Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perdarahan saluran cerna dapat bermanifestasi klinis mulai dari yang
seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar sampai pada keadaan yang
mengancam hidup. Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar)
atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya
perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum Treitz.
Melena (feses berwarna hitam) biasanya berasal dari perdarahan saluran
cerna bagian atas, walaupun perdarahan usus halus dan bagian proksimal
kolon dapat juga bermanifestasi dalam bentuk melena. Hematokezia atau
darah segar keluar per anus biasanya berasal dari perdarahan saluran cerna
bagian bawah (kolon). Maroon stools (feses berwarna merah hati) dapat
berasal dari perdarahan kolon bagian proksimal (ileo-caecal).1
Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat disebabkan oleh
perdarahan esophagus sebanyak lebih kurang 70-75%, perdarahan tukak
peptik, gastritis erosiva (terutama akibat OAINS), gastropati hipertensi
portal, esophagitis, tumor, angiodisplasia. Sedangkan perdarahan saluran
cerna bagian bawah dapat disebabkan oleh colitis, tumor, diverticulosis,
inflammatory bowel disease dan hemoroid.1
Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti
perdarahan pada umumnya, yaitu meliputi pemeriksaan awal, resusitasi,
diagnosis dan terapi. Konsensus Nasional PGI-PEGI-PPHI menetapkan
bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus perdarahan wajib dan
harus bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan masyarakat
sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi. Tegaknya diagnosis
penyebab perdarahan sangat menentukan langkah terapi yang diambil.1
Perdarahan gastrointestinal akut terjadi sekitar 300.000 kasus di
rumah sakit di USA setiap tahunnya. Selain itu, 5% dari semua pasien
yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) akan mengalami perdarahan

saluran cerna bagian atas yang signifikan sebagai komplikasi dari penyakit
utama yang dialami pasien.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi Sistem Gastrointestinal3,4,5


Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal adalah sistem
organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan dan
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke
dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat
dicerna atau merupakan sisa proses pencernaan tersebut dari tubuh. Sistem
Pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan
mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses
pencernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim
dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus.Saluran
pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan
(esofagus), lambung (gaster), usus halus, usus besar (kolon), rektum dan
anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar
saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
1. Mulut
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan. Fungsi rongga mulut:

Mengerjakan pencernaan pertama dengan jalan mengunyah


Untuk berbicara
Bila perlu, digunakan untuk bernafas.

2. Faring
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan esfagus. Berasal
dari bahasa yunani yaitu Pharynk. Didalam lengkung faring terdapat
tonsil yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit
dan

merupakan

pertahanan

terhadap

infeksi,

disini

terletak

bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya


dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang
belakang.

3. Esofagus
Kerongkongan atau esofagus adalah tabung (tube) berotot pada
vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut
ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan
menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu dengan faring pada
ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi. Esofagus dibagi
menjadi tiga bagian:

Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)

Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)

Berta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

4. Gaster
Gaster terletak pada epigastrium dan terdiri dari mukosa, submukosa,
lapisan otot yang tebal, dan serosa. Mukosa ventriculus berlipat-lipat
atau rugae. Secara anatomis ventriculus terbagi atas kardiaka, fundus,
korpus, dan pilorus. Sphincter cardia mengalirkan makanan masuk ke
dalam ventriculus dan mencegah refluks isi ventrikulus memasuki
oesophagus kembali. Di bagian pilorus ada sphincter piloricum. Saat
sphincter ini berrelaksasi makanan masuk ke dalam duodenum, dan

ketika berkontraksi sphincter ini mencegah terjadinya aliran balik isi


duodenum (bagian usus halus) ke dalam ventriculus.3

Lapisan epitel mukosa lambung terdiri dari sel mukus tanpa sel
goblet. Kelenjar bervariasi strukturnya sesuai dengan bagiannya.
Pada bagian cardiac kelenjar terutama adalah sel mukus. Pada
bagian fundus dan corpus kelenjar mengandung sel parietal yang
mensekresi HCl dan faktor intrinsik, dan chief cell mensekresi
pepsinogen. Bagian pilorus mengandung sel G yang mensekresi
gastrin.

