Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada kenyataanya tidaklah
mudah. Hal ini dikarenakan komplektisitas masalah yang ada di dalamnya,,
dimana penyakit yang terbanyak diderita oleh masyarakat terutama pada yang
paliang rawan yaitu ibu dan anak, ibu hamil dan ibu menyusui serta balita di
bawah lima tahun.
Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA
(Infeksi Saluran Pernafasan Akut), yaitu meliputi infeksi akut saluran pernafasan
bagian atas dan infeksi akut saluran pernafasan bagian bawah. ISPA merupakan
suatu penyakit terbanyakdiderita oleh anak-anak yang ada di negara berkembang
maupun di negara maju. Banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena
penyakitnya cukup gawat.
Penyakit-penyakit saluran pernafasan pada masa bayi dan anak-anak
dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa dimana ditemukan
adanya hubungan dengan terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001 menyebutkan
bahwa penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai
penyebab kematian di Indonesia. Data morbiditas penyakit pneumonia di
Indonesia per tahun berkisar 10% - 20% dari populasi balita. Jumlah kunjungan
ISPA di Puskesmas adalah 40% - 60%. ISPA juga menyebabkan kematian bayi
dan balita yang cukup tinggi, yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Dari
seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20% - 30%. Kematian
yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia bayi berumur kurang dari 2
bulan. Kematian seringkali dikarenakan penderita dating untuk berobat dalam
keadaan berat dan sering disertai kurang gizi.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari infeksi saluran pernafasan bawah?
2. Apa jenis penyakit infeksi saluran pernafasan bawah?
3. Bagaimana tanda, gejala dan penyebab infeksi saluran pernafasan bawah
berdasarkan penyakitnya?
4. Bagaimana faktor resiko, komplikasi dan resisten infeksi saluran
pernafasan bawah berdasarkan penyakitnya?
5. Bagaiamana terapi (outcome,terapi pokok dan terapi pendukung) infeksi
saluran pernafasan bawah berdasarkan penyakitnya?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi infeksi saluran pernafasan bawah
2. Mengetahui jenis penyakit infeksi saluran pernafasan bawah
3. Mengetahui tanda, gejala dan penyebab infeksi saluran pernafasan bawah
berdasarkan penyakitnya
4. Mengetahui faktor resiko, komplikasi dan resisten infeksi saluran
pernafasan bawah berdasarkan penyakitnya
5. Mengetahui terapi (outcome,terapi pokok dan terapi pendukung) infeksi
saluran pernafasan bawah berdasarkan penyakitnya

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI INFEKSI SALURAN NAFAS BAWAH


Infeksi saluran napas bawah merupakan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, dan protozoa yang menyerang saluran napas bagian
epiglotis atau larin, bronkus, bronkiolus sampai dengan alveoli. Sebagian besar
infeksi ini disebabkan oleh bakteri.
Secara umum, semua bakteri patogen harus mempunyai kemampuan
tertentu selaras dengan patogenesis penyakit, yaitu masuk ke dalam pejamu,
bertahan pada pintu masuk sel pejamu, evasi atau sirkumvensi terhadap
mekanisme pertahanan tubuh, menimbulkan gejala klinis, dan keluar dari
pejamu untuk melanjutkan siklus infeksi berikutnya.
Proses terjadinya penyakit infeksi merupakan resultan fungsi faktor
virulensi yang bersifat mosaik serta merupakan bagian integral dari respon tubuh
pejamu yang juga bersifat mosaik.

2.2 PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN BAWAH


2.1.1 BRONKHITIS
Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial.
Peradangan tidak meluas sampai alveoli. Bronkhitis seringkali diklasifikasikan
sebagai akut dan kronik. Bronkhitis akut mungkin terjadi pada semua usia,
namun bronkhitis kronik umumnya hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi
penyakit ini dikenal dengan nama bronkhiolitis. Bronkhitis akut umumnya
terjadi pada musim dingin, hujan, kehadiran polutan yang mengiritasi seperti
polusi udara, dan rokok.
1. Tanda, diagnosis & penyebab
Bronkhitis memiliki manifestasi klinik sebagai berikut
 Batuk yang menetap yang bertambah parah pada malam hari serta
biasanya disertai sputum. Rhinorrhea sering pula menyertai batuk dan ini
biasanya disebabkan oleh rhinovirus.

