PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. H
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/Usia : 04-04-1953/64 tahun
Alamat : Jl. KH Wahid Hasyim Rt.24 Rw.08, Palembang
Pekerjaan : Becak
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
No. Reg. RS : 53.78.16
MRS : 10 Mei 2017
2
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (+) 2 tahun yang lalu.
Riwayat nyeri dada disangkal.
Riwayat kencing manis disangkal.
Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit asma disangkal.
Riwayat batuk hilang timbul disangkal.
3
Kesadaran : Compos mentis
Anemia :-
Sianosis :-
Dyspneu/orthopnue : Tidak ada
Edema umum :-
Keadaan gizi : Baik
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : Frekuensi 83 kali per menit, reguler, isi dan tegangan
cukup
Pernafasan : 24 kali per menit, thoracoabdominal
Suhu : 36,8o C
Berat Badan : 68 kg
Tinggi Badan : 164 cm
Keadaan Spesifik
1. Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala : Normocephali
- Ekspresi : Wajar
- Rambut : Tak mudah dicabut
- Muka : Simetris
2. Pemeriksaan Mata
- Eksophtalmus : Tidak ada
- Endophtalmus : Tidak ada
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Isokor diameter 3 mm, refleks cahaya (+/+)
- Gerakan : Ke segala arah
4
- Lapangan pandang : Luas
3. Pemeriksaan Telinga
- Liang telinga : Lapang
- Serumen : Tidak ditemukan
- Sekret : Tidak ditemukan
- Nyeri tekan tragus : Tidak ada
- Gangguan pendengaran : Tidak ada
4. Pemeriksaan Hidung
- Deformitas : Tidak ditemukan
- Nafas cuping hidung : Tidak ditemukan
- Sekret : Tidak ditemukan
- Epitaksis : Tidak ditemukan
- Mukosa hiperemis : Tidak ditemukan
- Septum deviasi : Tidak ditemukan
6. Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan
- Palpasi : Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada,
pembesaran KGB tidak ada.
5
- JVP : 5-2 cmH2O
7. Kulit
- Hiperpigmentasi : Tidak ditemukan
- Ikterik : Negatif (-)
- Ptekie : Tidak ditemukan
- Sianosis : Tidak ditemukan
- Pucat pada telapak tangan : Tidak ditemukan
- Pucat pada telapak kaki : Tidak ditemukan
- Turgor : Kembali cepat
8. Pemeriksaan Thorax
a. Paru Depan
Inspeksi : Simetris, retraksi (-), sela iga melebar.
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri, nyeri tekan tidak ada.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler pada paru kanan dan kiri, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-).
b. Paru Belakang
Inspeksi : Simetris.
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri, nyeri tekan tidak ada.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler pada paru kanan dan kiri, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-).
c. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
6
Perkusi : Batas kanan atas ICS II linea parasternalis dextra
Batas kanan bawah ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri atas ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi: HR 83 x/menit, reguler. Murmur (-), penjalaran (-), gallop (-)
9. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi tidak ada, caput medusa (-), spider nevi (-),
benjolan (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani, asites (-), shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
7
.4. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 10 Mei 2017
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 154 mg/dl <180 mg/dl
Trigliserida 79 mg/dl <200 mg/dl
Colesterol Total 183 mg/dl <200 mg/dl
Colesterol HDL 56 mg/dl >50 mg/dl
Colesterol LDL 111 mg/dl <130 mg/dl
Ureum 38 mg/dl 20 – 40 mg/dl
Kreatinin 1,1 mg/dl 0,9 – 1,3 mg/dl
Uric Acid 5,45 mg/dl 3,4 – 7 mg/dl
CPK 384 U/l <190 U/l
CK-MB 69 U/l <25 U/l
8
Pada pemeriksaan Echocardiography didapatkan:
Global wall motion: Hipokinetik
Katub-katub: MR mild
LVH: (+)
Diastolic disfunction: (-)
EF: 44,3%
FS: 22,4%
9
EKG:
Tanggal 12 Mei 2017 (16.08 wib)
HR : 98x/m, sinus rthym, axis deviasi ke kiri, ST elevasi di V1-V3, LVH pada
sadapan V5 dan V6.