Mukosa lambung dilindungi oleh berbagai mekanisme dari efek


erosif asam lambung. Sel mukosa memiliki permukaan apikal
spesifik yang mampu menahan difusi asam ke dalam sel. Mukus
dan HCO3 dapat menetralkan asam di daerah dekat permukaan
sel. Prostaglandin E yang dibentuk dan disekresi oleh mukosa
lambung melindungi lambung dan duodenum dengan merangsang
peningkatan sekresi bikarbonat, mukus lambung, aliran darah
mukosa, dan kecepatan regenarasi sel mukosa. Aliran darah
mukosa yang bagus, iskemia dapat mengurangi ketahanan
mukosa.

Fungsi utama lambung adalah sebagai tempat penampungan


makanan, menyediakan makanan ke duodenum dengan jumlah
sedikit secara teratur. Cairan asam lambung mengandung enzim
pepsin yang memecah protein menjadi pepton dan protease. Asam
lambung juga bersifat antibakteri. Molekul sederhana seperti besi,
alkohol, dan glukosa dapat diabsorbsi dari lambung.

5. Usus halus

Usus halus adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di


antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh
darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena
porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan
air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang
dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang
mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot
melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal )
dan lapisan serosa ( Sebelah Luar ). Usus halus terdiri dari tiga bagian
yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan
usus penyerapan (ileum).
1. Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus
yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus
kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian
terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan
berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan
organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh
selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar
pada derajat sembilan.
Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari
pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari
bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari
(duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus.
Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus
dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh,

duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti


mengalirkan makanan.

2. Jejunum
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum)
adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari
(duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa,
panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah
bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan
terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus.
Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni
berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat
dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan
plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus
penyerapan secara makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat
jejune yang berarti lapar dalam bahasa Inggris modern. Arti
aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti kosong.

3. Ileum
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus
halus. Pada sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang
sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan
dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8

(netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12


dan garam-garam empedu.

6. Kolon
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus
buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari
feses.
Usus besar terdiri dari :

Kolon asendens (kanan)

Kolon transversum

Kolon desendens (kiri)

Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)


Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi
mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting,
seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus.
Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada
bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa
menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.

7. Sekum
Sekum (Bahasa Latin: caecus, buta) dalam istilah anatomi adalah
suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian

kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia,
burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki
sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum
yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai
cacing.

8. Umbai Cacing (Appendix)


Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu.
Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing.
Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan
membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi
rongga abdomen).
Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris,
vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu
tabung yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk
dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai cacing
berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm.
Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa
berbeda bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap
terletak di peritoneum.

9. Rektum
Rektum (Bahasa Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah
sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon
sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena

tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon


desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam
rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di
dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan
untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali
material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air
akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang
lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.

10. Anus
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan
limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan
tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Pembukaan dan
penutupan anus diatur oleh otot sphincter. Feses dibuang dari tubuh
melalui proses defekasi (buang air besar BAB), yang merupakan
fungsi utama anus.

11. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua
fungsi utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa
hormon penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian
posterior perut dan berhubungan erat dengan duodenum (usus dua
belas jari). Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :

Asini menghasilkan enzim-enzim pencernaan

10

Pulau Langerhans menghasilkan hormon

Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan


melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh
pankreas akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim
proteolitik memecah protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan
oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan
aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga
melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi
melindungi duodenum dengan cara menetralkan asam lambung.

12. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia
dan memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan
dengan pencernaan. Organ ini memainkan peran penting dalam
metabolisme dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk
penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat.
Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Istilah
medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepatatau hepatik dari kata Yunani untuk hati, hepar.
Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya
akan pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini
mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena yang
lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena
porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam
hati, dimana darah yang masuk diolah. Hati melakukan proses tersebut
dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya dengan zat-zat gizi,
darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum.

