Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan

berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air dan zat
terlarut. Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan
listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke
dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke
seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi
yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh.
Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan lainnya; jika salah
satu terganggu, maka demikian pula lainnya.
Karena cairan dan elektrolit yang menciptakan lingkungan intraseluler dan
ekstraseluler bagi semua sel dan jaringan tubuh, maka ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit dapat terjadi pada semua golongan penyakit.
Syok adalah suatu sindroma klinis dimana terdapat kegagalan dalam hal
mengatur peredaran darah akibatnya terjadi kegagalan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. Kegagalan sirkulasi biasanya disebabkan oleh kehilangan cairan
(hipovolemik), Karena kegagalan pompa atau karena perubahan resistensi vaskuler
perifer. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk memperbaiki gangguan sirkulasi,
sehingga kebutuhan oksigen jaringan dapat terpenuhi.

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Syok Hipovolemik
2.2.1.
Definisi1
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi
sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi
jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan
penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan
homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke
jaringan.
2.1.2.

Etiologi2
Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif.

Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan


menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik, sedangkan defisit volume
darah lebih dari 45 persen umumnya fatal. Syok hipovolemik disebabkan oleh
perdarahan (internal atau eksternal) atau karena kehilangan cairan ke dalam
jaringan kontusio.
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan
intravaskuler, misalnya terjadi pada :
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan pada organ
dalam seperti hemothoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik
terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan
darah yang besar. Misalnya fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml
perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskular lain yang dapat terjadi karena kehilangan
protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :
a) Gastrointestinal : peritonitis,pankreatitis, dan gastroenteritis.
b) Renal : terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
c) Luka bakar ( kombusio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat
berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya
pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan
menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan
menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam
laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton. Yang penting dalam klinik adalah
2

fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi


oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera
dipulihkan dengan penggantian cairan.
Fase Syok3
Secara fisiologis, syok hipovolemik dibagi menjadi 4 fase :
1. Fase Inisial
Pada fase ini, gejala dan tanda yang muncul tidak terlalu signifikan

2.1.3.

karena tubuh masih mentoleransi jumlah cairan yang hilang. Namun,


pasien dapat cepat berpindah ke fase berikutnya bahkan tidak melewati
fase ini apabila jumlah cairan yang hilang dari tubuh cukup banyak.
Gejala dan tanda :
a. Tekanan darah menurun 5-10 mmHg
b. Denyut jantung agak meningkat
2. Fase Kompensasi
Pada fase ini tubuh berusaha lebih keras untuk mengkompensasi
hilangnya volume cairan, sehingga akan terjadi perubahan besar pada
tanda vital. Pemberian resusitasi cairan dan pencegahan kehilangan cairan
lebih lanjut pada fase ini sangat penting.
Gejala dan tanda:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Penurunan tekanan darah 10-15 mmHg


Takikardi (untuk mencukupi jumlah cardiac output)
Takipnea (sebagai kompensasi terhadap penurunan perfusi jaringan)
Peningkatan aliran darah ke organ vital (otak, paru-paru, dan jantung)
Penurunan jumlah urin
Vasokontriksi perifer :
Akral dingin, peningkatan capillary refill time
3. Fase Progresif
Apabila tubuh tidak dapat mengkompensasi kehilangan cairan yang
terjadi, maka syok akan berlanjut pada fase ini. Pada fase ini akan terjadi
hipotensi yang menyebabkan perfusi pada organ vital menurun yang
kemudian dapat berujung pada kerusakan organ.
Gejala dan tanda :
a. Penurunan tekanan darah
b. Nadi meningkat dan lemah
c. Penurunan vaskularisasi pada kulit, abdomen, dan ginjal :
Kulit dingin
Penurunan bising usus akibat motilitas usus yang menurun
Penurunan jumlah urin
4. Fase Refraktor
3

Pada fase ini telah terjadi kerusakan organ multipel yang bersifat
irreversible.
Gejala dan tanda:
a. Hipoksia
b. Oligouria
c.
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
2.1.4.

Derajat Syok2
Syok hipovolemik sendiri paling sering disebabkan oleh perdarahan.

Selain itu dapat juga disebabkan oleh dehidrasi. Berdasarkan jumlah darah
yang hilang, maka syok hipovolemik dibagi menjadi 4 kelas:

2.1.5.