.5. Resume
Tn. H, laki-laki, 64 tahun, mengeluh nyeri dada sebelah kiri sejak + 2
hari SMRS. Nyeri dirasakan seperti tertekan beban berat, tidak menjalar ke
lengan, bahu, ataupun rahang namun menembus ke belakang. Nyeri disertai
keringat dingin. Nyeri muncul tiba-tiba saat beraktivitas. Durasi nyeri lebih dari
30 menit. Nyeri tidak hilang dengan istirahat. Nyeri disertai sesak napas (+) dan
rasa berdebar-debar. Awalnya sesak masih terasa ringan, Os masih bisa
beraktivitas, namun lama kelamaan sesak semakin hebat. Sesak timbul saat
10
beraktivitas dan beristirahat. Riwayat terbangun tengah malam karena sesak (-),
batuk (-), mual (-), muntah (-), kaki bengkak (-). BAK dan BAB seperti biasa.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum didapatkan keadaan umum
tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/90 mmHg,
nadi 83x/menit, pernafasan 24 x/menit, suhu 36,8o C.
Pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan leukosit 14.300/ul,
penurunan eosinophil 0%, penurunan neutrophil batang 1%, peningkatan
neutrophil segmen 90%, penurunan limfosit 6%, peningkatan CPK 384 U/l,
peningkatan CK-MB 69 U/l. Echocardiography didapatkan: Global wall
motion: Hipokinetik, Katub-katub: MR mild, LVH: (+), Diastolic disfunction:
(-), EF: 44,3%, FS: 22,4%. EKG didapatkan HR : 98x/m, sinus rthym, axis
deviasi ke kiri, ST elevasi di V1-V3, LVH pada sadapan V5 dan V6.
2.8. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsional : Dubia ad bonam
11
2.9. Follow Up
(tanggal 12 Mei 2017)
S : Tidak ada keluhan
O : Keadaan umum Baik
TD: 140/90 N : 90x/m RR : 21x/m T : 36,20C
Kepala: Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-)
Leher: JVP 5-2 cmH20
Thorax:
Cor : S1, S2 (+) regular, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo: SP: vesikuler, ronkhi(-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: Datar, lemas, H/L tidak teraba
Extremitas : edema (-/-), akral hangat (+/+)
A : ST Elevasi Myocardial Infarction (STEMI) Anteroseptal
P:
1. IVFD RL gtt 20x/menit
2. O2 2-4 l/m
3. Inj. Prosogan 2x1 vial
4. ISDN 3x5 mg
5. CPG 1x75 mg
6. Captopril 2x25 mg
7. Amlodipin 1x10 mg
8. Aspilet 1x80 mg
(tanggal 13 Mei 2017)
S : Tidak ada keluhan
O : Keadaan umum Baik
TD: 140/90 N : 82x/m RR : 20x/m T : 36,50C
Kepala: Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-)
Leher: JVP 5-2 cmH20
Thorax:
Cor : S1, S2 (+) regular, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo: SP: vesikuler, ronkhi(-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: Datar, lemas, H/L tidak teraba
Extremitas : edema (-/-), akral hangat (+/+)
A : ST Elevasi Myocardial Infarction (STEMI) Anteroseptal
P:
1. IVFD RL gtt 20x/menit
2. O2 2-4 l/m
3. Inj. Prosogan 2x1 vial
4. ISDN 3x5 mg
5. CPG 1x75 mg
12
6. Captopril 2x25 mg
7. Amlodipin 1x10 mg
8. Aspilet 1x80 mg
(tanggal 15 Mei 2017)
S : Tidak ada keluhan
O : Keadaan umum Baik
TD: 140/80 N : 85x/m RR : 20x/m T : 36,40C
Kepala: Mata: anemis (-/-) ikterik (-/-)
Leher: JVP 5-2 cmH20
Thorax:
Cor : S1, S2 (+) regular, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo: SP: vesikuler, ronkhi(-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: Datar, lemas, H/L tidak teraba
Extremitas : edema (-/-), akral hangat (+/+)
A : ST Elevasi Myocardial Infarction (STEMI) Anteroseptal
P:
1. IVFD RL gtt 20x/menit
2. O2 2-4 l/m
3. Inj. Prosogan 2x1 vial
4. ISDN 3x5 mg
5. CPG 1x75 mg
6. Captopril 2x25 mg
7. Amlodipin 1x10 mg
8. Aspilet 1x80 mg
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi1,9
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST merupakan bagian dari
spektrum SKA yang terdiri atas UAP, NSTEMI, dan STEMI. STEMI adalah
sindrom klinis yang didefiniskan sebagai gejala iskemia infark khas yang
dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi segmen ST yang persisten dan
diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard.
3.2. Epidemiologi3,7,10
Sekitar 1,5 juta kasus infark miokard terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat. Tingkat insiden tahunan adalah sekitar 600 kasus per 100.000 orang.