11

13. Kandung empedu


Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ
berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang
dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia, panjang
kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap
bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan
empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan
usus dua belas jari melalui saluran empedu. Empedu memiliki 2
fungsi penting yaitu:

Membantu pencernaan dan penyerapan lemak

Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama


haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah
merah dan kelebihan kolesterol.

2.2.

Perdarahan Sistem Gastrointestinal


1. Definisi1,6
Perdarahan saluran cerna dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan
saluran cerna bagian atas dan perdarahan saluran cerna bagian bawah.
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran
pencernaan proksimal dari ligamentum Treitz. Sedangkan perdarahan
saluran cerna bagian bawah adalah perdarahan yang berasal dari usus
di sebelah bawah ligamentum Treitz.
1. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)

12

Untuk keperluan klinik, perdarahan saluran cerna dibedakan


menjadi perdarahan varises esophagus dan non-varises, karena
keduanya

terdapat

ketidaksamaan

dalam

pengelolaan

dan

prognosisnya. Kemungkinan pasien datang dengan 1). Anemia


defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang berlangsung
lama, 2). Hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia,
dengan atau tanpa gangguan hemodinamik.
Penyebab perdarahan SCBA yang sering dilaporkan adalah
pecahnya varises esophagus, gastritis erosive, tukak peptic,
gastropati kongestif, sindrom Mallory-Weiss dan keganasan.
Walaupun

pengelolaan

perdarahan

SCBA

telah

banyak

berkembang namum mortalitasnya relatif tidak berubah, masih


berkisar 8-10%. Hal ini dikarenakan bertambahnya kasus
perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat komorbiditas yang
menyertai.
2. Perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB)
Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah
biasanya datang dengan keluhan darah segar sewaktu buang air
besar. Hampir 80% pasien dalam keadaan akut berhenti dengan
sendirinya dan tidak berpengaruh pada tekanan darah, seperti pada
perdarahan hemoroid, polip kolon, kanker kolon atau kolitis.
2. Gejala Klinis1,7,8
Gejala klinis yang dapat timbul akibat perdarahan saluran cerna
dapat berupa:
1. Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau
hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya
perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum
Treitz.
2. Melena (feses berwarna hitam) biasanya berasal dari perdarahan
saluran cerna bagian atas, walaupun perdarahan usus halus dan
bagian proksimal kolon dapat juga bermanifestasi dalam bentuk
melena.
13

3. Hematokezia atau darah segar keluar per anus biasanya berasal dari
perdarahan saluran cerna bagian bawah (kolon).
4. Maroon stools (feses berwarna merah hati) dapat berasal dari
perdarahan kolon bagian proksimal (ileo-caecal).
Cara praktis membedakan antara perdarahan saluran cerna
bagian atas dan saluran cerna bagian bawah, yaitu:
Manifestasi klinis pada

Perdarahan SCBA
Hematemesis dan/atau

umumnya
Aspirasi nasogastrik
Rasio BUN/kreatinin
Auskultasi usus

melena
Berdarah
>35
Hiperaktif

Perdarahan SCBB
Hematokezia
Jernih
<35
Normal

Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk


pemasangan pipa nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan
hemodinamik stabil atau yang sudah jelas perdarahan SCBB. Bila
sejak awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi, dianjurkan pipa
nasogastrik tetap terpasang sampai 12 sampai 24 jam. Jika selama
kurun waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu, maka dapat
dianggap bukan perdarahan SCBA.
Manifestasi klinis pasien dengan perdarahan saluran cerna
bagian bawah juga dapat bervariasi tergantung pada etiologi. Pada
pasien dengan kolitis, gejala yang mungkin timbul adalah:
- Demam
- Dehidrasi
- Kram perut
- Hematokezia
Perdarahan masif pada saluran cerna biasanya terjadi pada
pasien berusia diatas 65 tahun, yang memiliki beberapa masalah medis
lainnya.
3. Patofisiologi9
Secara teoritis lengkap terjadinya penyakit atau kelainan saluran
cerna bagian atas disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor agresif
dan faktor defensif, dimana faktor agresif meningkat atau faktor

