Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama, baik di
negara berkembang maupun di negara maju. karena merupakan penyakit yang
menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di usia 5 tahun
(balita) juga pada lanjut usia. Kematian infeksi pneumonia terjadi lebih kurang 2
juta anak balita di Afrika dan Asia Tenggara.1
Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2011 terdapat 27,6 % kematian
bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori,
terutama pneumonia. Pada suatu penelitian di Amerika Serikat meneliti bahwa
pneumonia juga merupakan penyebab mortalitas yang tinggi pada lansia yang
menjalani perawatan di ICU (Intensive Care Unit) dimana dari 17,537 pasien
terdapat diantaranya 1,062 pasien meninggal akibat sepsis, 1,802 pasien
meninggal akibat pneumonia, 42 pasien meninggal akibat CLABSI (central-line-
associated bloodstream infection) dan 52 kasus pasien meninggal akibat VAP (
ventilator-associated pneumonia).1
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit infeksi saluran
pernapasan bawah merupakan kasus infeksius penyebab kematian terbesar di
seluruh dunia (urutan ketiga dari penyebab kematian secara umum), dengan angka
kematian mencapai 3,5 juta setiap tahunnya2. Dari data SEAMIC Health Statistic
2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di
Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor
6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2
sebagai penyebab kematian di Indonesia.2
Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa
hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan
kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia
diberikan antibiotika secara empiris.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari


bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pada pemeriksaan histologis terdapat pneumonitis, atau reaksi inflamasi berupa
alveolitis dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi.4
Secara umum, pneumonia dibagi menjadi dua kelompok utama, yakni
pneumonia dirumah perawatan (pneumonia nosokomial) dan pneumonia yang
didapat di masyarakat (pneumonia komunitas).4
Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar
rumah sakit, sedangkan pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah
dirawat di rumah sakit, baik di ruang rawat umum ataupun ICU (intensive care
unit) tetapi tidak sedang memakai ventilator.4

2.2. Epidemiologi
Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan
yang tinggi di seluruh dunia. Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran
napas bawah akut di parenkim baru dijumpai sekitar 15-20%.4
Kejadian Pneumonia nosokomial (PN) di ruang ICU lebih sering daripada
di ruangan umum, yaitu dijumpai pada hampir 25% dari semua infeksi di ICU,
dan 90% terjadi pada saat ventilasi mekanik.4
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa gangguan imunitas yang
jelas, namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati
adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh.4
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia (lansia) dan
sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), juga pada pasien yang
menderita diabetes mellitus (DM), payah jantung, penyakit arteri koroner,
insufisiensi ginjal, keganasan, penyakit saraf kronik dan penyakit hati kronik.
Faktor predisposisi antara lain kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, DM,
2
keadaan imunodefisensi, kelainan atau kelemahan struktur organ dada dan
penurunan kesadaran; juga adanya tindakan invasif seperti infus, intubasi,
trakeostomi, atau pemasangan ventilator.4
Di Amerika Serikat, pneumonia komunitas terjadi 12 kasus per 1000 orang
per tahunnya, namun insidensi meningkat sampai 12-18 kasus untuk pasien anak-
anak dibawah 4 tahun dan mencapai 20 kasus per 1000 orang untuk pasien diatas
60 tahun.5
Untuk pasien-pasien dengan rawatan ICU, sekitar 10% akan mengalami
pneumonia dari kebanyakan penelitian yang dilakukan, dimana ratio hazard
tertinggi adalah saat 5 hari pertama pemasangan ventilator.5

2.3 Etiologi

Etiologi pneumonia dapat bervariasi, yaitu dapat disebabkan bakteri, virus,


jamur, dan protozoa. Mikroorganisme tersering penyebab pneumonia adalah
bakteri.1,3
Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu1,4
a. Bakteri
1. Typical organism
Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :
 Streptococcus pneumoniae: merupakan bakteri anaerob fakultatif.
Bakteri patogen ini ditemukan pneumonia komunitas rawat inap di luar
ICU sebanyak 20-60%, sedangkan pada pneumonia komunitas rawat
inap di ICU sebanyak 33%.
 Staphylococcus aureus: bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang
diberikan obat secara intravena (intravena drug abusers) memungkinkan
infeksi kuman ini menyebar secara hematogen dari kontaminasi injeksi
awal menuju ke paru-paru. Kuman ini memiliki daya taman paling kuat,
apabila suatu organ telah terinfeksi kuman ini akan timbul tanda khas,
yaitu peradangan, nekrosis dan pembentukan abses. Methicillin-resistant
S. Aureus (MRSA) memiliki dampak yang besar dalam pemilihan
antibiotik dimana kuman ini resisten terhadap beberapa antibiotik.