Kebanyakan pasien yang menderita infark miokard akut lebih tua dari 60 tahun.
Orang tua juga cenderung memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih
tinggi akibat infark tersebut . Usia (≥75 tahun) adalah prediktor terkuat dari 90-
hari kematian pada pasien dengan STEMI yang menjalani terapi intervensi
koroner perkutan (IKP). Pada pasien STEMI didapatkan mortalitas 30 hari
sebesar 13% dengan medikamentosa dibandingkan dengan 6%-7% bila
menggunakan terapi fibrinolisis, dan sekitar 3%-5% pada pasien dengan IKP
dalam 2 jam onset nyeri. Literatur lain menyebutkan mortalitas 30 hari STEMI
sebesar 11.1%-14%.
3.3. Etiologi6,9
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya6. Aterosklerosis adalah suatu
proses kronis yang progresif dan tiba-tiba muncul dengan karakteristik berupa
penumpukan lemak, elemen fibrosa, dan molekul inflamasi pada dinding arteri
14
koroner. Aterosklerosis merupakan proses etiopatogenesis utama penyebab PJK
dan progresifitasnya berhubungan dengan faktor lingkungan dan genetik dimana
faktor tersebut akhirnya akan berubah menjadi faktor risiko dari PJK. Walaupun
kejadian PJK muncul di dekade ke-5 pada laki-laki dan dekade ke-6 pada
perempuan, namun proses aterosklerosis telah dimulai dari awal kehidupan,
bahkan dari masa perkembangan janin.
15
seperti merokok, alkohol, dan kadar HDL yang lebih rendah dari
wanita dan sebelum menopause, estrogen memberikan perlindungan
kepada wanita dari penyakit jantung koroner.
16
rendah berperan dalam peningkatan risiko penyakit jantung, terutama
PJK.
3. Hipertensi
Hipertensi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan
dinding jantung menjadi tebal dan kaku yang menyebabkan jantung
tidak berkerja dengan baik. Ini meningkatkan risiko kejadian stroke,
serangan jantung, gagal ginjal, dan penyakit jantung kongestif.
Ketika tekanan darah tinggi ini bergabung dengan faktor risiko yang
lain, akan meningkatkan risiko penyakit jantung. Patofisiologi dari
hipertensi menyebabkan PJK melalui 2 cara. Pertama, hipertensi
menyebabkan kerusakan pada endotel yang akan menyebabkan
senyawa vasodilator tidak dapat keluar dan membuat penumpukan
okigen reaktif serta penumpukan faktor-faktor inflamasi yang
mendukung perkembangan dari aterosklerosis, trombosis, dan
penyumbatan pembuluh darah. Kedua, hipertensi menyebabkan
peningkatan afterload yang menyebabkan hipertrofi dari ventrikel
kiri. Itu menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokardium
dan menurunnya aliran darah koroner. Semua hal di atas mendukung
terjadinya penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, dan
kematian jantung tiba-tiba.
4. Diabetes mellitus
Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan
pembentukan plak ateromatous pada arteri. Hiperglikemi pada orang
diabetes menyebabkan banyak perubahan pada biomolekuler tubuh,
yaitu peningkatan reduksi nicotinamide adenine dinucleotide
(NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti sebagai stresor
oksidatif seluler, peningkatan produksi uridine diphosphate (UDP) N-
acetyl glucosamine yang diperkirakan mengubah fungsi enzimatik
seluler, dan pembentukan advanced glycation end product (AGE)
17
yang secara langsung menganggu fungsi sel endotel dan
mempercepat aterosklerosis, serta peningkatan reactive oxygen
species (ROS) yang menganggu produksi nitrit oksida endotel dan
menipiskan plak aterosklerosis sehingga mudah ruptur.
3.5. Patofisiologi4,8,10
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini dicetuskan oleh faktor-faktor
seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Merokok, hipertensi, kadar
LDL, serta tingginya kadar gula darah pada penderita diabetes melitus akan
mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah. Lapisan endotel yang
rusak menjadi terganggu dan jaringan ikat pada pembuluh darah mengalami
thrombogenik sehingga terjadi primary hemostasis. Primary hemostasis
merupakan tahap awal pertahanan terhadap pendarahan.