14

defensifnya menurun. Yang dimaksud dengan faktor agresif antara lain


asam lambung, pepsin, refluks asam empedu, nikotin, obat anti
inflamasi non steroid (OAINS) dan

obat kortikosteroid, infeksi

Helicobacter pylori dan faktor radikal bebas , khususnya pada pasien


lanjut usia. Yang dimaksud dengan faktor defensif yaitu aliran darah
mukosa yang baik, sel epitel permukaan mukosa yang utuh,
prostaglandin, musin atau mukus yang cukup tebal, sekresi bikarbonat,
motilitas yang normal, impermeabilitas mukosa terhadap ion H+ dan
regulasi pH intra sel.
Penyebab varises esofagus merupakan yang terbanyak di
Indonesia, disebabkan oleh penyakit sirosis hati. Sirosis hati di
Indonesia masih banyak disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dan
hepatitis C. Varises esofagus adalah vena collateral yang berkembang
sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental
portal. Saat ini, faktor-faktor terpenting yang bertanggung jawab atas
terjadinya perdarahan varises adalah: tekanan portal, ukuran varises,
dinding varises dan tegangannya, dan tingkat keparahan penyakit hati.
Pada gagal hepar seperti sirosis hepatis kronis, kematian sel
dalam hepar mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai
akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esophagus dan
rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk mengalihkan darah
dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya tekanan
dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang dan
membesar (dilatasi) oleh darah dan timbul varises. Varises bisa pecah,
mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat
mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena
ke jantung dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi
berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.
Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh
melakukan mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan
perfusi. Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan gejala utama yang

15

terlihat. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi


jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah
menjadi metabolisme anaerob dan terbentuk asam laktat. Penurunan
aliran darah akan mengakibatkan/ memberi efek pada seluruh sistem
tubuh dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan
mengalami kegagalan.
Penyebab perdarahan non varises yang banyak di Indonesia
yaitu gastritis erosif, tukak peptik. Gastritis erosif dan tukak peptik ini
berhubungan dengan pemakaian obat anti inflamasi non steroid
(OAINS), infeksi Helicobacter pylori dan stres. Penggunaan NSAIDs
merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster. Penggunaan obat ini
dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses penghancuran
mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang dewasa
yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik.
Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster
dari penggunaan NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan
dosis yang tinggi atau kombinasi dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs
dalam jangka waktu yang lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan
severe comorbid illness. Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs
pada anak tidak diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan,
terutama pada anak dengan arthritis kronik yang dirawat dengan
NSAIDs.

Penggunaan

kortikosteroid

saja

tidak

meningkatkan

terjadinya tukak gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs


mempunyai potensi untuk menimbulkan tukak gaster.

16

Sindroma Mallory-Weiss adalah sebuah kondisi di mana lapisan


mukosa di bagian distal esophagus pada gastroesophageal junction
mengalami laserasi yang dapat menyebabkan hematemesis (muntah
darah). Laserasi seringkali juga menyebabkan perdarahan arteri
submukosa. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah melibatkan
esophageal venous atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi portal
dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan dibandingkan dengan
pasien hipertensi non-portal.

Sindrom Mallory-Weiss biasanya

sekunder terhadap peningkatan mendadak tekanan intraabdominal.


Faktor pencetus meliputi muntah, mengedan saat buang air besar,
mengangkat beban, batuk, kejang epilepsi, cegukan di bawah anestesi,
dada tertekan, trauma abdomen, preparat kolonoskopi dan gastroskopi.