3
 Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus grup D
yang merupakan flora normal usus.
Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif sering menyerang pada
pasien defisiensi imun (immunocompromised) atau pasien yang dirawat di rumah
sakit, dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama dan dilakukan pemasangan
endotracheal tube.
Contoh bakteri gram negatif dibawah adalah :
 Pseudomonas aeruginosa: bakteri anaerob, bentuk batang dan memiliki
bau yang sangat khas.
 Klebsiella pneumonia: bakteri anaerob fakultatif, bentuk batang tidak
berkapsul. Pada pasien alkoholisme kronik, diabetes atau PPOK
(Penyakit Paru Obstruktif Kronik) dapat meningkatkan resiko terserang
kuman ini.
 Haemophilus influenza: bakteri bentuk batang anaerob dengan berkapsul
atau tidak berkapsul. Jenis kuman ini yang memiliki virulensi tinggi
yaitu encapsulated type B (HiB)
2. Atypical organism
Bakteri yang termasuk atipikal adalah Mycoplasma sp., chlamydia
sp. , Legionella sp.

b. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet, biasanya
menyerang pada pasien dengan imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya
adalah cytomegalivirus, herpes simplex virus, varicella zooster virus.

c. Fungi
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur
opportunistik, dimana spora jamur masuk ke dalam tubuh saat menghirup udara.
Organisme yang menyerang adalah Candida sp.,Aspergillus sp., Cryptococcus
neoformans.

4
2.4 Faktor resiko

1. Komorbiditas dan Pengobatan.


Penyakit kronis pada saluran nafas terutama penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) dan asthma meningkatkan resiko pneumonia sebanyak 3-4 kali lipat.
Terapi inhalasi dan terapi oksigen yang digunakan pada penyakit ini dapat
menyebabkan mukosa nadal dan orofaring yang kering sehingga meningkatkan
lesi infeksi, sulit menelan dan resiko aspirasi.Sebanyak 1/3-1/2 kasus pneumonia
didahului dengan riwayat infeksi saluran nafas atas dan infeksi virus dengan
prognosis yang lebih buruk. Teknik diagnostik dan terapeutik pada saluran nafas
dapat menyebabkan kontaminasi, mengganggu penghalang aspirasin alami yaitu
epiglotis dan mendestruksi epitel saluran nafas sehingga menfasilitasi infeksi.6
Pasien refleks gastroesofagus dan ulkus gastroduodenum dengan resiko
pneumonia harus menghindari atau merendahkan dosis obat pengurangan asam
lambung terutama PPI karena pengurangan asam lambung yang berfungsi dalam
bakteriosidal dapat menfasilitasi kolonisasi patogen di saluran cerna atas dan
saluran nafas atas. Pasien HIV dan AIDS sering menderita pneumonia oleh kuman
pneumocystis jarovicii, Mycobakterium, Cytomegalovirus, Aspergillus dan
Toxoplasma gondii. Penyakit imunodefisiensi lain termasuk kanker terutama
leukemia dan Hodgkin’s limfoma, kemoterapi dan transplantasi organ. Pasien
dengan riwayat operasi misalnya operasi yang mengganggu mekanisme batuk,
splenektomi, aneurisme aorta abdomen juga beresiko.6,7
Efek imunosupresif kortikosteroid oral yang meningkatkan resiko dan
keparahan infeksi juga berhubungan dengan terjadinya pneumonia. Pasien yang
mendapat terapi antibiotik dalam 90 hari terakhir juga beresiko karena
penggunaan antibiotik yang tidak benar dapat meningkatkan resistensi bakteri
terhadap antibiotik dan mengganggu flora normal bakteri pada tubuh manusia.
Riwayat rawat inap mempunyai resiko pneumonia yang tinggi jika keadaan
kemungkinan terjadinya aspirasi misalnya gangguan kesadaran, penderita yang
sedang diintubasi, penderita stroke, pasien dengan disfagia atau posisi pasien yang
salah. Dementia juga menyebabkan disfagia dan sulit menelan sehingga dapat
terjadi pneumonia.6,7
5
2. Faktor Demografik dan Sosioekonomi
Resiko pneumonia meningkat dengan peningkatan usia terutama pada
umur lebih daripada 65 tahun oleh karena penurunan sistem pertahanan tubuh dan
munculnya penyakit lain. Belum terbukti bahwa jenis kelamin berhubungan
dengan resiko pneumonia tetapi pada beberapa penelitian prognosis pneumonia
pada laki-laki 30% lebih burruk dibanding dnegan wanita. Hal ini mungkin
berhubungan dengan disparitas genetik.Lingkungan hidup yang terlalu ramai (>
10 orang dalam satu rumah) juga merupakan faktor resiko, misalnya di rumah
perawatan atau asrama karena lebih mudah terjadi penyebaran kuman antara satu
sama yang lain. Tingkat edukasi yang rendah disertai kebiasaan diet dan
kebersihan pribadi yang spesifik juga berpengaruh. Berat badan yang rendah lebih
beresiko terhadap pneumonia dibanding dengan berat badan normal karena sering
berhubungan dengan penyakit atau malnutrisi yang dapat menurunkan fungsi
imun tubuh.6,7
3. Faktor Kebiasaan Pribadi
Kebiasaan merokok dan polusi lingkungan merupakan faktor resiko
pneumonia. Kebiasaan merokok satu bungkus per hari dapat meningkatkan resiko
pneumonia sebanyak tiga kali lipat, begitu juga dengan mereka yang terkena asap
rokok secara kronis. Hal ini terjadi karena asap rokok dapat menyebabkan
kerusakan pada mukosilia yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan saluran
nafas dengan transportasi kuman patogenik keluar dari saluran nafas. Asap
beracun, industru dan polusi udara lain juga dapat merusakkan mukosilia tersebut.
Penggunaan narkoba dan alkoholismus juga berhubungan dengan pneumonia
karena bersifat sedatif yang dapat mengganggu refleks batuk dan transportasi
mukosiliar sehingga meningkatkan resiko kolonisasi kuman. Alkohol dapat
mengganggu efek makrofag yaitu sel darah putih yang berfungsi dalam destruksi
kuman. Penggunaan narkoba secara intravenous dapat menyebabkan penyebaran
kuman dari situs injeksi ke paru melalui pembuluh darah.6,7