Patofisiologi1
Tubuh manusia merespon perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem

fisiologi utama yaitu sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem


neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan
akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh
darah (melalui pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi
(melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah
immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan
kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan
bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan
fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok
hipovolemik

dengan

meningkatkan

denyut

jantung,

meningkatkan

kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini


4

terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang


dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus
aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga
berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan
mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hipovolemik

dengan

peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan


mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan
dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dan hati. Angotensin II
mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada
syok hipovolemik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi
sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada
reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hipovolemik dengan
peningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan
dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan
darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi
natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH
menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus
distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.

Gambar 2.1 Berbagai jenis umpan balik yang dapat menimbulkan perkembangan syok.

2.1.6.

Diagnosa1,4
Syok hipovolemik membutuhkan diagnosa dini untuk mencegah

keterlambatan terapi. Resusitasi cairan intravena harus segera diberikan


dengan kanul besar. Perjalanan klinis pasien dengan syok hipovolemik
ditentukan oleh penyebab syok tersebut. Pasien dapat mengeluhkan haus,
diaphoresis, dan nafas yang pendek dan dangkal. Kesadaran umumnya tidak
terganggu kecuali pada syok berat pasien dapat menjadi apatis.
Diagnosa klinis untuk syok yaitu hipotensi dan gejala klinis dari
iskemia organ. Tanda klinis pasien syok dapat dikenali dari penurunan tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah lebih dari 40
mmHg dibawah presyok level dengan nadi yang lemah. Pada syok
hipovolemik dapat ditandai dengan orthostatik hipotensi, postural dizziness,
takikardi dan hipotensi adalah gejala dan tanda awal dari syok hipovolemik.
Gejala lainnya yang dapat timbul yaitu mukosa membrane yang kering,
penurunan turgor kulit, takipneu, oliguria, sianosis perifer, supine hipotensi
dan gejala klinis lainnya yang mungkin timbul tidak mempunyai nilai
diagnostik bermakna. Tingkat keparahan pada syok hipovolemik akibat
6

perdarahan dapat dikelompokkan berdasarkan tanda dan gejala klinis seperti


yang tertera pada tabel sebagai berikut.
Table 2.2 Clinical classes of severity of Hypovolemic shock after hemorrhage
Class I
Class II
Class III
Class IV
Blood loss
mL
<750
750-1500
>1500-2000
>2000
%
<15%
15-30%
>30-40%
> 40%
Heart Rate
<100
>100
>120
>140
(beat/min)
Systolic
Normal
Normal
Decreased
Decreased
blood
pressure
Pulse
Normal
Decreased
Decreased
Decreased
pressure
Capillary
Delayed
Delayed
Delayed
Delayed
refill time
Respiratory
14-20
20-30
30-40
>35
rate/min
Urine output
>30
20-30
5-15
<5
(ml/h)
Mental
Slightly
Anxious
Confused
Confused
Status
anxious
and lethargic

a) Pemeriksaan Laboratorium dan Hematologi


Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar
hemoglobin dan nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak boleh
ditunda menunggu hasil pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan syok
hipovolemik mungkin rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada
penyebab syok.Jika pasien mengalami perdarahan lambat atau resusitasi
cairan telah diberikan, nilai hematokrit akan rendah. Jika hipovolemia
karena kehilangan volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah merah
seperti pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan
cairan intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada
keadaan ini nilai hematokrit menjadi tinggi.

2.2.

Resusitasi Cairan8
7

Resusitasi cairan adalah pemberian cairan adekuat dalam waktu relatif cepat
pada penderita gawat akibat kekurangan cairan. Kekurangan cairan pada penderita
gawat umumnya perdarahan akibat kecelakaan atau kekurangan cairan karena sebab
yang lain. Penderita masih dapat bertahan hidup walaupun kehilangan fungsi 85%
hepar, 75% renal, 55% kapasitas paru, dan 75% butir darah merah, tetapi berakibat
fatal bila penderita kehilangan cairan tubuh sebanyak lebih dari sepertiga cairan
tubuh.
2.2.1.

Cairan Tubuh8
Cairan tubuh dibagi 2, yaitu cairan intrasel dan cairan ekstrasel. Cairan

intrasel antara infant dan dewasa jumlahnya sama sebanyak 40%, sedangkan
cairan ekstrasel berbeda, infant 30% dan dewasa 20%.
Cairan tubuh rata-rata pada laki-laki 60% dari berat badan, wanita
50%, dan infant 70%. Angka-angka tersebut berbeda pada penderita gemuk
dan kurus.
Cairan intrasel berisi ion kalium, protein dan PO4-. Cairan ekstrasel
terdiri atas, cairan intertisial, dan cairan intravaskuler. Cairan intertisial berisi
ion Na+ dan Cl-, sedangkan cairan intravaskuler berisi darah.
Kurus (%)
Rata-rata (%)
Gemuk (%)
2.2.2.

