Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“ HIPERSENSITIVITAS 1 DAN 2”

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

1. ASRITA
2. MARIANTI NATALIA
3. NUR ULFA
4. ARLIANA
5. RISNAWATI
6. FATRIANI
7. AKHRIANTO
8. NUR FITRA LAUDIRA
9. BOBY LALAN PIRI
10. RACHMAT HIDAYAT

SEKOLAH TIMGGI ILMU KESEHATAN MAKASSAR

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


TAHUN AJARAN 2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
kasih dan karunianya makalah pendidikan kesehatan ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Walaupun ada beberapa halangan yang menggangu proses pembuatan
makalah ini, namun penulis dapat mengatasinya tentu atas campur tangan Tuhan Yang
Maha Kuasa.

Penulis berharap makalah ini akan memberi pengetahuan tentang pendidikan


kesehatan dengan memberi materi tentang “SISTEM IMUN”. Sehingga di harapkan
dengan mempelajari maupun pembaca lainnya bisa mendapatkan tambahan
pengetahuan dari makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, penulis berharap
adanya kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan makalah ini pada masa
yang akan datang. Akhir kata dari penulis berterima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini sehingga menjadi bermanfaat
bagi kita semua.

Makassar, 22 April 2019

(Penulis)
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Hipersensitivitas merupakan peningkatan sensitivitas terhadap antigen