2.5. Klasifikasi8,9

1. Berdasarkan Klinis dan Epidemiologis

6
a. Pneumonia komuniti (CAP) merupakan suatu infeksi akut parenkim
paru yang sesuai dengan gejala infeksi akut, diikuti dengan infiltrat
pada foto thoraks, auskultasi sesuai dengan pneumonia.
b. Pneumonia nosokomial (HAP) merupakan pneumonia yang terjadi 72
jam atau lebih setelah masuk rumah sakit. Pasien di dalam rumah
sakit mempunyai faktor resiko yang lebih termasuk ventilasi
mekanikal, malnutrisi kronis, komorbiditas dan gangguan imun.
Mikroorganisme pada pneumonia nosokomial juga berbeda misalnya
MRSA, pseudomonas dan enterobakter. Pneumia ventilator
merupakan salah satu jenis HAP yaitu pneumonia yang terjadi 48 jam
atau lebih setelah intubasi dan ventilasi mekanik.
c. Pneumonia aspirasi atau pneumonitis aspirasi disebabkan oleh
aspirasi banda asing berasal dari oral atau gaster sewaktu makan atau
refluks dan muntah yang sering mengandungi bakteri anaerobik
sehingga sering menyebabkan bronkopneumonia.
d. Pneumonia pada penderita imunokompromis
2. Berdasarkan penyebab
a. Pneumonia tipikal: bersifat akut dengan gejala demam tinggi,
menggigil, batuk produktif dan nyeri dada. Seacara radiologis bersifat
lobaris atau segmental. Biasanya disebabkan bakteri gram positif dan
ekstraseluler misalnya S.pneumonia, S.piogenes dan H. Influenza.
b. Pneumonia atipikal: bersifat tidak akut dengan gejala demam tanpa
menggigil, batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, ronki basah yang
difus dan leukositosis ringan. Penyebab biasanya mycoplasma
pneumonia dan chlamnydia pneumonia.
c. Pneumonia virus menyebabkan gejala seperti influenza yaitu demam,
batuk kering, sakit kepala, nyeri otot dan kelemahan. Penyebabnya
merupakan influenza virus, parainfluenza virus, rhinovirus dan lain-
lain. Pneumonia jamur: aspergilus, histoplasma kapsulatum.
3. Berdasarkan predileksi lokasi secara radiologis
a. Pneumonia lobaris merupakan infeksi paru yang akut dan hanya
melibatkan satu lobus paru dan sering disebabkan oleh streptokokus

7
pneumoniae dan klebsiella pneumoniae serta stafilokokus aureus,
streptokokus B hemolitik dan haemofilus influenza.
b. Bronkopneumonia merupakan infeksi akut yang melibatkan tubulus
terminal di dalam paru yaitu bronki atau bronkiolus yang
menyebabkan eksudasi purulen yang menyebar ke alveoli di
sekitarnya secara endobronkial sehingga menyebabkan konsolidasi
“patchy”. Tipe ini sering terjadi pada usia muda atau tua dan pada
kondisi dengan komorbiditas. Penyebabnya yang sering termasuk
streptokokus, stafilokokus aureus, dan hemofilus influenza.
c. Pneumonia interstitialis, juga disebutkan pneumonitis interstitial,
merupakan infeksi di ruangan antara alveoli dan sering disebabkan
oleh virus atau bakteri atipikal. Ciri khasnya ada edema septa
alveolaris dan infiltrat mononuklear.