17

4. Diagnosis1,10
Setelah keadaan pasien cukup stabil maka dapat dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih seksama.
a. Anamnesis
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit
hati kronis, riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat
rematik, alkohol, jamu jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat
stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit
paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntahmuntah sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung
kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan :
1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah
2.
3.
4.
5.

yang keluar
Riwayat perdarahan sebelumnya
Riwayat perdarahan dalam keluarga
Ada tidaknya perdarahan dibagian tubuh lain
Penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi nonsteroid dan

antikoagulan
6. Kebiasaan minum alkohol

18

7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronis, demam


berdarah, demam tifoid, GGK, DM, hipertensi, alergi obatobatan
8. Riwayat transfusi sebelumnya
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pemantauan secara terus
menerus tanda vital pasien dan keadaan hemodinamiknya serta
jumlah darah yang hilang akibat perdarahan. Langkah awal
menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan status
hemodinamiknya. Pemeriksaan meliputi :

Tekanan darah dan nadi posisi baring


Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
Ada tidaknya vasokonstriksi perifer ( akral dingin )
Kelayakan nafas
Tingkat kesadaran
Produksi urin.
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20 % volume

intravaskular akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak


stabil dengan tanda tanda sebagai berikut:

Hipotensi ( tekanan darah < 90/60 mmHg , frekuensi nadi >

100x/menit )
Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik

turun > 20 mmHg


Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit
Akral dingin
Kesadaran menurun
Anuria atau oliguria

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai


kondisi

hemodinamik

tidak

stabil

ialah

bila

ditemukan:

hematemesis, hematokezia, darah segar pada aspirasi pipa


nasogastrik dengan, hipotensi persisten, 24 jam menghabiskan
transfusi darah melebihi 800 1000 mL.

19

Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan kulit dan mukosa


penyakit sistematik. Perlu juga dicari stigmata pasien dengan
sirosis hati karena pada pasien sirosis hati dapat disertai gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, ikterus dengan air
kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah atau melena.
Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu masa abdomen,
nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru, penyakit
jantung, penyakit rematik dll. Pemeriksaan yang tidak boleh
dilupakan adalah colok dubur. Warna feses ini mempunyai nilai
prognostik. Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat
dari Naso Gastric Tube (NGT). Aspirat berwarna putih keruh
menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah marun
menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri.
Seperti halnya warna feses maka warna aspirat pun dapat
memprediksi mortalitas pasien. Walaupun demikian pada sekitar
30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya
aspirat yang jernih pada NGT.
c. Pemeriksaan penunjang
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan :
1. Elektrokardiagram (terutama pasien berusia > 40 tahun)
2. BUN, kreatinin serum
3. Elektrolit (Na, K, Cl)
4. Pemeriksaan lainnya :
1) Endoskopi
Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi
merupakan gold standard. Tindakan endoskopi selain
untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur
ini tidak perlu dilakukan segera( bukan prosedur
emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24
jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik
stabil. Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi
dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan

20

endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien dengan


hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat
ditentukan

lokasi

perdarahan

dan

penyebab

perdarahannya.
2) Angiography
Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan
menatalaksana

perdarahan

berat,

khususnya

ketika

penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan dengan


menggunakan endoskopi atas maupun bawah.
3) Conventional radiographic imaging
Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu
dibutuhkan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna
tetapi adakalanya dapat memberikan beberapa informasi
penting. Misalnya pada CT scan; CT Scan dapat
mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti tumor intraabdominal ataupun abnormalitas pada usus yang mungkin
dapat menjadi sumber perdarahan.
5. Tatalaksana1,6
Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya
dimana dalam melaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu
melakukan anamnesis yang sangat cermat dan pemeriksaan fisik yang
sangat detil, dalam hal ini yang diutamakan adalah penanganan A - B
C ( Airway Breathing Circulation ) terlebih dahulu. Bila pasien
dalam keadaan tidak stabil yang didahulukan adalah resusitasi ABC.
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan
kristaloid (misalnya cairan garam fisiologis dengan tetesan cepat
dengan menggunakan dua jarum berdiameter besar (minimal 16 G)
dan pasang monitor CVP (central venous pressure); tujuannya
memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil.
Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran)
kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim
pemeriksaan darah untuk menentukan darah golongan darah, kadar

