Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor
nyamuk (mosquito borne disease) yang paling penting di seluruh dunia
terutama di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum
klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness, demam dengue
(DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling
berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS).1
Pada tahun 1950an, hanya sembilan negara yang dilaporkan
merupakan endemi infeksi dengue, saat ini endemi dengue dilaporkan
terjadi di 112 negara di seluruh dunia. World Health Organization (WHO)
memperkirakan lebih dari 2,5 milyar penduduk berisiko menderita infeksi
dengue. Setiap tahunnya dilaporkan terjadi 100 juta kasus demam dengue
dan setengah juta kasus demam berdarah dengue terjadi di seluruh dunia
dan 90% penderita demam berdarah dengue ini adalah anak-anak dibawah
usia 15 tahun.1
Infeksi dengue dapat disebabkan oleh salah satu dari keempat
serotipe virus yang dikenal (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4). Infeksi
salah satu serotipe akan memicu imunitas protektif terhadap serotipe
tersebut tetapi tidak terhadap serotipe yang lain, sehingga infeksi kedua
akan memberikan dampak yang lebih buruk. Hal ini dikenal sebagai
fenomena yang disebut antibody dependent enhancement (ADE), dimana
antibodi akibat serotipe pertama memperberat infeksi serotipe kedua.1
Mengingat infeksi dengue termasuk penyakit infeksi akut endemis
di Indonesia maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis atau
kegagalan pengobatan. Menegakkan diagnosis DBD pada stadium dini
sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik yang

1
dapat memastikan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu
perlu dilakukan pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang
disebabkan oleh arthropod borne viruses dengan ciri demam bifasik,
mialgia atau atralgia, rash, leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah
dengue (DBD) merupakan penyakit demam akibat virus dengue yang berat
dan sering kali fatal.2

2.2. Epidemiologi
Epidemic sering terjadi di Americas, Europe, Australia, dan Asia
hingga awal abad 20. Sekarang demam dengue endemic pada Asia Tropis,
Kepulauan di Asia Pasifik, Australia bagian utara, Afrika Tropis, Karibia,
Amerika selatan dan Amerika tengah. Demam dengue sering terjadi pada
orang yang bepergian ke daerah ini. Pada daerah endemic dengue, orang
dewasa seringkali menjadi imun, sehingga anak-anak dan pendatang lebih
rentan untuk terkena infeksi virus ini.2

Gambar 1. Distribusi Dengue di Dunia. CDC 2009.


Keterangan : Biru : area infestasi Aedes aegypti.Merah : area infestasi Aedes aegypti dan endemic
dengue

3
Tabel 1. Jumlah Kasus dan Angka Kematian DBD di Indonesia, Tahun 2008-
2012
Tahun Jumlah Kasus Angka Kematian (%)
2008 137.000 0,86
2009 154.000 0,89
2010 156.000 0,87
2011 65.000 0,80
2012 90.245 0,88
Pada tahun 2003, delapan negara (Bangladesh, India, Indonesia,
Maladewa, Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste) melaporkan
adanya kasus dengue. Epidemic dengue adalah masalah kesehatan
masyarakat utama di Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor
Leste yang beriklim tropis dan berada di daerah ekuator dimana Aedes
aegypti berkembang biak baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di
Negara ini dengue merupakan penyebab rawat inap dan kematian tertinggi
pada anak-anak.5
DHF/ DSS lebih sering terjadi pada daerah endemis virus dengue
dengan beberapa serotype.Penyakit ini biasanya menjadi epidemic tiap 2-5
tahun. DHF/DSS paling banyak terjadi pada anak di bawah 15 tahun,
biasanya pada umur 4-6 tahun. Frekuensi kejadian DSS paling tinggi pada
dua kelompok penderita : a. anak-anak yang sebelumnya terkena infeksi
virus dengue, b. bayi yang darah ibunya mengandung anti dengue
antibody. Transmisi penyakit biasanya meningkat pada musim hujan.Suhu
yang dingin memungkinkan waktu survival nyamuk dewasa lebih panjang
sehingga derajat tranmisi meningkat.5
Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India,
Indonesia dan Myanmar, telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah
perkotaan dengan laporan Case Fatality Rate sebesar 3-5%. Di Indonesia,
dengan 35% populasi yang bertempat tinggal di daerah perkotaan, 150.000
kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus tertinggi diantara semua negara)
dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta dan Jawa
Barat dengan Case Fatality Rate sebesar 1%.5

4
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran
kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang
tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak
adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4)
Peningkatan sarana transportasi.5
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi
berbagai faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor
nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan
kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan
virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita
maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat.
Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan
200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate
meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus
dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang
panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan
tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu
udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu
terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada
umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus
sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap
tahun.6