yang pernah terpapar sebelumnya (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
Hipersensitivitas tipe 1 atau dikenal juga dengan istilah alergi adalah reaksi
berlebihan sistem imun terhadap suatu zat yang melibatkan aktivitas
Imunoglobulin E (IgE). Respon imun ini menyebabkan kerusakan di jaringan
yang manifestasinya sesuai dengan target organ yang dikenainya (Abbas &
Lichtman, 2009).
Alergi merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah utama
kesehatan di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa
20% penduduk dunia mengalami alergi yang diperantarai IgE, seperti asma,
rinitis alergi, konjungtivitis alergi, eksema, dan anafilaksis. Prevalensi alergi di
dunia meningkat pesat baik itu di negara maju ataupun di negara berkembang.
Peningkatan ini terjadi dalam dua dekade terakhir dan menjadi masalah
terutama pada anak-anak (Pawankar et al, 2012). Angka kejadian alergi di
Indonesia mengalami peningkatan mencapai 30% pertahunnya sebagaimana
yang disebutkan oleh Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia (2012). Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi,
Semarang, menunjukkan prevalensi berbagai penyakit alergi, diantaranya
rinitis alergi 63,6%, asma bronkial 25,0%, dermatitis atopik 40,9%, dan
konjungtivitis alergi 2,3%. Kasus alergi lebih banyak terjadi pada perempuan
(54,5%) dibandingkan laki-laki (45,5%) (Wistiani & Notoatmojo, 2011).
Penelitian pada anak sekolah dasar di Semarang yang dilakukan oleh
Nency pada tahun 2005, didapatkan prevalensi alergi berturut-turut adalah
asma 8,1%, rinitis alergi 11,5%, dan eksim 8,2%. Penelitian di Palembang
menyebutkan bahwa lokasi anatomis urtikaria terbanyak di daerah kulit dan
prevalensinya pada remaja usia 14-19 tahun adalah 42,78% (Tjekyan, 2008).
Alergi terjadi ketika seseorang terpapar dengan alergen. Beberapa jenis
alergen adalah serbuk sari, tungau debu rumah, bulu binatang, makanan, dan
bahan kimia seperti antibiotik. Salah satu alergen yang terbukti bisa
menstimulasi alergi adalah ovalbumin. Ovalbumin merupakan bagian dari
protein yang ada di dalam putih telur yang mempunyai tingkat alergenisitas
100% (Flaherty, 2012). Ovalbumin berpotensi menimbulkan reaksi alergi
karena mengandung senyawa protein dengan berat molekul cukup besar serta
mampu menginduksi pembentukan antibodi pada tubuh mencit (Aldi et al.,
2013). Penelitian pada mencit yang mendapatkan paparan kronik ovalbumin
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi reseptor Interleukin-4 (IL-4)
yang merupakan sitokin penting dalam proses alergi. Selain itu juga terjadi
peningkatan infiltrasi eosinofil pada jaringan peribronkhiolus pada kelompok
mencit yang terpapar ovalbumin (Barlianto et al., 2009).
Reaksi alergi terjadi jika individu dengan faktor predisposisi alergi yang
telah tersensitisasi terpapar ulang dengan alergen yang sama. Pada fase
sensitisasi, alergen yang masuk ke dalam tubuh akan diproses oleh Antigen
Presenting Cell (APC), kemudian APC akan menginduksi aktivasi limfosit T.
Limfosit T kemudian mengaktivasi Sel T Helper 2 (Th2) untuk menghasilkan
IL-4 dan IL-13 yang akan menginduksi limfosit B untuk menghasilkan IgE.
Ketika terpapar ulang dengan alergen yang sama, maka alergen tersebut
berinteraksi dengan IgE yang terikat di permukaan sel mast dan akan
menyebabkan sel mast teraktivasi. Selanjutnya sel mast akan berdegranulasi
dan mengeluarkan mediator kimia. Salah satunya adalah histamin yang
menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan diikuti
dengan ekstravasasi cairan. Hal ini menimbulkan inflamasi alergi dengan
manifestasi klinis berupa gatal, bengkak, dan merah pada kulit (Fujita et al.,
2012; Owen et al., 2013).
Mediator inflamasi lainnya yang dihasilkan oleh sel mast adalah sitokin
kemoatraktan (IL-5, IL-8, Tumor Necrosis Factor) yang menyebabkan infiltrasi
sel-sel inflamasi berupa eosinofil, neutrofil, dan basofil pada jaringan kulit.
Selain itu, sel mast juga melepas faktor kemotaktik seperti Eosinophil
Chemotactic Factor (ECF) dan Neutrophil Chemotactic Factor (NCF) yang ikut
menyebabkan terjadinya infitrasi sel eosinofil dan neutrofil dalam kurun waktu
2-8 jam setelah pemaparan alergen. Dari pemeriksaan histopatologi pada
urtikaria, didapatkan gambaran edema dermis dan infiltrasi dari sel-sel radang
yang terutama didominasi oleh eosinofil (Baskoro et al. dalam IPD, 2014;
Subowo, 2013).
Manifetasi alergi bisa ditemukan di seluruh tubuh. Alergi bisa mengenai
berbagai organ seperti paru-paru, hidung, saluran pencernaan, dan kulit. Kulit
merupakan organ paling luas yang sering menampakkan manifestasi dari alergi.
Kelainan yang tampak pada kulit dapat dibangkitkan oleh berbagai tipe alergen
diantaranya ingestan, inhalan, injektan dan kontaktan (Subowo, 2013).