Bayi
80
70
65

Laki-laki
65
60
55

Perempuan
55
50
45

Komposisi Cairan8
Cairan pada infant berbeda komposisinya bila dibanding dengan

dewasa yaitu bedanya terletak pada cairan ekstrasel. Pada infant cairan
intertisial sebanyak 25% dan cairan intravaskuler 5%. Cairan intrasel sama
dengan dewasa, sebesar 40%.
Cairan pada dewasa, intertisial sebesar 15%, dan cairan intravaskuler
sama sebesar 5%.

Komposisi Cairan Infant


ICF
Intrasel
40%

5/6 ECF
Intertisial
25%

1/6 ECF
PV
5%

Komposisi Cairan Dewasa


ICF Adult
40%

ECF
15%

5%
8

Body weight
Intrasel

BW
Intertisial

BW
PV

Cairan ekstrasel merupakan bantalan terhadap cairan intrasel, sehingga


cairan yang keluar dan masuk lewat cairan ekstrasel, seolah olah cairan
intrasel terlindung. Cairan masuk ke dalam tubuh secara fisiologis lewat
minum atau oral, sedangkan secara tidak fisiologis lewat infus. Cairan keluar
dari tubuh lewat paru, kulit intestinal dan urin.

2.2.3.

Challenge Test Resusitasi Cairan9


Fluid challenge test adalah penambahan cairan ekstra untuk

meningkatkan volume cairan tubuh/preload yang tidak identik dengan tekanan


atrium kanan sebagai testing atas keadaan hemodinamik.
Tujuannya adalah untuk mengukur kekurangan/defisit cairan melalui
tekanan vena sentral.
Indikasi: hipovolemik oleh karena kehilangan banyak cairan atau darah
atau juga oleh karena pemberian obat-obatan vasodilator. Kontraindikasi:
dekompensasi jantung, dan edema paru.
Prosedur pelaksanaan:
1. Cairan koloid/kristaloid.
2. Cara kerja:
a. Memberikan cairan melalui infus selama 10 menit.
b. Bila: CVP <8 cmH2O guyur cairan (RL) 200 cc
c. Bila: CVP 8-14 cmH2O guyur cairan (RL) 100 cc
d. Bila: CVP >14 cmH2O guyur cairan (RL) 50 cc
3. Hal-hal yang harus diperhatikan:
a. Bila CVP naik 0-2 cmH2O coba guyur sebanyak jumlah semula
b. Bila CVP naik 2-5 cmH2O guyur dosis
c. Bila CVP naik 5 cmH2O tidak perlu

2.2.4.

Manajemen Resusitasi Cairan5


Manajemen resusitasi cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen

dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka


input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu
termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan
keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka
mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan
gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan
merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan
umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian
9

cairan elektrolit, plasma, atau darah.Untuk perbaikan sirkulasi, langkah


utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan
memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil
darah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila
perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang
membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang
terbaik adalah tranfusi darah.
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok
hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar
dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan
kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan
akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan,
kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis,
gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akut.

Macam- Macam Jenis Cairan6,7


Macam-macam jenis cairan adalah sebagai berikut:
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES =

2.2.5.

CEF).

Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia

dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak menimbulkan alergi atau


syok anafilaktik, komposisi elektrolit seimbang, tidak mempengaruhi
hemostasis, dan mengakibatkan terjadinya diuresis.
Kekurangan cairan ini adalah perlu 3-4x jumlah perdarahan, bisa
mengakibatkan udem, mengakibatkan TOP berkurang, hipotermia, lama
kerja + 90 menit, dan NaCl 0,9%: asidosis hiperchloremia.
Kriteria cairan kristaloid
a.Mengandung zat dengan Berat Molekul rendah (<8000 dalton)
b. Dengan atau tanpa glukosa
c.Tekanan onkotik rendah cepat terdistribusi ke seluruh ruang
ekstraseluler
d. Efek volume interstisiel lebih baik daripada koloid
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan
koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk
mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di
ruang

intravaskuler

sekitar

20-30

menit.

