Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Epidemiologi
Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia. Penyebab tersering Community Acquired Pneumonia
(CAP) disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, namun 30-40% infeksi ini
disebabkan oleh patogen pernafasan atypical. Tiga penyebab utama yang tersering
adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydophila pneumoniae dan Legionella
pneumophila. Infeksi yang disebabkan kuman patogen ini memberikan gejala dan
tanda yang tidak khas sehingga sering tidak terdiagnosa. 1 Pneumonia atypical
dapat juga disebabkan oleh virus-virus saluran pernafasan seperti virus influenza,
Adenovirus, Respiratory Syncytial Viruses (RSVs). Data menunjukkan bahwa
virus menyebabkan 18% kasus CAP yang memerlukan perawatan di rumah sakit.4
Pada suatu studi surveilans yang berbasis populasi, dilaporkan bahwa
Mycoplasma pneumoniae merupakan patogen dominan yang menyebabkan 1/3
kasus Community Acquired Pneumonia. Chlamydia pneumoniae menjadi
penyebab 8,9% kasus Community Acquired Pneumonia sedangkan Legionella
menyebabkan 3% kasus.2
Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Zaki dan Godal melaporkan bahwa
Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Legionella pneumoniae,
Coxiella burnetti, Adenovirus, dan virus influenza merupakan patogen-patogen
yang menyebabkan Community Acquired Pneumonia. Streptococcus pneumoniae
(22%) diikuti oleh Haemophillus influenza (18%), Mycoplasma pneumoniae (5%)
dan Legionella pneumophila (5%) merupakan bakteri yang paling sering diisolasi.
Penyebab tersering reaksi serologis yang positif adalah Chlamydia pneumoniae
(30%) dan Adenovirus (30%).2

1.2 Definisi
Istilah pneumonia atypical atau walking pneumonia pertama kali
dicetuskan pada tahun 1938 untuk merujuk pneumonia yang disebabkan oleh
bakteri atau patogen lain yang tidak biasanya berhubungan dengan pneumonia.
Gejala dan gambaran radiologi walking pneumonia berbeda dari pneumonia
konvensional dan biasanya menunjukkan gambaran infeksi ekstraparu.3
Terdapat 5 patogen yang paling sering menyebabkan pneumonia atypical,
antara lain : Legionella pneumonie, Chlamydophila pneumonia, Mycoplasma
pneumoniae, Coxiella burnetti, dan Chlamydophila psitacci. Infeksi pada
umumnya berhubungan dengan anak-anak di pusat-pusat daycare, usia lanjut,
perokok, dan pasien dengan penyakit kronis atau kelainan imunodefisiensi.3
Kebutuhan

antibiotik

untuk

mengcover

patogen

atypical

masih

kontroversial. Meskipun tidak banyak penelitian yang menggambarkan perlunya


terapi antibiotik untuk patogen atypical, sudah ada penelitian tentang perlunya
terapi pada infeksi oleh Legionella. Placebo-controlled trials dan penelitian
random yang membandingkan

azithromycin,

tetracycline

dan penicillin

menunjukkan bahwal infeksi oleh kuman L.pneumophila memberikan angka


kesintasan yang lebih baik dengan terapi antibiotik.2 Lebih lanjut, pada database
Medicare menunjukkan angka kesintasan yang secara statistik bermakna pada
pasien-pasien yang dirawat dengan Community Acquired Pneumonia dan
mendapat terapi dengan fluoroquinolone atau -lactam dan macrolide
dibandingkan dengan yang mendapat -lactam saja.2
Organisme-organisme

penyebab

pneumonia

atypical

seperti

M.pneumoniae, C.pneumoniae dan L.pneumoniae merupakan kuman intraselular


dan resisten terhadap golongan -laktam sehingga harus diterapi dengan obat
golongan macrolide, fluoroquinolone atau tetracycline. Sekitar 10-15% kasus
Community Acquired Pneumonia disebabkan kuman polimikrobial sehingga
memerlukan terapi kombinasi untuk patogen typical dan atypical.4

BAB II
Manifestasi Klinis, Diagnosis dan Terapi
2.1 Mycoplasma pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae merupakan organisme yang terkecil diantara
organisme yang hidup bebas. Kuman ini tidak memiliki dinding peptidoglycan,
namun memiliki membran plasma sterol. Kuman ini menempel pada epitel
saluran pernafasan dan mengambil nutrien esensial eksogen untuk tumbuh dan
dapat hidup intraselular. Kuman ini menyebabkan kerusakan sel-sel epitel dan
silia dengan memproduksi hydrogen peroxida dan superoxide, proses ini
difasilitasi adanya koinfeksi dengan patogen lain.2
Pada laporan yang dikeluarkan oleh Center for Disease Control and
Prevention (CDC) tentang kejadian luar biasa di Colorado, menekankan
pentingnya

infeksi

Community

Acquired

Pneumonia

yang

disebabkan

Mycoplasma pneumoniae. Infeksi oleh kuman ini memiliki masa inkubasi 1-3
minggu diikuti dengan onset gejala yang gradual / perlahan. Pasien tidak akan
mencari pengobatan sampai beberapa hari atau beberapa minggu dikarenakan
onsetnya yang perlahan.2
Spesies ini merupakan yang terpenting dari keluarga Mycoplasmataceae.
M.pneumoniae bersifat ekstraselular, hidup bebas sebagai obligat aerob dan hanya
menginfeksi manusia. Dalam bentuk kokus ukurannya antara 0,2-0,3 nm dan
dalam bentuk batang dengan panjang 1-2 nm dan lebar 0,2 nm. Kuman ini tidak
memiliki dinding sel sehingga resisten terhadap penicillin, cefalosporin,
vancomycin dan antibiotik lain yang menghambat sintesa dinding sel. Kuman ini
hanya dapat tumbuh pada media aseluar buatan dan memerlukan waktu 6 jam
untuk bereplikasi. Antigen utamanya adalah glycolipid dan protein membran.3

Gambar 1. Bakteri Mycoplasma pneumoniae.