3
 Sesak napas bila harus melakukan gerakan eksersi (naik tangga,
mengangkat beban berat)
 Lemah, lelah, lesu
 Nyeri telan (faringitis)
 Laringitis, biasanya bila penyebab adalah chlamydia
 Nyeri kepala
 Demam pada suhu tubuh yang rendah yang dapat disebabkan oleh virus
influenza, adenovirusataupun infeksi bakteri.
 Adanya ronchii
 Skin rash dijumpai pada sekitar 25% kasus
Diagnosis bronkhitis dilakukan dengan cara: Tes C- reactive protein
(CRP) dengan sensitifitas sebesar 80-100%, namun hanya menunjukkan 60-70%
spesifisitas dalam mengidentifikasi infeksi bakteri. Metode diagnosis lainnya
adalah pemeriksaan sel darah putih, dimana dijumpai peningkatan pada sekitar
25% kasus. Pulse oksimetri, gas darah arteri dan tes fungsi paru digunakan
untuk mengevaluasi saturasi oksigen di udara kamar. Pewarnaan Gram pada
sputum tidak efektif dalam menentukan etiologi maupun respon terhadap terapi
antibiotika.
Penyebab bronkhitis akut umumnya virus seperti rhinovirus, influenza A
dan B, coronavirus, parainfluenza, dan respiratory synctial virus (RSV).Ada pula
bakteri atypical yang menjadi penyebab bronkhitis yaitu Chlamydia pneumoniae
ataupun Mycoplasma pneumoniae yang sering dijumpai pada anak-anak, remaja
dan dewasa. Bakteri atypical sulit terdiagnosis, tetapi mungkin menginvasi
padasindroma yang lama yaitu lebih dari 10 hari.
Penyebab bronkhitis kronik berkaitan dengan penyakit paru obstruktif,
merokok, paparan terhadap debu,polusi udara, infeksi bakteri.
2. Faktor risiko
Penularan bronkhitis melalui droplet. Faktor risiko terjadinya bronkhitis
adalah sebagai berikut:
 Merokok
 Infeksi sinus dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan atas dan
menimbulkan batuk kronik

4
 Bronkhiektasi
 Anomali saluran pernapasan
 Foreign bodies
 Aspirasi berulang

3. Komplikasi
Komplikasi jarang terjadi kecuali pada anak yang tidak sehat.
Komplikasi meliputi antara lain PPOK, bronkhiektasis, dilatasi yang bersifat
irreversible dan destruksi dinding bronkhial.
4. Resistensi
Resistensi dijumpaipada bakteri-bakteri yang terlibat infeksi nosokomial
yaitu dengan dimilikinya enzim β-laktamase. Hal ini dijumpai pada
H.influenzae, M. catarrhalis,serta S. Pneumoniae. Untuk mengatasi hal ini, maka
hendaknya antibiotika dialihkan kepada amoksisilin-klavulanat, golongan
makrolida atau fluoroquinolon.
5. Terapi
1. Outcome
Tanpa adanya komplikasi yang berupa superinfeksi bakteri, bronkhitis
akut akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tujuan penatalaksanaan hanya
memberikan kenyamanan pasien, terapi dehidrasi dan gangguan paru yang
ditimbulkannya. Namun pada bronkhitis kronik ada tujuan terapi yaitu
mengurangi keganasan gejala kemudian yang kedua menghilangkan eksaserbasi
dan untuk mencapai interval bebas infeksi yang panjang.
2. Terapi pokok
Terapi antibiotika pada bronkhitis akut tidak dianjurkan kecuali bila
disertai demam dan batuk yang menetap lebih dari 6 hari, karena dicurigai
adanya keterlibatan bakteri saluran napas seperti S.pneumoniae, H. Influenzae
Untuk batuk yang menetap > 10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium
pneumoniae sehingga penggunaan antibiotika disarankan. Untuk anak dengan
batuk > 4 minggu harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut terhadap
kemungkinan TBC, pertusis atau sinusitis