2.6. Patogenesis10,11
Pneumonia terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh, mikroorganisme dan lingkungan sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Faktor imunitas inang termasuk
mekanisme pertahanan tubuh non spesifik berupa proteksi mekanik untuk refleks
batuk dan koordinasi epiglottis, klirens sekresi lendir dan keutuhan epitel bronkus
serta mekanisme pertahanan tubuh spesifik berupa kemampuan pembentukan
antibodi, adanya komponen komplemen serum dan tingkat kuantitatif /kualitatif
sel-sel fagosit. Faktor lingkungan menunjukkan perbedaan jenis kuman yang ada
di suatu daerah atau dalam dan di luar rumah sakit. Faktor ini juga pengaruh dari
sanitasi dan polusi udara. Faktor kuman adalah sifat/ karakteristik dari jenis
kuman yang menginfeksi penderita yang akan menghasilkan gejala yang khas.
Ada beberapa cara mikroorganisme masuk ke saluran nafas yaitu (1)
inokulasi langsung misalnya pada intubasi trakea dan luka tembus yang mengenai
paru, (2) penyebaran melalui pembuluh darah dari tempat lain di luar paru
misalnya endokarditis, (3) inhalasi dari aerosol yang mengandung kuman serta (4)
kolonisasi di permukaan mukosa akibat aspirasi sekret orofaring yang
mengandung kuman.
8
Kuman yang telah masuk ke dalam parenkim paru akan berkembang biak
dengan cepat masuk ke dalam alveoli dan menyebar ke alveoli lain melalui pori
interalveolaris dan percabangan bronkus. Kapiler di dinding alveoli mengalami
kongesti dan alveoli berisi cairan edema. Kuman berkembang biak tanpa
hambatan dan beberapa neutrofil dan makrofag masuk ke dalam alveoli melalui
pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor. Selanjutnya, kapiler yang telah
mengalami kongesti disertai dengan diapedesis sel –sel eritrosit. Alveoli dipenuhi
oleh eksudat dan kapiler menjadi terdesak dan jumlah leukosit meningkat. Dengan
adanya eksudat yang mengandung leukosit ini maka perkembang biakan kuman
menjadi terhalang bahkan difagositosis. Pada saat ini juga akan terbentuk
antibodi. Bila tubuh berhasil membinasakan kuman. Makrofag akan terlihat dalam
alveoli beserta sisa-sisa sel. Yang khas adalah tidak adanya kerusakan dinding
alveoli dan jaringan interstitial. Arsitektur paru kembali normal.

Terdapat 4 zona pada daerah reaksi inflamasi, antara lain (1) Zona luar,
alveoli yang terisi bakteri dan cairan edema, (2) zona permulaan konsolidasi yang
terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah, (3) zona konsolidasi
luar, daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang
banyak, dan (4) zona resolusi, daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan makrofag alveolar, sehingga terlihat dua gambaran
yaitu hepatisasi merah yaitu daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan
dan hepatisasi kelabu yaitu daerah konsolidasi yang luas.

2.7 Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian
terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat
penyakit, dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan mikroorganisme
penyebab infeksi akan mengarahkan kepada pemilihan terapi empiris antibiotik
yang tepat. Seringkali bentuk pneumonia mirip meskipun disebabkan oleh bentuk
kuman yang berbeda. Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit
yang lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang.12

9
1. Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kuman penyebab yang berhubungan dengan
factor infeksi:
a. Evaluasi factor pasien/predisposisi: PPOK (H. influenzae), penyakit kronik
(kuman jamak), kejang/tidak sadar (aspirasi Gram negative/anaerob),
penurunan imunitas (kuman Gram negative, Pneumocystic carinii, CMV,
Legionella, jamur, Mycobacterium), kecanduan obat bius (Staphylococcus).
b. Bedakan lokasi infeksi: Pneumonia Komunitas (Streptococcus pneumoniae,
H. influenzae, M. pneumonia), rumah jompo, Pneumonia Nosokomial
(Staphylococcus aureus), Gram negative.
c. Usia pasien: bayi (virus), muda (M. pneumoniae), dewasa (S. pneumoniae).
d. Awitan: cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S. pneumoniae);
perlahan, dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae). 11

2. Pemeriksaan Fisik
Persentasi bervariasi tergantung etiologi, usia, dan keadaan klinis.
Perhatikan gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab/patogenitas
kuman dan tingkat berat penyakit.
a. Awitan akut biasanya oleh kuman pathogen seperti S. pneumonia,
Streptococcus spp., Staphylococcus. Pneumonia virus ditandai dengan
myalgia, malaise, batuk kering dan nonproduktif;
b. Awitan lebih insidious dan ringan pada orangtua/imunitas menurun akibat
kuman yang kurang patogen /oportunistik, misalnya Klebsiella,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anaerob, jamur.
c. Tanda-tanda fisik pada tipe pneumoniaklasik bisa didapatkan berupa
demam, sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang
pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronchial). Bentuk klasik pada
pneumonia komunitas primer berupa bronkopneumonia, pneumonia
lobaris, atau pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas
dijumpai pada pneumonia komunitas yang sekunder (didahului penyakit
dasar paru) ataupun pneumonia nosokomial. Dapat diperoleh bentuk
manifestasi lain infeksi paru seperti efusi pleura,

10
pneumotoraks/hidropneumotoraks. Pada pasien pneumonia nosokomial
atau dengan gangguan imun dapat dijumpai gangguan kesadaran oleh
hipoksia.
d. Warna, konsistensi, dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan.11