Epidemiologi
Infeksi M.pneumoniae lebih sering terjadi pada anak-anak di pusat-pusat
daycare dan anak-anak usia 5-15 tahun. Kuman ini menyebabkan 10-20% kasus
Community Acquired Pneumonia dan 60% nya terjadi pada anak-anak.
Komplikasi ekstraparu terjadi pada 25% kasus. Kuman ini juga merupakan
penyebab utama pneumonia pada militer. Kuman tersebut berkolonisasi di hidung,
tenggorokan, dan trakea dan ditransmisikan melalui aerosol pernafasan. Penyakit
pernafasan yang disebabkan oleh M.pneumoniae sering terjadi pada musim panas
dan musim gugur.3 Setiap tahun, sebanyak 2 juta kasus baru pneumonia yang
disebabkan oleh M.pneumoniae dilaporkan di Amerika Serikat dengan 100.000
kasus memerlukan perawatan di rumah sakit.3
M.pneumoniae merupakan penyebab utama pneumonia atypical diantara
anak dan dan remaja. Meskipun sering menyebabkan infeksi saluran pernafasan
ringan seperti nyeri tenggorokan, faringitis, rhinitis dan trakeobronkitis, namun
dapat juga menyebabkan infeksi serius seperti pneumonia atau abses paru. Infeksi
oleh kuman ini juga berhubungan dengan eksaserbasi asma, PPOK, dan dapat
menyebabkan kejadian luar biasa pada skala yang sama dengan epidemi flu.3
Gambaran Klinis
Infeksi biasanya asimptomatis. Pada kasus infeksi yang berulang / rekuren
atau infeksi pada anak-anak, gejala yang muncul sebagai berikut :

Utamanya muncul sebagai gejala trakeobronkitis, 2-3 minggu kemudian


diikuti dengan demam, kelemahan umum, sakit kepala dan batuk tidak
produktif yang dapat disertai dengan faringitis akut. Gejala dapat
memberat dan menetap sampai 2 minggu kemudian dan dapat

menyebabkan pneumonia.3
Manifestasi yang jarang terjadi antara lain mialgia dan gejala
gastrointestinal.

Komplikasi

ekstraparu

sekunder

meliputi

meningoencephalitis, paralisis, mielitis, perikarditis, anemia hemolitik,


artritis dan lesi mukokutan.3
Diagnosis
Diagnosis dini yang akurat pada infeksi M.pneumoniae sangat esensial
karena menentukan terapi antibiotik. Karena penegakan diagnosis dari gejala dan
tanda klinis saja tidak mungkin pada penyakit ini, maka harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk menujang diagnosa.3
Pemeriksaan rontgen dada yang dapat ditemukan antara lain infiltrat
alveolar unilateral atau bilateral, nodul peribronkovaskular centrilobular,
penguatan area ground glass, limphadenopathy intrathorakal, sampai efusi pleura.3
Pneumonia yang terjadi biasanya ringan dan menyebabkan resolusi
gambaran radiologis yang cepat. Namun pneumonia Mycoplasma menyebabkan
infeksi yang berat pada pasien dengan sickle cell anemia. Resolusi radiologis pada
40 % pasien terjadi dalam 4 minggu dan pada 80 % kasus, resolusi terjadi dalam 8
bulan. Abnormalitas radiologis sisa jarang terjadi. Infiltrat dapat unilateral,
multilobar atau bilateral. Pada 20 % pasien, dapat terjadi efusi pleura dan
limfadenopati hilus.8

Gambar 2. Gambaran rontgen thoraks pneumonia oleh M.pneumoniae.7

L.pneumoniae
M.pneumoniae
C.pneumoniae

Penebalan

Nodul

Volume

bronchovas

centrilo

loss

cular

bular

bundle
+

++
-

+++
+

Konsolidasi

Efusi
pleura

+++

+++

(inhomogen)
+

++

(anak)
-

Tabel 1. Gambaran radiologis foto thoraks pada pneumonia atypical.6

Berbagai metode diagnostik dapat digunakan, diantaranya biakan, serologi


dan pemeriksaan biologi molekular. Biakan jarang digunakan karena pertumbuhan
M.pneumoniae yang lambat (koloni baru dapat dilihat setelah 2-5 minggu).
Metode diagnostik yang paling sering digunakan saat ini adalah serologi, terutama
uji fiksasi komplemen.