5
Antibiotika yang dapat digunakan lihat tabel 5.1,dengan lama terapi 5-14
harisedangkan pada bronkhitis kronik optimalnya selama 14 hariPemberian
antiviral amantadine dapat berdampak memperpendek lama sakit bila diberikan
dalam 48 jam setelah terinfeksi virus influenza A.
3. Terapi pendukung
 Stop rokok, karena rokok dapat menggagalkan mekanisme
 pertahanan tubuh
 Bronkhodilasi menggunakan salbutamol, albuterol.
 Analgesik atau antipiretik menggunakan parasetamol, NSAID.
 Antitusiv, codein atau dextrometorfan untuk menekan batuk.
 Vaporizer

6
2.1.2 BRONKIEKTASIS
Bronkiektasis adalah suatu kelainan kongenital atau dapatan berupa
pembesaran bronkus yang ditandai dengan dilatasi abnormal yang permanen dan
kerusakan dinding bronkhial. Kemungkinan disebabkan oleh inflamasi berulang
atau infeksi jalan nafas. Fibrosis kistik menyebabkan separuh sampai semua
kasus bronkiektasis. Penyebab lain di antaranya adalah infeksi paru
(tuberkulosis, infeksi jamur, abses paru, pneumonia), mekanisme pertahanan
paru yang abnormal, dan obstruksi jalan napas.
1. Tanda, diagnosis dan penyebab
Kelemahan dinding bronkus pada bronkiekstasis dapat konginetal
ataupun didapat (acquired) yang disebabkan karena adanya kerusakan jaringan.
Bronkiektasis konginetal sering berkaitan dengan adanya dekstrokardia dan
sinusitis, jika ketiga keadaan ini (bronkiektasis, dekstrokardia dan sinusitis)
hadir bersamaan, keadaan ini disebut sebagai sindom kartagener. Jika disertai
pula dengan dilatasi trakea dan bronkus utama maka kelainan ini disebut
trakeobronkomegali.
Bronkiektasis yang didapat sering berkaitan dengan obtruksi bronkus.
Dilatasi bronkus mungkin disebabkan karenakerusakan dinding bronkus akibat
peradangan seperti pada penyakit endobronkial tuberkolosis. Bronkiektasis non-
tuberkolosis cenderung terjadi pada bagian paru bergantung (dependent part)
yang menyebabkan aliran drainase discharge terhambat. Gaya berat
menyebabkan akumulasi sputum sehingga infeksi dan supurasi lebih mudah
terjadi
Gejala bronkiektasis meliputi batuk kronis, produksi yang banyak dari
sputum yang purulen, hemoptisis, pneumonia berulang, kehilangan berat badan,
anemia dan manifestasi sistemik yang lain sering terjadi. Pemeriksaan fisik tidak
terlalu spesifik diantaranya terdapat ronkhi pada basal paru sering dijumpai.
Sputum yang berlebihan,bau kotor, sputum purulen yang terpisah menjadi 3
bagian pada gelas adalah tanda yang khas.
2. Terapi
Pengobatan meliputi antibiotik (dipilih sesuai kultur sputum), fisioterapi
dada harian dengan postural drainase dan perkusi dada serta bronkidilator

7
inhaler. Terapi antibiotik oral selama 10-14 hari dengan amoksisilin atau
amoksisilin klavulanat (500 mg tiap 8 jam), ampicillin (160/800 mg tiap 12 jam)
adalah terapi rasional pada eksaserbasi akut jika bakteri spesifik patogen tidak
dapat diisolasi.

