Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang terutama disebabkan karena
penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya.
Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah angina pektoris. Angina pektoris ialah suatu sindroma
klinis di mana didapatkan sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya
iskemik miokard. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi > 70% penyempitan arteri koronaria.
Angina pektoris dapat muncul sebagai angina pektoris stabi (APS) dan keadaan ini bisa
berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan sindroma koroner akut (SKA).1
PJK merupakan sosok penyakit yang sangat menakutkan dan masih menjadi masalah
baik di negara maju maupun negara berkembang. Hasil survei yang dilakukan Departemen
Kesehatan RI menyatakan bahwa prevalensi PJK di Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat. Bahkan sekarang (tahun 2000-an) dapat dipastikan, kecenderungan penyebab
kematian di Indonesia bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit kardiovaskular (antara lain
PJK) dan degeneratif.1
Menurut ESC (European Society Of Cardiology), prevalensi angina pada kelompok studi
populasi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Untuk kelompok wanita, prevalensinya
0.1-1 % pada usia 45-54 tahun hingga 10-15% pada usia 65-74 tahun. Sedangkan pada kelompok
laki-laki, prevalensinya 2-5 % pada usia 45-54 tahun hingga 10-20% pada usia 65-74 tahun.
Untuk itu, dapat diperkirakan bahwa 20.000-40.000 per 1 juta populasi penduduk di Eropa
mengalami angina.2
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), penyakit kardiovaskular menyebabkan
17,5 juta kematian di seluruh dunia, tercatat bahwa lebih dari 7 juta orang meninggal akibat PJK
di seluruh dunia pada tahun 2002, angka ini diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada
tahun 2020. Di Indonesia, berdasarkan data survei dari Badan Kesehatan Nasional tahun 2001
menunjukkan tiga dari 1000 penduduk Indonesia menderita PJK, pada tahun 2007 terdapat
sekitar 400 ribu penderita PJK dan pada saat ini penyakit jantung koroner menjadi pembunuh
nomor satu di dalam negeri dengan tingkat kematian mencapai 26%.3

BAB II

1
PEMBAHASAN

2.1 Penyakit Jantung Koroner


2.1.1 Definisi
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung akibat penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah koroner. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat
menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Dalam
kondisi lebih parah kemampuan jantung dalam memompa darah dapat hilang.3,4
Menurut WHO, penyakit jantung koroner adalah gangguan pada miokardium karena
ketidakseimbangan antara aliran darah koroner dengan kebutuhan oksigen miokardium
sebagai akibat adanya perubahan pada sirkulasi koroner yang dapat bersifat akut
(mendadak) maupun kronik (menahun).3,4

2.1.2 Klasifikasi
Penyakit jantung koroner dapat terdiri dari:
1. Angina pektoris stabil (APS)
Sindroma klinik yang ditandai dengan rasa tidak enak di dada, rahang, bahu,
punggung ataupun lengan, yang biasanya oleh kerja fisik atau stres emosional dan
keluhan ini dapat berkurang bila istirahat atau dengan obat nitrogliserin.1,5
2. Sindroma Koroner Akut (SKA)
Sindroma klinik yang mempunyai dasar patofisiologi, yaitu berupa adanya erosi,
fisur atau robeknya plak arterosklerosis sehingga menyebabkan trombosis
intravaskular yang menimbulkan ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan
oksigen miokard.1,5,6

Yang termasuk SKA adalah :


a) Angina pektoris tidak stabil (UAP, unstable angina pectoris), yaitu:
- Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup
berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari.

