Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Emfisema berasal dari bahasa Yunani, emphysaein yang berarti mengembang


dan didefinisikan menjadi pelebaran abnormal menetap ruang udara (alveoli distal
terhadap bronkiolus terminal) disertai kerusakan dindingnya tanpa fibrosis yang
nyata. Pelebaran menetap disertai kerusakan alveoli dapat mengurangi aliran udara
ekspirasi maksimal akibat daya rekoil elastik paru berkurang. Pelebaran ruang udara
tanpa disertai kerusakan disebut sebagai overinflation. (Steven Jonathan, 2019)
Emfisema merupakan kontributor terbesar dalam kejadian PPOK. Pada
emfisema terjadi distensi rongga udara di sebelah distal bronkiolus terminalis dengan
disertai destruksi septum alveolaris. Terdapat beberapa faktor risiko penyebab
emfisema diantaranya polusi udara dan faktor genetik. Polusi udara didapatkan dari
merokok, paparan debu, sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan gas
beracun lainnya. Sedangkan faktor genetik yang dapat menyebabkan emfisema adalah
defisiensi alfa-1 antitripsin. Merokok merupakan temuan paling umum yang
diberhubungan dengan luasnya emfisema pascamati. Merokok dapat menganggu
pegerakan silia, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan
hipersekresi kelenjar mukus, dan pajanan yang masif dapat menyebabkan perubahan
emfisematus. Paparan akut dari rokok ini sendiri dapat menyebabkan kerusakan paru
tetapi apabila bersamaan dengan faktor genetik maka akan menyebabkan kerusakan
yang lebih parah.
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan
kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Emfisema disebabkan karena
hilangnya elastisitas alveolus. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin
adalah penyebab kehilangan elastisitas ini. Pada penderita emfisema, volume paru-
paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Akibatnya, tubuh
tidak mendapatkan oksigen yang diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit
bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan sesak napas. (Dwita Oktaria &
Maharani Sekar Ningrum, 2017)
Necrotizing pneumonia (NP) merupakan salah satu komplikasi berat dari
community acquired pneumonia (CAP), terjadi akibat destruksi parenkim paru normal

1
disertai nekrosis multipel, abses, kavitas atau pneumatokel yang berisi cairan atau
udara dan seringkali disertai dengan keterlibatan pleura, apabila mengenai seluruh
lobus paru maka akan terjadi gangrene. Walaupun patofisiologi NP belum jelas,
diperkirakan dengan proses yang dimulai dari invasi bakteri pada pasien yang rentan
dengan satu atau beberapa faktor risiko, seperti respons imun yang tidak adekuat,
inokulasi yang masif dan virulensi dari bakteri. Necrotizing pneumonia dengan
pembentukan pneumatokel pada pasien dewasa paling banyak disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, tetapi laporan kasus pada anak paling banyak disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia. (Sari Pediatri, 2017).
Anemia merupakan suatu gejala yang ditandai dengan rendahnya kadar
hemoglobin (Hb) dalam darah dibandingkan dengan nilai normal pada usia tertentu.
Anak yang menderita penyakit keganasan biasanya akan mengalami anemia (lebih
dari 50%) yang terjadi karena penyakit keganasannya sendiri atau disebabkan oleh
terapinya. Jenis penyakit keganasan pada anak sangat berbeda bila dibandingkan
dengan pada orang dewasa. Mayoritas penyakit keganasan pada orang dewasa adalah
karsinoma sedangkan pada anak hampir dua pertiganya adalah leukemia, limfoma dan
tumor otak. Anemia yang berhubungan dengan penyakit keganasan disebabkan
banyak faktor dan salah satunya adalah akibat metastasis tumor ke sumsum tulang,
dan bila tidak ditangani akan berdampak meningkatnya mortalitas dan efektifitas
terapi. Dengan banyaknya anak dengan penyakit keganasan yang bertahan hidup dan
dengan berkembangnya terapi baru, maka anemia menjadi tantangan dalam
pengobatan penyakit keganasan. (Sari Pediatri, 2005)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Nectrotizing Pneumonia