2.1.3 PNEUMONIA
Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat
disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit.
Pneumonia menjadi penyebab kematian tertinggi pada balita dan bayi serta
menjadi penyebab penyakit umum terbanyak. Pneumonia dapat terjadi sepanjang
tahun dan dapat melanda semua usia. Manifestasi klinik menjadi sangat berat
pada pasien dengan usia sangat muda, manula serta pada pasien dengan kondisi
kritis
1. Tanda, diagnosis & penyebab
Tanda serta gejalayang lazim dijumpai pada pneumonia adalah demam,
tachypnea, takikardia, batuk yangproduktif, serta perubahan sputum baik dari
jumlahmaupun karakteristiknya. Selain itu pasien akan merasa nyeri dada seperti
ditusuk pisau, inspirasi yang tertinggal pada pengamatan naik-turunnya dada
sebelah kanan pada saat bernafas. Mikroorganisme penyebab pneumonia
meliputi: bakteri, virus, mycoplasma, chlamydia dan jamur. Pneumonia oleh
karena virus banyak dijumpai pada pasien immunocompromised, bayi dan anak.
Virus-virus yang menginfeksi adalah virus saluran napas seperti RSV, Influenza
type A, parainfluenza, adenovirus.
Ditinjau dari asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga macam yang
berbeda penatalaksanaannya.
a. Community acquired pneumonia (CAP)
Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau panti
jompo. Patogen umum yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus
pneumonia, H. influenzae, bakteri atypical, virus influenza, respiratory syncytial
virus (RSV).Pada anak-anak patogen yang biasa dijumpai sedikit berbeda yaitu
adanya keterlibatan Mycoplasmapneumoniae, Chlamydia pneumoniae, di
samping bakteri pada pasiendewasa.

8
Bakteri patogen yang sering teridentifikasi pada penelitian CAP adalah
Streptococcus penumoniae dilaporkan kira-kira 2/3 dari isolat bakteri. Bakteri
patogen lain yang sering dijumpai adalah Haemophilus influenza, Mycoplasma
pneumonia, Chlamydia pneumonia, Staphylococcus aureus, Neisseria
meningitidis, Moraxella catarrhalis, Klebsiella pneumonia dan bakteri gram
negatif lain, serta spesies legionella. Virus yang sermenyebabkan CAP adalah
virusinfluenza, virus sinsitial respiratori, adenovirus dan virus parainfluenza.
Paru-paru dan cabang trakeobronkial merupakan daerah yang steril di
bawah laring, sehingga agen infeksi harus mencapai tempat ini dengan
menerobos sistem imun. Hal tersebut dapat terjadi melalui mikroaspirasi (terjadi
45% pada individu sehat saat malam hari), penyebaran hematogen, penyebaran
langsung dari struktur yang berdekatan, inhalasi, atau aktivasi infeksi dorman
Hasil pemeriksaan fisik yang sering ditemukan meliputi demam atau
hipotermi,takipnea, takikardi, dan desaturasi oksigen arteri ringan. Pada
pemeriksaan dada terdapat suara nafas yang berubah dan ronkhi. Pekak pada
perkusi dapat dijumpai jika terjadi efusi pleura parapneumonia.
Terdapat kontroversi seputar peranan pemeriksaan gram dan analisa
kultur dari sputum yang dikeluarkan oleh pasien dengan CAP. Sebagian besar
melaporkan bahwa tes-tes tersebut mempunyai nilai positif rendah dan nilai
prediktif negatif pada sebagian besar pasien. Namun, beberapa pendapat
menyatakan bahwa tes-tes tersebut harus tetap dilakukan untuk identifikasi
organisme penyebab. Sehingga meningkatnya mikroba yang resistan terhadap
obat, pembiayaan obat yang tidak perlu, dan efek samping yang dapat dihindari
dapat dikurangi dengan menurunkan terapi empirik antibiotik. Pedoman
pengobatan terakhir menyarankan pemeriksaan sputum dengan gram harus
diterapkan pada semua pasien CAP dan bahwa kultur sputum harus dilakukan
pada pasien di rumah sakit. Sputum harus diperiksa sebelum antibiotik diberikan
pertama kali, kecuali pada kasus-kasus yang dicurigai terdapat kegagalan respon
antibiotik. Spesimen diperoleh dengan batuk berat/dalam dan sebaiknya sebagi
sputum yang banyak dan purulen. Kultur hanya dilakukan jika ada spesimen
memenuhi kriteria sitologi yang tepat (kecuali untuk deteksi legionella atau
mikobakteria).