2
- Pasien dengan angina yang bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu
serangan angina muncul lebih sering dan lebih lama ( >20 menit), dan lebih
sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan
- Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat1,7

Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American Heart


Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen
ST (NSTEMI) ialah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium
dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan
iskemi sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun
tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun
elevasi sebentar atau adannya gelombang T yang negatif.7

b) Infark miokard akut (IMA), yaitu


Nyeri angina yang umunya lebih berat dan lebih lama (30 menit atau lebih). IMA
bisa berupa Non ST elevasi infark miokard (NSTEMI) dan ST elevasi miokard
infark (STEMI).7

2.1.3 Faktor Risiko


Secara garis besar faktor risiko penyakit jantung koroner dapat dibagi menjadi faktor
risiko yang dapat diubah (modifiable) dan faktor risiko yang tidak dapat diubah
(nonmodifiable).3,4,6
Faktor risiko yang dapat diubah meliputi :
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya PJK. Perubahan
hipertensi khusunya pada jantung disebabkan karena:3,6
1. Meningkatkan tekanan darah
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung sehingga
menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Keadaan ini tergantung dari berat dan
lamanya hipertensi.

3
2. Mempercepat timbulnya arterosklerosis
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menambah beban pembuluh darah
arteri. Arteri mengalami proses pengerasan menjadi tebal dan kaku sehingga
mengurangi elastisitasnya. Tekanan darah yang tinggi dan menetap juga akan
menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria
sehingga memudahkan terjadinya pengendapan plak pada arteri koroner.
b. Hiperkolesterolemia
Kenaikan kadar kolestrol berbanding lurus dengan peningkatan terjadinya
serangan PJK. Peningkatan LDL (Low Density Lipoprotein) dan penurunan HDL
(High Density Lipoprotein) merupakan faktor resiko yang penting pada PJK.
Ketika terjadi kadar LDL yang tinggi, LDL dapat terakumulasi pada subendotel
dan mengalami modifikasi yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan
tunika intima dan menginisiasi terbentuknya plak aterosklerosis.6
c. Merokok
Zat-zat toksik dalam rokok yang masuk ke peredaran darah akan menyebabkan
penyempitan pembuluh darah. Racun nikotin dari rokok akan menyebabkan darah
menjadi kental sehingga mendorong percepatan pembekuan darah. Platelet dan
fibrinogen meningkat sehingga sewaktu-waktu dapat menyebabkan terjadinya
trombosis pada pembuluh koroner yang sudah menyempit. Selain itu, rokok dapat
meningkatkan oksidasi LDL, menurunkan kadar HDL, menyebabkan kerusakan
endotel akibat stres oksidatif dalam kandungan rokok. Nikotin dalam asap rokok
dapat menstimulasi aktivitas saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi
pembuluh darah.6
d. Diabetes Melitus
Pada pasien diabetes, terbentuknya plak aterosklerosis dicetuskan oleh disfungsi
endotel, terganggunya aktivitas antifibrinolitik, serta meningkatnya fagositosis
LDL oleh makrofag.6
e. Obesitas dan kurang akitivitas fisik
Obesitas dapat meningkatkan beban jantung, ini berhubungan dengan PJK
terutama karena pengaruhnya pada tekanan darah, kadar kolestrol darah dan juga
diabetes. Melakukan aktivitas fisik atau olah raga secara teratur dapat menurunkan

4
berat badan sehingga lemak tubuh berkurang serta secara bersamaan
mengendalikan kadar kolesterol dan tekanan darah, aktivitas fisik dapat
meningkatkan sensitivitas insulin serta merangsang pengeluaran NO.6
f. Stres
Stres dapat memicu pengeluaran hormon adrenalin dan katekolamin yang tinggi
yang dapat membuat spasme arteri koroner sehingga suplai darah ke otot jantung
terganggu.

Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi :3,4,5,6


a. Umur
Semakin bertambahnya usia, semakin tinggi risiko PJK dan pada aumumnya dimulai
pada usia 40 tahun ke atas. Menurut data yang dilaporkan American Heart
Association, 1 dari 9 wanita berusia 45-60 tahun menderita PJK dan 1 dari 3 wanita
berusia diatas 60 tahun menderita PJK.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena PJK dibandingkan dengan wanita.
Tetapi pada wanita yang sudah menopause risiko PJK meningkat dan hampir tidak
didapatkan perbedaan dengan laki-laki. Hal ini berhubungan dengan penurunan kadar
hormon estrogen yang berperan penting dalam melindungi pembuluh darah dari
kerusakan yang memicu terjadinya aterosklerosis.
c. Genetik
Riwayat penyakit jantung di dalam keluarga pada usia di bawah 55 tahun merupakan
salah satu faktor risiko yang perlu dipertimbangkan.

2.1.4 Patogenesis Pembentukan Plak Arterosklerosis


Disfungsi endotel merupakan proses primer terjadinya arterosklerosis yang dapat
disebabkan baik karena bahan kimia maupun stress hemodinamik akan menyebabkan
terjadinya disfungsi endotel. Akibat terjadinya disfungsi endotel maka akan

5
menyebabkan (1) rusaknya peran endotel sebagai permeability barier, (2) melepaskan
sitokin inflamasi, (3) meningkatkan produksi molekul adhesi yang merekrut leukosit,
(4) mengganggu pelepasan substansi vasoaktif ( prostasiklin, NO), dan (5)
mengganggu antitrombus. Efek yang tidak diinginkan ini menjadi dasar terjadinya
arteroslerosis. 6

Disfungsi endotelium menyebabkan endotel tidak lagi memiliki barier yang dapat
menghambat masuknya lipoprotein ke dalam pembuluh darah arteri. Peningkatan
permeabilitas dari endotel membuat LDL masuk ke intima,selanjutnya LDL akan
terakomodasi di ruang subendotel dengan berikatan dengan matriks ekstraseluler yaitu
proteoglikan. LDL tersebut akan dioksidasi oleh ROS (Reactive Oxygen Species) dan
pro enzym yang dihasilkan oleh makrofag dan sel otot pembuluh darah sehingga
menjadi mLDL (modified LDL). mLDL ini akan merangsang rekrutmen dari leukosit
ke ruang sub intima (terutama monosit dan limfosit T) melalui 2 cara yaitu (1)
ekspresi LAM ( leukocyte adhesion molecule) pada pada permukaan endotel non
adhesi, (2) signal kemoatraktan [MCP 1, IL 8, interferon inducible protein – 10). 6

Masuknya monosit ke dalam ruang sub intima, monosit berdiferensiasi menjadi


makrofag dan memakan mLDL melalui reseptor scavenger (pada makrofag) dan
membentuk sel busa (foam cell). Sel busa menghasilkan beberapa faktor yang dapat
merekrut sel otot. Sebagai contoh sel busa menghasilkan platelet derived growth
factor (PDGF) yang menyebabkan terjadinya migrasi sel otot dari internal elastic
lamina ke ruang sub intima, tempat dimana sel otot bereplikasi. Sel busa juga
melepaskan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF α, IL-1, Fibroblast growth
factor, dan TGF β yang akan menstimulasi sel otot berproliferasi dan menghasilkan
protein matriks ekstraseluler (kolagen dan elastin) dan lebih lanjut mencetuskan
pelepasan sitokin yang mendorong dan mempertahankan inflamasi pada lesi. Adanya
sel otot yang menghasilkan kolagen akan membentuk fibrous cap. Pembentukan
fibrous cap dan deposisi matriks ekstraseluler ini sebenarnya merupakan proses
sintesis dan degradasi yang saling bergantian yaitu dimana (1) sintesis yaitu sel otot
merangsang kolagen melalui TGF β dan PDGF, dan (2) degradasi yaitu T-
lymphocyte derived cytokine IFN – γ menghambat sintesis kolagen dan lebih lanjut