Namun sensitivitasnya

tergantung pada

waktu

pengambilan sampel pertama, apakah berada pada fase awal atau fase lanjut dari
perkembangan penyakit dan juga tergantung pada ketersediaan sampel serum
pasangannya pada interval waktu 2-3 minggu. Pemeriksaan serologi juga meliputi
pemeriksaan immunoglobulin (IgM), yang lebih sensitive dibandingkan uji fiksasi
6

komplemen, meskipun respon IgM dapat tidak spesifik bahkan tidak muncul,
terutama pada pasien dewasa. Pemeriksaan hibridisasi DNA merupakan
pemeriksaan yang cepat, spesifik, meskipun kurang sensitive.3
Saat ini banyak klinisi menggunakan pemeriksaan RT-PCR (Reverse
Transcription Polimerase Chain Reaction) yang memiliki sensitivitas dan
spesifisitas tinggi. RT-PCR dilakukan dengan sampel yang diambil dari apusan
nasofaring dan orofaring dan bronchoalveolar lavage dan mengisolasi bakteri atau
mendeteksi DNA dan imunoglobulin di mucus atau sampel darah dari pasien yang
terinfeksi.3 Meskipun pemeriksaan PCR merupakan metode diagnostik yang
efektif untuk M.pneumoniae, penggunaannya menjadi terbatas karena tidak
adanya standarisasi dan harganya yang mahal serta tidak adanya panduan terhadap
jaminan kualitas untuk mengevaluasi keefektivan metode tersebut. Selain itu,
pemeriksaan PCR sering tidak tersedia di rumah sakit kecil dan di daerah atau
negara-negara miskin.3

Tabel 2. Karakteristik pemeriksaan penunjang untuk M.pneumoniae.3

Terapi dan prognosis

Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa pneumonia yang disebabkan


oleh M.pneumoniae dapat sembuh sendiri (self-limiting). Namun, pengobatan
diperlukan ketika timbul gejala. M.pneumoniae yang terdiagnosis secara definitif
biasanya diterapi dengan macrolide, yang dapat juga digunakan pada anak-anak.
Namun, pneumonia yang disebabkan oleh M.pneumoniae sering dirancukan
dengan pneumonia yang disebabkan oleh S.pneumoniae, dimana M.pneumoniae
sering mendahului dan memperberat infeksi yang disebabkan oleh patogen
lainnya.3 Terapi macrolide seharusnya diberikan secara kombinasi dengan
fluoroquinolone karena meningkatnya infeksi campuran dan strain yang resisten
terhadap

macrolide.

erythromycin,

Antibiotik

tertracycline,

yang

terutama

direkomendasikan,
doxycycline

atau

antara

lain

fluoroquinolone.

Antibiotik tersebut memiliki efektivitas yang sama terhadap M.pneumoniae


meskipun doxycycline dan fluoroquinolone hanya dapat digunakan pada pasien
dewasa. Erythromycin biasanya berhubungan dengan efek samping, antara lain :
gejala gastrointestinal, nyeri perut, mual, muntah, diare, anoreksia, ruam, lesi
kulit, anafilaksis dan gangguan pendengaran.3
Beberapa penelitian tentang keefektivan terapi ajuvan steroid pada infeksi
M.pneumonia tidak terbukti dan sebagian berpendapat bahwa pemberian terapi
steroid tidak memberikan manfaat yang berarti.3

2.2 Legionella pneumophila


Legionella pneumophila bersifat aerob, gram negatif, tidak berkapsul,
tidak membentuk spora, berflagel, merupakan bakteri intraselular dan sering
dicirikan sebagai cocobacillus. Dinding selnya mengandung asam lemak dengan
kandungan ubiquinone yang tinggi dan kemampuan untuk membentuk biofilm.
Bakteri ini bersifat oxidase, catalase, dan gelatinase-positive, tidak memiliki
kemampuan untuk mereduksi nitrat dan dapat dilihat dengan pewarnaan fascin.
Bakteri ini memerlukan cysteine dan besi untuk tumbuh. Oleh sebab itu, bakteri
ini terdeteksi dengan kultur pada Buffered Charcoal Yeast Extract (BYCE), agar

polymyxin B, anisomycin dan cefamandole. Kuman ini juga dapat diisolasi


dengan amoebal coculture.3
Terdapat lebih dari 50 spesies Legionella, namun hanya 19 spesies yang
menyebabkan infeksi pada manusia. Terdapat 64 subgrup Legionella dan 15
serogrup L.pneumophila.3 Serogrup 1, 4 dan 6 adalah patogen yang paling sering
menyebabkan infeksi. Patogen yang tersering adalah Legionella micdadei.
Patogen tersering kedua adalah Legionella pneumophila. Legionella bozamanii
bersifat lebih virulen dan resisten dibandingkan dengan Legionella pneumophila.2

Gambar 3. Bakteri Legionella pneumophila.

Epidemiologi
Infeksi oleh L.pneumophila jarang terjadi dan biasanya terjadi pada
individu dengan imunokompromais. Lebih dari 90% infeksi pada manusia
disebabkan oleh L.pneumophila serogrup 1. Bakteri ini dapat ditemukan dimana
saja, namun paling sering ditemukan di air segar, sungai, danau, dan tanah
berlumpur. Bakteri ini juga dapat tumbuh di pendingin udara (Air Conditioner),
pemanas air, ventilasi, dan shower systems. L.pneumophila dapat bertahan hidup
dalam kurun waktu yang panjang pada kondisi iklim biasa dan dapat bertahan
pada suhu 0-68C serta tahan terhadap klorin.3
Legionella menyebabkan 2-9% kasus Community Acquired Pneumonia
dan 1-50% pneumonia nosokomial. Epidemi terbanyak terjadi pada musim panas
dan musim gugur. Sekitar 20.000 kasus penyakit Legionnaires dilaporkan setiap
tahun di Amerika Serikat. Infeksi biasanya mengenai penderita usia pertengahan
9