2.3. Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae
dengan ukuran 50 nm dan mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat
ini dikenal empat serotipe yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4. 6

2.4. Cara Penularan

5
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan
infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara.Virus
dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti,
nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang
lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang
kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue
pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada
manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina
dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun
perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk
dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat
menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk
hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul.6

2.5. Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam
sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing
dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi
kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya
tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan
timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit
menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.7
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut
pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini

6
menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi
yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan
replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.7
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 2 yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus
dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke
ruang ekstravaskular.Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam

7
rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara
adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir
fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah
kematian.7
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga
virus binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan
sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun
pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam
genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.
Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk
menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh
data epidemiologis dan laboratoris.7

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks


antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 3). Kedua faktor

8
tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial
system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product)
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.7

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi


trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak,
tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat

9
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan
fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.7

2.6. Manifestasi Klinis


Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu :
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
2. Demam dengue klasik
3. Demam berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic fever)
4. Dengue Shock Syndrome (DSS). 8

Gambar 4. Siklus transmisi demam dengue/ demam berdarah dengue

Demam Dengue
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau
lebih manifestasi ; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit,
rasa menggigil, dan malaise. Awal penyakit biasanya mendadak dengan
adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam. 9
- Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan
demam bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.
- Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak merah yang menyebar
dapat terlihat pada dada, abdomen, dan menyebar ke anggota gerak
8,12
dan wajah selama separuh pertama periode demam. Ruam timbul

10
pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan
berlangsung 3-4 hari.
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan
tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek
sering ditemukan. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia,
keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria.
Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau
dikenal sebagai Castelanis sign yang patognomonik. Beberapa bentuk
perdarahan lain dapat menyertai. 9

Gambar 5. Spektrum Klinis DD dan DBD


Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut:9
- Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam
kemudian leukopeni hingga periode demam berakhir
- Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam
mekanisme pembekuan darah.
- Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin
meningkat.

Demam Berdarah Dengue


Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. 11
Kasus DBD ditandai 4 manifestasi klinis yaitu :

11
- Demam tinggi
- Perdarahan terutama perdarahan kulit
- Hepatomegali
- Kegagalan peredaran darah (circulatory failure).
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar
dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus
tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering sekali ditemukan pada masa
dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan
perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul
setelah renjatan tidak dapat diatasi.9
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari
teraba 2-4 cm dibawah tepi rusuk kanan. Pembesaran hati tidak
berhubungan dengan keparahan penyakit tetapi hepatomegali sering
ditemukan dalam kasus-kasus syok. Nyeri tekan hati terasa tetapi biasanya
tidak ikterik.9
Tabel 2. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue
Demam Dengue Gejala Klinis Demam Berdarah Dengue
++ Nyeri Kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual +
++ Nyeri Otot +
++ Ruam Kulit +
++ Diare +
+ Batuk +
+ Pilek +
++ Limfadenopati +
+ Kejang +
0 Kesadaran menurun ++
0 Obstipasi +
+ Uji tornikuet positif ++
++++ Petekie +++

12
0 Perdarahan saluran cerna +
++ Hepatomegali +++
+ Nyeri perut +++
++ Trombositopenia ++++
0 Syok +++
Pada pemeriksaan laboratoriun dapat ditemukan adanya
trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan
patofisiologis utama menentukan tingkat keparahan DBD dan
membedakannya dengan DD ialah gangguan hemostasis dan kebocoran
plasma yang bermanifestasi sebagai trombositopenia dan peningkatan
hematokrit.9

Gambar 6. Kurva suhu pada demam berdarah dengue,


saat suhu reda keadaan klinis pasien memburuk (syok)

Dengue Shock Syndrome


DSS biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu
di antara hari sakit ke 3-7.12 Pada DSS dapat dijumpai adanya manifestasi
kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun
(<20mmHg), hipotensi (SBP <80 mmHg), kulit dingin dan lembab dan
pasien tampak gelisah.11Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut
sesaat sebelum syok.9

13
Gambar 7. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran plasma pada DBD

2.7. Diagnosis
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk
spektrum infeksi dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis
DBD karena DBD adalah masalah kesehatan masyarakat dengan angka
kematian yang tinggi. Bila kriteria WHO tidak terpenuhi maka yang
dihadapi memang bukan DBD, mungkin DD atau infeksi virus lainnya.
Kriteria WHO sangat membantu dalam membuat diagnosis pulang (bukan
diagnosis masuk rumah sakit), sehingga catatan medis dapat dibuat lebih
tepat.10
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah
tanda laboratoris yaitu trombositopeni dan hemokonsentrasi (kedua hasil

14
laboratorium tersebut harus ada) dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
serologi.10
Kriteria diagnosis DBD (Case definition) berdasarkan WHO 1997
ialah :
Kriteria klinis :
-
Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus selama 2-7
hari
-
Terdapat manifestasi perdarahan termasuk uji tornikuet positif, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena
-
Pembesaran hati
-
Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
Kriteria laboratorium :10
-
Trombositopenia (100.000/l atau kurang)
-
Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit lebih dari 20%.

