Anda di halaman 1dari 23

REAKSI HIPERSENSIVITAS

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas akhir semester IV mata kuliah
Imunoserologi Lanjut
Disusun Oleh :

1. ANNA SUFI ANNISA P13337434318035


2. ALFINDA ZAHRA YUNISA P13374343180
3. KHOFIFAH ‘AINUNNUFUS P13374343180

SARJANA TERAPAN TEKNIK LABORATRIUM MEDIS


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat,
tauhid, dan hidayah yang telah dilimpahkanNya sehingga tugas makalah mata kuliah
IMUNOSEROLOGI LANJUT yang berjudul ”REAKSI HIPERSENSIVITAS” dapat
diselesaikan.
Dalam pembuatan makalah ini terasa tidak sulit karena mendapat bantuan dari
sumber-sumber seperti internet dan buku pedoman. Bantuan dari berbagai pihak juga
didapatkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu disampaikan
terima kasih kepada :
1. Ibu Fitria selaku dosen pengampu mata kuliah Imunoserologi Lanjut yang telah
memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu.
2. Orang tua kami
3. Teman-teman sarjana terapan teknik laboratoorium medis tingkat 2 tahun ajaran
2019/2020.
Makalah yang berjudul “REAKSI HIPERSENSIVITAS” ini dibuat sebagai
salah satu upaya agar semua orang mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya alergi
yang disebabkan oleh factor benda mati ( anorganik) yang meliputi debu, suhu dan
makanan. Sehingga dapat diketahui pasti mekanisme yang terjadi, diagnosis dan
penanggulangan terhadap reaksi alergi yang terjadi.
Disadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan, agar isi dan makna makalah ini dapat
mendekati tujuan dan sasaran yang sebenarnya. Makalah ini dipersembahkan dengan
penuh rasa terima kasih dan semoga makalah ini bermanfaat.

Semarang, 26 Januari 2020


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-
spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral
yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi
hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas,
yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap
sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi
alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi
ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma
dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna
merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-
ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang
terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga
menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu
kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan
timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi dan pertahanan tubuh
pada kondisi lingkungan (suhu, debu dan udara) yang tidak sesuai (ekstrem),
belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu,
terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas
enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga
dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu
tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi
eosinofilia relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya
terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril
sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme
pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi
yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?
2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?
3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
6. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?
7. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?
8. Bagaimana diagnostik hipersensitivitas?
9. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?
10. Bagaimana mekanisme alerginya?

C. TUJUAN
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan lebih dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan
imunologi khususnya penyakit hipersensitifitas (alergi) serta untuk memenuhi
tugas mata kuliah Imunologi I
D. MANFAAT

Manfaat yang dapat diperoleh dengan pembuatan makalah ini adalah


menambah pemahaman dan wawasan penulisan maupun pembaca tentang
reaksi alergi yang terjadi pada tubuh yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI HIPERSENSIVITAS

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana


tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Reaksi alergi terjadi ketika tubuh salah
mengartikan zat yang masuk sebagai zat yang berbahaya. Sejalan dengan
definisi ini, alergi makanan merupakan reaksi sistem kekebalan yang terjadi
segera setelah mengonsumsi makanan tertentu. Bahkan sejumlah kecil makanan
penyebab alergi dapat memicu tanda dan gejala seperti masalah pencernaan,
gatal-gatal atau bengkak saluran udara. Pada beberapa orang, alergi makanan
dapat menyebabkan gejala parah atau bahkan reaksi yang mengancam nyawa
yang dikenal sebagai anafilaksis. Kadang, alergi makanan disalah artikan dengan
kondisi yang lebih umum terjadi, yaitu intoleransi terhadap makanan. Intoleransi
terhadap makanan kondisinya lebih ringan dari alergi karena tidak melibatkan
sistem kekebalan tubuh.

