PENDAHULUAN
1
ditemui sekitar 2-4 juta kasus epilepsi setiap tahunnya. Rata-rata
prevalensi epilepsi di seluruh dunia mencapai 8,2 per 1000 penduduk.
Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70
kasus per 100.000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak
cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan kemudian
meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.
Oleh karena itu saat ini telah berkembang terapi untuk para
penderita epilepsi. Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas
hidup optimal untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi2,3
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara
mendadak dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter
saraf otak.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi
didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang
epilepsi sebelumnya.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau
kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan
kejang.
2.2. Etiologi4
Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:
1. Neonatal
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik (hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6,
defisiensi biotinidase, fenilketonuria).
2. Bayi (1-6 bulan)
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik, spasme infantil, Sindroma West.
3. Anak (6 bulan-3 tahun)
Spasme infantil, kejang demam, kelainan saat persalinan dan anoksia,
infeksi, trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan
obat-obatan.
3
4. Anak (3-10 tahun)
Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi,
thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma
Lennox Gastaut, Rolandic epilepsi.
5. Remaja (10-18 tahun)
Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik, epilepsi
mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan.
6. Dewasa muda (18-25 tahun)
Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat
sedasi lainnya.
7. Dewasa (35-60 tahun)
Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya.
8. Usia lanjut (>60 tahun)
Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses, penyakit
degeneratif, trauma.
Gambar 2.1. Distribusi penyebab utama kejang di berbagai usia (diadaptasi dari berbagai
sumber termasuk Hauser dan Annegers serta Engel dan Pedley)
Sumber: (Ropper dan Brown, 2005)
2.3. Klasifikasi4
Klasifikasi epilepsi:
4
a. Bangkitan Parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a) Dengan gejala motorik.
b) Dengan gejala sensorik.
c) Dengan gejala otonomik.
d) Dengan gejala psikis.
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran.
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.
3) Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan
umum
b) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan
umum
c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)
1) Bangkitan lena (absence)
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi
mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan
klonik pada mata, dagu dan bibir.
2) Bangkitan mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih
ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.
3) Bangkitan tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan
kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh.
Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak
5
dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak
sensitif, dan pupil dilatasi.
4) Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau
menyeluruh sehingga pasien terjatuh.
5) Bangkitan klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi
kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.
6) Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat
kemudian diikuti oleh gerakan klonik.
2.4. Patofisiologi8
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak
dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas
muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran
aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi
sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di
antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,
aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi
yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika
hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi
impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi.
Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan
seluruh sel akan melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya
keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran
neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari
ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
6
depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron
secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas
serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat
pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-
neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra
dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus
berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-
neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
7
1. Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya
secara lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu
epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik
yang menggambarkan pasien bengong dan aktivitas normal mendadak
berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak
ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans
yaitu antara lain absans berasal darithalam us, hipotesis lain mengatakan
berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antarathalam us dan
korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-
kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi
ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada
korteks terjadi pada saat tidur non-REM. Patofisiologi epilepsi yang lain
adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian
besar pada gen yang mengkode protein kanal ion. Contoh: Generalized
epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions.
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks)
sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada
sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada
generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium
influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula
sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-
kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron. Hal yang sama terjadi
pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal
kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan
hipereksitasi pada sel neuron.
8
2. Patofisiologi Epilepsi Parsial
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas
adalah epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis
hipokampus. Pada sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus
dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input
eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus
dan input inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner
layer molecular). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas
hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal
dari korteks entorhinal. Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting
akson mossy-fiber balik ke lapisan molekular dalam (karena sel
pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang aberant ini menyebabkan
sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk sinaps pada dendrit
sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron eksitatori
yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara normal
mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di
hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis
di daerah proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel
granula dentatus baru dan pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan
eksitasi dan inhibisi. Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan
komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor
9
GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan
menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida.
Pada epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa
di sel granula dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas
terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme
inhibisi. Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya
epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak
maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas
NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan
berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih
sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian
sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.
10
reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai patologi terjadinya
kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini
merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian
neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-
gate (subunit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-
gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus
frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari
resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran
natrium, kalium dan kalsium merupakan ion- ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame
neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut
maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita
epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter
tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti
gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik,
glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam
penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal
sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.
2.5. Diagnosis9,10
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
1. Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat
paroksismal menunjukkan bangkitan epilepsy atau bukan epilepsi
2. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
tentukanlah bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan yang mana.
3. Langkah ketiga : tentukan etiologi, sindrom epilepsi apa yang
ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau epilepsy apa yang diderita oleh
pasien.