atau lansia, khususnya mereka dengan komplikasi jantung atau paru-paru. Infeksi
ini juga mudah menyerang perokok dan individu dengan imunokompromais.3
Faktor risiko
Tidak ada laporan kejadian penularan atau transmisi dari manusia ke
manusia pada penyakit Legionnaires.3 Namun pada penelitian lain disebutkan
penularan dapat terjadi dari lingkungan ke manusia dan dari manusia ke manusia.2
Bakteri ini ditransmisikan melalui udara yang terkontaminasi. Kuman ini
dapat juga ditransmisikan secara langsung selama proses pembedahan dan dapat
pula melalui air minum yang tercemar.3 Pada individu dengan imunokompromais,
penerima transplan organ solid, pasien dalam masa pemulihan paska pembedahan,
pasien dengan ventilasi endotrakeal, pasien yang dirawat di ICU atau individu
yang terpapar sistem ventilasi, merupakan individu yang paling berisiko terkena
infeksi oleh kuman ini. Beberapa penelitian mengatakan bahwa intubasi
nasogastrik juga berhubungan dengan risiko infeksi oleh Legionella. Faktor risiko
lainnnya antara lain kontak dengan air yang tidak mengalir (stagnan), sistem
pendingin udara, sungai, danau dan sistem penghangat air rumah tangga.3
Manifestasi Klinis
Uji serologi menunjukkan bahwa infeksi oleh Legionella bersifat
asimptomatis atau tidak bergejala. Gejala infeksi L.pneumophila dapat berupa
gejala pneumonia berat, yang disebut dengan penyakit Legionnaires, atau dapat
berupa kondisi yang menyerupai flu (flu-like) yang dikenal sebagai demam
Pontiac.3
Manifestasi klinis yang klasik pada penyakit Legionnaires dikonfirmasi dalam
penelitian oleh Gupta dkk dan Helms dkk, manifestasi klinis tersebut antara lain :
1. Suhu tubuh diatas 39C
2. Diare
3. Gejala neurologis seperti kebingungan, hiponatremia dan disfungsi hati
(peningkatan tansaminase dan bilirubin)
4. Hematuria

10

Pada penelitian kasus-kontrol retrospektif yang dilakukan oleh Gupta dkk


untuk mengevaluasi sensitivitas dan spesifisitas kriteria Winthrop-University
Hospital (WUH) untuk mengidentifikasi L.pneumophila versus pneumonia
pneumokokus pada pasien Community Acquired Pneumonia yang dirawat, yaitu
37 pasien dengan infeksi L.pneumoniae dan 31 pasien dengan pneumonia
pneumokokus.
Pada studi ini didapatkan :
-

Sensitivitas dan spesifisitas WUH adalah 78% dan 65%


Positive predicitive value dan negative predictive value yaitu 42% dan

90%
Pada analisis subgrup, didapatkan sensitivitas 87% dan spesifisitas 50% ;
positive predictive value sebesar 37% dan negative predictive value

sebesar 92%
Meskipun sensitivitas dan spesifisitas tinggi, 13-22% pasien dengan
penyakit Legionnaires tidak terdiagnosa dengan skor WUH.

Penelitian tersebut menyimpulkan bahawa skor WUH tidak dapat dipakai untuk
menentukan terapi antibiotik karena spesifisitas yang rendah (50-65%). Skor
WUH mungkin dapat digunakan untuk menyaring pasien-pasien yang akan
dilakukan pemeriksaan Legionella. Jika skor WUH terpenuhi, maka pasien harus
diberikan terapi antibiotik anti-Legionella sebagai terapi empiris tanpa
pemeriksaan laboratorium terhadap Legionella. Namun jika skor tidak terpenuhi,
pemeriksaan Legionella harus dilakukan pada pasien-pasien tersebut untuk
menjaring 13-22% pasien yang tidak menunjukkan sindroma klasik.2
Penyakit Legionnaires ditandai dengan gambaran klinis dan radiologis
yang konsisten dengan pneumonia. Gejala awal meliputi anoreksia, muntah,
mialgia dan sakit kepala. Lebih dari 90% pasien terdapat demam 12-24 jam
setelah onset gejala awal. Demam tinggi, biasanya diatas 39,4C dan biasanya
disertai menggigil dan batuk dengan sputum sedikit atau batuk tidak produktif.
Sebagian besar pasien mengeluh sesak nafas dan 60% mengalami perubahan
status

mental.

Nyeri

dada

sering

dikeluhkan

imunokompromais dan dapat membingungkan

pada

pasien

dengan

dengan tromboemboli paru.