Beberapa

penelitian
10

mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid


akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta
berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%.
Cairan kristaloid terdiri dari:
a) Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh
karena itu penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan
intraseluler seperti pada dehidrasi kronik dan pada kelainan
keseimbangan elektrolit terutama pada keadaan hipernatremi yang
disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes insipidus. Cairan ini
tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada kegawatan.
Contohnya dextrosa 5%, dan normal saline.
b) Cairan Isotonik
Jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi intravaskuler yang
adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari
kehilangannya. Cairan ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan
waktu yang diperlukan pun relatif lebih pendek dibanding dengan
cairan koloid. Contohnya normal saline, D5 NS, Ringer Laktat (RL),
Ringer Asering (RA), Plasmalite, dan KAEN 1B, 3A, 3B.
c) Cairan Hipertonik
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler
utama. Oleh karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik
cairan intraseluler ke dalam ekstra seluler. Peristiwa ini dikenal dengan
infus internal. Disamping itu cairan natrium hipertonik mempunyai
efek inotropik positif antara lain mevasodilatasi pembuluh darah paru
dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena dapat
mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi
jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%.
Beberapa contoh cairan kristaloid :
a) Dextrose
Larutan dengan komposisi glukosa anhidrous dalam air untuk
injeksi. Larutan dijaga pada pH antara 3,5 sampai 6,5 dengan natrium
bikarbonat. Larutan dextrose 5% iso-osmosis dengan darah. Larutan
dextrose injeksi merupakan larutan jernih dan tidak berwarna.

11

Dextrose adalah monosakarida dijadikan sebagai sumber energi


bagi tubuh. Dextrose juga berperanan pada berbagai tempat
metabolisme protein dan lemak. Dextrose disimpan di dalam tubuh
sebagai lemak dan di otot dan hati sebagai glikogen. Jika diperlukan
untuk meningkatkan kadar glukosa secara cepat, maka glikogen segera
akan melepaskan glukosa. Jika suplai glukosa tidak mencukupi maka
tubuh akan memobilisasi cadangan lemak untuk melepaskan atau
menghasilkan energi. Dextrose juga mempunyai fungsi berpasangan
dengan protein (protein sparing). Pada keadaan kekurangan glukosa,
energi dapat dihasilkan dari oksidasi fraksi-fraksi asam amino yang
terdeaminasi. Dextrose juga dapat menjadi sumber asam glukoronat,
hyaluronat dan kondroitin sulfat dan dapat dikonversi menjadi pentose
yang digunakan dalam pembentukan asam inti (asam nukleat).
Dextrose di metabolisme menjadi karbondioksida dan air yang
bermanfaat untuk hidrasi tubuh.
b) Ringer Laktat (RL)
Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L,
Kalium 4 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28
mEq/L,

Osmolaritas

270

mOsm/l.

Laktat

pada

larutan

ini

dimetabolisme di dalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga


terjadi dalam ginjal. Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit
yang menyebabkan gangguan fungsi hati. Laktat dimetabolisme
menjadi piruvat kemudian dikonversi menjadi CO2 dan H2O (80%
dikatalisis oleh enzim piruvat dehidrogenase) atau glukosa (20%
dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua proses ini akan
membentuk HCO3.
Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena
komposisi elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma.
Cairan ini digunakan untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler
yang akut. Cairan ini diberikan pada dehidrasi berat karena diare murni
dan demam berdarah dengue. Pada keadaan syok, dehidrasi atau DSS
pemberiannya bisa diguyur.
c) Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109
mEq/l, Kalium 4 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan
12

ini lebih cepat mengoreksi keadaan asidosis metabolik dibandingkan


Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir di dalam otot, sedangkan
laktat di dalam hati. Laju metabolisme asetat 250 400 mEq/jam,
sedangkan laktat 100 mEq/jam. Asetat akan dimetabolisme menjadi
bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-enzim A untuk
membentuk asetil ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase
dan mengkonsumsi ion hidrogen dalam prosesnya. Cairan ini bisa
mengganti pemakaian Ringer Laktat.
d) Glukosa 5%, 10% dan 20%
Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200
gr/liter.9 Glukosa 5% digunakan pada keadaan gagal jantung
sedangkan Glukosa 10% dan 20% digunakan pada keadaan
hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal ginjal akut
dengan oliguria .
e) KA-EN 1B
Komposisi:
Mengandung elektrolit mEq/L.
Na+ = 38.5
Cl- = 38.5
Glukosa = 37.5 gr/L
Indikasi:
1. Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui,
misal pada kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak
memadai, demam)
2. < 24 jam pasca operasi
3. Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara IV.
Kecepatan sebaiknya 300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam
pada anak-anak
4. Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih
dari 100 ml/jam
f) KA-EN 3A & KA-EN 3B
Komposisi KA-EN 3A:
Mengandung elektrolit mEq/L
Na+ = 60
Cl- = 50
13