11
a. Anamnesis (auto dan alo-anamnesis)
1) Pola / bentuk bangkitan
2) Lama bangkitan
3) Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
4) Frekuensi bangkitan
5) Faktor pencetus
6) Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
7) Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
8) Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
bayi anak
9) Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
10) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
c. Pemeriksaan penunjang
1) Electroenchepalography (EEG)
EEG merupakan salh sati pemeriksaan penunjang yang membantu
dalam diagnosis dan klasifikasi epilepsi. Rekaman EEG sebaiknya
dilakukan pada sat bangunm tidurm dengan stimulasi fotik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada
epilepsy refleks).
Sebuah gambaran EEG normal tidak menyingkirkan diagnosis
epilepsi. Kelainan EEG pada orang dewasa dapat ditemukan sebesar
29-38%. Pada pemeriksaan ulang gambaran epileptiform dapat
meningkat menjadi 69-77%.
12
Bila EEG pertama normal sedangkan kecurigaan epilepsi sangat
tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah
bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya
kurangi tidur, atau dengan menghentikan obat anti-epilepsi.
Indikasi pemeriksaan EEG:
Membantu menegakkan diagnosis epilepsy
Menentukan prognosis pada kasus tertentu
Pertimbangan dalam penghentian OAE
Membantu dalam menentukan letak focus
Bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya.
13
Gambar 2.4. Gambaran EEG abnormal saat bangkitan kejang.
14
diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin memerlukan
terapi pembedahan.
Computed Tomography (CT Scan)
CT Scan memiliki peran dalam penilaian kejang dalam
kasus-kasus gawat darurat, atau ketika ada kontraindikasi
dilakukan MRI, missalnya pasien memiliki alat pacu jantung,
tetapi CT Scan memiliki tingkat spesifitas yang lebih rendah
dibandingkan MRI.
2) Pemeriksaan Laboratorium
Darah : pemeriksaan darah lengkap, apusan darah tepi, elektrolit,
kadar gula darah, fungsi hati (SGOT/SGPT), dan fungsi ginjal
(Ureum, Kreatinin).
Cairan Serebrospinal : Bila dicurigai ada infeksi SSP
15
Mata memandang jauh ke depan
Mungkin terdapat automatisme
Pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaaan bingung
Sesudah itu pasien melanjutkan aktivitas semula
Bangkitan umum tonik-klonik
Dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentakan, mioklonik
Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30
detik, diikuti gerakan kejang kelojotan pada kedua lengan dan
tungkai (fase klonik) selama 30-60 detik, dapat disertai mulut
berbusa.
Selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan
tampak bingung
Pasein sering tidur setelah bangkitan selesai
Bangkitan parsial sederhana
Tidak terjadi perubahan kesadaran
Bangkitan dimulai dari lengan, tungkai atau muka
(unilateral/fokal) kemudian menyebar pada sisi yang sama
Kepala mungkin berpaling kea rah bagian tubuh yang
mengalami kejang
Bangkitan parsial kompleks
Bangkitan fokal disertai terganggunya kesadaran
Sering diikuti oleh automatisme yang stereotipik seperti
mengunyah, menelan, tertawa dan kegiatan motorik lainnya
tanpa tujuan yang jelas.
Kepala mungkin berpaling ke arah bagian tubuh yang
mengalami kejang (adversif)
Bangkitan umum sekunder
Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks
dalam waktu singkat menjadi bangkitan umum.
Bangkitan parsial dapat berupa aura
16
Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik-
klonik.
2.8. Penatalaksanaan11,12,13,14
Prinsip terapi epilepsi:
a. Pemilihan obat : Disesuaikan dengan keadaan klini, efek samping,
interaksi antar-OAE (Obat anti epilepsi) , dan harga obat.
b. Strategi pengobatan : Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama
sesuai dosis, kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan
teratasi/didapat hasil yang optimal dan konsentrasi plasma OAE pada
kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak teratasi, secara
bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.
c. Konseling: Beritahukan kepada keliarga dan pasien bahwa
penggunaan OAE jangka lama tidak akan menimbulkan perlambatan
mental permanen dan pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat
menurunkan kemungkinan bangkitan berulang. Perubahan obat atau
dosis harus sepengetahuan dokter.
d. Tindak lanjut : Periksa pasien secara berkala dan awasi adanya
toksisitas OAE. Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan
secara periodic pada beberapa OAE. Penting juga dilakukan evaluasi
ulang fungsi neurologis secara rutin.
e. Penanganan jangka panjang: Teruskan pengobatan OAE sampai
pasien bebas bangkitan sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
f. Penghentian pengobatan: Dilakukan secara bertahap. Jika
pengehentian pengobatan dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus
dalam pengawasan ketat karena dapat mencetuskan bangkitan atau
bahkan bangkitan status epileptikus. Jika bangkitan timbul selama
atau sesudah penghentian pengobatan, OAE harus diberikan lagi
sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
g. OAE mulai diberikan bila:
1) Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
17
2) Terdapat minimum dua kali bangkitan dalam setahun
3) Setelah pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan
4) Pasien dan/atau keluarganya telah dibertahu tentang kemungkinan
efek samping.