Namun pasien dapat juga hanya mengeluh demam saja tanpa gejala pneumonia

11

lainnya meskipun pada gambaran radiologi menunjukkan adanya infiltrat. Sekitar


50% pasien mengeluhkan gejala gastrointestinal seperti diare dengan lendir dan
darah serta kolik intestinal. Manifestasi lainnya meliputi hipotensi, bradikardia,
bronkospasme, encephalopathy toksik dan ruam. Gambaran radiologi sama
dengan pneumonia yang disebabkan oleh patogen lain.3
Pada demam Pontiac, pasien menunjukkan gejala menyerupai flu (flu-like)
dengan demam, sakit kepala, menggigil, mialgia dan kondisi umum yang buruk
namun tanpa tanda klinis dan radiologis pneumonia. Penyakit ini dapat sembuh
sendiri dan membaik dalam 2-7 hari.3
Kasus-kasus ekstrapulomal juga pernah dilaporkan, hal ini kemungkinan
terjadi karena penyebaran hematogen, antara lain endokarditis katup buatan /
prostetik, infeksi luka sternotomi, infeksi kulit, abses, selulitis, perikarditis,
sinusitis, miokarditis, peritonitis, pankreatitis, pielonefritis akut dengan abses
ginjal, osteomielitis. Peningkatan alkaline phosphatase dan transaminase hati
sering ditemukan. Hiponatremia lebih sering terjadi pada infeksi oleh
L.pneumophila dibandingkan pada pneumonia oleh bakteri lainnya.3
Diagnosis
Organisme ini biasanya menyebabkan infiltrat yang patchy dan terlokalisir
pada lobus bawah paru. Dapat juga tampak gambaran limfadenopati hilus. Efusi
pleura tampak pada 30% kasus. Pada kondisi yang jarang, infeksi Legionella
berhubungan dengan kavitasi dan gambaran seperti massa. Resolusi radiologis
pneumonia Legionella memerlukan waktu 6-12 bulan. Fibrosis permanen terjadi
pada 25% pasien. Progresi infiltrat awal dapat terjadi tanpa disertai perbaikan
klinis. Gambaran radiologis tidak dapat dipakai untuk membedakan legionelloasis
nosokomial (penyakit Legionnaire) dengan pneumonia lainnya.8
Diagnosis dikonfirmasi dengan hasil biakan, ditemukannya antigen bakteri
atau DNA pada cairan tubuh atau respon serologi. Leukositosis polimorfonuklear,
azotemia, gagal hati akut, hiponatremia dan hiperfosfatemia merupakan kelainan
laboratorium yang sering ditemukan. Legionella dapat ditemukan pada sputum,
aspirasi endotrakeal, bronchoalveolar lavage, open lung biopsy dan cairan pleura.

12

Sensitivitas biakan sputum

rendah yaitu hanya 50% dan sampel dari

bronchoalveolar lavage memiliki sensitivitas yang lebih tinggi.3

Gambar 4. Gambaran radiologi foto thoraks pneumonia oleh L.pneumophila.7

Patogen ini dapat tumbuh setelah 48 jam inkubasi pada suhu 37C pada
kondisi aerob. Koloni ditandai dengan warna biru dan frosted glass appearance.
Pada pewarnaan gram tampak basil gram negatif kecil dan panjang. Sampel harus
diinkubasi dan diperiksa secara rutin minimal 10 hari sebelum dilaporkan hasil
kultur negatif. 3
Legionella dapat diisolasi dari saluran pernafasan dan jaringan dalam 2-4
jam menggunakan direct immunofluorescence. Namun, metode ini dapat
memberikan hasil positif palsu karena adanya reaksi silang dan sensitivitas antara
25-66%.
Imunokromatografi, yang dapat mendeteksi antigen di urine dalam 15
menit, dipertimbangkan sebagai metode deteksi yang baik pada infeksi
L.pneumophila. pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 56-97% dan spesifisitas
97% meskipun hanya akan mendeteksi L.pneumophila serogrup 1.3
Serologi menggunakan imunofluoresens indirek memerlukan waktu 3-4
minggu untuk mendeteksi antibodi. Titer yang meningkat empat kali lipat atau
13

lebih merupakan nilai diagnostik. Pada sampel tunggal, titer 1 : 256 dengan
gambaran pneumonia, merupakan nilai diagnostik. Pemeriksaan ini harus
diinterpretasikan dengan hati-hati karena banyaknya pasien dengan infeksi
asimptomatik.
Pemeriksaan amplifikasi asam nukleat untuk mendeteksi Legionella pada
sampel saluran pernafasan, urine, serum dan leukosit memiliki sensitivitas antara
30-86%. Tabel berikut menunjukkan perbedaan karakteristik metode-metode yang
digunakan utuk mendiagnosa infeksi L.pneumophila.

Tabel 3. Karakteristik pemeriksaan penunjang untuk L.pneumophila.3

Terapi dan prognosis

14

Macrolide dan quinolone merupakan obat pilihan. Pada pasien dengan


penyakit Legionnaires berat, macrolide seperti azithromycin dan clarithromycin
atau quinolone seperti levofloxacin atau moxifloxacin merupakan antibiotik yang
direkomendasikan.
Demam Pontiac merupakan penyakit yang sembuh sendiri dan tidak
memerlukan terapi antibiotik. Dahulu erythromycin digunakan sebagai terapi,
namun dilaporkan terjadi kegagalan terapi pada pasien imunokompromais.
Quinolone lebih disukai pada pasien-pasien transplan organ yang
mendapat

cyclosporine

atau

tacrolimus,

karena

metabolisme

macrolide

dipengaruhi oleh imunosupresan.


