PENDAHULUAN
1
disertai nekrosis multipel, abses, kavitas atau pneumatokel yang berisi cairan atau
udara dan seringkali disertai dengan keterlibatan pleura, apabila mengenai seluruh
lobus paru maka akan terjadi gangrene. Walaupun patofisiologi NP belum jelas,
diperkirakan dengan proses yang dimulai dari invasi bakteri pada pasien yang rentan
dengan satu atau beberapa faktor risiko, seperti respons imun yang tidak adekuat,
inokulasi yang masif dan virulensi dari bakteri. Necrotizing pneumonia dengan
pembentukan pneumatokel pada pasien dewasa paling banyak disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, tetapi laporan kasus pada anak paling banyak disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia. (Sari Pediatri, 2017).
Anemia merupakan suatu gejala yang ditandai dengan rendahnya kadar
hemoglobin (Hb) dalam darah dibandingkan dengan nilai normal pada usia tertentu.
Anak yang menderita penyakit keganasan biasanya akan mengalami anemia (lebih
dari 50%) yang terjadi karena penyakit keganasannya sendiri atau disebabkan oleh
terapinya. Jenis penyakit keganasan pada anak sangat berbeda bila dibandingkan
dengan pada orang dewasa. Mayoritas penyakit keganasan pada orang dewasa adalah
karsinoma sedangkan pada anak hampir dua pertiganya adalah leukemia, limfoma dan
tumor otak. Anemia yang berhubungan dengan penyakit keganasan disebabkan
banyak faktor dan salah satunya adalah akibat metastasis tumor ke sumsum tulang,
dan bila tidak ditangani akan berdampak meningkatnya mortalitas dan efektifitas
terapi. Dengan banyaknya anak dengan penyakit keganasan yang bertahan hidup dan
dengan berkembangnya terapi baru, maka anemia menjadi tantangan dalam
pengobatan penyakit keganasan. (Sari Pediatri, 2005)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.1 Definis
2.2.2 Etiologi
Penyebab tersering dari NP adalah infeksi bakteri, terutama Streptococcus
pneumoniae dan Staphylococcus aureus. Sejak adanya vaksinasi 7 polyvalent
pneumococcal conjugate vaccine (PCV-7), maka serotipe dari Streptococcus
pneumonia yang banyak menyebabkan NP adalah serotipe non PCV-7 termasuk
serotipe 3 dan diikuti dengan 19A.
Bakteri kedua tersering penyebab NP adalah Staphylococcus aureus, terutama
community acquired methicillin resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) yang
menghasilkan eksotoksin Panton-Valentine leukocidin (PVL). Penyebab tersering
non-infeksi adalah aspirasi makanan yang disertai dengan komplikasi sekunder
dengan bakteri. Penyebab lain adalah obat kemoterapi seperti bleomisin,
siklofosfamid, penyakit Crohn’s, graft versus host disease, inhalasi bahan kimia
(hidrokarbon, kerosin, terpentin), inhalasi benda asing, sindrom aspirasi mekonium,
psoriasis, penyakit sickle cell, inhalasi asap rokok, toxic shock syndrome, lupus
3
eritematosus sistemik, Wegener’s granulomatosis dan vaskulitis nekrotikans lainnya.
(Sari Pediatri, 2017).
2.2.3 Patofisiologi
Temuan histopatologi pada otopsi dan paru bedah spesimen dari orang dewasa
dan anak-anak dengan NP yang ditandai dengan nekrosis parenkim paru yang sedang
dianggap terutama sebagai proses vaskular yang dipicu oleh infeksi yang
menyebabkan vaskulitis, aktivasi koagulasi sistem dan oklusi trombotik pembuluh
darah intrapulmoner disertai dengan pembentukan rongga. Namun, dalam semua
kelompok usia bernanah intens juga terlihat; itu mendalilkan bahwa efek sitotoksik
langsung dari racun bakteri dan kedua menginduksi respon inflamasi yang dimediasi
sitokin intens, (termasuk perekrutan neutrofil yang dimediasi interleukin-8, aktivasi
dan pelepasan proteolitik enzim) juga berkontribusi pada kerusakan dan kerusakan
jaringan. Campuran koagulasi dan pencairan nekrosis paru menyebabkan satu atau
lebih rongga berdinding tipis yang dapat membentuk pneumatoceles dari bagian satu
arah gas atau berkembang menjadi abses paru. APD dan empiema juga sering terjadi
dan jika daerah nekrotik meluas ke pleura, BPF bisa terbentuk, menghasilkan gas
yang persisten kebocoran dari komunikasi antara paru-paru dan pleura ruang,
terutama setelah intervensi bedah. Iskemia sekunder akibat trombosis simultan dari
beberapa pembuluh darah intrapulmonal dapat terjadi gangren paru dari seluruh lobus
pada tahap lanjut penyakit. (Masters, 2017).