6
sitokin akan merangsang sel busa untuk menghasilkan MMP (matrix
metalloproteinase) yang akan melemahkan fibrous cap sehingga mudah ruptur. Proses
sintesis dan degrasi ini terus berlanjut tanpa menyebabkan gejala. Kematian dari sel
otot dan sel busa baik karena stimulasi inflamasi yang berlebihan maupun karena
apoptosis menyebabkan lemak dan debris seluler membentuk lipid core. Ukuran dari
lipid core memiliki peranan biomekanikal untuk stabilnya plak. Selain itu deposisi
dan distribusi fibrous cap merupakan hal yang penting dalam intergritas plak, jika
fibrous cap tebal maka plak tersebut akan jarang ruptur yang sering kita sebut plak
stabil, tetapi apabila fibrous cap tipis akan cenderung menyebabkan ruptur dari plak. 6

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan


menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus.Setelah berhubungan dengan darah,
faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi
terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi pletelet dan pletelet melepaskan isi
granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan
trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya
hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten,
pada angina tak stabil. Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada
angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan
meenyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina printzmetal juga
dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak
yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus. Bila trombus
menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST,
sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis
yang berat akan terjadi angina tak stabil. 6,7

Adanya penyumbatan dari pembuluh darah koroner akan menyebabkan terjadinya


iskemi miokardial dimana akan (1) meningkatkan respon simpatis sehingga
menyebabkan diaforesis, peningkatan tekanan darah dan nadi, (2) disfungsi otot
papillary sehingga menyebabkan mitral regurgitasi, (3) penurunan compliance diastol

7
yang akan menyebabkan suara jantung S4 dan menyebabkan kongesti pulmoner
sehingga timbul rales, (4) penurunan fungsi sistolik yang menyebabkan dyskinetic
apical impulse. 6

2.1.5 Diagnosis
1. Anamnesis

Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang mempunyai ciri khas
sebagai berikut : 9
- Letak
Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum
(substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat
menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga dapat
timbul di tempat lain seperti di daerah epigastrium, leher, rahang, gigi, bahu. 9

- Kualitas
Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat, atau seperti di peras
atau terasa panas, kadang-kadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena

8
pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik, lebih-lebih jika pendidikan pasien
kurang. 9
- Hubungan dengan aktivitas
Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas,
misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik
tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau menggosok gigi,
makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada
tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya. Serangan angina dapat
timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam. 9
- Lamanya serangan
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadang-kadang perasaan tidak
enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang. Bila nyeri dada berlangsung lebih dari
20 menit, mungkin pasien mendapat serangan infark miokard akut dan bukan angina
pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas,
perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada disertai keringat dingin. 9

9
2. Pemeriksaan fisik
Pasien tampak cemas, tidak dapat istirahat (gelisah), sering kali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Sekitar seperempat pasien infark anterior memiliki
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis ( takikardia dan/atau hipotensi), dan hampir
setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas saraf parasimpatis
(bradikardia dan/atau hipotensi) tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah ,
dijumpai S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama, split
paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan peningkatan suhu sampai 38ºC
dalam minggu pertama pasca STEMI.10

3. EKG
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina sering masih
normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark
miokard di masa lampau. Kadang-kadang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri
pada pasien hipertensi dan angina; dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST dan
gelombang T yang tidak khas. 9 Untuk mendiagnosa STEMI dari EKG adalah adanya
elevasi segmen ST > 1mm pada 2 sadapan ekstremitas atau elevasi ST > 2mm pada 2
sadapan prekordial yang berhubungan, LBBB yang dianggap baru.11

10
4. Foto Dada

11
Foto rontgen dada sering menunjukkan bentuk jantung yang normal; pada pasien
hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya
kalsifikasi arkus aorta. 9

5. Laboratorium
- CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari.
- cTn : ada dua jenis, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
-Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
-Ceratinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
- Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.10,12

6. Teknik non invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner :


- Computed Tomography
- Magnetic Resonance Arteriography1
7. Pemeriksaan invasif menetukan anatomi koroner1
- Arteriografi koroner
- Ultrasound intravaskular (IVUS)