Lamanya terapi dapat bervariasi. Pada pasien imunokompeten, azithromycin
diberikan selama 5-10 hari, quinolone diberikan selama 10-14 hari. Pada pasienpasien imunokompromais, terapi seharusnya diberikan lebih lama yaitu antara 1421 hari untuk mencegah kekambuhan.
Tanpa pemberian terapi, penyakit Legionnaires memiliki angka mortalitas antara
2-5%. Mortalitas diantara pasien-pasien imunokompromais yang mendapat terapi
tidak adekuat yaitu antara 5-30%.3

2.3 Chlamydophila pneumoniae


Chlamydophila pneumonia merupakan bakteri obligat intraselular. Bakteri
ini merupakan bakteri batang gram negatif yang dapat hidup dalam bentuk
elementary body atau reticulate body. Elementary body merupakan bentuk inaktif
dan dapat bertahan pada lingkungan yang kurang menguntungkan dan merupakan
bentuk infektif kuman tersebut. Dalam bentuk ini, bakteri masuk ke dalam sel
tubuh manusia, biasanya melalui saluran pernafasan dan bertransformasi menjadi
bentuk reticulate body. Dalam bentuk noninfeksius, intraselular dan aktif secara
metabolik ini, bakteri kemudian membelah dengan pola binnary fission dan
kembali ke bentuk elementary body. Elementary body ini kemudian dilepaskan
dari sel setelah terjadi lisis sel. Terkadang karena faktor eksternal seperti
kekurangan nutrisi, reticulate body menjadi bentuk yang abnormal (aberrant)

15

dimana ukurannya lebih besar dan masih viable meskipun tidak mampu
menginfeksi sel-sel lainnya. Dalam bentuk ini biasanya bersifat resisten terhadap
terapi. Diyakini bahwa C.pneumoniae dapat bertindak sebagai stimulus terjadinya
proses peradangan pembuluh darah sehingga mencetuskan proses atherosklerosis.3

Gambar 5. Bakteri Chlamydophila pneumoniae.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, C.pneumoniae diperkirakan menyebabkan 300.000
kasus pneumonia setiap tahunnya. Antibodi anti-C.pneumoniae terdeteksi pada
setengah (50%) individu usia 20 tahun. Angka tersebut meningkat sesuai usia dan
antibodi terdeteksi pada 70-80% individu usia lanjut. Infeksi ini merupakan
penyebab 20% infeksi saluran pernafasan bagian bawah dan 70% bersifat
asimptomatis. Dipikirkan sekitar 3-10% dari seluruh kasus Community Acquired
Pneumonia

disebabkan

oleh

infeksi

C.pneumoniae.

Patogen

ini

juga

menyebabkan 20% infeksi saluran pernafasan bagian atas.3


Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya infeksi C.pneumoniae antara lain fungsi sistem
imun pasien dan predisposisi genetik. Pada penelitian yang dilakukan di Asia,
beberapa peneliti mengobservasi bahwa infeksi oleh kuman ini bersifat musiman
dan puncaknya terjadi pada musim panas.

Meskipun beberapa penelitian

menunjukkan hubungan antara infeksi C.pneumoniae dengan peningkatan risiko


penyakit jantung karena respon inflamasi yang dicetuskan oleh kuman tersebut,
namun hal ini tidak dapat dibuktikan. Keberadaan patogen ini juga dihubungkan
dengan eksaserbasi asma, multiple sklerosis, chronic fatigue syndrome, penyakit

16

Alzheimer, degenerasi makula yang berhubungan dengan usia, lesi kulit kronis
dan penyakit cerebrovaskular.3
Manifestasi klinis
Infeksi primer oleh C.pneumoniae biasanya asimptomatik.7 Gejala infeksi
saluran pernafasan ringan dan akut ditemukan hanya 10% pada remaja dan
dewasa muda yang terinfeksi.7 C.pneumoniae menyebabkan sinusitis, faringitis
dan pneumonia, meskipun sebagian besar infeksi asimptomatis. Manifestasi awal
dapat menyerupai infeksi virus atypical. Infeksi C. pneumoniae dapat
memberikan gambaran sebagai berikut :
-

infeksi akut : pada pasien dengan imunokompromais gejala biasanya berat


sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit, namun pada pasien

imunokompeten gejala biasanya ringan


infeksi rekuren : infeksi yang berulang dan gejala-gejala yang

berhubungan tergantung pada sistem imun pasien


infeksi kronis : infeksi C.pneumoniae dapat menyebabkan eksaserbasi

asma atau PPOK


carrier C.pneumoniae : sekitar 2,5% populasi merupakan carrier
C.pneumoniae. Carrier biasanya asimptomatik, meskipun defisiensi imun
dapat menyebabkan gejala akut

Pneumonia terjadi melalui 2 stadium : pada onset awal, gejala sama dengan flu
(faringitis, laringitis, sinusitis) yang diikuti dengan pneumonia moderat.
Pneumonia berlangsung antara 1-4 minggu diikuti dengan batuk persisten yang
dapat berlangsung beberapa minggu.3
Diagnosis
Diagnosis harus berdasarkan kecurigaan klinis. Gambaran radiologis yang
sugestif untuk C.pneumoniae antara lain infiltrat subsegmental, biasanya single
patchy, konsolidasi lobar atau sublobar atau infiltrat interstitial dengan
adenopathy hilus. Pada 20-25% kasus dapat tampak sebagai efusi pleura yang
biasanya bilateral.3

17

Infiltrat dapat segmental atau lebih luas pada pasien-pasien usia lanjut,
jarang terjadi efusi pleura. Radiologis dada menunjukkan 50 % kasus mengalami
resolusi dalam 4 minggu. Pada 20 % kasus, resolusi memerlukan waktu yang
lebih dari 9 minggu.8

Gambar 6. Gambaran radiologi foto thoraks pneumonia oleh Chlamydophila pneumoniae.