3.3 Anemia
3.3.1 Definisi
4
dengan berkembangnya terapi baru, maka anemia menjadi tantangan dalam
pengobatan penyakit keganasan. (Sari Pediatri, 2005)
3.3.2. Etiologi
3.3.3. Patofisiologi
5
BAB III
TINJAUAN KASUS
6
3.3 Data Penunjang
Nilai Tanggal
Pemeriksaan
normal 24/3 25/3 26/3 27/3 28/3 29/3
CM CM CM CM CM CM
Kesadaran
GCS 15 GCS 15 GCS 15 GCS 15 GCS 15 GCS 15
Tekanan - - -
36,5 – 37,2 - - -
darah
HR 167 - - - 100 -
Nadi - 118 98 112 - 97
Suhu 36,7 36,2 36,7 36,7 36,3 36
RR 22 32 26 30 45 32
SPO2 97 95 97 97 97 95
BB 9,7 10,4 10 10 10 10
Screening
7
COVID 19 Non reaktif
<3,13 1,31
Neutrofil LR
>1,5 6,55
Absolut limfosit
Kimia klinik
CRP
CRP kuantitatif 0,0 - 5,0mg/L - H 9,7
TIBC 250 - 450µg/dL - 260
IRON 50 - 170µg/dL - 119
Albumin 3,8 - 5,4g/dL - L 32
Hemostatis
PT INR
PT 11,6 - 14,5 detik - 11,8
INR <1,2 - 0,82
PTT 28,6 - 42,2 - L 25,6
D-dimer 0-0,50µ/Ml - H 2,70
3.4 Diagnosis
3.5 Follow Up
25/03/2021 Subject Orang tua mengatakan anak masih rewel,
demam (-)
Object Kesadaran: CM
GCS: 15
Sesak (-), WSD terpasang lancar didada sebelah
kanan, cairan (+) pus, infus D5 ¼ NS 4 mL/jam
8
N: 102
S: 36,8°C
R: 26
Assement Resiko pola nafas tidak efektif
Kesadaran : CM
GCS: 15
Akral hangat, CRT < 2, ma/mi (+)
Infus D5 ½ NS 4 cc/jam
Object
Terpasang WSD didada sebalah kanan, aliran
lancar, pus (+), batuk (+), sesak < malam (+)
N: 12 kali
R: 30 kali
S: 36,7°C
Assement Gangguan pola nafas, tidak efektif
Object Kesadaran : CM
9
GCS: 15
N: 97
R: 32
S: 36,7°C
Infus D5 ½ NS 4 cc/jam
Batuk (+), sesak <
Terpasang WSD disebelah kanan
Assement Gangguan bersihan jalan nafas
Kesadaran: CM
GCS: 15
Akral hangat
Object Infus D5 ¼ NS 4 cc/jam
HR:100
RR: 28
S: 37°C
WSD (+) O2 (+), K/P CRT < 24
Gangguan bersihan jalan nafas
Assement
-Resiko infeksi
30/03/2021 Subject
Object
Assement
Planning
Tanggal
Obat Dosis Frek Rute
25/03 26/03 27/03 28/03
10
√ √ √ √
Infus D5 ¼ NS 4 mL/jam i.v
Injeksi √ √ √ √
1x800mL i.v
Ceftriaxon (12) (12) (12) (12)
Indikasi
Dosis
Infus D5 ¼ NS Kontraindikasi
Efek samping
Interaksi obat
Perhatian
Indikasi
Infeksi saluran nafas bawah
Dosis
Bayi 15 hari s/d anak 12 tahun: sehari 1x20-80 mg/kg
BB.
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap sefalosporin dan penilisin,
riwayat anafilaksis, aminoglikosida atau diuretic.
Ceftriaxon
Efek samping
Reaksi hipersensitifitas
Interaksi obat
Meningkatkan efek nefrotoksik jika digunakan
bersamaan dengan aminoglikosida
Perhatian
Gangguan fungsi hati dan ginjal, wanita hamil,
neonates
Azitromicin Indikasi
Infeksi saluran nafas atas dan bawah
Dosis
Anak-anak: 10 mg/kg/BB selama 3 hari
11
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap azitromicin, eritromisin
atau antibiotika makrolida lainnya
Efek samping
Sakit kepala, diare, nyeri/keram, mual, muntah,
kembung
Interaksi Obat
Perhatian
Hentikan terapi jika terjadi reaksi alergi
Indikasi
Nyeri ringan sampai sedang dan demam.
Paracetamol Dosis (DIH)
Anak < 12 tahun: 10-15 mg/KgBB diberikan tiap 4-6
jam. Maksimum 4 gram per hari.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, gangguan hati.
Efek samping
Reaksi alergi, ruam kulit berupa eritema atau
urtikaria, kelainan darah, hipotensi, kerusakan hati.
Interaksi obat
Kontraindikasi
12
Efek samping
Interaksi obat
Perhatian
Indikasi
Zat pencair untuk sekresi mukus dan mukopurulen
Dosis
Kontraindikasi
Fluimucyl
Efek samping
Interaksi obat
Perhatian
Indikasi
Rheumatoid arthritis, bursitis, keadaan alergi berat
dan inflamasi akut
Dosis
Anak-anak: 1-2 mg/kg/BB dalam 3-4 dosis terbagi
Kontraindikasi
Prednison
Tukak lambung, tuberculosis aktif, hipertensi,
gangguan saraf, gangguan ginjal, jantung dan diabetes
Efek samping
Moonface, osteoporosis, mual, anoreksia, nyeri otot,
gelisah, iritasi lambung, hypernatremia, hyperkalemia
dan gangguan tidur
Interaksi obat
Perhatian
Penggunaan terus menerus dan jangka panjang pada
anak selama masa pertumbuhan
13
3.8 DRP (Drug Related Problems)
14
No DRP Keterangan
1 Indikasi
a. Tidak ada indikasi -
b. Ada indikasi, tidak ada terapi -
c. Kontraindikasi -
15
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., et al. 2008. Pharmacotherapy:
Phatophysiologic Approach, Sevent Edition. MC Graw-Hill, USA, pp. 140-
144, 166.
Price, S. A., L. M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, E/6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.
16