Proses ini bermula hanya dalam beberapa saat setelah pembuluh rusak
dan dicegah oleh adanya sirkulasi platelet. Platelet akan menempel pada
kolagen subendotel pembuluh darah dan beragregasi untuk membentuk
“Platelet plug”. Kerusakan lapisan endotel pembuluh darah ini juga akan
mengaktifkan cell molecule adhesion seperti sitokin, TNF-α, growth factor, dan
kemokin. Limfosit T dan monosit akan teraktivasi dan masuk ke permukaan
endotel lalu berpindah ke subendotel sebagai respon inflamasi. Monosit
berproliferasi menjadi makrofag dan mengikat LDL teroksidasi sehingga
makrofag membentuk sel busa. Akibat kerusakan endotel menyebabkan respon
protektif dan terbentuk lesi fibrous, plak aterosklerotik yang dipicu oleh
inflamasi. Respon tersebut mengaktifkan factor Va dan VIIIa yang akan
18
membentuk klot pada pembuluh darah. Teraktivasinya kedua faktor tersebut
dapat dipicu karena tidak terbentuknya protein C oleh liver sehingga thrombin
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin sehingga terbentuk klot.
Aterosklerosis berkontribusi dalam pembentukan trombus. Hal ini
disebabkan teraktivasinya faktor VII dan X yang mengakibatkan terpaparnya
sirkulasi darah oleh zat-zat trombogenik yang akan menyebakan rupturnya plak
dan hilangnya respon protektif seperti antitrombin dan vasodilator pada
pembuluh darah. Penyebab gangguan plak ini disebabkan faktor kimiawi yang
tidak stabil pada lesi aterosklerosis dan faktor stres fisik penderita. Disebakan
adanya perkembangan klot pada pembuluh darah dan tidak terstimulusnya
produksi NO dan prostasiklin pada lapisan endotel sebagai vasodilator sehingga
terjadi disfungsi endotel. Dengan adanya ruptur plak dan disfungsi endotel,
teraktivasinya kaskade koagulasi oleh pajanan faktor jaringan dan terjadi
agregasi platelet yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
terjadi trombosis koroner.
STEMI terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak. Kematian sel-sel miokard yang disebakan
infark miokard dapat mengakibatkan kekurangan oksigen. Sel-sel miokard
mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen . Akibat
trombus tersebut, kebutuhan ATP pembuluh darah untuk berkontraksi
berkurang, hal ini disebabkan kurangnya suplai oksigen sehingga pembentukan
ATP berkurang. Keadaan ini berdampak pada metabolisme mitokondria
sehingga terjadi perubahan proses pembentukan ATP menjadi anaerob
glikolisis. Berkurangnya ATP menghambat proses, Na+ K+-ATPase,
peningkatan Na+ dan Cl- intraselular, menyebakan sel menjadi bengkak dan
mati.
19
3.6. Diagnosis1,7,11
Diagnosis infark miokard akut dengan elevasi segmen ST menurut
European Society Of Cardiology/ACCF/AHA/World Heart Federation Task
Force for The Universal Definition Of Myocardial Infarction ditegakkan
berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya
elevasi ST baru pada titik J ≥ 2 mm pada pria atau ≥ 1.5 mm pada wanita,
minimal pada dua sadapan V2-V3 dan atau ≥ 1 mm pada sandapan dada yang
lain atau sadapan ekstremitas.
Jejas pada miokard dapat dideteksi dari biomarker spesifik jantung
berupapeningkatan kadar Cardiac Specific Troponin (cTn) dan Creatine Kinase
MB (CKMB) dalam darah. cTn memiliki sensitifitas yang tinggi serta cukup
spesifik. Terdapat dua jenis troponin, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini
meningkat setelah dua jam bila terjadi infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam. cTn T masih dapat dideteksi dalam kurun waktu 5-14 hari
pasca infark, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Apabila pemeriksaan cTn tidak
tersedia, alternatif terbaik lainnya adalah pemeriksaan CKMB. CKMB
meningkat setelah tiga jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
waktu 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari.
20
Gejala-gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri retrosternal.
Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik SKA
adalah:
1. Lokasi nyeri; di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi rasa nyeri.
2. Onset nyeri : sejak kapan nyeri dada sudah dirasakan.
3. Karakteristik nyeri; pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit, ditekan,
diremas, panas atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih dominan
dibandingkan rasa nyeri yang sifatnya tajam. Perlu diwaspadai juga bila
pasien mengeluh nyeri epigastrik, sinkope atau sesak napas (equivalent
angina)
4. Penjalaran nyeri; penjalaran ke lengan kiri, bahu punggung, epigastrium,
leher rasa tercekik atau rasa ngilu pada rahang bawah dan penjalaran ke
lengan kanan atau kedua lengan
5. Lama nyeri; nyeri pada SKA berlangsung lama lebih dari 20 menit.
6. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan.