Penyakit alergi dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan seperti
penurunan kualitas hidup, besarnya biaya pengobatan, dan terjadinya
komorbiditas (Pawankar et al., 2013). Alergi bisa menyebabkan terjadinya
penurunan kemampuan belajar pada anak- anak (Endaryanto, 2006). Alergi
juga memiliki dampak negatif terhadap emosional dan kesehatan sosial pasien
dan keluarga mereka (Cummings et al., 2010).
Tatalaksana alergi dapat dilakukan dengan cara preventif dan kuratif.
Cara preventif yaitu dengan menghindari kontak dengan alergen. Terapi kuratif
diberikan pada penderita yang sudah mengalami gejala klinis alergi
menggunakan obat-obatan seperti antihistamin, glukokortisteroid, dan
dekongestan (Pawankar et al., 2013). Obat yang digunakan untuk menghambat
reaksi alergi ini menimbulkan berbagai macam efek samping. Antihistamin
seperti difenhidramin dapat menyebabkan sedatif (rasa kantuk) dan gangguan
saluran cerna (sembelit). Pemberian glukokortikosteroid sebagai antiinflamasi
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah, retensi natrium, tukak
lambung dan lain-lain (Aldi et al., 2015).
Menghindari faktor pencetus adalah salah satu prioritas utama dalam
pencegahan alergi. Akan tetapi, hal ini agak sulit dilakukan karena
menimbulkan ketidaknyamanan pada penderita akibat sulitnya menghindari
alergen. Alergen yang terdapat di udara sulit dihindari seperti serbuk sari dan
debu. Penghindaran terhadap alergen makanan juga tidak mudah diterapkan di
masyarakat luas, karena setiap masyarakat atau bangsa telah mempunyai
kepercayaan kuat mengenai apa yang wajar tentang jenis makanan. Untuk
menghadapi berbagai masalah pada pencegahan alergi, pengembangan terapi
saat ini diarahkan pada perbaikan homeostasis sistem biologis penderita alergi
dengan menyeimbangkan respon imun Th1 dan Th2, sehingga reaksi alergi
dapat diperbaiki (Endaryanto, 2006).
Salah satu cara efektif dalam menyeimbangkan respon imun penderita
alergi adalah dengan probiotik. Probiotik menekan respon imun Th2 dan
mengaktivasi respon imun T Regulator (Treg) - Th1 serta memberikan
perlindungan terhadap reaksi alergi yang diinduksi oleh alergen. Selain itu,
probiotik juga menekan sitokin pro-inflamasi di organ target dan meningkatkan
produksi sitokin anti-inflamasi oleh sel-sel sistem imun sehingga inflamasi
alergi bisa dikontrol (Schiavi et al., 2011).
Probiotik adalah suatu mikroorganisme hidup yang menguntungkan
bagi kesehatan tubuh ketika dikonsumsi dalam jumlah yang adekuat (FAO,
2006). Dadih merupakan salah satu jenis makanan tradisional khas Sumatera
Barat yang mengandung probiotik. Dadih yang dibuat dari susu kerbau yang
difermentasikan menggunakan bambu dan daun pisang ini memiliki potensi
yang baik untuk dikembangkan (Usmiati & Risfaheri, 2013).
Dadih mengandung bakteri probiotik yang disebut juga dengan bakteri
asam laktat (BAL). Menurut Balai Penelitian Ternak di Sumatera Barat, bakteri
probiotik yang dominan ditemukan dalam dadih adalah Lactobacillus sp.
(Usmiati et al., 2011). Bakteri asam laktat yang terkandung dalam dadih
memberikan manfaat bagi kesehatan melalui berbagai mekanisme diantaranya
menghambat bakteri patogen, bersifat antikarsinogenik, dan juga memperbaiki
sistem imunitas tubuh (Usmiati & Risfaheri, 2013).
Berdasarkan pemaparan latar belakang permasalahan di atas, penulis
merasakan pentingnya dilakukan penelitian mengenai potensi probiotik dadih
dalam mencegah terjadinya reaksi alergi. Pada penelitian ini penulis melakukan
pengamatan gambaran histopatologi pada kulit melalui penghitungan jumlah
sel eosinofil.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hipersensitivitas
1. Pengertian
a. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap
antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya (Baratawidjaja
dan Rengganis, 2014)
b. Istilah hipersensitivitas berkenaan dengan ketidaktepatan reaksi
imunologis, daripada usaha untuk menyembuhkan, reaksi ini menciptakan
kerusakan jaringan dan merupakan suatu bentuk penting dalam proses
perjalana penyakit secara keseluruhan (Mohanty dan Leela, 2014).
Walaupun secara umum dikatakan bahwa sistem imun baik spesifik
maupun nonspesifik merupakan suatu sistem pertahanan terhadap invasi
benda asing (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014), namun kenyataanya
tidak selalu demikian, karena ketika respon imun berusaha untuk
mengeliminasi antigen tanpa menyebabkan kerusakan yang luas, pada saat
yang sama respon imun dapat menghasilkan efek merusak yang memicu
kerusakan jaringan (subowo, 1993) bahkan sampai menimbulkan kematian
(Stevens, 2010).
2. Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas
a. Klasifikasi menurut waktu timbulnya reaksi (Baratawidjaja dan Rengganis,
2014):