2.1.6 Tatalaksana

12
Tujuan penanganan pada STEMI adalah:
a. Penanganan kegawatdaruratan diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara
cepat dan penilaian awal stratifikasi risiko, menghilangkan/ mengurangi nyeri dan
pencegahan atau penanganan henti jantung.
b. Penanganan dini untuk membuat keputusan segera terapi reperfusi untuk
membatasi proses infark serta mencegah perluasan infark serta menangani
komplikasi segera seperti gagal jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa.
c. Penanganan selanjutnya untuk menangani komplikasi lain yang timbul selanjutnya.
d. Evaluasi dan penilaian risiko untuk mencegah terjadinya progresi penyakit arteri
koroner, infark baru, gagal jantung, dan kematian11
Penanganan kegawatdaruratan
a. Tatalaksana awal:
 Oksigen 4L/ menit (saturasi dipertahankan > 90%).
 Aspirin 160mg (dikunyah).
 Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri.
 Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat. 11
b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda reperfusi).
 Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
 Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.
 Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).
 Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.
Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB maksimum 4000u,
dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 – 48 jam dengan maksimum 1000
u/ jam dengan target aPTT 50 – 70s. Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah
terapi dimulai. LMWH dapat digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-
pasien berusia < 75 tahun dengan fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada
laki-laki atau < 2 mg/ dl pada wanita). 11

Terapi fibrinolitik.
Dianjurkan pada:
a. Presentasi ≤ 3jam.

13
b. Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat.
c. Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik. 11

Kontraindikasi fibrinolitik:
a. Kontraindikasi absolut:
- Riwayat perdarahan intracranial apapun.
- Lesi structural cerebrovaskular.
- Tumor intracranial (primer ataupun metastasis).
- Stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam terakhir.
- Dicurigai adanya suatu diseksi aorta.
- Adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala dalam 3 bulan terakhir.
- Adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi). 11

b. Kontraindikasi relatif:
- Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol.
- Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan intracranial
selain yang disebutkan pada kontraindikasi absolute.
- Resusitasi jantung paru traumatic atau lama > 10 menit atau operasi besar
< 3 minggu.
- Perdarahan internal dalam2-4 minggu terakhir.
- Terapi antikoagulan oral.
- Kehamilan.
- Non compressible punctures.
- Ulkus peptikum aktif.
- Khusus untuk streptokinase/ anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya
(>5hari) atau riwayat alergi terhadap zat-zat tersebut. 11

Kontraindikasi
Terapi awal Antitrombin terapi
spesifik

Streptokinase(SK 1,5 juta unit/ 100ml D5% Dengan atau tanpa Riwayat SK atau
) atau NaCl 0,9% selama heparin iv selama 24 anistreplase

14
30 – 60 menit. – 48 jam

Alteplase(tPA) 15 mg iv bolus 0,75 mg/ Heparin iv selama 24


kg BB selama 30 menit – 48 jam
kemudian 0,5 mg/ kg BB
selama 60 menit iv. Dosis
total tidak melebihi
100mg

Percutanous coronary intervention (PCI)


a. PCI primer.
Dianjurkan pada:
- Presentasi ≥ 3jam.
- Tersedia fasilitas PCI.
- Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon < 90 menit.
- (Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi) dikurangi (waktu antara pasien
tiba sampai dengan proses fibrinolitik) < 1jam.
- Terdapat kontraindikasi fibrinolitik.
- Risiko tinggi (gagal jantung kongestif, Killip 3).
- Diagnosis infark miokard dengan elevasi ST masih diragukan. 11

b. PCI kombinasi dengan fibrinolitik.


Dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi jika tindakan PCI tidak dapat
dilakukan dengan segera dan pada pasien dengan risiko perdarahan rendah. Pada
tindakan ini tidak dianjurkan menggunakan penghambat reseptor GPIIb/ IIIa dengan
dosis penuh. 11

c. Rescue PCI.
Dilakukan bila terdapat kegagalan trombolitik pada pasien dengan infark luas dengan:
- Hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmia.
- Keluhan iskemik yang berkepanjangan.
- Syok kardiogenik.

15
Pada pasien-pasien dengan kegagalan reperfusi atau terjadi reoklusi dimana rescue
PCI tidak dapat dilakukan segera, reperfusi secara medikamentosa harus
dipertimbangkan dengan fibrinolitik ulang atau tirofiban. Pemilihan stent pada PCI
primer atau rescue PCI adalah Bare metal stent (BMS). 11

Tindakan pembedahan CABG (Coronary Artery Bypass Graft)


Tindakan pembedahan lebih baik jika dilakukan dibandingkan dengan pengobatan, pada
keadaan :
a. Stenosis yang signifikan ( ≥ 50 %) di daerah left main (LM)
b. Stenosis yang signifikan (≥ 70 %) di daerah proksimal pada 3 arteri koroner utama
c. Stenosis yang signifikan pada 2 daerah arteri koroner utama termasuk stenosis yang
cukup tinggi tingkatannya pada daerah proksimal dari left anterior descending
coronary artery.1

2.1.7 Komplikasi
a. Aritmia supraventrikular
Takikardia sinus merupakan aritmia yang paling umum dari tipe ini. Jika hal ini
terjadi sekunder akibat sebab lain, masalah primer sebaiknya diobati pertama.
Namun, jika takikardi sinus tampaknya disebabkan oleh stimulasi simpatik
berlebihan, seperti yang terlihat sebagai bagian dari status hiperdinamik,
pengobatan dengan penghambat beta yang relatif kerja singkat seperti propanolol
yang sebaiknya dipertimbangkan.13
b. Gagal jantung
Beberapa derajat kelainan sesaat fungsi ventrikel kiri terjadi pada lebih dari
separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah
ronki paru dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto
thoraks dada. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri
pulmonalis merupakan temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya
diketahui bahwa temua ini dapat disebabkan oleh penurunan pemenuhan diastolik

16
ventrikel dan / atau penurunan isi sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder.
Diuretik sangat efektif karena mengurangi kongesti paru-paru dengan adanya
gagal jantung sistolik dan / diastolik. 13
c. Sistole prematur ventrikel
Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada hampir semua pasien
dengan infark dan tidak memerlukan terapi. Sementara dulu, ekstrasistole
ventrikel distolik yang sering, multifokal atau dini secara rutin diobati, terapi
farmakologik sekarang disediakan untuk pasien dengan aritmia ventrikel yang
lama atau simptomatik. Terapi antiaritmia profilaktik dengan tiadanya takiaritmia
ventrikel yang penting secara klinis, dikontra indikasikan karena terapi seperti itu
dapat dengan jelas meningkatkan mortalitas selanjutnya. 13

17
18
Gambar 1. Algoritma Acute Coronary Syndromes14
2.1.9 Prognosis
Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan TIMI score (Thrombolysis in
Myocardial Infarction )untuk STEMI yaitu 15

Usia 65 – 74/ ≥ 75 2/3 poin


Tekanan darah sitolik < 100 3 poin
HR > 100 2 poin
Killip II - IV 2 poin
Anterior ST elevasi atau LBBB 1 poin
Diabetes, riwayat hipertensi atau 1 poin
riwayat angina
Berat badan < 67 kg 1 poin
Waktu pengobatan > 4 jam 1 poin