7. Gejala sistemik; disertai keluhan seperti mual, muntah atau keringat dingin.
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum
yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke
leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di
dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50%
pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai
hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak
berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah,
pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20%
sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien
berusia lanjut..
21
Namun harus dibedakan dengan nyeri dengan gambaran di bawah ini
yang bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada nonkardiak) :
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
22
Gambar 3.1 Evolusi Gelombang EKG pada STEMI
23
angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama.
Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan
kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan
waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang
singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark
(infark berulang) maupun infark periprosedural.
Pemeriksaan troponin I/T adalah biomarker paling sensitif dan
spesifik sehingga menjadi standar baku emas dalam diagnosis
NSTEMI/STEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut
akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam setelah onset. Peningkatan
kadar troponin biasanya menetap dalam 2 hingga 3 hari, namun bisa
tetap meningkat hingga 2 minggu bila terjadi nekrosis luas. Kadar
troponin bisa saja belum meningkat dalam 6 jam setelah onset gejala,
sehingga jika didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan pertama, perlu
dilakukan pemeriksaan ulang dalam 8 hingga 12 jam setelah onset
gejala.
Jika pemeriksaan troponin tidak dapat dilakukan, maka dapat
digunakan penilaian Musscle and Brain fraction of Creatinin Kinase
(CK-MB) yang akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai
puncaknya saat 12 jam, dan menetap hingga 2 hari.
24
Gambar 3.2 Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung
3.8.3. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna
untuk menentukan diagnosis banding seperti stenosis aorta,
kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi. Multislice CardiacCT (MSCT)
dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada
pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika
pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.
3.8.4. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)
Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan
dan tingkat keparahan Penyakit Jantung Koroner, sehingga sebaiknya
segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko
tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi
trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada
pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun
tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik.
Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka
dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk
kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai
25
perekaman EKG dengan abnormalitas gerakan dinding regional
seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab.
Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang
ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang
mengesankan adanya trombus intrakoroner.
3.8.5. Pemeriksaan Laboratorium
Selain pemeriksaan marka jantung, yang harus dikumpulkan di
ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status
elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
3.8.6. Pemeriksaan Foto Polos Dada
Tujuan dilakukan pemeriksaan ini adalah untuk membuat
diagnose banding, identifikasi komplikasi, dan penyakit penyerta.
26
Gambar. 3.3 Alur Diagnosis dan Tatalaksana STEMI
27
1. Pemberian Oksigen
Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri < 94%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2. Nitrogliserin
Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin
sublingual 0,4 mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah
melakukan penialaian seharusnya dievaluasi akan kebutuhan nitrogliserin
intravena.
3. Analgesik
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan
dosis 2 – 8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan
pilihan utama untuk manajemen nyeri yang disebabkan STEMI.
4. Aspirin
Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah
mendapatkan aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg
sampai 325 mg. Selanjutnya aspirin diberikan secara oral dengan dosis 75-
162 mg.
5. Beta Bloker
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis.
6. Clopidogrel
Pemberian Clopidogrel 600 mg sedini mungkin dan dilanjutkan dengan
dosis rumatan sebesar 75 mg per hari. Obat-obat seperti penghambat reseptor
beta dan ACE inhibitor harus segera diberikan kecuali terdapat
kontraindikasi dan pasien harus dalam keadaan hemodinamik stabil. Statin
dilaporkan memberikan hasil yang baik. Suatu registri di Israel melaporkan
28
pasien yang menjalani IKP dan telah mendapat statin sebelumnya, mortalitas
jangka pendeknya akan berkurang.
3.9.1 Terapi Reperfusi
Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi
reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle
atau medical contact to balloon time untuk IKP dapat dicapai dalam 90
menit7. Reperfusi, dengan fibrinolisis atau IKP primer, diindikasikan
dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua
pasien infark miokard yang juga memenuhi salah satu kriteria berikut :
ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor EKG di dada yang
berturutan,
ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berurutan,
Left bundle branch block baru.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah
menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP.
Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu
tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit
tersebut apakah kurang atau lebih dari 2 jam. Jika membutuhkan waktu
lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik
selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat
dengan fasilitas IKP.
3.9.2 Terapi Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama
pada tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI
29
dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan
diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa
indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama 7. Pada
pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan
infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi
balon lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat
darurat.