b. Klasifikasi menurut Gell dan Coombs (1963) Berdasarkan perbedaan


imunopatogenesis, Gell dan Coomb pada tahun 1963 mengusulkan 4 tipe
reaksi hipersensitivitas, yaitu reaksi tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan tipe 4 (subowo,
1993) dengan menyertakan perbedaan masing-masing mekanisme, sel dan
mediatornya (Mohanty dan Leela, 2014). Berikut hanya akan dijelaskan
mengenai hipersensitivitas tipe 1 beserta komponen dan contoh wujud
kelainannya.
1) Hipersensitivitas Tipe 1
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 atau yang dikenal juga sebagai reaksi alergi
(Abbas dkk., 2015), atopi (Abbas dkk., 2014) dan reaksi anafilaksis
(subowo, 1993) adalah reaksi hipersensitivitas tipe cepat yang terjadi
dalam waktu detik-menit antara waktu eksposur dengan antigen sampai
dengan gejala klinis tampak, dan merupakan reaksi dengan manifestasi
tercepat diantara ketiga tipe lain (subowo, 1993). Umumnya lagi reaksi ini
dikenal sebagai reaksi alergi oleh masyarakat luas dan Von Pirquetlah
orang pertama yang memperkenalkan istilah ini di tahun 1906 (subowo,
1993).
Reaksi ini timbul akibat interaksi antibodi IgE spesifik (Abbas dkk., 2015)
dengan beberapa tipe antigen spesifik pula yang disebut sebagai alergen.
Interaksi silang antara antigen antibodi tersebut pada 10 orang yang telah
tersensitisasi dan sebelumnya memang mempunyai kecendrungan untuk
tersensitisasi dengan Fc reseptor pada pemukaan sel mast dan basofil akan
menyebabkan terjadinya degranulasi sel dan dilepasnya amin vasoaktif
(Mohanty dan Leela, 2014)
a) Wujud kelainan hipersensitivitas tipe 1
Telah diketahui beberapa kondisi pada hipersensitivitas tipe 1 yang
mempunyai hubungan dalam peningkatan kejadiannya akibat sectio
cesarea. Berikut akan dijelakan beberapa penyakit yang dimaksud.
A. Asma bronkial
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi yang terjadi karena reaksi
alergi tipe cepat diikuti reaksi tipe lambat setelah kontak dengan
alergen inhalasi di paru, tepatnya pada mukosa saluran napas bawah
baik pada saluran yang lebih kecil ataupun yang lebih besar. Pada
saluran yang dimaksud Terlihat beberapa tanda patologik utama
saat gejala muncul, yaitu inflamasi kronik jalan napas,
hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas yang bersifat
intermiten dan reversibel (santoso, 2015). Untuk mengobati gejala
dan tanda-tanda patologik yang muncul penggunaan inhalasi
bronkodilator reaksi cepat dan kortikosteroid inhalasi adalah gold
standar yang sekarang dipakai (Abbas dkk., 2015)
B. Rhinitis Alergika
Rhinitis alergika atau yang juga dikenal dengan sebutan hay fever
adalah konsekuensi dari reaksi hipersensitivitas tipe 1 terhadap
alergen umum seperti serbuk sari tumbuhan, tungau dan debu
rumah tangga yang masuk dan terlokalisir pada saluran napas atas
lewat hirupan pada orang yang sebelumnya telah tersensitisasi
karena kecendrungannya untuk tersensitisasi akibat program awal
yang tidak tepat (Abbas dkk., 2015).
Rhinitis alergika diketahui sebagai bentuk manifestasi paling umum
dari reaksi hipersensitivitas tipe 1 akibat alergen hirup 12 (Parslow
dkk., 2001). Manifestasi klinis dari kelainan ini adalah edem
mucosal saluran napas atas terutama mukosa hidung, infiltrasi
leukosit dengan jumlah melimpah dari eusinofil, sekresi mukus
(rinorea), batuk, bersin dan kesulitan bernapas akibat hidung
tersumbat.
Pada beberapa orang dengan rhinitis alergika sering dapat
ditemukan rinokonjungtivitis alergika dengan gejala mata gatal dan
berair pada waktu bersamaan dan patut diwaspadai untuk penderita
dengan rhinitis alergika berulang karena suatu waktu tonjolan
berbentuk focal pada mucosa hidung (polip nasi) dapat terbentuk.
Antihistamin sering sakali dipakai sebagai pengobatan saat gejala
muncul(Abbas dkk., 2015).