2.2.1 Definis

Necrotizing pneumonia (NP) merupakan salah satu komplikasi berat dari


community acquired pneumonia (CAP), terjadi akibat destruksi parenkim paru normal
disertai nekrosis multipel, abses, kavitas atau pneumatokel yang berisi cairan atau
udara dan seringkali disertai dengan keterlibatan pleura, apabila mengenai seluruh
lobus paru maka akan terjadi gangrene. Walaupun patofisiologi NP belum jelas,
diperkirakan dengan proses yang dimulai dari invasi bakteri pada pasien yang rentan
dengan satu atau beberapa faktor risiko, seperti respons imun yang tidak adekuat,
inokulasi yang masif dan virulensi dari bakteri. Necrotizing pneumonia dengan
pembentukan pneumatokel pada pasien dewasa paling banyak disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, tetapi laporan kasus pada anak paling banyak disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia. (Sari Pediatri, 2017)

2.2.2 Etiologi
Penyebab tersering dari NP adalah infeksi bakteri, terutama Streptococcus
pneumoniae dan Staphylococcus aureus. Sejak adanya vaksinasi 7 polyvalent
pneumococcal conjugate vaccine (PCV-7), maka serotipe dari Streptococcus
pneumonia yang banyak menyebabkan NP adalah serotipe non PCV-7 termasuk
serotipe 3 dan diikuti dengan 19A.
Bakteri kedua tersering penyebab NP adalah Staphylococcus aureus, terutama
community acquired methicillin resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) yang
menghasilkan eksotoksin Panton-Valentine leukocidin (PVL). Penyebab tersering
non-infeksi adalah aspirasi makanan yang disertai dengan komplikasi sekunder
dengan bakteri. Penyebab lain adalah obat kemoterapi seperti bleomisin,
siklofosfamid, penyakit Crohn’s, graft versus host disease, inhalasi bahan kimia
(hidrokarbon, kerosin, terpentin), inhalasi benda asing, sindrom aspirasi mekonium,
psoriasis, penyakit sickle cell, inhalasi asap rokok, toxic shock syndrome, lupus

3
eritematosus sistemik, Wegener’s granulomatosis dan vaskulitis nekrotikans lainnya.
(Sari Pediatri, 2017).
2.2.3 Patofisiologi

Temuan histopatologi pada otopsi dan paru bedah spesimen dari orang dewasa
dan anak-anak dengan NP yang ditandai dengan nekrosis parenkim paru yang sedang
dianggap terutama sebagai proses vaskular yang dipicu oleh infeksi yang
menyebabkan vaskulitis, aktivasi koagulasi sistem dan oklusi trombotik pembuluh
darah intrapulmoner disertai dengan pembentukan rongga. Namun, dalam semua
kelompok usia bernanah intens juga terlihat; itu mendalilkan bahwa efek sitotoksik
langsung dari racun bakteri dan kedua menginduksi respon inflamasi yang dimediasi
sitokin intens, (termasuk perekrutan neutrofil yang dimediasi interleukin-8, aktivasi
dan pelepasan proteolitik enzim) juga berkontribusi pada kerusakan dan kerusakan
jaringan. Campuran koagulasi dan pencairan nekrosis paru menyebabkan satu atau
lebih rongga berdinding tipis yang dapat membentuk pneumatoceles dari bagian satu
arah gas atau berkembang menjadi abses paru. APD dan empiema juga sering terjadi
dan jika daerah nekrotik meluas ke pleura, BPF bisa terbentuk, menghasilkan gas
yang persisten kebocoran dari komunikasi antara paru-paru dan pleura ruang,
terutama setelah intervensi bedah. Iskemia sekunder akibat trombosis simultan dari
beberapa pembuluh darah intrapulmonal dapat terjadi gangren paru dari seluruh lobus
pada tahap lanjut penyakit. (Masters, 2017).
3.3 Anemia