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologis
Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air
bronchogram (airspace disease) misalnya oleh Streptococcus pneumoniae,
bronkopneumonia (segmental disease) oleh antara lain Staphylococcus,
virus atau mikoplasma; dan pneumonia interstitial (interstitial disease) oleh
virus dan mikoplasma. Distribusi infiltrat pada segmen apical lobus bawah
atau inferior lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada pasien
yang tidak sadar, lokasi ini bisa dimana saja. Infiltrate di lobus atas sering
ditimbulkan Klebsiella spp, tuberkulosis atau amiloidosis.
Pada lobus bawah dapat terjadi akibat Staphylococcus atau bakteremia.
Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air-fluid level sugestif untuk abses paru,
infeksi anaerob, Gram negatif atau amiloidosis. Efusi pleura dengan
pneumonia sering ditimbulkan S. pneumoniae. Dapat juga oleh kuman
anaerob, S. pyogenes, E. coli dan Staphylococcus (pada anak). Kadang-
kadang oleh K. pneumoniae, P. pseudomallei. Pembentukan kista terdapat
pada pneumonia nekrotikans/supurativa , abses, dan fibrosis akibat
terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman S. aureus, K. pneumoniae,dan
kuman-kuman anaerob (Streptococcus anaerob, Bacteroides,
Fusobacterium). Ulangan foto perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan
adanya infeksi sekunder/tambahan, efusi pleura penyerta yang terinfeksi
atau pembentukan abses. Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis
ulangan foto dada dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4-
12 minggu.

11
Gambar 1.1 Tampak perselubungan inhomogen pada lapangan paru kanan
bagian atas13

b. Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada
infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respon leukosit, orangtua, atau
lemah. Leukopenia menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia
pada infeksi kuman gram negative atau S. aureus pada pasien dengan
keganasan dan gangguan kekebalan. Faal hati mungkin terganggu.11

c. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi
jarum transtorakal, torakosentesis, bronkoskopi, atau biopsi.untuk tujuan
terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin, Quellung test,
dan Z. Nielsen. Kuman yang predominan pada sputum yang disertai PMN
yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan
pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi
selanjutnya.11

12
d. Pemeriksaan Khusus
Titer antibody terhadap viru, legionella, dan mikoplasma. Nilai diagnostik
bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah dilakukan
untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen. Pada pasien
pneumonia nosokomial/pneumonia komunitas yang dirawat nginap perlu
diperiksakan analisa gas darah, dan kultur darah.11

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari penyakit pneumonia adalah sebagai berikut:12
1.Tuberculosis Paru (TB)
Tuberkulosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis
adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk
lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan
gejala sistemik meliputi demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu
makan dan penurunan berat badan.
2. Atelektasis
Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak
sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang
tidak mengandung udara dan kolaps. Memberikan gambaran yang mirip dengan
pneumonia tanpa air bronchogram. Namun terdapat penarikan jantung, trakea, dan
mediastinum ke arah yang sakit karena adanya pengurangan volume intercostal
space menjadi lebih sempit dan pengecilan dari seluruh atau sebagian paru-paru
yang sakit. Sehingga akan tampak thorax asimetris.
3. Efusi Pleura
Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air
bronchogram. Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan
jantung, trakea, dan mediastinum kearah yang sehat. Rongga thorax membesar.
Pada efusi pleura sebagian akan tampak meniscus sign, tanda khas pada efusi
pleura.

13
Untuk membedakan antara pneumonia, atelektasis, dan efusi pleura dilihat
dari adanya penarikan atau pendorongan jantung, trakea dan mediastinum ke arah
yang sakit atau sehat. Sementara untuk membedakan pneumonia dengan TB
adalah dilihat dari ada atau tidaknya kavitas yang umumnya terdapat pada lobus
paru bagian atas. Jadi dalam menegakkan pneumonia, sangat diperlukan
gambaran radiologis untuk penegakan diagnosis disamping pemeriksaan
laboratorium.

2.9. Penatalaksanaan
a. Terapi Kausal
Pasien pada awalnya diberikan terapi empiric yang ditujukan pada
pathogen yang paling mungkin menjadi penyebab atau antibiotik yang
berspektrum luas. Bila telah ada hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Pada
pasien rawat inap antibiotik harus diberikan dalam 8 jam pertama dirawat di
rumah sakit.11
Pilihan antibiotika yang disarankan pada pasien dewasa dengan
pneumonia komunitas adalah golongan makrolida atau doksisiklin atau
fluoroquinolon terbaru. Namun untuk dewasa muda yang berusia antara 17-40
tahun pilihan doksisiklin lebih dianjurkan karena mencakup mikroorganisme
atypical yang mungkin menginfeksi. Untuk bakteri Streptococcus pneumoniae
yang resisten terhadap penicillin direkomendasikan untuk terapi beralih ke
derivate fluoroquinolon terbaru. Sedangkan untuk pneumonia komunitas yang
disebabkan oleh aspirasi cairan lambung pilihan jatuh pada amoksisilin-
klavulanat. Golongan makrolida yang dapat dipilih mulai dari eritromisin,
claritromisin serta azitromisin. Eritromisin merupakan agen yang paling
ekonomis, namun harus diberikan 4 kali sehari. Azitromisin ditoleransi dengan
baik, efektif dan hanya diminum satu kali sehari selama 5 hari, memberikan
keuntungan bagi pasien. Sedangkan klaritromisin merupakan alternatif lain bila
pasien tidak dapat menggunakan eritromisin, namun harus diberikan dua kali
sehari selama 10-14 hari. Sedangkan pemilihan antibiotika untuk pneumonia
nosokomial memerlukan kejelian, karena sangat dipengaruhi pola resistensi
antibiotika baik in vitro maupun in vivo di rumah sakit. Sehingga antibiotika yang