Pada pemeriksaan laboratorium biasanya tidak ditemukan adanya


perubahan jumlah leukosit, parameter inflamasi dapat meningkat ringan dan
antibodi serum dapat terdeteksi. Pada pemeriksaan histologi, sampel jaringan dari
individu yang terinfeksi menunjukkan inflamasi intraalveolar ringan dan adanya
inklusi sitoplasma. Penting untuk diperhatikan bahwa tidak adanya antibodi tidak
menyingkirkan infeksi C.pneumoniae.

18

Tabel 4. Karakteristik pemeriksaan penunjang untuk C.pneumoniae.

C.pneumoniae tidak dapat divisualisasikan dengan pewarnaan Gram dan


biakan jaringan diperlukan untuk pertumbuhan kuman. Kriteria untuk diagnosis
serologi infeksi akut adalah titer IgM microimunofluorescence 1 : 16 atau lebih,
titer IgG 1 : 512 atau lebih, atau peningkatan titer antibodi empat kali lipat setelah
infeksi akut. IgG dapat tidak meningkat sampai 3-6 minggu setelah onset
penyakit. Beberapa pasien terinfeksi C.pneumoniae bersamaan dengan infeksi
patogen lainnya, terutama S.pneumoniae.7
Terapi dan prognosis
Pilihan terapi C.pneumoniae adalah doxycycline, namun tidak dapat
diberikan untuk anak dibawah 9 tahun. Terapi diberikan selama 10-14 hari. Jika
gejala masih ada, terapi siklus kedua harus diberikan. Terapi lini kedua antara lain
erythromycin (500 mg 4 kali sehari), azithromycin (500 mg selama 7-10 hari) dan
clarithromycin (1 gram sekali sehari selama 10 hari). Respon terapi antibiotik
bisanya baik, meskipun siklus perlu diulang atau terapi diperpanjang.3

19

2.4 Pneumonia Virus


Pneumonia virus terjadi pada anak dan dewasa tua dan disebabkan oleh
Adenovirus, virus influenza, H1N1, parainfluenza dan Respiratory Syncytial Virus
(RSV).
Influenza A dan B biasanya terjadi pada musim semi dan musim dingin.
Gejala pernafasan, demam, sakit kepala dan nyeri otot merupakan gejala
yang sering.
RSV sering menginfeksi anak-anak selama musim semi.
Adenovirus dan virus parainfluenza sering disertai dengan gejala flu
(runny nose dan konjungtivitis).
Pneumonia post-influenza biasanya disebabkan oleh Staphylococcus
pneumoniae dan Staphylococcus aureus.2

Gambar 7. Respiratory Syncytial Virus, virus influenza, Adenovirus.

Infeksi yang menyebabkan pneumonia pada individu imunokompromais antara


lain

campak, HSV, CMV, HHV-6 dan virus influenza. Virus-virus tersebut

menyebabkan paralisis parsial dari mucociliary escalator. Juga terjadi


peningkatan risiko infeksi sekunder saluran pernafasan bagian bawah oleh bakteri.
Komplikasi yang sering mengikuti infeksi influenza adalah pneumonia yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus.2
RSV termasuk dalam genus Pneumovirus dari famili Paramyxoviridae.
Sama dengan struktur virus parainfluenza, RSV merupakan virus pleomorfik (150
sampai 300 nm), memiliki selubung (envelop) dengan genom RNA single
stranded. Virus ini memiliki protein permukaan yang meliputi protein F yang
bertanggung jawab untuk fusi selubung virus ke membran sel inang dan
pembentukan syncytium serta protein G yang bertanggung jawab untuk pelekatan

20

sel. Antibodi terhadap protein F dan G menetralkan RSV pada studi in vitro,
namun antibodi terhadap protein G tidak mencegah pembentukan syncytium.7
Epidemiologi dan Transmisi
RSV tersebar luas di seluruh dunia dan menyebabkan kejadian luar biasa
pada akhir musim gugur, musim dingin atau musim semi. Virus menyebar melalui
partikel aerosol berukuran besar selama kontak erat dan kontaminasi tangan
dengan sekret infeksius. RSV merupakan patogen nosokomial utama pada bangsal
perawatan anak dan angka serangan meningkat selama kejadian luar biasa di
rumah sakit.
Patogenesis
Replikasi virus umumnya dimulai di saluran pernafasan atas dengan
progresifitas yang perlahan (4-5 hari). Tanda klinis bronkiolitis meliputi air
trapping dan wheezing. Temuan patologis pada bronkiolitis RSV meliputi
nekrosis epitel bronkiolus, hilangnya sel epitel bersilia dan adanya inflamasi
mononuklear peribronkiolus. Sitopatologi yang diinduksi virus dan edema
submukosa menyebabkan obstruksi bronkiolus yang lebih kecil, khususnya pada
bayi, dengan kolaps bagian distal atau air trapping.7
Respon antibodi mukosa dan serum yang timbul hanya memberikan efek
proteksi parsial. Kemampuan respon antibodi berhubungan dengan usia saat
infeksi primer, dimana pada bayi berusia < 8 bulan memiliki level antibodi 10 kali
lipat lebih rendah dibandingkan dengan usia bayi yang lebih tua. Reinfeksi dapat
terjadi dalam beberapa minggu setelah infeksi primer dan terjadi kurang dari 8
minggu pada dewasa yang mengalami infeksi sekunder. Imunitas yang
diperantarai sel merupakan faktor terpenting dalam eradikasi virus.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis penyakit tergantung pada usia dan status imunologis
inang. Pada bayi dan anak, gejala infeksi pernafasan atas disertai dengan demam
dan otitis media merupakan gejala yang sering terjadi. RSV nerupakan penyebab