3.3.1 Definisi

Anemia merupakan suatu gejala yang ditandai dengan rendahnya kadar


hemoglobin (Hb) dalam darah dibandingkan dengan nilai normal pada usia tertentu.
Anak yang menderita penyakit keganasan biasanya akan mengalami anemia (lebih
dari 50%) yang terjadi karena penyakit keganasannya sendiri atau disebabkan oleh
terapinya. Jenis penyakit keganasan pada anak sangat berbeda bila dibandingkan
dengan pada orang dewasa. Mayoritas penyakit keganasan pada orang dewasa adalah
karsinoma sedangkan pada anak hampir dua pertiganya adalah leukemia, limfoma dan
tumor otak. Anemia yang berhubungan dengan penyakit keganasan disebabkan
banyak faktor dan salah satunya adalah akibat metastasis tumor ke sumsum tulang,
dan bila tidak ditangani akan berdampak meningkatnya mortalitas dan efektifitas
terapi. Dengan banyaknya anak dengan penyakit keganasan yang bertahan hidup dan

4
dengan berkembangnya terapi baru, maka anemia menjadi tantangan dalam
pengobatan penyakit keganasan. (Sari Pediatri, 2005)

3.3.2. Etiologi

3.3.3. Patofisiologi

Anemia penyakit kronis didorong oleh kekebalan; Sitokin dan sel


sistem retikuloendotelial menginduksi perubahan homeostasis besi, proliferasi sel
progenitor eritroid, produksi eritropoietin dan masa hidup sel darah merah yang
semuanya berkontribusi pada patogenesis anemia. Erythropoiesis dapat dipengaruhi
oleh penyakit yang mendasari anemia penyakit kronis melalui infiltrasi sel tumor ke
sumsum tulang atau mikroorganisme, seperti yang terlihat pada infeksi human
immunodeficiency virus (HIV), hepatitis C, dan malaria. Selain itu, sel tumor dapat
menghasilkan sitokin proinflamasi dan radikal bebas yang merusak sel progenitor
eritroid. Episode perdarahan, defisiensi vitamin (misalnya, dari kobalamin dan asam
folat), hipersplenisme, hemolisis autoimun, disfungsi ginjal, dan intervensi radio- dan
kemoterapi itu sendiri juga dapat memperburuk anemia. Anemia dengan penyakit
ginjal kronis memiliki beberapa karakteristik anemia penyakit kronis, meskipun
penurunan produksi eritropoietin yang dimediasi oleh insufisiensi ginjal dan efek
antiproliferatif dari akumulasi toksin uremik, berkontribusi penting. Selain itu, dalam
Pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir, aktivasi imun kronis dapat timbul dari
aktivasi kontak imu. Ditimbulkan oleh membran dialisis dari episode infeksi yang
sering atau dari kedua faktor tersebut, dan pasien tersebut datang dengan perubahan
homeostasis zat besi tubuh yang khas dari anemia penyakit kronis. (Guenter, 2014)

5
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


No. MR : 01059784
Nama Pasien : Risa Febryanti
Tanggal lahir : 07/02/2019
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 9,7 kg
Tinggi Badan : 88 cm
Umur : 2 tahun 1 bulan
Ruangan : Rawat Inap Infeksi 501
Diagnosa Awal : Emfisema
Diagnosa Akhir : Emfisema post WSD +,
Necrotizing pneumonia +,
Anemia ec infeksi kronis +
Tgl. MRS : 25/03/2021
Tgl. KRS :-
DPJP : dr. Citra Cesilia, SpA

3.2 Riwayat Penyakit


1. Keluhan Utama:
Demam 3 minggu naik turun, batuk (+) riwayat jatuh 3 minggu lalu, luka-
luka dikaki (+) bernanah, sesak dirawat di Taluk Kuantan 3 hari yang lalu,
pasang WSD keluar nanah, penurunan BB 3kg dalam 3 minggu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
-
3. Riwayat Penyakit Terdahulu:
-
4. Riwayat Keluarga/ Sosial:
-
5. Riwayat Penggunaan Obat:
-