9
Pengobatan antimikroba yang sesuai dengan kuman patogen harus
diberikan dan segera dimulai setelah diagnosis pneumonia terbukti dan spesimen
yang tepat berhasil diperoleh, khususnya pada pasien yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Keterlambatan memperoleh spesimen diagnostik atau
hasil pemeriksaan sebaiknya tidak menghindarkan pemberian awal antibiotik
pada pasien akut. Pertimbangan khusus harus diberikan pada timbulnya
resistansi strain Streptococcus pneumonia terhadap penisilin. Resistansi terhadap
antibiotik lain sering menyertai resistansi terhadap penisilin. Prevalensi
resistansi dibedakan oleh keadaan geografis dan setiap waktu. Oleh karena itu,
data pola resitansi lokal sebaiknya digunakan sebagai petunjuk untuk terapi
empiris pada kecurigaan atau kasus pneumonia, sampai tes kerentanan spesifik
tersedia.Pilihan empiris antibiotik untuk pasien rawat jalan dengan CAP ialah:
 Makrolid (klaritomisin 500 mg peroral 2 kali sehari atau
 azitromisin 500 mg peroral sebagai dosis pertama dan kemudian
250 mg sekali sehari selama 4 hari.
 Doksisiklin 100 mg peroral 2 kali sehari.
 Fluorokuinolon seperti gatifloxacin 400 mg peroral sekali sehari,
levofloksasin 500 mg peroral sekali sehari atau moksifloksasin 400 mg
peroral sekali sehari.
Sedangkan, pilihan empiris untuk pasien rawat inap dengan CAP dibagi
ke dalam pasien yang dirawat di bangsal perwatan umum dan yang dirawat di
ICU. Pasien di bangsal perawatan umum biasanya berespon terhadap beta
laktam generasi ketiga (seperti seftriakson atau sefotaksim) dengan atau tanpa
makrolid (klaritomisin atau azitromisin dianjurkan dianjurkan jika ada
kecurigaan infeksi H. influenzae) atau fluorokuinolon (dengan peningkatan
kemampuan membunuh S.pneumoniae). Pasien ICU sering memerlukan
eritromisin, azitromisin atau flourukuinolon ditambah seftriakson atau beta
laktam.
b. Nosokomial Pneumonia
Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah
sakit. Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial yang resisten
terhadap antibiotika yang beredar di rumah sakit. Biasanya adalah bakteri