K+ = 10
Laktat = 20
Glukosa = 27 gr/L
Komposisi KA-EN 3B:
Mengandung elektrolit mEq/L
Na+ = 50
Cl- = 50
K+ = 20
Laktat = 20
Glukosa = 27 gr/L
Indikasi:
1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air
dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti
ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas
2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
3. Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A
4. Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B
g) NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154
mEq/L Klorida, yang digunakan sebagai cairan pengganti dan
dianjurkan sebagai awal untuk penatalaksanaan hipovolemia yang
disertai dengan hiponatremia, hipokloremia atau alkalosis metabolik.
Cairan ini digunakan pada demam berdarah dengue dan renjatan
kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan dengan kehilangan
natrium seperti asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal dan
luka bakar. Pada anak dan bayi sakit penggunaan NaCl biasanya
dikombinasikan dengan cairan lain, seperti NaCl 0,9% dengan Glukosa
5 %.
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
plasma substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
14

(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid
sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok
hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia
berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).
Keuntungan dari cairan ini adalah tetap berada dalam volume
intravaskular, kebutuhan sama dengan jumlah darah yang hilang,
meningkatkan TOP, risiko udem minimal, dan meningkatkan aliran darah
mikrovaskular.
Kerugian cairan ini yaitu kelebihan beban cairan, mengganggu
hemostasis, mempengaruhi fungsi ginjal, reaksi anafilaktoid, dan harganya
mahal.
Jenis-jenis cairan koloid adalah :
a. Albumin
Terdiri dari 2 jenis yaitu:

Albumin endogen.
Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan
dihasilkan di hati dengan BM antara 66.000 Dalton sampai
dengan 69.000 Dalton, terdiri dari 584 asam amino. Albumin
merupakan protein serum utama dan berperan 80% terhadap
tekanan onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50 % akan
menurunkan tekanan onkotik plasmanya 1/3nya.

Albumin eksogen.
Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin,
albumin eksogen yang diproduksi berasal dari serum manusia dan
albumin eksogen yang dimurnikan (Purified protein fraction)
dibuat dari plasma manusia yang dimurnikan.
Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam
fisiologis. Albumin 25% bila diberikan intravaskuler akan
meningkatkan isi intravaskuler mendekati 5x jumlah yang
diberikan.Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan onkotik
plasma. Peningkatan ini menyebabkan translokasi cairan
intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial
mencukupi.
Komplikasi

albumin

adalah

hipokalsemia

yang

dapat

menyebabkan depresi fungsi miokardium, reaksi alegi terutama pada


15

jenis yang dibuat dari fraksi protein yang dimurnikan. Hal ini karena
faktor aktivator prekalkrein yang cukup tinggi dan disamping itu
harganya pun lebih mahal dibanding dengan kristaloid. Larutan ini
digunakan pada sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom.

b. HES (Hidroxy Ethyl Starch)


Senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen. Cairan ini
mengandung partikel dengan BM beragam dan merupakan campuran
yang sangat heterogen. Tersedia dalam bentuk larutan 6% dalam
garam fisiologis dengan BM 69.000 dalton. Tekanan onkotiknya
adalah 30 mmHg dan osmolaritasnya 310 mosm/l. HES dibentuk dari
hidroksilasi aminopektin, salah satu cabang polimer glukosa.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan
46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8
hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
dan dapat meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low
molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) dengan BM
120.000 dalton, mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume
plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung
selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander
yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi
cairan pada penderita gawat.
Komplikasi

yang

dijumpai

adalah

adanya

gangguan

mekanisme pembekuan darah. Hal ini terjadi bila dosisnya melebihi


20 ml/ kgBB/ hari.
c. Dextran
Campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam
ukuran dan berat molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc
mesenteriodes yang dikembangbiakkan di media sucrose. BM
bervariasi dari beberapa ribu sampai jutaan Dalton.
16

Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. Dextran 70


mempunyai BM 41.000 dalton. Sediaannya terdapat dalam
konsentrasi 6% dalam garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat
dieksresikan dibandingkan dextran 40. Oleh karena itu dextran 70
lebih efektif sebagai volume ekspander dan merupakan pilihan
terbaik dibadingkan dengan dextran 40.
Dextran 40 mempunyai BM 26.000 dalton tersedia dalam
konsentrasi 10% dalam garam fisiologis atau glukosa 5%. Molekul
kecil ini difiltrasi cepat oleh ginjal dan dapat memberikan efek
diuretik ringan. Sebagian kecil dapat menembus membran kapiler
dan masuk ke ruang intersisial dan sebagian lagi melalui sistim
limfatik kembali ke intravaskuler.
Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok dan
kegawatan

menghasilkan

perubahan

hemodinamik

berupa

peningkatan transpor oksigen. Cairan ini digunakan pad penyakit


sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom. Komplikasi antara lain
payah ginjal akut, reaksi anafilaktik dan gangguan pembekuan darah.
d. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat
molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada
3 macam gelatin, yaitu:
a) Modified fluid gelatin

(example:

Gelofusine,

Plasmagel,

Plasmion)
b) Urea linked gelatin (example: Polygeline)
c) Oxypoly gelatin (example: Gelifundol)
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada
penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
(jarang) terutama dari golongan urea linked gelatin.

17

2.2.6.

Pengaturan faal dari cairan dan elektrolit


Intake cairan yang normal dari seorang dewasa rata-rata sebanyak

2500ml, dimana kira-kira 300 ml merupakan hasil dari metabolisme substrat


untuk menghasilkan energi.
Kehilangan air harian rata-rata mencapai 2500 ml dan secara kasar
diperkirakan 1500 hilang melalui urin, 400 ml melalui penguapan di saluran
napas, 400 ml melalui pengaupan di kulit, 100 ml melalui keringat, dan 100 ml
melalui feses. Osmolalitas ECF dan ICF keduanya diregulasi hampir sama
dalam pengaturan keseimbangan cairan yang normal dalam jaringan.
Perubahan dalam komposisi cairan dan volume sel akan menyebabkan
timbulnya kerusakan fungsi yang serius terutama pada otak. Nilai normal dari
osmolalitas bervariasi antara 280 sampai 290 mosm/kg.
Rumus menghitung osmolalitas plasma;
Plasma osmolalitas (mosm/kg) = [Na+] x 2 + BUN + Glukosa
2,8
18
Nilai normal untuk manusia = 275-299 mOsm/kg.
Dalam keadaan fisiologis plasma osmolaliti hanya dipengaruhi oleh
natrium sementara jika dalam keadaan patologis urea dan glukosa turut
menentukan osmolalitas plasma. Hal ini misalnya terlihat pada; ditemukan
penunrunan natrium tiap 1 mEq/L terhadap peningkatan glukosa tiap 62mg/dl.
Pengaturan keseimbangan cairan dilakukan melalui mekanisme fisiologis yang
kompleks. Yang banyak berperan adalah ginjal, sistem kardiovaskuler, kelenjar
18

hipofisis, kelenjar paratiroid, kelenjar adrenal dan paru-paru. TBW dan


konsentrasi elektrolit sangat ditentukan oleh apa yang disimpan di ginjal.
2.3.Penatalaksanaan Secara Umum
1. Manajemen Airway
Kalau kesadaran berkabut/ menurun, jalan napas yang bebas harus
diamankan. Oksigen diberikan melalui suatu semi-rigid mask dengan laju aliran
tinggi. Terapi oksigen adalah keharusan pada semua penderita syok. Bila ventilasi
tidak baik, intubasi dan ventilasi terkontrol dilaksanakan. Kanula intravena yang
besar dipasang dan masalah primer diatasi dimana diperlukan (misalnya
menghentikan perdarahan).
2. Prinsip Terapi Cairan
Jenis cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kekurangan cairan
intravaskuler akan tergantung pada situasi klinis. Secara umum, plasma
diperlukan pada luka bakar, peritonitis, dan obstruksi usus, sedangkan cairan
kristaloid diperlukan pada kehilangan cairan melalui kehilangan gastrointestinal,
diuresis dan dehidrasi akibat berkeringat.
Darah dibutuhkan bila perdarahan melebihi 25% dari volume darah. Bila
kehilangan darah lebih sedikit ini dapat diatasi dengan cairan kristaloid atau
plasma ekspander oleh karena mekanisme kompensasi sangat efektif sampai
hematokrit turun di bawah 0,2. Cairan kristaloid terutama garam fisiologik
merupakan suplemen yang bermanfaat terhadap transfusi darah pada syok
hemorhagik, tetapi dibutuhkan volume yang setara dengan 3 kali volume darah
yang hilang, oleh karena akan terjadi distribusi ke jaringan, yang dapat
meningkatkan risiko timbulnya edema paru. Karenanya larutan koloid (plasma
ekspander) sebaiknya digunakan dengan kristaloid. Hematokrit sebesar 0,3, yang
optimal untuk transportasi oksigen, sebaiknya dipertahankan.
3. Monitoring
Monitoring rutin harus meliputi debar dan irama jantung, tekanan darah,
pernapasan, keluaran urin, dan suhu. Penggantian cairan diawasi dengan CVP dan
dimana ada indikasi, dengan menentukan tekanan wedge kapiler paru. Hematokrit
serial, gas darah, dan penentuan kadar elektrolit membantu menilai manfaat
terapi.
4. Tindakan supportif
a. Terapi elektrolit dan asam basa
Kebanyakan problem asam basa pada syok hipovolemik membaik dengan
spontan bila dilakukan penggantian cairan dan perbaikan ventilasi. Asidosis
19