6
3.3 Data Penunjang

3.3.1 Data Pemeriksaan Fisik

Nilai Tanggal
Pemeriksaan
normal 24/3 25/3 26/3 27/3 28/3 29/3
CM CM CM CM CM CM
Kesadaran
GCS 15 GCS 15 GCS 15 GCS 15 GCS 15 GCS 15
Tekanan - - -
36,5 – 37,2 - - -
darah
HR 167 - - - 100 -
Nadi - 118 98 112 - 97
Suhu 36,7 36,2 36,7 36,7 36,3 36
RR 22 32 26 30 45 32
SPO2 97 95 97 97 97 95
BB 9,7 10,4 10 10 10 10

3.3.2 Data Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 24 dan 28/03/2021


Tanggal
Pemeriksaan Nilai normal
24/3 28/3
Darah lengkap
Hemoglobin 10,2 - 15,2 10,4 L 11,3
Leukosit 5,00 - 17,00 12,18 16,65
Eritrosit 4,00 - 4,5 L 3,61 H 539
Trombosit 150 - 400 318 4,07
Hematokrit 37,0 - 43,0 L 34,0 38,0
MCV 82,0 - 92,0 H 94,2 93,4
MCH 27,0 - 31,0 28,8 27,8
MCHC 32,0 - 36,0 L 30,6 L 29,7
Hitung jenis
Basofil 0,2
0 - 1,0 0,3
Eusinofil 0,7
1,0 - 3,0 0,8
Netrofil S 61,0
50,0 - 70,0 51,3
Limfosit 31,3
20,0 - 40,0 39,3
Monosit 6,8
2,0 - 8,0 8,3
Neutrofil L 1,95
<3,13 -

Screening

7
COVID 19 Non reaktif
<3,13 1,31
Neutrofil LR
>1,5 6,55
Absolut limfosit
Kimia klinik
CRP
CRP kuantitatif 0,0 - 5,0mg/L - H 9,7
TIBC 250 - 450µg/dL - 260
IRON 50 - 170µg/dL - 119
Albumin 3,8 - 5,4g/dL - L 32
Hemostatis
PT INR
PT 11,6 - 14,5 detik - 11,8
INR <1,2 - 0,82
PTT 28,6 - 42,2 - L 25,6
D-dimer 0-0,50µ/Ml - H 2,70

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 28/03/2021


Tanggal
Pemeriksaan Nilai normal
28/3
Darah lengkap
RDW CV
11,5-14,5 H 20,5
RDW SD
35,0-97,0 H 68,5
PDW
9,0-13,0 L 8,9
MPV
7,2-11,1 9,2
P-LCR
15,0-25,0 17,9

3.4 Diagnosis

3.5 Follow Up
25/03/2021 Subject Orang tua mengatakan anak masih rewel,
demam (-)
Object Kesadaran: CM
GCS: 15
Sesak (-), WSD terpasang lancar didada sebelah
kanan, cairan (+) pus, infus D5 ¼ NS 4 mL/jam

8
N: 102
S: 36,8°C
R: 26
Assement Resiko pola nafas tidak efektif

Planning Pola nafas efektif

26/03/2021 Subject Ibu pasien mengatakan anaknya masih ada


batuk, sesak nafas tidak ada, demam tidak ada
Kesadaran: CM
Sesak dan demam tidak ada
Infus D5 ¼ NS 4 mL/jam WSD terpasang
Object didada sebelah kanan, aliran lancar, cairan WSD
masih ada pus
N: 28
R: 26
S: 36,7°C
Assement Resiko pola nafas tidak efektif

Planning Pola nafas efektif

27/03/2021 Subject Anak batuk (+), sesak <, demam (-)

Kesadaran : CM
GCS: 15
Akral hangat, CRT < 2, ma/mi (+)
Infus D5 ½ NS 4 cc/jam
Object
Terpasang WSD didada sebalah kanan, aliran
lancar, pus (+), batuk (+), sesak < malam (+)
N: 12 kali
R: 30 kali
S: 36,7°C
Assement Gangguan pola nafas, tidak efektif