10
golongan gram negatif batang seperti E.coli, Klebsiella sp, Proteus sp. Pada
pasien yang sudah lebih dulu mendapat terapi cefalosporin generasi ke-tiga,
biasanya dijumpai bakteri enterik yang lebih bandel seperti Citrobacter sp.,
Serratia sp., Enterobacter sp..Pseudomonas aeruginosamerupakan pathogen yang
kurang umum dijumpai, namun sering dijumpai pada pneumonia yang fulminan.
Staphylococcus aureus khususnya yang resisten terhadap methicilin seringkali
dijumpai pada pasien yang dirawat di ICU.
Pemilihan antibiotika untuk pneumonia nosokomial memerlukan
kejelian, karena sangat dipengaruhi pola resistensi antibiotika baik in vitro
maupun in vivo di rumah sakit. Sehingga antibiotika yang dapat digunakan tidak
heran bila berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain. Namun
secara umum antibiotika yang dapat dipilih sesuai tabel 6.1
Organisme yang paling sering bertanggungjawab terhadap pneumonia
nosokomial adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus,
enterobacter, Klebsiella pneumonia dan Escherichia coli. Proteus, Serratia
marescens, H. Influenza dan sejumlah streptococcus paling sering pada kasus-
kasus lainnya. Infeksi oleh Pseudomonas aeruginosa dan acinetobacter
cenderung menyebabkan pneumonia pada sebagian besar pasien tak stabil
dengan terapi antibiotik sebelumnya dan yang memerlukan ventilasi mekanis.
Gejala dan tanda yang berhubungan dengan pneumonia nosokomial
tidak spesifik. Namun satu atau lebih temuan klinis (demam, leukositosis,
sputum purulen dan infiltrat paru baru atau progresif pada radiografi dada) dapat
muncul pada sebagian besar pasien. Temuan lain yang berhubungan dengan
pneumonia nosokomial meliputi hal-hal yang terdapat pada pneumonia yang
didapat di komunitas.
Pemeriksaan minimal pada kecurigaan pneumonia nosokomial meliputi
nosokomial meliputi kultur darah dari dua tempat yang berbeda dan gas darah
arteri atau penentuan tekanan oksimetri.
Pemeriksan sputum disertai oleh kecurigaan yang sama seperti pada
CAP. Pemeriksaan gram dan kultur sputum sensitif maupun spesifik dalam
mendiagnosa pneumonia nosokomial. Identifikasi organisme bakteri dengan
kultur sputum tak dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut merupakan kuman

11
patogen traktus respiratorius bawah.Namun, identifikasi tersebut dapat
digunakan untuk membantu identifikasi pada sensitivitas bakteri terhadap
antibiotik dan sebagai petunjuk terapi.
Pengobatan pneumonia nosokomial seperti pada pengobatan CAP
biasanya secara empiris. Oleh karena tingkat mortalitas yang tinggi, pengobatan
harus dimulai sesegera mungkin begitu dicurigai pneumonia. Regimen awal
harus mempunyai spektrum luas dan disesuaikan dengan keadaan klinis spesifik.
Belum terdapat kesepakatan mengenai regimen terbaik.
Rekomendasi pengobatan terhadap pneumonia nosokomial telah
diusulkan oleh American Thoracic Society.Terapi empiris initial dengan
antibiotik ditentukan oleh keparahan penyakit, faktor risiko dan lama perawatan
di rumah sakit. Terapi empiris untuk pneumonia nosokomial ringan sampai
sedang pada pasien tanpa faktor risiko khusus atau pasien dengan onset awal
yang berat (dalam 5 hari setelah rawat inap), terdiri atas sefalosporin generasi
kedua, sefalosporin generasi ketiga nonantipseudomonas atau kombinasibeta
laktam dan inhibitor betalaktamase.
Terapi empiris pada pasien pneumonia nosokomial parah, onset lambat
(> 5 hari setelah rawat inap) atau pneumonia di ICU atau pneumonia yang
berhubungan dengan ventilator sebaiknya diberikan kombinasi antibiotik yang
langsung membunuh organisme yang paling virulen terutama P. Aeruginosa,
spesies Acinetobacter dan spesies Enterobacter. Regimen antibiotik sebaiknya
meliputi aminoglikosida atau fluorokuinolon ditambah satu diantara berikut:
penisilin, antipseudomonas,sefalosporin antipseudomonas, imipenem-cilastatin,
atau aztreonam.
Setelah hasil kultur sputum, darah dan cairan pleura
diketahui,dimungkinkan untuk mengganti regimen dengan spektrum sempit.
Lama pemberian antibiotic sebaiknya secara individual dengan dasar patogen,
keparahan penyakit, respon terhadap terapi dan keadaan yang memperburuk.
Pengobatan untuk pneumonia batang gram negative sebaiknya dilanjutkan
hingga 14-21 hari