metabolik berat yang menetap merupakan tanda prognostik yang jelek dan
merupakan indikasi/ pemberian bikarbonat. Gangguan elektrolit harus
dikoreksi bersamaan dengan pemberian cairan.
b. Obat-obat inotropik
Stimulan jantung diberikan bila keadaan syok tetap ada meskipun pemberian
cairan yang cukup, yang dinilai CVP dan PCWP, telah diberikan. Dopamin
adalah obat pilihan, dan diberikan dengan takaran 5-30 ug/kgBB/menit
melalui infus.
c. Diuretik
Kalau oliguri tetap ada meskipun volume darah cukup, harus diberikan
furosemid 10 mg iv. Bila tidak ada respon, harus dibedakan adanya
kegagalan prerenal atau nekrosis tubular akut dengan memberikan manitol
dan dosis tinggi furosemid.
d. Steroid
Penggunaan kortikosteroid pada syok hipovolemik adalah kontroversial.
Tidak ada bukti-bukti yang kuat, Namun steroid dosis tinggi yang diberikan
seawal mungkin bermanfaat melalui efek vasodilatasi, inotropik, lysosimestabilizing, dan efek metabolisme seluler. Dosisnya adalah 150 mg
hidrokortison/kg (atau ekivalennya), diulangi setiap 4-6 jam selama 24-48
jam.
2.3.1. Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik
Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan
hipovolemia yaitu menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian
cairan yang hilang. Untuk mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan
perlu diketahui prediksi cairan yang hilang dari tubuh. Pada hipovolemia,
cairan yang hilang berasal dari cairan ekstraseluler (intravaskuler dan
interstisium) oleh karena cairan yang hilang adalah cairan isotonik. Dalam
keadaan normal, osmolaritas cairan interstisium dan intravaskuler adalah
sama, maka penghitungan cairan yang hilang didasarkan pada persen
berkurangnya plasma (cairan intravaskular).
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,
konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan
parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi
medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek
terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.
20

Bila perdarahan sebaiknya diganti dengan darah juga. Bila persediaan


darah tidak ada, dapat diberikan cairan koloid atau cairan kristaloid seperti
NaCl isotonis atau cairan ringer-laktat. Cairan koloid tetap tertahan dalam
intravaskuler, sedangkan cairan kristaloid akan masuk sebanyak dua
pertiganya ke cairan interstisium. Bila cairan keluar dari saluran intestinal
(diare atau muntah), jenis cairan pengganti dapat berupa NaCl isotonis atau
ringer-laktat. Pada diare lebih dianjurkan pemberian ringer-laktat oleh karena
potensi terjadinya asidosis metabolik pada diare berat.
Perlu diingat bahwa volume plasma adalah sebesar 6% dari berat
badan orang dewasa. Sebagai contoh, deplesi volume ringan (20%) pada orang
dewasa seberat 60 kg, volume cairan yang hilang sebesar 20% dari 3,6L
adalah 0,72L (720mL). Kecepatan pemberian cairan tergantung pada keadaan
klinis yang terjadi. Pada deplesi volume yang berat, kecepatan cairan diberi
dalam waktu yang cepat hingga terjadi perbaikan takikardia dan tekanan
darah.
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai
2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu
merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat
dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18--24 jam
sesudah cedera luka bakar.
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan
kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok
hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah,
mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping.
Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema
seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok
hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik.
Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan
ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada
pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,
kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5%
digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan
insensibel.