Jenis-jenis Reaksi Hipersensitivitas


Secara umum hipersensitivitas dibagi menjadi empat tipe, yaitu:
Reaksi hipersensitivitas tipe 1
Tipe ini sama dengan alergi dan biasa disebut reaksi hipersensitivitas tipe
cepat. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 melibatkan sejenis antibodi yang
disebut imunoglobulin E (IgE). Senyawa IgE tersebut akan
melepaskan histamin yang kemudian bisa memicu reaksi alergi ringan
hingga berat, seperti anafilaksis. Disebut reaksi hipersensitivitas ‘cepat’
karena respons yang terjadi dari hipersensitivitas tipe 1 ini terjadi dalam
waktu kurang dari satu jam setelah terpapar antigen.
Beberapa reaksi yang timbul akan tergantung sistem organ mana yang
terpengaruh. Beberapa gangguan yang termasuk hipersensitivitas tipe ini
adalah::
 Urtikaria atau biduran, yaitu ruam gatal pada kulit
 Rhinitis atau reaksi alergi pada saluran pernapasan yang menyebabkan
bersin, hidung tersumbat atau berair, dan gatal.
 Asma, di mana terjadi penyempitan saluran napas, produksi lendir, dan
peradangan saluran pernapasan, sehingga mengakibatkan sesak napas.
 Anafilaksis adalah reaksi alergi yang berdampak pada seluruh tubuh dan
dapat menyebabkan kematian. Reaksi anafilaksis bisa meliputi kesulitan
bernapas, tekanan darah menurun drastis (syok), dan tenggorokan serta
wajah membengkak sehingga dapat berakibat fatal. Jika terjadi,
penderita perlu segera mendapat pertolongan medis.
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Sering kali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen
protein atau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik.
Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan
muncul rasa gatal, Urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit,
diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi
parudan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat
memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dandiare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik ( syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami
kegagalansirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.Reaksi lokal biasanya
terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit(kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi,
menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum alergi kulit, hay fever, serta
bentuk tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaktik yangterlokalisasi.
Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi sepertinya dikendalikan
secara genetic dan istilah atopidigunakan untuk menunjukkan kecenderungan
familial terhadap reaksi terlokalisasi semacam itu. Pasien yang menderita
alerginosobronkial sering kali mempunyai riwayat keluarga yang menderita
kondisi serupa. Dasar genetic atopi belum dimengertisecara jelas, namun suatu
studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom
5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.
 Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan penglepasan mediator oleh sel mastyang terjadi tidak melalui IgE.
Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi tipe 1 yaitu syok, urtikaria,
bronkospasme, anafilaksis,dlltetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Reaksi
ini tidak memerlukan pajanan terlebih dahulu untuk menimbulkan
sensitasi.Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras
dengan yodium, penisilin, pelemas otot, dll.

Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan


imunoglobulin M (IgM) terhadap antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara
langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel.[2]

Hipersensitivitas dapat melibatkan molekul komplemen yang berikatan dengan


antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:

 Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),


 Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah)
 Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).[3]
 Reaksi Hipersensitivitas Tipe 2 atau sitotoksik
 Alergi Pseudoalergi (anafilaktoid)
 Perlu sensitasi Tidak perlu sensitasiReaksi setelah pajanan berulang Reaksi pada
pajanan pertamaJarang (<5%) Sering (>5%)Gejala Klinis khas Gejala tidak
khasDosis pemicu kecil Tergantung dosisAda kemungkinan riwayat keluarga
Tidak ada riwayat keluarga
 Reaksi Hipersensitivitas Tipe 2 atau sitotoksik
 Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan
antigen target pada permukaan sel ataukomponen jaringan lainnya. Antigen
tersebut dapat merupakan molekul intrinsic normal bagi membrane sel atau
matriksekstraseluler atau dapat merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi
(misalnya metabolit obat). Respon hipersensitivitasdisebabkan oleh pengikatan
antibodi yang di ikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:
1. Opsonisasi dan Fagositosis yangdiperantarai Komplemen dan Fc Receptor

Sel-sel yang menjadi target antibodidiopsonisasi oleh molekul-molekul yangmampu


menarik fagosit, sehingga sel-sel tersebut mengalami deplesi

Saat antibodi (IgG/IgM) terikat pada permukaan sel,terjadi pengaktifan sistem


komplemen. Aktivasi komplemen terutama menghasilkan C3b dan C4b, yang akan
terikat pada permukaan sel. C3b dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit yang
mengekspresikan reseptor C3b dan C4b. Sebagai tambahan,sel-sel yang di-
opsonisasi oleh antibodi IgG dikenali oleh fagosit reseptor Fc. Hasil akhirnya yaitu
fagositosis dari sel yang di-opsonisasi, kemudian sel tersebut dihancurkan. Aktivasi
komplemen juga menyebabkan terbentuknya membrane attack complex, yang
mengganggu integritas membran dengan membuat ‘lubang-lubang’ menembus lipid
bilayer, sehingga terjadilisis osmotik sel.