12
c. Pneumonia Aspirasi
Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi sekret oropharyngeal
dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan
status mental terdepresi, maupun dengan gangguan refleks menelan. Patogen
yang menginfeksi pada Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah
kombinasi dari flora mulut dan flora saluran napas atas, yakni meliputi
Streptococci . Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae bakteri yang
lazim dijumpai campuran antara Gram negatif batang + S. aureus+ anaerob
Pneumonia didiagnosis berdasarkan tanda klinik dan gejala, hasil
pemeriksaan laboratoriumdan mikrobiologis, evaluasi fotox-ray dada. Gambaran
adanya infiltrate darifoto x-ray merupakan standar yang memastikan diagnosis.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dengan “shift
to the left”. Sedangkan evaluasi mikrobiologis dilaksanakan dengan memeriksa
kultur sputum (hati-hati menginterpretasikan hasil kultur, karena ada
kemungkinan terkontaminasi dengan koloni saluran pernapasan bagian atas).
Pemeriksaan mikrobiologis lainnya yang lazim dipakai adalah kultur darah, pada
pasien dengan pneumonia yang fulminan, serta pemeriksaan Gas Darah Arteri
(Blood Gas Arterial) yang akan menentukan keparahan dari pneumonia dan
apakah perlu-tidaknya dirawat di ICU

2. Faktor risiko
 Usia tua atau anak-anak
 Merokok
 Adanya penyakit paru yang menyertai
 Infeksi Saluran Pernapasan yang disebabkan oleh virus
 Splenektomi (Pneumococcal Pneumonia)
 Obstruksi Bronkhial
 Immunocompromise atau mendapat obat Immunosupressive seperti -
kortikosteroid
 Perubahan kesadaran (predisposisi untuk pneumonia aspirasi)

13
3. Komplikasi
Komplikasi yang dihasilkan dari pneumonia antara lain atelektasis yang
dapat terjadi selama fase akut maupun resolusi (penyembuhan). Area yang
terinfeksi biasanya bersih dengan batuk dan nafas dalam, namun akan berubah
menjadi fibrotik bila atelektasi menetap untuk jangka waktu yang panjang.
Abses paru juga merupakan salah satu komplikasi pneumonia khususnya pada
pneumonia aspirasi. Selain itu efusi pleura juga dapat terjadi akibat perubahan
permeabilitas selaput paru tersebut (pleura). Infiltrasi bakteri ke dalam pleura
menyebabkan infeksi sulit diatasi, sehingga memerlukan bantuan aspirasi.
Komplikasi berikutnya adalah bakterimia akibat tidak teratasinya infeksi. Hal ini
dapat terjadi pada 20-30% dari kasus.
4. Resistensi
Resistensi dijumpai pada pneumococcal semakin meningkat sepuluh
tahun terakhir, khususnya terhadap penicillin. Meningkatnya resistensi terhadap
penicillin juga diramalkan akan berdampak terhadap meningkatnya resistensi
terhadap beberapa kelas antibiotika seperti cefalosporin, makrolida, tetrasiklin
serta kotrimoksazol. Antibiotika yang kurang terpengaruh terhadap resistensi
tersebut adalah vankomisin, fluoroquinolon, klindamisin, kloramfenikol dan
rifampisin
5. Terapi
1. Outcome
Eradikasi mikroorganisme penyebab pneumonia,penyembuhan klinis
yang paripurna.
2. Terapi pokok
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti
infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara
empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah
bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang
berspektrum sempit sesuai patogen. Community-Acquired Pneumonia (CAP)
Terapi CAP dapat dilaksanakan secara rawat jalan. Namun pada kasus yang
berat pasien dirawat di rumah sakit dan mendapat antibiotika parenteral. Pilihan
antibiotika yang disarankan pada pasien dewasaadalah golongan makrolida