B. ETIOLOGI

Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :


1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu. · Imaturitas usus (Ketidakmatangan Usus) Secara
mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung
masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan
enzim pencernaan menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik
sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat
menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur system
pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga
memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh.

b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai


janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan
norma kehidupan setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau
kakek/nenek pada penderita. Bila ada orang tua, keluarga atau
kakek/nenek yang menederita alergi kita harus mewaspadai tanda alergi
pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita gejala
alergi, maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 17 – 40%, Bila
ke dua orang tua alergi maka resiko pada anak meningkat menjadi 53 –
70%.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.

2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

3. Faktor Risiko
a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak
keluarga yang mengalami gangguan ini.
b. Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapat
mengatasi gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan
ini kembali di kemudian hari.
c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai
risiko alergi terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis
reaksi alergi yang lain,seperti demam atau eksim, risiko mengalami alergi
makanan lebih besar.
d. Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama
balita dan bayi. Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap
komponen makanan atau makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-
anak biasanya dapat mengatasi alergi terhadap susu, gandum kedelai, dan
telur. Alergi parah dan alergi terhadap kacang-kacangan dan kerang mungkin
dapat diderita seumur hidup.
e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika
terjadi, baik alergi makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah

C. PATOFISIOLOGI

Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang
yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika
untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah
tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda
itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu
aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk
mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada
sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk
kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil
dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan
panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh
darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal,
prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat
mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala
alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini
ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak
ditangani segera dapat menyebabkan kematian

D. KLASIFIKASI HIPERSENSIVITAS

1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung
atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang
juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas
tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada
reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh
keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas
tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE
total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu
penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu
penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat
dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll.
Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah
menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan
Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization)
untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin
G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel
dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau
jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya,
antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat
patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)
yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten
untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah
merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III


Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun.
Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil
dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh
secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga
terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini
juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-
antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam
saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal,
paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks
imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang
dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena
kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan
antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga
menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit
yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A.
fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt)
dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena
aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama
dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin
dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah
hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan
histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis

Epidermal (senyawa
Limfosit, diikuti
48-72 organik, jelatang atau
Kontak Eksim (ekzema) makrofag; edema
jam poison ivy, logam
epidermidis
berat , dll.)

Intraderma
48-72 Pengerasan Limfosit, monosit,
Tuberkulin (tuberkulin, lepromin,
jam (indurasi) lokal makrofag
dll.)

Antigen persisten atau


Makrofag, epithelo senyawa asing dalam
21-28
Granuloma Pengerasan id dan sel raksaksa, tubuh
hari
fibrosis (tuberkulosis, kusta,
etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis


Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
1 Tipe Alergen mengikat silang Anafilaksis, beberapa
Anafilaksis antibody IgE  pelepasan bentuk asma
amino vasoaktif dan bronchial
mediatorlain dari basofil dan sel
mast rektumen sel radang lain
2 Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan Anemia hemolitik
terhadap antigen pada permukaan sel autoimun,
antigen fagositosis sel target atau lisis eritroblastosis fetalis,
jaringan sel target oleh komplemen atau penyakit
tertentu sitotosisitas yang diperantarai Goodpasture,
oleh sel yang bergantung pemfigus vulgaris
antibody

3 Penyakit Kompleks antigen-antibodi Reahsi Arthua, serum


Kompleks mengaktifkan  komplemen sickness, lupus
Imun menarik perhatian nenutrofil eritematosus sistemik,
menjadikan pelepasan enzim bentuk tertentu
lisosom, radikal bebas oksigen, glumerulonefritis akut
dll
4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi Tuberkulosis,
Selular pelepasan sitokin dan dermatitis kontak,
(Lambat) sitotoksisitas yang diperantarai penolakan transplant
oleh sel T

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi
lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah
pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik
merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi
saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi
segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat
mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat
tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan
urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi,
menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain.
gejala sering disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
5. Kejang perut, mual
6. Neuritis optic
7. Glomerulonefritis
8. Sindrom lupus eritematosus sistemik
9. Gejala vaskulitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan
reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga
dapat merupakan manifestasi reaksi obat. Adapun Gejala klinis umumnya :