21

hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit. Adanya kecurigaan


diatesis hemoragik pelu ditindaklanjuti dengan melakukan test rumpleleed, pemeriksaan waktu perdarahn, waktu pembekuan, retraksi
bekuan darah, PPT dan aPTT.
Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual
tergantung dengan jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif
atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan akibat
klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah dapa perdarahan
saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini :
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan
jumlahnya 1 liter atau lebih
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin
kurang dari 10 gr% atau hematokrit kurang dari 30%
4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun
Perlu dipahami bahwa nilai hemtokrit untuk memperkirakan jumlah
perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru
berlangsung. Proses hemodilusi dari cairan ekstravaskular selesai 2472 jam setelah onset perdarahan. Target pencapaian hematokrit setelah
transfusi darah tergantung kasusyang dihadapi, untuk usia muda
dengan kondisi sehat cukup 20-25%, usia lanjut 30%, sedangkan pada
hipertensi portal jangan melebihi 27-28%.
Non-Endoskopis
a. Kumbah lambung
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama
dilakukan adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastrik
dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan mengurangi
distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun
demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak
terbukti. Kumbah lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan
pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat

22

perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasarkan percobaan


hewan, kumbah lambung dengan air es kurang menguntungkan,
waktu perdarahan menjadi memanjang,perfusi dinding lambung
menurun dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.
b. Pemberian vitamin K
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis
yang mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan
pertimbangan pemberiaan tersebut tidak merugikan dan relatif
murah.
c. Vasopressin
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek
vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran
darah dan tekanan vena porta melihat. Digunakan di klinik untuk
perdarahan akut varises esofagus sejak 1953. Pernah dicobakan
pada perdarahan non varises, namun berhentinya perdarahan
tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan,
yakni pitresinyang mengandung vasopressin murni dan preparat
pituitari gland yang mengandung vasopressin dan oksitosin.
Pemberiaan vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan
vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0,5-1
mg/menit/IV selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3 sampai
6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0,10,5 U/menit.

Vasopressin dapat menimbulkan efek samping

serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu


pemberiannya disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya
nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit
kemudian

secara

titrasi

dinaikkan

sampai

maksimal

400mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di


atas 90 mmHg.
d. Somatostatin dan analognya (octreotid)
Somatostatin dan analognya (octreotid)

diketahui

dapat

menurunkan aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif


dibanding dengan vasopressin. Penggunaan di klinik pada

23

perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978.


Somatostatin dapat menghentikan perdarahan akut varises
esofagus pada 70-80% kasus, dan dapat pula digunakan pada
perdarahan non varises. Dosis pemberian somastatin, diawali
dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam
selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti, octreotid
dosis bolus 100 mcg intravena dilanjutkan perinfus 25 mcg/jam
selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
e. Obat-obatan golongan antisekresi asam
Obat-obatan golongan antisekresi asam yang

dilaporkan

bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA karena


tukak peptik ialah inhibitor proton dosis tinggi. Diawali oleh
bolus omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8
mg/KGBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok
plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazole hanya 4,2%.
Suntikan omeprazole yang beredar di Indonesia hanya untuk
pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus ialah persediaan
esomeprazole dan pantoprazole dengan dosis sama seperti
omeprazole. Pada perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat, dan
antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA
karena tukak peptik kurang bermanfaat.
f. Balon tamponade
Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan
varises esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling populer
adalah sengstaken blakemore tube (SB-tube) yang mempunyai 3
pipa serta 2 balon masing-masing untuk esofagus dan lambung.
Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah
pneumonia aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan
balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube
seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang berpengalaman
dan ditidaklanjuti dengan observasi yang ketat.
Endoskopis

24

Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih


aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode
terapinya meliputi:
1) Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi,
heater probe)
2) Noncontact thermal (laser 3). Nonthermal (misalnya suntikan
adrenalin, polidokanol, alkohol, cyanoacrylate, atau pemakain
klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman
apabila dilakukan ahli endoskopi yang termapil dna berpengalaman.
Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan
SCBA, sedangkan sisanya 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena
alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan
terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80%
perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus
perdarahan arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%.
Terapi endoskopi yang relatif murah dan tanpa banyak peralatan
pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan
dengan menggunakan adrenalin 1 : 10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali
suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak
melebihi 1 ml. Penyuntikan bahan sklerosan sepert alkohol absolut
atau polidoklonal umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya
tukak atau perforasi akibat nekrosis jaringan dilokasi penyuntikan.
Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa
mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan
ulang frekuensinya sekitar 15-20%.
Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan
karena varises esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama
untuk mengatasi perdarahan varises esofagus. Dengan ligasi varises
dapat dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit
frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai distal