19
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung dan pembuluh darah yang
disebabkan karena penyempitan arteri koroner. Penyempitan pembuluh darah terjadi karena
proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Aterosklerosis yang terjadi
karena timbunan kolesterol dan jaringan ikat pada dinding pembuluh darah secara perlahan
lahan, hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri pada dada.
Pembentukan thrombus di daerah plak akan mempersempit oklusi,dan gangguan aliran
darah menyebabkan ketidakseimbangan yang nyata antara pemasukan oksigen dan
kebutuhan oksigen. Bentuk ACS merupakan hasil yang bergantung dari derajat obstruksi
koroner dan berhubungan dengan iskemia. Oklusi thrombus parsial menyebabkan sindrom
unstable angina (UAP) dan non-ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI). Jika

20
thrombus menyumbat arteri koroner secara komplit, maka menyebabkan iskemik yang lebih
parah dan nekrosis yang lebih banyak, dikenal sebagai ST Elevation Myocardial Infarction
(STEMI).
ACS menyebabkan kerusakan kontraktilitas ventrikel (disfungsi sistolik) dan
meningkatkan kekakuan miokardium (disfungsi diastolic), keduanya dapat menimbulkan
gejala gagal jantung.
Prinsip pengobatan pada STEMI adalah penanganan kegawatdaruratan dimana
diperlukan untuk menegakkan diagnosis secar cepat dan penilaian awal stratifikasi risiko,
menghilangkan/ mengurangi nyeri dan pencegahan atau penanganan henti jantung,
penanganan dini untuk membuat keputusan segera terapi reperfusi untuk membatasi proses
infark serta mencegah perluasan infark serta menangani komplikasi segera seperti gagal
jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa, penanganan selanjutnya untuk menangani
komplikasi lain yang timbul selanjutnya, dan evaluasi dan penilaian risiko untuk mencegah
terjadinya progresi penyakit arteri koroner, infark baru, gagal jantung, dan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Majid. Penyakit Jantung Koroner : Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan


Terkini. 2008.
2. ESC. Guidelines on the management of stable angina pectoris. 2006; 5
3. Nerrida S. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap di RSUP H.
Adam Malik. 2009.
4. Sri Damai. Karakteristik penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap di RSU Dr.
Pirngadi Medan. 2009.
5. Barita S, Irawan J S. Gagal Jantung. In : Lily I R, Faisal B, Santoso K, Poppy S R, ed.
Buku Ajar Kardiologi, 1997; 115.

21
6. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical
Students and Faculty. Edisi Keempat. Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams &
Wilkins, 2007; 225-243.
7. Trisnohadi, Hanafi B. Angina Pektoris Tak Stabil. In : Aru W S, Bambang S, Idrus A,
Marcellus S K, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2007;1626-1623.
8. Douglas M. Char, MD. The pathphysiology of acute coronary syndrome. Division of
emergency medicine : Washington University School of Medicine.
9. M, Santoso dan Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. SMF Penyakit Dalam RSUD
Koja / Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta. Cermin
Dunia Kedokteran 2005:147.
10. Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI. Hal: 1616.
11. Irmalita, dkk. Tatalaksana SIndroma Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST. In:
Irmalita, dkk, ed. Standard Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita Edisi 3.2009; 12-16
12. Samsu, Nur dan Djanggan Sargowo. Sensitivity and Specificity of Troponin T and I for
diagnosis of Acute Myocardial Infarction. Maj Kedokt Indon 2007: 57:10.
13. Isselbacher, J Kurt. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3.
Jakarta : EGC.

14. O'Connor, Robert E. , William Brady, Steven C. Brooks, Deborah Diercks, dkk. Part 10:
Acute Coronary Syndromes 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Website
http://circ.ahajournals.org/. Diakses pada tanggal 27 Mei 2017.

15. Morrow, David A., Elliott M. Antman, Andrew Charlesworth, dkk. TIMI Risk Score for ST-
Elevation Myocardial Infarction: A Convenient, Bedside, Clinical Score for Risk
Assessment at Presentation. An Intravenous nPA for Treatment of Infarcting
Myocardium Early II Trial Substudy. Website http://circ.ahajournals.org/. Diakses pada
tanggal 27 Mei 2017.

22

Anda mungkin juga menyukai