Planning Pola nafas efektif

28/03/2021 Subject Anak batuk dan sesak

Object Kesadaran : CM

9
GCS: 15
N: 97
R: 32
S: 36,7°C
Infus D5 ½ NS 4 cc/jam
Batuk (+), sesak <
Terpasang WSD disebelah kanan
Assement Gangguan bersihan jalan nafas

Planning Bersihan jalan nafas efektif

29/03/2021 Subject Pasien batuk (+), sesak <

Kesadaran: CM
GCS: 15
Akral hangat
Object Infus D5 ¼ NS 4 cc/jam
HR:100
RR: 28
S: 37°C
WSD (+) O2 (+), K/P CRT < 24
Gangguan bersihan jalan nafas
Assement
-Resiko infeksi

Jalan nafas efektif


Planning
-Infeksi tidak terjadi

30/03/2021 Subject

Object

Assement

Planning

3.6 Terapi Farmakologi

Tanggal
Obat Dosis Frek Rute
25/03 26/03 27/03 28/03

10
√ √ √ √
Infus D5 ¼ NS 4 mL/jam i.v
Injeksi √ √ √ √
1x800mL i.v
Ceftriaxon (12) (12) (12) (12)

Azitromicin 1x100mg p.o √ √ √ √


(12) (12) (12) (12)

Paracetamol 4x150mL i.v √ √ √ √


(06,12,18,24) (06,12,18,24) (06,12,18,24) (06,12,18,24)

Apyalist Drop 1x1 p.o √ √ √ √


(18) (18) (18) (18)

Nebu Flumucil 6 jam p.o √ √ √ √


(06,18,24) (06,18,24) (06,18,24) (06,18,24)

Prednison 2x1 p.o √ √ √ √


(06,18) (06,18) (06,18) (06,18)

3.7 Tinjauan Farmakologi Obat

Indikasi

Dosis

Infus D5 ¼ NS Kontraindikasi

Efek samping

Interaksi obat

Perhatian

Indikasi
Infeksi saluran nafas bawah
Dosis
Bayi 15 hari s/d anak 12 tahun: sehari 1x20-80 mg/kg
BB.
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap sefalosporin dan penilisin,
riwayat anafilaksis, aminoglikosida atau diuretic.
Ceftriaxon
Efek samping
Reaksi hipersensitifitas
Interaksi obat
Meningkatkan efek nefrotoksik jika digunakan
bersamaan dengan aminoglikosida
Perhatian
Gangguan fungsi hati dan ginjal, wanita hamil,
neonates
Azitromicin Indikasi
Infeksi saluran nafas atas dan bawah
Dosis
Anak-anak: 10 mg/kg/BB selama 3 hari

11
Kontraindikasi
Hipersensitifitas terhadap azitromicin, eritromisin
atau antibiotika makrolida lainnya
Efek samping
Sakit kepala, diare, nyeri/keram, mual, muntah,
kembung
Interaksi Obat

Perhatian
Hentikan terapi jika terjadi reaksi alergi
Indikasi
Nyeri ringan sampai sedang dan demam.
Paracetamol Dosis (DIH)
Anak < 12 tahun: 10-15 mg/KgBB diberikan tiap 4-6
jam. Maksimum 4 gram per hari.

Kontraindikasi
Hipersensitivitas, gangguan hati.

Efek samping
Reaksi alergi, ruam kulit berupa eritema atau
urtikaria, kelainan darah, hipotensi, kerusakan hati.
Interaksi obat

Meningkatkan risiko perdarahan, jika


digunakan bersamaan dengan warfarin.
 Menurunkan efek paracetamol, jika digunakan
dengan carbamazepine, phenytoin,
phenobarbital, cholestyramine, dan imatinib.
 Meningkatkan efek samping obat busulfan.
 Meningkatkan kemungkinan munculnya efek
samping paracetamol, jika digunakan dengan
metoclopramide, domperidone atau
probenecid.
Perhatian
Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal,
ketergantungan alkohol.
Apyalist Drop Indikasi
Meningkatkan nafsu makan dan stamina tubuh pada
anak2 yang bertumbuh, sebagai suplemen vitamin
Dosis (Brosur)
Anak 1-3 tahun : 1 x sehari 0.6 mL, Anak < 12 bulan :
1 x sehari 0.3 mL.