25

mendekati kardia bergerak spiral setiap 1-2 cm. Dilakukan pada


varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru
mengalami perdarahan seperti bekuan yang melekat, bilur-bilur merah,
noda hematokistik, vena pada vena. Skleroterapi endoskopi sebagai
alternative bila ligasi endoskopi sulit dilakukan karena perdarahan
yang massif, terus berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan.
Sklerosan yang bisa digunakan antarla lain campuran sama banyak
polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alkohol absolut. Campuran dibuat
sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari
bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal
bergerak spiral sampai sejauh 5cm. Pada perdarahan varises lambung
dilakukan penyuntikan cyanoacrylate, skleroterapi untuk varises
lambung kurang baik.
Terapi Radiologi
Terapi angiografi perlu pertimbangkan bila perdarahan tetap
berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila
terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko.
Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan
vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontra
indikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat
dipertimbangkan TIPS (Trans Jugular Intrahepatic Porto Systemic
Shunt).
Pembedahan
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik,
endoskopi dan radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya
dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim multi disipliner pada
pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan waktu yang
tepat kapan tindakan bedah baiknya dilakukan.

26

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan
Perdarahan saluran cerna dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan
saluran cerna bagian atas dan perdarahan saluran cerna bagian bawah.
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran
pencernaan proksimal dari ligamentum Treitz. Sedangkan perdarahan
saluran cerna bagian bawah adalah perdarahan yang berasal dari usus di
sebelah bawah ligamentum Treitz.
Penyebab perdarahan SCBA yang sering dilaporkan adalah
pecahnya varises esophagus, gastritis erosive, tukak peptic, gastropati
kongestif, sindrom Mallory-Weiss dan keganasan. Hampir 80% pasien
perdarahan saluran cerna bagian bawah dalam keadaan akut berhenti
dengan sendirinya dan tidak berpengaruh pada tekanan darah, seperti pada
perdarahan hemoroid, polip kolon, kanker kolon atau kolitis.Gejala klinis
dapat berupa hematemesis, melena, hematokezia dan maroon stools.
Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya
dimana dalam melaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu
melakukan anamnesis yang sangat cermat dan pemeriksaan fisik yang

27

sangat detil, dalam hal ini yang diutamakan adalah penanganan A - B C (


Airway Breathing Circulation ) terlebih dahulu. Selain itu, tatalaksana
perdarahan saluran cerna juga meliputi tatalaksana non-endoskopi,
endoskopi, terapi radiologi dan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing.
2. Papadakos, Peter J et al. 2005. Critical Care: The Requisites in
Anesthesiology. Philadephia; Elsevier Mosby.
3. Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC.
4. Price S. Wilson L. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Ed 6. Vol 1. Jakarta: EGC.
5. Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9 .
Jakarta: EGC.
6. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2008. Management of Acute
Upper

and

Lower

Gastrointestinal

Bleeding.

Diakses

dari

http://www.sign.ac.uk, tanggal 1 Maret 2016.


7. Cerulli, Maurice A. 2016. Upper Gastrointestinal Bleeding Clinical
Presentation. Di akses dari http://www.medscape.com, tanggal 1 Maret 2016.
8. Cagir, Burt. 2016. Lower Gastrointestinal Bleeding. Diakses dari
http://www.medscape.com, tanggal 1 Maret 2016.
9. Anand, B.S., Katz, J., 2011. Peptic Ulcer Disease. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com, tanggal 2 Maret 2016.
10. Pezzulo, et al. 2014. Assessing Upper Gastrointestinal Bleeding in Adult.
Diakses dari http://www.journal.lww.com, tanggal 2 Maret 2016.

28

Anda mungkin juga menyukai