Jenis obat fibrinolotik sebagai terapi reperfusi adalah:
A. Streptokinase
Dosis awal 1,5 juta U/100ml Dextrose 5% atau larutan saline
B. Alteptase
dari 100mg
30
digunakan adalah meliputi Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien yang
mendapat terapi fibrinolisis.
Jenis-jenis obat antikoagulan antara lain:
A. Warfarin
Dosis awal yang dapat diberikan yaitu 10 mg dan 5 mg pada
hari kedua dengan pengaturan dosis pada hari ketiga sekitar 3-
7,5 mg.
Pemberian obat ini secara oral.
Kontraindikasi pemberian pada penyakit-penyakit dengan
kecenderungan perdarahan, tukak saluran cernaa, defisisensi
vitamin K, serta penyakit hati dan ginjal yang berat.
B. Heparin
Dosis awal yang diberikan yaitu 60 U/kgBB (maksimal 4000
U) secara bolus. Kemudian pemberian lanjutan melalui infuse
dengan dosis 12 U/kgBB.
Pemberian heparin dikontraindikasikan pada pasien yang
sedang mengalami perdarahan misalnya pasien hemophilia,
endokarditis bacterial subakut, perdarahan intracranial,
hipertensi berat, dan syok.
C. Enoxaparin (Lovenox)
Dosis yang diberikan 1 mg/kg setiap 12 jam subkutan,
ditambah dengan pemberian aspirin 100-325 setiap harinya
selama minimal 2 hari.
Kontraindikasi pemberian obat ini adalah kecenderungan
hemoragia dan pernah menderita trombositopenia selama
pengobatan.
31
3.10. Prognosis1,9
Prognosis infark miokard berhubungan dengan lokasi infark dan luas
perubahan EKG. Infark inferior memilki mortalitas 30 hari sebesar 4,5 % dan
moratalitas 12 bulan sebesar 6,7 %. Determinan utama prognosis setelah infark
miokard adalah usia, tekanan darah sistolik, denyut jantung, lokasi infark, dan
kelas Killip.
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal 6
jantung
II +S3 dan atau ronki basah 17
III Edema Paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
BAB IV
32
ANALISA KASUS
33
Pada pasien ini diberikan pengobatan IVFD RL gtt 20x/menit, O2 2-4 l/m, Inj.
Prosogan 2x1 vial, ISDN 3x5 mg, CPG 1x75 mg, Captopril 2x25 mg, Amlodipin
1x10 mg, Aspilet 1x80 mg.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
2. Santoso M, Setiawan T. 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran.
3. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:
EGC.
4. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. 2008. Braunwald’s Heart Diseases: A
Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier.
5. Fauci, Braunwald, dkk. 2010. 17thEdition Harrison’s Principles of Internal
Medicine. New South Wales: McGraw Hill.
6. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. 2008. Guidelines for the
management of the patients with ST- elevation myocardial infarction : a report of
the American College of Cardiology American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines.
7. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. 2006. Clinical policy: indications for
reperfusion therapy in emergency department patients with suspected acute
myocardial infarction. American College of Emergency Physicians Clinical
Policies Subcommittee (Writing Committee) on Reperfusion Therapy in
Emergency Department Patients with Suspected Acute Myocardial Infarction.
Ann Emerg Med.
8. Rieves D, Wright G, Gupta G. 2000. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT)
Evidence of Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial
Infarction. Am J Cardiol.
9. International Joint Efficacy Comparison of Thrombolytics. Randomized, Double-
blind Comparison of Reteplase Doublebolus Administration with Streptokinase in
Acute Myocardial Infarction. Lancet.1995.
35
10. Manning. 2004. JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York.
11. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. 2008. Management of
acute myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-segment
elevation: the Task Force on the Management of ST-Segment Elevation Acute
Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Eur Heart J.
12. Montalescot G, Barragan P, Wittenberg O, et al. 2001. for the ADMIRAL
(Abciximab before Direct Angioplasty and Stenting in Myocardial Infarction
Regarding Acute and Long-Term Follow Up) Investigators. Platelet Glycoprotein
IIb/IIIa inhibition with coronary stenting for acute myocardial infarction. N Engl J
Med.
13. Zeymer U, Gitt AK, Jünger C, et al. 2006. Acute Coronary Syndromes (ACOS)
registry investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital
survivors of acute ST-segment elevation myocardial infarction in clinical practice.
Eur Heart J.
36