Kontraindikasi

12
Efek samping


Interaksi obat


Perhatian


Indikasi
Zat pencair untuk sekresi mukus dan mukopurulen

Dosis

Kontraindikasi
Fluimucyl

Efek samping


Interaksi obat

Perhatian

Indikasi
Rheumatoid arthritis, bursitis, keadaan alergi berat
dan inflamasi akut

Dosis
Anak-anak: 1-2 mg/kg/BB dalam 3-4 dosis terbagi

Kontraindikasi
Prednison
Tukak lambung, tuberculosis aktif, hipertensi,
gangguan saraf, gangguan ginjal, jantung dan diabetes
Efek samping
Moonface, osteoporosis, mual, anoreksia, nyeri otot,
gelisah, iritasi lambung, hypernatremia, hyperkalemia
dan gangguan tidur

Interaksi obat

Perhatian
Penggunaan terus menerus dan jangka panjang pada
anak selama masa pertumbuhan

13
3.8 DRP (Drug Related Problems)

DRUG RELATED PROBLEM (DRP)


Kod Ya Tidak
Klasifikasi Ket
e
P1 Adverse reactions
P1.1 Mengalami efek samping (non alergi)
P1.2 Mengalami efek samping (alergi)
P1.3 Mengalami efek toksik
P2 Drug choice problem
P2.1 Obat yang tidak tepat
P2.2 Sediaan obat yang tidak tepat
P2.3 Duplikasi zat aktif yang tidak tepat
P2.4 Kontraindikasi
P2.5 Obat tanpa indikasi yang jelas
P2.6 Ada indikasi yang jelas namun tidak diterapi
P3 Dosing problem
P3.1 Dosis dan atau frekuensi terlalu rendah
P3.2 Dosis dan atau frekuensi terlalu tinggi
P3.3 Durasi terapi terlalu pendek
P3.4 Durasi terapi terlalu panjang
P4 Drug use problem
P4.1 Obat tidak dipakai seluruhnya
P4.2 Obat dipakai dengan cara salah
P5 Interactions
Ya Candesartan dan KSR
memiliki interaksi yang
P5.1 Interaksi yang potensial
dapat menyebabkan
peningkatan kadar kalium
P5.2 Interaksi yang terbukti terjadi
P6 Other
Pasien tidak merasa puas dengan terapinya
P6.1
sehingga tidak menggunakan obat secara benar
Kurangnya pengetahuan terhadap masalah
P6.2 kesehatan dan penyakit (dapat menyebabkan
masalah dimasa datang)
Keluhan yang tidak jelas, perlu klarifikasi
P6.3
lebih lanjut.
P6.4 Keluhan terapi (alasan tidak diketahui)

Klasifikasi masalah menurut PCNE V.05

14
No DRP Keterangan
1 Indikasi
a. Tidak ada indikasi -
b. Ada indikasi, tidak ada terapi -
c. Kontraindikasi -

2 Pemilihan obat Sesuai


3 Dosis obat
a. Kelebihan (over dose) -
b. Kekurangan (under dose) -
4 Interval pemberian Sesuai
5 Cara atau waktu pemberian Sesuai
6 Rute pemberian Sesuai
7 Lama pemberian Sesuai
8 Interaksi obat
a. Obat -
b. Hasil lab -
9 ESO/ADR/Alergi -

3.9 Perhitungan Dosis


1. Azitromicin
2. Apyalist Drop

15
BAB IV
PEMBAHASAN

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., et al. 2008. Pharmacotherapy:
Phatophysiologic Approach, Sevent Edition. MC Graw-Hill, USA, pp. 140-
144, 166.
Price, S. A., L. M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, E/6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.

16

Anda mungkin juga menyukai