21

Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat


metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal,
sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan
otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan
resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat
seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer
Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi
bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk
mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan
harian.
Pada dehidrasi :
1. Tentukan defisit
2. Atasi syok
a. Cairan infus 20-40 ml/kg secepatnya
b. Dapat diulang
3. Sisa defisit
a. 50% dalam 8 jam pertama + maintenance
b. 50% dalam 16 jam berikutnya + maintenance

Pada Perdarahan
1. Tentukan Blood Loss (ada 3 cara)
Tabel I
ESTIMASI BLOOD LOST

GEJALA TANDA

% EBV
10 15 %
15 25 %
25 - 35 %
> 35 50%

Minimal
Preshock, akral mulai dingin
Shock, perfusi menurun, T < 90, N > 120
Shock berat, perfusi sangat buruk, tensi tak
terukur, nadi tak teraba dan gangguan kesadaran

Tabel II
Class
I

Lost EBV
< 15 %

Tekanan Darah
Masih normal

Nadi
< 100

Tanda Lain
Agak gelisah

II

(<10 ml/kg)
15 30 %

Hipotensi Postural +
Sistolik + tetap
> 100

Napas 14-20
Agak gelisah

(10-20 ml/kg)

Tek. Nadi menurun

Napas 20 30
22

III

30 40 %

Hipotensi postural
Sistolik turun

> 120

(20-30 ml/kg)

Cap. Refill lambat


Oliguria
Gelisah, bingung

IV

> 40 %

Sistolik sangat turun >140

( >30 ml/kg)

Napas : 30 40
Kulit dingin

keabu-

abuan
Anuria

Bingung lethargy
Sumber : Klasifikasi dari Stene-Gieseck (1991) & ACS (1993)
Tabel III
Kehilangan darah

KELAS I
sp > 750 cc

KELAS II
750 cc 1500 cc

KELAS III
1500- 2000 cc

KELAS IV
> 2000 cc

Denyut nadi
Tekanan darah
Tekanan nadi

Sp 15% EBV
< 100 x/m
Normal
Normal

15-30 % EBV
> 100 x/m
Mulai menurun
Menurun

30-40% EBV
> 120 x/m
Sangat menurun
Sangat menurun

> 40% EBV


> 140 x/m
Tak terukur
Sangat

Frequensi

14 20

20 30

5 15

menurun
> 40

pernapasan
Produksi urine

> 30

20 30

5 - 15

Tidak ada

( ml/jam )
Kesadaran

Sedikit cemas Cemas

Cemas-bingung

Lesu coma

Kesadaran
Replacement

Kristaloid

Kristaloid

mulai menurun
Kristaloid
+ Kristaloid

therapy
darah
Sumber : ATLS
2. Atasi Syok
a. Cairan infus 20-40 ml/kg secepatnya
b. Dapat diulang

darah

23

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik
dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan
perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada
hemostasis tubuh yang serius seperti perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar
yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syo
kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok septik), tonus
vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respons imun (syok
anafilaktik).
Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan hipovolemia yaitu
menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang. Untuk
mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairan yang
hilang dari tubuh. Pada hipovolemia, cairan yang hilang berasal dari cairan
ekstraseluler (intravaskuler dan interstisium) oleh karena cairan yang hilang adalah
cairan isotonik. Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan interstisium dan
intravaskuler adalah sama, maka penghitungan cairan yang hilang didasarkan pada
persen berkurangnya plasma (cairan intravaskular).
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah
dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan
24

intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam
penanganan dan perawatan pasien. Bila perdarahan sebaiknya diganti dengan darah
juga. Bila persediaan darah tidak ada, dapat diberikan cairan koloid atau cairan
kristaloid seperti NaCl isotonis atau cairan ringer-laktat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
2. Butler A. 2010. Shock-Recognition, Pathophysiology, and Treatment. Diakses dari
3.
4.
5.
6.

http://www.dcavm.org/10oct.html, tanggal 3 Mei 2016.


Garner K. 2013. Management of Hypovolemic Shock in the Trauma Patient.
Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.
Graber, M. A. 2003. Terapi cairan, Elektrolit dan Metabolik Ed.2. Jakarta: Farmedia.
Toni Ashadi, 2008. Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) pada Syok Hipovolemik dalam

http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip/012001/sek-1.htm, tanggal 3 Mei 2016.


7. Hartanto, Widya W. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran.
8. Soenarjo, Jatmiko. 2013. Anestesiologi: Resusitasi Cairan. Semarang: PERDATIN.
9. Aridwi. 2008. SOP ICU. Magelang: RS TK II.

25

Anda mungkin juga menyukai