21

utama penyakit saluran pernafasan bagian bawah pada bayi dan anak-anak.
Sekitar 45-90% memberikan gejala bronkiolitis dan 40% pneumonia dan beberapa
dengan croup dan bronkitis.
Gambaran radiologis meliputi penebalan dinding bronkus, peribronchial
shadowing, air trapping, dan patchy multilobar pneumonia.

Gambar 8. Gambaran radiologi foto thoraks oleh RSV.7

2.5 Coxiella burnetti


Coxiella burnetti merupakan kuman penyebab demam Q dan patogen yang
paling sering menyebabkan pneumonia diantara organisme rickettsia. Vektornya
adalah kutu dan binatang liar serta binatang domestik seperti domba, kambing,
sapi yang terinfeksi namun tidak menjadi sakit. C.burnetti bermultiplikasi didalam
plasenta binatang yang hamil dan menyebar selama persalinan. Meskipun
C.burnetti banyak terdapat pada spesies kutu, rute transmisi utama adalah melalui
aerosol yang infeksius. Tampilan klinisnya berupa pneumonia atypical.
Organisme ini sangat resisten terhadap pengeringan dan dapat mempertahankan
infektifitasnya setelah berbulan-bulan masa dorman didalam tanah yang
terkontaminasi. Transmisi ke manusia terjadi secara primer melalui paparan
terhadap urine, feses, plasenta atau susu yang tidak dipasteurisasi dari binatang
seperti sapi, kambing dan domba.7

22

Gambar 9. Bakteri Coxiella burnetti.

Onset terjadi setelah 2-4 minggu masa inkubasi. Pasien menunjukkan


gejala demam tinggi (suhu tubuh > 40C), menggigil, mialgia, sakit kepala dan
batuk tidak produktif. Dapat juga muncul gejala nyeri perut, nyeri dada, faringitis
dan bradikardia. Biasanya tidak terdapat ruam, berlawanan dengan gejala infeksi
rickettsia pada umumnya.6,7 Hepatomegali dan splenomegali dapat dijumpai pada
pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan laboratorium sering menunjukkan jumlah leukosit
normal, penurunan jumlah trombosit dan tes fungsi hati sugestif untuk suatu
hepatitis granulomatosa.7
C.burnetti merupakan bakteri yang berukuran kecil, obligat intraselular dan tidak
dapat dibiakkan pada media standar atau divisualisasikan dengan pewarnaan
Gram. Karena organisme ini sangat infeksius, biakan harus dilakukan oleh tenaga
yang berpengalaman di laboratorium yang memiliki fasilitas biosafety level 3. 7
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan peningkatan titer antibodi spesifik
empat kali lipat dari serum konvalesens terhadap serum akut atau adanya temuan
patologis yang dideteksi dengan teknik deteksi imunohistokimia atau amplifikasi
DNA.7
Radiografi dada menunjukkan adanya infiltrat nodular padat, efusi pleura
dan atelektasis linear. Pada pemeriksaan laboratorium tidak didapatkan
leukositosis, namun gambaran hepatitis ringan dapat ditemukan.6,7
Meskipun pasien dapat menunjukkan gejala akut, biasanya kuman ini
jarang menyebabkan penyakit yang fatal dan biasanya berlangsung 1-2 minggu.
Beberapa pasien, terutama lansia memiliki perjalanan penyakit yang lebih lama.
Tetracycline, khususnya doxycycline, merupakan terapi lini pertama untuk demam
23

Q. Quinolone memiliki aktifitas invitro yang sangat baik dan mungkin bermanfaat
dalam terapi meningoencephalitis.7

24

BAB III
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
Pneumonia merupakan salah satu dari sekian banyak infeksi penyebab
morbiditas dan mortalitas yang tinggi di seluruh dunia. Pneumonia atypical
berkontribusi pada 30-40% dari seluruh kasus Community Acquired Pneumonia,
yang paling sering disebabkan oleh kuman-kuman atypical seperti Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydophila pneumoniae, Legionella pneumophila, Coxiella
burnetti. Kuman-kuman patogen atypical ini harus dipertimbangkan pada kasus
infeksi saluran pernafasan bagian bawah. Diagnosis sedini mungkin berdasarkan
klinis dan pemeriksaan penunjang yang tepat dapat mengurangi risiko komplikasi.
3.2 Saran
Diagnosis yang tepat dan ditegakkan sedini mungkin berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang tepat sangat
diperlukan dalam menentukan terapi pada pneumonia atypical, mengingat
gambaran klinis dan radiologis yang menyerupai pneumonia typical serta sulitnya
mendapatkan kuman penyebab dengan biakan standar dan pewarnaan Gram.
Kemungkinan terjadinya infeksi campuran antara kuman typical dan
atypical juga harus selalu dipikirkan pada kasus-kasus Community Acquired
Pneumonia.

25

Anda mungkin juga menyukai