14
ataudoksisiklin atau fluoroquinolon terbaru. Namun untuk dewasa muda yang
berusia antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin lebih dianjurkan karena mencakup
mikroorganisme atypical yang mungkin menginfeksi. Untuk bakteri
Streptococcus pneumoniae yang resisten terhadap penicillindirekomendasikan
untuk terapi beralih ke derivat fluoroquinolon terbaru. Sedangkan untuk CAP
yang disebabkan oleh aspirasi cairan lambung pilihan jatuh pada amoksisilin-
klavulanat. Golongan makrolida yang dapat dipilih mulai dari eritromisin,
claritromisin serta azitromisin. Eritromisin merupakan agen yang paling
ekonomis, namun harus diberikan 4 kali sehari. Azitromisin ditoleransi dengan
baik, efektif dan hanya diminum satu kali sehari selama 5 hari, memberikan
keuntungan bagi pasien. Sedangkan klaritromisin merupakan alternatif lain bila
pasien tidak dapat menggunakan eritromisin, namun harus diberikan dua kali
sehari selama 10-14 hari.

15
Ket :
*) Aminoglikosida atau Ciprofloksasin dikombinasi dengan salah satu
antibiotika yang terletak di bawahnya dalam kolom yang sama
**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis
berat, gagal ginjal
Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan
pasien, maka disarankan untuk memilih antibiotika denganspektrum yang lebih
luas. Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten khususnya
terhadap derivat penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri penyebab
pneumonia. Sebagai contoh, pneumonia atypical melibatkan Mycoplasma
pneumoniae yang tidak dapat dicakup oleh penicillin. Beberapa pneumonia
masih menunjukkan demam dan konsistensi gambaran x-ray dada karena telah

16
terkomplikasi oleh adanya efusi pleura, empyema ataupun abses paru yang
kesemuanya memerlukan penanganan infasif yaitu dengan aspirasi.
3. Terapi pendukung
Terapi pendukung pada pneumonia meliputi
 Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang
menunjukkan tanda sesak, hipoksemia.
 Bronkhodilator padapasien dengan tanda bronkhospasme
 Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
 Nutrisi
 Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral
 Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam
 Nutrisi yang memadai

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Infeksi saluran napas bawah merupakan infeksi yang disebabkan oleh


bakteri, virus, jamur, dan protozoa yang menyerang saluran napas bagian
epiglotis atau larin, bronkus, bronkiolus sampai dengan alveoli. Sebagian
besar infeksi ini disebabkan oleh bakteri.
2. Jenis penyakit infeksi saluran pernafasan bawah : bronkhitis,
bronkiektasis, pneumonia.
3. Infeksi saluran napas bawah dapat disebabkan oleh berbagai macam
organisme, yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Beberapa virus
penyebabnya yaitu virus Influenza A, human metapneumovirus
(hMPV), varicella-zoster virus (VZV) atau cacar air, dan respiratory
syncytial virus (RSV). Namun penyebab yang paling sering adalah
bakteri, di antaranya adalah bakteri gram positif dan negatif. Beberapa
bakteri penyebab infeksi saluran pernafasan bawah antara lain H.
influenza, Streptococcus pneumonia, Kleibsella pneumonia,
Syaphylococcus aureus, berbagai bakteri anaerob dan jenis
Enterobacteria

3.2 Saran

Setelah memahami makalah ini semoga bermanfaat bagi pembaca.


Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini oleh karena itu
sangat diharapkan kritik maupun saran dari pembaca, untuk peyempurnaan pada
makalah-makalah berikutnya

18
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F, 2003.Waspadai Penyakit Menular, Badan Peneliti


danPengembangan Depkes RI, Jakarta.
Mizgerd JP. Acute lower respiratory tract infection. N Engl J Med 2009;
358:716-27
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komunitas, pedoman diagnosis
& penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI, 2003. h.1-6
Jawetz, Melnick, & Adelberg’s. Mikrobiologi Kedokteran, ed. 20. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika; 2001. h. 224-227
Guthrie R. Community-acquired lower respiratory tract infections: etiology and
treatment. Chest 2001; 150:2021-34

19

Anda mungkin juga menyukai