14
dapat digunakan tidak heran bila berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah
sakit lain. Namun secara umum antibiotika yang dapat dipilih sesuai tabel
dibawah ini.13

Tabel 1.1 Antibiotika pada terapi Pneumonia13


Dosis

Kondisi Dosis Anak Dewasa


Patogen Terapi (dosis
Klinik (mg/kg/hari)

total/hari)

Sebelumnya Pneumococcus, Eritromisin 30-50 1-2 g


sehat
Mycoplasma Klaritromisin 15 0,5-1 g

Pneumoniae Azitromisin 10 pada hari


1, diikuti 5
mg

selama 4
hari

Komorbiditas S. pneumoniae, Cefuroksim 50-75 1-2 g

(manula, Hemophilus Cefotaksim 50-75 1-2 g

DM, gagal influenzae, Ceftriakson 50-75 1-2 g

ginjal, gagal Moraxella


jantung, catarrhalis,

keganasan) Mycoplasma,

Chlamydia

pneumoniae dan

Legionella

15
Aspirasi Anaerob mulut Ampicilin 100-200 2-6 g

Community Anaerob mulut, Amoxicillin 100-200 2-6 g


S.aureus, gram(-)
Hospital Klindamisin 8-20 1,2-1,8 g
enterik
Klindamisin 8-20 1,2-1,8 g

+aminoglikosida .

Nosokomial

Pneumonia K. pneumoniae, Cefuroksim 50-75 1-2 g.


Ringan, Onset P. aeruginosa,
Cefotaksim 50-75 1-2 g.
<5 hari,
Enterobacter
Risiko Ceftriakson 50-75 1-2 g
spp.
rendah Ampicilin-Sulbaktam 100-200 4-8 g
S. aureus,
Tikarcilin-klav 200-300 12 g

Gatifloksasin - 0,4 g

Levofloksasin - 0,5-0,75
g

Pneumonia K. pneumoniae, Gentamicin/Tobramici 7,5 4-6


P. aeruginosa, n mg/kg
berat**, -
Enterobacter atau Ciprofloksasin )*
Onset > 5 150
spp. +
0,5-1,5 g
hari, Risiko 100-150
S. aureus, Ceftazidime atau
2-6 g
Tinggi
Cefepime atau
2-4 g
Tikarcilinklav/

Meronem/Aztreonam

Keterangan :
16
*) Aminoglikosida atau Ciprofloksasin dikombinasi dengan salah satu antibiotika
yang terletak di bawahnya dalam kolom yang sama.
**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis berat,
gagal ginjal.
b. Terapi Suportif
Terapi suportif yang dapat diberikan pada pasien dengan pneumonia
adalah sebagai berikut.11
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96%
berdasarkan pemeriksaan analisa gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat
disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk,
khususnya anjuran untuk batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish
mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan pengeluaran CO2. Posisi
tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan.
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia,
dan paru lebih sensitive terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat
pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik,
termasuk pada gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud
mengencerkan dahak tidak diperkenankan.
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini
tidak bermanfaat pada renjatan septik.
6. Pertimbangkan obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang
diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal pre
renal.
7. Ventilasi mekanis. Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada
pneumonia adalah:
a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan
menggunakan masker.konsentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan
kompliens paru hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu
dipergunakan PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan
FiO2 menjadi 50% atau lebih rendah.

17
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan CO2 didapat asidosis, henti
napas, retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
8. Drainase empiema bila ada.
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi yang cukup kalori terutama
didapatkan dari lemak (50%), hingga dapat dihindari produksi CO2 yang
berlebihan.

2.9 Komplikasi11

Dapat terjadi komplikasi pneumonia ekstrapulmoner, misalnya pada


pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi berupa meningitis, arthritis,
endokarditis, perikarditis, peritonitis dan empiema. Komplikasi
ekstrapulmoner non infeksius bisa terjadi gagal ginjal, gagal jantung, emboli
paru/infark paru, dan infark miokard akut acute respiratory distress
syndrome (ARDS), gagal organ jamak, dan pneumonia nosokomial.

2.10 Prognosis11
1. Pneumonia Komunitas
Secara umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokus
sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang tua dengan kondisi yang
buruk. Pneumonia dengan influenza di USA merupakan penyebab kematian
no. 6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia sebesar
89%.
2. Pneumonia Nosokomial
Angka mortalitas dapat mencapai 33-50% yang bisa mencapai 70%
bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya.
Penyebab kematian biasanya adalah akibat bakteriemi terutama oleh P.
Aeruginosa atau Acinobacter spp.

18
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. D.B
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 79 tahun
Tempat dan tanggal lahir : Bahu, 07 November 1939
Alamat : Bahu, Siau Timur
Pekerjaan : Pensiunan
Agama : Kristen Protestan
MRS : 13 Desember 2017

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak
Keluhan Tambahan : Batuk dan demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak ± 1 minggu SMRS, memberat
sejak 1 hari SMRS. Sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Pasien tidur menggunakan
satu bantal. Batuk dirasakan oleh pasien sejak 2 minggu SMRS, berdahak, warna
kehijauan dan tidak ada darah. Pasien juga mengeluh demam sejak 1 minggu SMRS,
turun dengan obat penurun panas kemudian naik lagi. Riwayat penurunan berat badan
disangkal. Keringat malam disangkal oleh pasien. BAB dan BAK dalam batas
normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Diabetes mellitus disangkal
- Hipertensi disangkal
- Penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Di keluarga tidak ada yang mengeluh hal yang sama


- Diabetes Melitus disangkal
- Hipertensi disangkal

19
- Penyakit jantung disangkal

Riwayat Alergi :

Riwayat alergi obat-obatan dan makanan disangkal

Riwayat Psikososial :

Pasien mengkonsumsi r (+) berhenti sejak 10 tahun yang lalu.