18
Topiramat Blok sodium channel, meningkatkan influx 90% hati
GABA-Mediated chloride, modulasi efek
reseptor GABA, bekerja pada reseptro AMPA
Zonisamid Blok sodirum, potassioum, calcium channels, >90% hati
inhibisi eksitasi glutamat
19
ZNS
Keteragan: CBZ: Carbamazepine, CLB: Clobazam, CLZ: Clonazepam, ESM: Ethosuximide,
FBM: Felbarnate, GBP: Gabapentin, LEV: Levetiracetam, LTG: Lamotrigine, OXC:
Oxcarbazepine, PB: Phenobarbital, PGB: Pregabalin, PHT: Phenitoin, PRM: Pirimidon, TGB:
Tiagabine, TPM: Topiramate, VGB: Vigabirin, VPA: Sodium valproate, ZNS:Zonisamide.
20
sampai target
dalam 1-3 minggu
Levetiracetam 1000- 1000- 2x Mulai 500/1000 6-8 2
2000 3000 mg/hr tiap 2
minggu
Topiramat 100 100-400 2x Mulai 25 mg.hr 20-30 2-5
25-50 mg/hr tiap 2
minggu
Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x Mulai 300-900 5-7 2
mg.hr sampai 5-
10 hr
Lamotrigin 50-100 50-200 1-2x Mulai 25 mg/hr 15-35 2-6
selama 2 minggu
sampai 50 mg/hr
selama 2 minggu,
50mg/2minggu
Efek Samping penggunaan OAE antara lain dapat dilihat pada tabel berikut.
21
Fenobarbital Hepatotoksik, gangguan Mengantuk, ataksia,
jaringan ikat dan nistagmus, ruam kulit,
sumsum tulang, Steven depresi, hiperaktif, gangguan
Johnson Syndrom belajar.
Asam Valproat Hepatotoksisitas, Mual, muntah, rambut
hiperamonemia, menipis, tremor, amnore,
leucopenia, konstipasi
trombositopenia,
pankreatitis
Levetiracetam Belum diketahui Mual, nyeri kepala,
kelemahan, mengantuk,
gangguan perilaku
Gabapentin Belum diketahui Somnolen, kelelahan,
ataksia, , dizziness.
Lamotrigin Steven Johnson Ruam, dizziness, tremor,
Syndrom, gangguan ataksia, diplopia, pandangan
hepar akut, kegagalan kabur, nyeri kepala, mual,
multi-organ muntah, insomnia
Okskarbazepin Ruam kulit Dizzines, ataksia, nyeri
kepala, mual, kelelahan,
hiponatremia
Topiramat Batu ginjal, Gangguan kognitif,
hipohidrosis, gangguan dizziness, ataksia, nyeri
fungsi hati kepala, kelelahan,,
penurunan berat badan,
mual, parestesia, glukoma
Zonisamid Batu ginjal, Mual, nyeri kepala,
hipohidrosis, anemia dizziness, kelelahan,
aplastik parestesia, ruam, gangguan
berbahasa.
22
Penghentian Pemberian OAE
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE
dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Pada anak-anak
penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun
bebas bangkitan, sedangkan pada dewasa diperlukan waktu yang lebih
lama (5 tahun).
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai
berikut:
a. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya
setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan
b. Gambaran EEG normal
c. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
d. Bila digunakan lebih dari 1 OAE maka penghentian dimulai dari 1
OAE yang bukan utama
2.9. Prognosis15
Prognosis umumnya baik, 70 80% pasien yang mengalami
epilepsy akan sembuh, dan kurang lebih separo pasien akan bisa lepas obat
20 - 30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis dan
pengobatan semakin sulit sehingga 5 % di antaranya akan tergantung pada
orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Pasien dengan lebih dari satu jenis
epilepsi, mengalami retardasi mental, dan gangguan psikiatri dan
neurologik dapat menyebabkan prognosis yang buruk.
23
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia. Epilepsi
berpotensi untuk menimbulkan masalah sosio-ekonomi dan medikolegal
yang secara keseluruhan dapat menurunkan atau mengganggu kualitas
hidup pasien epilepsi. Oleh karena itu perlu dilakukan deteksi dini melalui
anamneses, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosa epilepsi dan dilakukan pemberian OAE yang sesuai
dengan jenis epilepsi untuk meningkatkan taraf hidup pasien epilepsi
dimasa yang akan datang.
24