1. Pada saluran pernafasan : asma


2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

E. TANDA DAN GEJALA ALERGI

Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala alergi
yang ringan dapat berupa bersin – bersin, hidung meler, gatal – gatal baik bersifat
lokal atau seluruh tubuh, hidung mampet dan gejala alergi lainnya. Gejala alergi
dapat dapat terlihat pada kulit, mata, hidung, paru-paru dan perut, tergantung pada
jenis alerginya. Gejala-gejala alergi bisa mulai dari ringan ke sangat serius adalah :
1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini adalah
yang paling umum gejala alergi obat.
2. Batuk, wheezing, Hidung, dan kesulitan bernapas.
3. demam.
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dgn kulit
necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.
5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa maut,
dan Anda akan memerlukan perawatan darurat. Gejala, seperti hives dan
kesulitan bernapas, biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat,
reaksi cepat tanpa perawatan, Anda dapat masuk ke shock.
Gambaran lain yang menandakan adanya alergi adalah :
1. Adanya penonjolan kemerahan, seperti orang terkena cacar
2. Adanya biduran
3. Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik kulit.
4. Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada penderita demam
berdarah dengue.
5. Adanya radang pada pembulih darah (vaskulitis)
6. Adanya rekasi kemerahan karena kontak dengan sinar matahari
7. Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat.
8. Kelainan lain gawat darurat, seperti kulit seperti terbakar yang dalam klinik
disebut nekrolisis epidermal toksik.
Gejala alergi yang berbahaya meliputi rekasi anafilaksis. Reaksi alergi yang
sangat berbahaya adalah gejala anafilaksis, gejalanya dapat berupa shock berupa
tekanan darah secara tiba – tiba dan cepat sehingga membahayakan nyawa si
penderita, kepala pusing dan sang penderita terlihat sangat cemas sehingga perlu
penanganan yang cepat dan harus segera di bawa ke klinik atau RS. Gejala alergi
anafilaksis paling sering terjadi pada gigitan serangga dan alergi obat tertentu
namun reaksi anafilaksis akibat minum obat tersangat jarang terjadi.
Kerasnya reaksi alergi, gejala dapat sangat bervariasi. Gejala ringan
mungkin tidak begitu terlihat, hanya membuat tubuh merasa sedikit sakit. Gejala
sedang dapat membuat tubuh merasa sakit, seolah-olah mendapat flu atau bahkan
dingin.sedangkan gejala parah dari reaksi alergi akan menimbulkan rasa yang
sangat tidak nyaman, bahkan melumpuhkan. Kebanyakan gejala reaksi alergi
menghilang tak lama setelah berhenti eksposur. Reaksi alergi yang paling parah
disebut anafilaksis. Anafilaksis dapat mengancam jiwa dan memerlukan perhatian
medis segera. Penanganan cepat sangat penting untuk anafilaksis. Jika tidak
ditangani secara cepat, anafilaksis dapat menyebabkan koma atau kematian Gejala
dapat berkembang pesat. Dalam anafilaksis, alergen menyebabkan reaksi alergi
seluruh tubuh yang dapat mencakup:
1. Gatal-gatal dan gatal-gatal di seluruh (bukan hanya di daerah terbuka)
2. Mengi atau sesak napas
3. Suara serak atau sesak di tenggorokan
4. Kesemutan di tangan, kaki, bibir, atau kulit kepala
Tidak, tidak semua orang memiliki alergi. Orang-orang mewarisi
kecenderungan untuk menjadi alergi, meskipun tidak ke alergen tertentu. Bila salah
satu orangtua alergi, anak mereka memiliki kesempatan 50% memiliki alergi. risiko
itu melompat hingga 75% jika kedua orang tua memiliki alergi.