Pembagian derajat DBD menurut WHO 1975 dan 1986 ialah :10
-
Derajat I : Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah
memar.
-
Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan
perdarahan spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat
lain.
-
Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat
dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu
tubuh rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.
-
Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan
darah tidak dapat diperiksa.

2.8. Diagnosis Banding

15
Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi
bakteri, virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza,
hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis, dam malaria. Adanya
trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan
antara DBD dengan penyakit lain.10
Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam
chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat
terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan
dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa
demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam
makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi.
Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan
DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.10
Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa
penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis,
sejak semula pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan
tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas terdapat leukositosis disertai
dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis).
Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri
dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala
rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan
serebrospinalis.10
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan
dengan DBD derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan
di bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan
dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang (pada
ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis.
Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali
normal daripada ITP.10
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik.
Pada leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien

16
sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan
memperjelas diagnosis leukimia. pada pemeriksaan darah ditemukan
pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien
dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein
dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi
pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma.10
2.9. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan
yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <
100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering
terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.
Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari
peningkatan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul
dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua
hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok
terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh
pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun
(leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit
atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok.
Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya
fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan
fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III.
PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.10

2. Pencitraan
2.1 Pemeriksaan rontgen dada
Pencitraan dengan foto paru dapat menunjukan adanya efusi pleura
dan pengalaman menunjukkan bahwa posisi lateral dekubitus

17
kanan lebih baik dalam mendeteksi cairan dibandingkan dengan
posisi berdiri apalagi berbaring.10

Gambar 8. Indeks efusi pleura akibat infeksi virus dengue


2.2. Pencitraan Ultrasonografis
Pencitraan USG pada anak lebih disukai dengan pertimbangan dan
yang penting tidak menggunakan sistim pengion (sinar X) dan
dapat diperiksa sekaligus berbagai organ dalam perut. Adanya
ascites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG sangat membantu
dalam penatalaksanaan DBD. Pemeriksaan USG dapat pula dipakai
sebagai alat diagnostik bantu untuk meramalkan kemungkinan
penyakit yang lebih berat misalnya dengan melihat penebalan
dinding kandung empedu dan penebalan pankreas dimana tebalnya
dinding kedua organ tersebut berbeda bermakna pada DBD I-II
dibanding DBD III-IV. 10

3. Pemeriksaan Serologi.
Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan
adanya infeksi virus dengue, yaitu:
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test : HI
test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering
dipakai sebagai gold standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe
virus yang menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka
baik untuk studi sero-epidemiologi.

18
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer
serum akut atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau
konvalesen dianggap sebagai presumptif positif, atau diduga
keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue
infection).
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)
Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya
prosedur pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang
berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan
sekitar 2-3 tahun saja.
3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)
Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk
virus dengue.Biasanya memakai cara yang disebut Plaque
Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya
reduksi dari plaque yang terjadi.Saat antibodi nneutralisasi dapat
dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi
lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (4-8
tahun).Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak
dipakai. Mac Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa,
dimana akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang
kemudian diikuti dengan timbulnya IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat
dapat ditentukan diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini
perlu diulang.
d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan
sebagai negatif.
e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah
sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk
memperjelaskan hasil uji IgM dapat pula dilakukan uji terhadap

19
IgG.Mengingat alasan tersebut di atas maka uji IgM tidak boleh
dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan
kasus.
f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI,
dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum
akut saja dengan spesivisitas yang sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa
merek dagang untuk uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue
Blot, Dengue Rapid IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa.10

2.10. Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya
Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).10
Penatalaksanaan Demam Dengue
Penatalaksanaan kasus DD bersifat simptomatis dan suportif meliputi :
-
Tirah baring selama fase demam akut
-
Antipiretik atau sponging untuk menjaga suhu tubuh tetap dibawah 40
C, sebaiknya diberikan parasetamol
-
Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien
yang mengalami nyeri yang parah
-
Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang
berkeringat lebih atau muntah. 10

Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue


Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit
DBD lebih berat sehingga prognosis sangat tergantung pada pengenalan
dini adanya kebocoran plasma. Penatalaksanaan fase demam pada DBD
dan DD tidak jauh berbeda. Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit
yang ketiga yang memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan
peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan

20
cairan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume
replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.10
Perembesan atau kebocoran plasma pada DBD terjadi mulai hari
demam ketiga hingga ketujuh dan tidak lebih dari 48 jam sehingga fase
kritis DBD ialah dari saat demam turun hingga 48 jam kemudian.
Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam
sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan11.
Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD
berhasil diatasi hanya dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan
koloid dan 15% memerlukan transfusi darah. Cairan kristaloid yang
direkomendasikan WHO untuk resusitasi awal syok ialah Ringer laktat,
Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer memiliki kelebihan karena
mengandung natrium dan sebagai base corrector untuk mengatasi
hiponatremia dan asidosis yang selalu dijumpai pada DBD. Untuk DBD
stadium IV perlu ditambahkan base corrector disamping pemberian cairan
Ringer akibat adanya asidosis berat. 11
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah
untuk rumatan bukan cairan pengganti karena kebocoran plasma belum
terjadi. Jenis dan jumlah cairan harus disesuaikan. Pada DD tidak
diperlukan cairan pengganti karena tidak ada perembesan plasma.11
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan
resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis
;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl starch) sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat
molekul cairan koloid lebih besar sehingga dapat bertahan dalam rongga
vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada cairan kristaloid dan memiliki
kapasitas mempertahankan tekanan onkotik vaskular lebih baik.11
Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid
(20ml/kgBB/30menit) dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum
ada perbaikan maka diperlukan pemberian transfusi darah minimal 100 ml
dapat segera diberikan. Obat inotropik diberikan apabila telah dilakukan
pemberian cairan yang memadai tetapi syok belum dapat diatasi.12

21
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan
pertimbangan bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID.
Bila diperlukan suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan
pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-
faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat.
Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell
(PRC).11
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk
kembali dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan
intravena untuk mencegah terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan
(setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan
berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin
akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang
awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-
hati tidak perlu diberikan transfusi. 11

22
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai
berikut:

23
Bagan 1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

24
Bagan 2. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan
Ht.

25
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

26
Penatalaksanaan Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan
volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syok dan sembuh
kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan
tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan
kristaloid sebanyak 20ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi
turunkan menjadi 10 ml/kgBB.12

Penggantian Volume Plasma Segera


Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat >20 ml/kg
BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak
dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur 10
ml/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid
ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60
menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada
perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri cairan koloid (dekstran 40
atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak
melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari,
sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar
hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan
pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi,
maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kgBB/jam) dapat diulang
sampai 30 ml/kgBB/24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus
dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit.12

Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume


Plasma

27
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah
membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan
menjadi 10 ml/kg BB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari
kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang
ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi.12
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih
merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada
umumnya,cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat
terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan
kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan
menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dan gagal jantung.
Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap
sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang
kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan
tanda terjadinya fase reabsorbsi.12

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit


Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien
DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu
diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu
terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.12
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat,
maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin
tidak diperlukan.12

Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan

28
masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin
gelisah apabila dipasang masker oksigen.12

Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada
setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged
shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi
perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan
interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda
adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi
pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor
pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna
untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi
pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu
tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation
products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya
dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga
menentukan prognosis.12

29
Bagan 4. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

30
2.11. Komplikasi
1. Efusi Pleura
Fase kritis (fase leakage):
Pada pase ini terjadi penurunan suhu dan peningkatan
hematokrit, hematokrit meningkat karena difase ini sedang terjadi
peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah, karena
permeabilitasnya meningkat cairan dari intravaskuler merembes
melalui dinding pembuluh darah menuju ke ekstravaskuler
(interstitial). Sehingga darah yang berada di intravaskuler semakit
pekat, sedangkan cairan yang di interstitial berlebih. Apabila cairan
yang lebih tersebut menembus ke rongga pleura akan terjadi efusi
pleura, kalo cairan berlanjut menembus ke rongga peritoneum akan
terjadi ascites.13
2. Edema Pulmo
Overload cairan:
Pada tahap penyembuhan (fase konvalesens) terjadi
reabsorbsi kembali cairan dari interstitial ke intravaskuler, sehingga
pada fase ini kita harus menurunkan jumlah tetesan cairan infus
yang diberikan, apabila jumlah tetesan cairan yang diberikan tetap
atau dinaikkan yang hanya mengacu pada kenaikan hematokrit
tanpa memperdulikan hari demamnya bisa terjadi edema pulmo.
Adapun cirri-ciri dari edema pulmo yaitu distress pernapasan,
kelopak matanya sembab, terdengar bunyi ronki dan wheezing.
Apabila edema pulmo yang terjadi disertai dengan gagal jantung
bisa mengakibatkan gagal napas. 13
3. Gagal Ginjal
Pada demam berdarah dengue terjadi peningkatan hematokrit
20% dari data dasar, karena hematokrit yang meningkat terlalu tinggi
maka kekentalan darahpun meningkat sehingga pada saat masuk ke
ginjal filtrasi glomerulus tidak maksimal, sehingga terjadi kegagalan
dari fungsi ginjal. 13