Riwayat Pengobatan :

Belum pernah diobati

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Sakit Sedang
2. Kesadaran : GCS E4V5M6 (Compos Mentis)
3. Vital Sign
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 98 kali/menit
Respirasi : 38 kali/menit
Suhu : 39 o C
4. Kepala
Conjungtiva : anemis (-)
Pupil : bulat, isokor, uk. O 3 mm kiri = kanan, RC +/+
Mulut : Bibir dan mukosa mulut basah
5. Thoraks
Paru
Inspeksi : gerakan pernapasan kiri = kanan
Palpasi : stem Fremitus kiri = kanan,
nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : suara pernapasan vesikuler kiri = kanan
suara napas tambahan: ronkhi (+/+), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
20
Perkusi : batas jantung kanan di ICS IV linea parasternalis Dekstra
batas jantung kiri di ICS V linea mid clavikula sinistra
Auskultasi : S1 S2 normal, regular, murmur (-)
6. Abdomen
Inspeksi : datar

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : lemas, hepar/lien tidak teraba, turgor kulit kembali cepat, nyeri
tekan epigastrium

Perkusi : timpani
7. Ekstremitas : Edema (-), akral hangat, CRT <2”

Laboratorium tanggal 13 Desember 2017

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hb 13.1 g/dl 11.0 – 16.5

Leukosit 20.9 103/mm3 3.5 – 10.0

Limfosit 9.1 L% 17.0 – 48.0

Monosit 2.3 L% 4.0 – 10.0

Granulosit 88.6 H% 43.0 – 76.0

Eritrosit 4.17 106/mm3 3.80 – 5.80

Trombosit 189 103/mm3 150 – 450

MCV 91 µm3 80 – 97

MCH 31.4 pg 26.3 – 33.5

MCHC 34.4 g/dl 31.5 – 35.0

D. Resume
Tn. D.B, 79 tahun mengeluh sesak napas sejak 1 minggu SMRS, memberat sejak 1
hari SMRS. Batuk (+) sejak 2 minggu SMRS, berdahak warna kehijauan, darah (-).
21
Demam (+) sejak 1 minggu SMRS, turun dengan obat penurun panas kemudian naik
lagi.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan: tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 98 kali/menit,
respirasi 38 kali/menit, suhu 9o C, ronki didapatkan di kedua lapang paru.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.900 dan granulosit 88.6.
E. Diagnosis
Pneumonia

F. Tatalaksana
- O2 4 lpm
- IVFD NaCl 0,9% 14 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr IV (ST)
- Inj. Dexametason 3 x 1 amp IV
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV
- Paracetamol 2 x 1000 mg IV drips

Rencana :
- Foto thorax
- EKG
- Sputum BTA
- Kultur darah

G. Follow Up

Hari/Tanggal/Jam Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter

Kamis, 14/12-17 S: P:
08:00 - Sesak  - O2 4 lpm
- Batuk + - IVFD NaCl 0,9% 14 tpm
- Panas(-) - Ceftriaxon 2 x 1 gr IV
O: (H2)
- Dexametason 2 x 1 amp
KU: Sedang Kes:CM IV
- Ranitidin 2 x 1 amp IV
TD: 110/60 N: 88x/m R: 26x/ - Paracetamol drips 2 x
1000 mg (k/p)
SB: 36,8C - Asetilsistein 2 x 200 mg
PO
St. Generalis:

Kep: CA (-), SI (-)

Thorax:

Pulmo: Sp. Vesikuler Rh +/+. Wh


-/-

Cardio: BJ I-II N, Bising (-)

22
Abdomen: NTE (-), BU (+)

Edema:

A: Pneumonia

Jumat, 15/12-17 S: - sesak  P:


08:00 - batuk  - O2 (k/p)
- IVFD NaCl 0,9% 14 tpm
KU: Sedang Kes:CM - Ceftriaxon 2 x 1 gr IV
(H3)
TD: 120/80 N: 90x/m R: 24x/ m - Dexametason 1 x 1 amp
IV
SB: 37̊C - Ranitidin 2 x 1 amp IV
- Asetilsistein 2 x 200 mg
St. Generalis: PO
- Cek DL besok pagi
Kep: CA (-), SI (-)

Thorax:

Pulmo: Sp. Vesikuler Rh +/+. Wh


-/-

Cardio: BJ I-II N, Bising (-)

Abdomen: NTE (-), BU (+)

Edema:

A: Pneumonia

Sabtu, 16/12-17 S: - sesak − P:


08:00 - batuk − -Aff IVFD
-Levofloxacin 1 x 500 mg
KU: Sedang Kes:CM -Ranitidin 150 mg 2 x 1
-Asetilsistein 2 x 200 mg
TD: 120/80 N: 84 x/m R: 22x/m PO
- Rawat jalan
SB: 36,2C

St. Generalis:

Kep: CA (-), SI (-)

Thorax:

Pulmo: Sp. Vesikuler Rh +/+. Wh


-/-

23
Cardio: BJ I-II N, Bising (-)
Hasil Lab 16/12-17
Abdomen: NTE (-), BU (+)

Edema:

A: Pneumonia

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hb 14.5 g/dl 11.0 – 16.5

Leukosit 10.3  103/mm3 3.5 – 10.0

Limfosit 13.9 L% 17.0 – 48.0

Monosit 5.6 L% 4.0 – 10.0

Granulosit 78.5 H% 43.0 – 76.0

Eritrosit 4.45 106/mm3 3.80 – 5.80

Trombosit 209 103/mm3 150 – 450

MCV 92 µm3 80 – 97

MCH 32.5 pg 26.3 – 33.5

MCHC 35.4 g/dl 31.5 – 35.0

24
BAB IV

DISKUSI KASUS

Teori Kasus

Gejala Klinis Pneumonia Pada pasien ini dijumpai

- Sesak nafas - Sesak Nafas


- Batuk (non produktif maupun
produktif) - Batuk berlendir warna hijau
- Demam
Pemeriksaan Fisik Pada pasien ini dijumpai

Biasanya pada pasien pneumonia adanya takipnu, dan suara pernafasan


dijumpai adanya ketinggalan bernafas bronkial. Dijumpai pula suara tambahan
atau adanya retraksi dada, takipnu, suara berupa ronkhi di lapangan tengah paru
pernafasan bronkial. Dapat dijumpai kanan.
adanya suara tambahan berupa ronkhi di
daerah paru yang terlibat.

Pemeriksaan Penunjang Pada pasien ini dijumpai

Pada pemeriksaan darah rutin, biasanya Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai
dijumpai adanya peningkatan jumlah sel adanya peningkatan jumlah sel darah
darah putih yang menandakan adanya putih (20.900/mm3).
proses infeksi.

Pada pemeriksaan radiologis, gambaran


pneumonia dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan air bronchogram.

Penatalaksanaan Pada pasien ini dijumpai

Penatalaksanaan kausal, yaitu dengan pemberian antibiotik berupa pemberian


antibiotik. Biasanya pemberian antibiotik ceftriaxone 2gram/12 jam/IV. Oksigenasi
secara empiris tanpa faktor risiko multi melalui nasal kanul dan cairan intravena
drug resistance, yaitu pemberian juga diberikan. Pemberian dexametasone
antibiotik ceftriaxone, moksifloksasin, sebagai anti radang berperan dalam
ciprofloksasin, levofloksasin, atau mortalitas dan morbiditas.
ampisilin dan ertapenem.

25
BAB V

KESIMPULAN

Bapak DB, usia 79 tahun, mengalami pneumonia dan diberi tatalaksana berupa
oksigenasi, cairan intravena, pemberian antibiotik ceftriaxone 2 gram/12 jam/IV
serta dexametasone sebagai anti radang.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmawati, FA. 2014. Angka Kejadian Pneumonia pada Paisen Sepsis di


ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang. Available from
http://eprints.undip.ac.id/44629/3/FIDA_AMALINA_22010110120027_B
AB2KTI.pdf (Accessed 24 September 2015)
2. Wunderick, RG et al. 2014. Community-Aquired Pneumonia. The New
England Journal of Medicine 370(6): 543-551.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti.
Available from http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-
pneumoniakom/pnkomuniti.pdf (accessed 24 September 2015)
4. Dahlan, F. 2000. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
5. Mandell, LA. 2012. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 18th
Edition. Volume I. USA: Mc-GrawHill.
6. Almirall, J., Bolibar, I. and Serra-Prat, M. (2015). Risk factors for community-
acquired pneumonia in adults: Recommendations for its prevention. Community
Acquir Infect, 2(2), p.32.
7. Harvey, S. (2012). Pneumonia. [online] University of Maryland Medical Center.
Available at: http://umm.edu/health/medical/reports/articles/pneumonia
[Accessed 24 Apr. 2015].
8. Yudh Dev, S. (2012). Pathophysiology of Community Acquired Pneumonia.
JAPI, 60, pp.7-9.
9. Newsmedical.net, (2011). pneumonia classification. [online] Available at:
http://www.newsmedical.net/health/PneumoniaClassification.aspx [Accessed 25
Sep. 2015].
10. Steven, S. (2010). community pneumonia. [online] Clevelandclinicmeded.com.
Available at:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectio
usdisease/communityacquiredpneumonia/Default.htm [Accessed 25 Sep. 2015].

11.Sudoyo, Aru W. dkk (Editor). 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Ed
5. Jakarta : Interna Publishing

12. Sjahriar Rasad. 2005. Radiologi Diagnostik ed 2. Jakarta: Badan Penerbit


FK UI
27
13. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan. Jakarta: Departemen Kesehatan

28

Anda mungkin juga menyukai