F. PEMERIKSAAN FISIK

1. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya


urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir

2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan


3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan

4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada
oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup


seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau
alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20
tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa
penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi
imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan
IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

H. DIAGNOSTIK

1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis
pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan
obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna
dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine,
toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella,
Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis
simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin
(pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan
sebagainya.
3. Reaksi psikologI
I. TERAPI

Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:

1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,
isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol,
metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ).
Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi
sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat
terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat
alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin
pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai
antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada
melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan.
Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat
merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator
karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin
paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk
pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit
prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi
pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan
kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat
menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen
E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan
terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan
histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi
seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak
melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar
berapapun

4. Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti


traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

J. MEKANISME ALERGI

Seseorang dapat terpajan alergen dengan menghirup, menelan, atau


mendapatkan pada atau di bawah kulit. Setelah seseorang terkena alergi,
serangkaian kegiatan menciptakan reaksi alergi. Reaksi imunologis tubuh
mempengaruhi timbulnya alergi terhadap makanan. Reaksi ini melibatkan
imunoglobulin, yaitu protein yang membantu dalam respon kekebalan tubuh,
tepatnya Imonuglobulin E (IgE) yang membentuk respon imun tubuh. Respon
imun yang muncul dalam reaksi alergi melalui dua tahap, yaitu tahap sensitisasi
alergen dan tahap elisitasi.
1. Tahap Sensitisasi
Tahap sensitisasi muncul ketika tubuh memproduksi antibodi IgE yang
spesifik. Tahap sensitisasi ini juga disebut dengan tahap induksi, merupakan
kontak pertama dengan alergen (yaitu ketika mengkonsumsi makanan penyebab
alergi).

2. Tahap Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang. Ketika terpajan dengan
makanan (penyebab alergi) yang sama, protein akan mengikat molekul di sel
mediator (sel basofil dan sel mast). Tahap elisitasi ini menyebabkan tubuh
mengeluarkan molekul yang menyebabkan inflamasi (seperti leukotrien dan
histamin). Efek yang timbul serta keparahan alergi dipengaruhi oleh konsentrasi
dan tipe alergen, rute pajanan, dan sistem organ yang terlibat (misalnya kulit,
saluran cerna, saluran pernapasan, dan darah).
Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast. sel
Mast dapat ditemukan di saluran udara, di usus, dan di tempat lain. Kehadiran
sel mast dalam saluran udara dan saluran pencernaan membuat daerah ini lebih
rentan terhadap paparan alergen. Mengikat alergen ke IgE, yang melekat pada
sel mast. Hal ini menyebabkan sel mast untuk melepaskan berbagai bahan kimia
ke dalam darah. Histamin, senyawa kimia utama, menyebabkan sebagian besar
gejala reaksi alergi.
Skema mekanisme alergi (fda.gov)
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan
yang umumnya non imunogenik. Mekanisme terjadinya alergi terdiri dari fase sensitasi
dan fase elisitasi. Klasifikasi dari hipersensitivitas terdiri dari empat tipe yaitu tipe I,
Tipe II. Tipe III dan Tipe IV. Jdan macamnya terdiri dari alergi oleh karena debu, suhu
udara, makanan, obata-obatan dan oleh bahan kimia lainnya yang dapat berpengaruh.
Sedangkan untuk pemeriksaan terhadap alergi dapat dilakukan dengan pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan penunjang, dan untuk terapi alergi dapat dilakukan dengan
menghindari allergen dan melakukan terapi farmakologis.

B. SARAN
Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Untuk mencegah alergi ini kembali,.
Merubah pola hidup menjadi dasar perbaikan seluruh kondisi alergi. Prinsip utama
dalam menangani reaksi alergi adalah menghindari pencetusnya, dan bukan
memberinya obat-obatan. Jadi, perhatikan faktor lingkungan di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda,adji,Prof,Dr,spkk,dkk.2010. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi.Jakarta.CMP


MEDIK
Subowo, Prof,dr, MSc.,PhD.2010.Imunologi Klinik.Jakarta.sagung seto.

Anda mungkin juga menyukai