mungkin dengan risiko angka mortalitas yang sekecil-kecilnya. Tindakan
pencegahan perlu diambil untuk mengurangi angka morbiditas penyakit,
khususnya dengan mengurangi faktor risiko untuk terjadinya pneumonia tersebut.






DAFTAR PUSTAKA
1. American thoracic society. Guidelines for management of adults with
community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity,
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2001;
163: 1730-54.
2. American thoracic society. Guidelines for management of adults with
Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired,
Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir
Crit.Care Med 2005; 171: 388-416.
3. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
38
Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM;
2007.
4. Barlett JG, Dowell SF, Mondell LA, File TM, Mushor DM, Fine MJ.
Practice guidelines for management community-acquiredd pneumonia in
adults. Clin infect Dis 2000; 31: 347-82
5. Mandell LA, IDSA/ATS consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults, CID 2007;44:S27
6. Mylotte JM, Nursing home-associated pneumonia, Clin Geriatr Med
2007;23:553
7. Menendez R, Treatment failure in community-acquired pneumonia,
2007;132:1348
8. Niederman MS, Recent advances in community-acquired pneumonia
inpatient and outpatient, Chest 2007;131;1205
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Komuniti.2003
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial.2003

Anda mungkin juga menyukai