4. Ensefalopati Dengue

31
Pada infeksi dengue, virus dengue dapat menembus sawar
darah otak sehingga terdapat keterlibatan susunan saraf pusat dengan
gejala berupa penurunan kesadaran dan kejang. Keadaan ini dapat
terjadi pada keadaan syok berat atau syok yang berkepanjangan yang
disertai perdarahan, tetapi dapat juga pada deman berdarh dengue
(DBD) yang tidak disertai syok yang disebabkan oleh peradangan otak
(ensefalitis). Demam berdarah dengue yang mengalami syok disertai
perdarahan dan gangguan elektrolit bisa mengakibatkan ensefalopati,
sedangkan demam berdarah dengue yang tidak mengalami syok tetapi
disertai ensefalitis bisa mengakibatkan ensefalopati. 13

2.12. Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi
secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus
diperhatikan pada monitoring adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-
30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan
klinis pasien stabil.
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis
cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang
diberikan sudah mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian
volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila
diuresis belum cukup 1 ml/kgBB/jam, sedangkan jumlah cairan sudah
melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema,
pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat
diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap
harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada

32
umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian
dopamin perlu dipertimbangkan.13
Kriteria Memulangkan Pasien : 13
Pasien dapat dipulangkan apabila, memenuhi semua keadaan dibawah
ini :
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/lp
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik

2.13. Pencegahan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan
tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
Foging Focus dan Foging Masal
- Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang
waktu 1 minggu
- Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam
jangka waktu 1 bulan
- Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog
Penyelidikan Epidemiologi
- Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam
setelah menerima laporan kasus
- Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat.

33
2.14. Prognosis
Prognosis dengue tergantung kepada adanya antibodi yang didapat
secara pasif atau didapat yang meningkatkan kecenderungan terjadinya
demam berdarah dengue. Pada DBD kematian terjadi pada 4050% pasien
dengan syok, tetapi dengan perawatan intensif, kematian dapat diturunkan
hingga < 1%. Kemampuan bertahan berhubungan dengan terapi suportif
awal.Kadang-kadang terdapat sisa kerusakan otak yang diakibatkan oleh
syok berkepanjangan atau terjadi pendarahan intracranial.13

BAB III
SIMPULAN

34
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor
nyamuk (mosquito borne disease) yang paling penting di seluruh dunia
terutama di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis
dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan
demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom
syok dengue (dengue shock syndrome/DSS).
Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat,
pemahaman mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan
baik. Pemantauan klinis dan laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan
DBD. Akhirnya dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan pada
kasus DBD perlu disesuaikan dengan kondisi pasien. Penanganan yang cepat tepat
dan akurat akan dapat memberikan prognosis yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

35
1. Setiabudi D. 2005. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of
Dengue Haemorrhagic Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam
A, penyunting. Proceedings Book 13th National Congress of Child Health.
KONIKA XIII. Bandung.
2. Halstead SB. 2004. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam
: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders.
3. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue. 2009. Clinical
Manifestation and Epidemiology. CDC.
4. Data Dirjen PP-PL Kemenkes RI.2012.
5. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric.
Ed 18. Saunders.
6. Hadinegoro SRS. 2004. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir
I, Kurniati N, penyunting. Current Management of Pediatrics Problems.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI.
Jakarta.
7. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. 2004. Tatalaksana
Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap
Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam
dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
8. Soedarmo SSP. 1998. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI
Press.
9. Soegijanto S. 2004. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan
Baru di Era 2003. Surabaya : Airlangga University Press.
10. Soedarmo SSP. 2002. Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP,
Garna H, Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :
Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
11. Sutaryo. 2004. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue.
Dalam : Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah
Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter

36
Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
12. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. 2002. Standar Penanggulan
Penyakit DBD. Edisi 1 Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan.
13. Hadinegoro SRS. 2001. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue.
Dalam : Akib Aap, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah
Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak
XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi dan
Infeksi.Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

37

Anda mungkin juga menyukai