Kerusakan sel yang dimediasi antibodi dapat terjadi melalui proses lain yaitu

antibody-dependent cellular cytotoxicity(ADCC)

Bentuk jejas yang ditimbulkan tidak melibatkan fiksasi komplemen melainkan


membutuhkan kerjasama leukosit. Selyang di selubungi dengan IgG konsentrasi
rendah lalu dibunuh oleh berbagai macam sel efektor yang berikatan pada sel
targetdengan reseptor untuk fragmen Fc dari IgG dan sel akan lisis tanpa mengalami
fagositosis. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk
neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus ADCC
diperantaraioleh antibodi IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit
yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaanadalah IgE. Peran dari ADCC
dalam hipersensitivitas masih belum dapat dipastikan

Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai
berikut:

 Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak
setelah diikat oleh antibodi resipien yangdiarahkan untuk melawan antigen
darah donor. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan
olehinkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Antibodi
golongan ini menimbulkan aglutinasi, aktivasikomplemen, dan hemolisis
intravaskular.Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam
plasma dan disaring melalui ginjal (hemoglobinuria). Beberapa hemoglobin
diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi dapat bersifat toksik. Gejala
khasnya dapat berupa demam, menggigil, nausea, demam, nyeri pinggang dan
hemoglubinuria.
 Hal serupa terjadi pada hemolytic diseases of the newborn (HDN) akibat
ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus Incompatibility) dimana anti-D IgG
yang berasal dari ibu menembus plasenta masuk ke dalam sirkulasi darah janin
danmelapisi permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan reaksi
hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorangibu Rh- mempunyai janin
Rh+. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena
itu HDNumumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan
berikutnya limfosit ibu akan membentuk anti-D IgGyang dapat menembus
plasenta dan mengadakan interaksi dengan faktor Rh pada permukaan eritrosit
janin(eritroblastosis fetalis).
 Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang
disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan olehseorang individu yang
menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.
 Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau
metabolitnya) yang secara nonspesifik diabsorpsi pada permukaan sel
(contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin)
2. Inflamasi yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor

Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal danmatriks),


kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukanfagositosis/lisis sel.
Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen,yang selanjutnya
menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit).Sel yang sama juga
berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif,melepaskan bahan-bahan
perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif),sehingga menghasilkan kerusakan
jaringan. Reaksi ini berperan padaglomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ
grafts

Reaksi hipersensitivitas tipe 2

Tipe kedua dari reaksi hipersensitivitas biasa disebut reaksi hipersensitivitas sitotoksik,
di mana sel tubuh yang normal secara keliru dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh
sendiri. Reaksi ini melibatkan antibodi imunoglobulin G (IgG) atau imunoglobulin M
(IgM).

Contoh dari reaksi hipersensitivitas jenis ini adalah anemia hemolitik autoimun,
penolakan transplantasi organ, dan penyakit Hashimoto .
DAFTAR PUSTAKA

1. Candra Y, dkk. Gambaran Sensitivitas terhadap Alergen Makanan. Makara,


Kesehatan. 2011; 15(1): 44-50.
2. Riwayati. Reaksi Hipersensitivitas atau Alergi. Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera.
2015; 13(26): 22-27.
3. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid V. Jakarta: Interna
Publishing. 2016.
4. Elshemy, Ahmed. Allergic Reaction: Symptoms, Diagnosis, Treatment and
Management. Journal of Scientific & Innovative Research. 2013. Vol 2(1)
5. Hikmah, Nuzulul., dan I Dewa Ayu Ratna Dewanti. Seputar Reaksi
Hipersensitivitas (alergi). Stomatognatic -- Jurnal Kedokteran Gigi. 2010; 7(2):
108-112.
6. Baratawidjaja K, Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi Kedelapan. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2009.
7. Subowo. Imunologi Klinik. Bandung : Angkasa. 1993
8. Delves, P.J., Martin, S.J., Burton, D.R. & Roitt, I.M. Roitt's Essential
Immunology. Edisi 12. Jilid 2. UK: Wiley-Blackwell. 2011.
9. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., dan Pillai, S. Celluler and Molecular Immunology.
Edisi 6. Amsterdam: Saunders Elsevier. 2015.
10. Corwin, E J. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2009.

Anda mungkin juga menyukai