Oleh:
Meja II Kelompok A3
Dosen Pembimbing
dr. Tri WIdyawati, M.Si, Ph.D
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Obat yang masuk ke tubuh kita baik melalui enteral, parenteral dan topikal akan
mengalami interaksi. Interaksi yang terjadi dapat dengan makanan, zat kimia dari
lingkungan maupun dengan obat lainnya. Yang akan dibahas lebih lanjut dalam
praktikum ini adalah interaksi antara obat yang dapat terjadi manakala beberapa jenis
obat diberikan secara bersamaan atau yang sering disebut juga dengan polifarmasi.
2. Tujuan
Mahasiswa dapat menganalisa interaksi obat yang mungkin terjadi pada pemberian
obat secara polifarmasi
Dua obat atau lebih yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan efeknya tanpa
saling mempengaruhi atau bisa saling mempengaruhi atau bisa juga saling berinteraksi.
Interaksi obat dapat terjadi pada proses farmakokinetik maupun farmakodinamik. Bentuk
interaksi yang terjadi dapat berupa sinergisme (saling memperkuat) maupun antagonism
(saling berlawanan).
Obat anti inflamasi non steroid merupakan obat yang paling banyak diresepkan untuk
mengatasi nyeri akut maupun kronis. Adanya penyakit penyerta yang menyebabkan penderita
mendapatkan beberapa macam obat akan meningatkan resiko terjadinya interaksi obat ini.
Beberapa interaksi obat yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
1. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi ini terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorbs, distribusi, metabolism atau
ekskresi obat lainnya sehingga kadar plasma obat lainnya tersebut akan meningkat atau
menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penuruna efektifitas obat tersebut.
Interaksi yang termasuk dalam interaksi farmakokinetik, diantaranya:
1. Interaksi dalam proses absorbsi di saluran cerna: perubahan pH saluran cerna,
perubahan motilitas saluran cerna.
2. Interaksi dalam proses distribusi: berkaitan dengan ikatan obat dengan protein plasma
(protein binding property).
3. Interaksi dalam proses metabolism: aktivitas atau inhibisi enzim metabolism obat,
contohnya CYP 450
4. Interaksi dalam proses eksresi: perubahan pH urin
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada system
reseptor, yang dapat bersifat sinergistik atau antagonistic.
Yang termasuk dalam interaksi farmakodinamik antara lain:
1. Interaksi pada reseptor
2. Interaksi fisiologik
3. Perubahan dalam kesetimbangan cairan elektrolit
4. Gangguan mekanisme ambilan amin di ujung saraf adrenergic
5. Interaksi dengan penghambat Mono Amin Oksidase (MAO)
BAB III
METODOLOGI
3.1 Bahan
Kasus yang berisi interaksi obat
Buku teks farmakologi / IIMS / ISO/ MIMS
Panduan Formularium Nasional (FORNAS)/ Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN)
3.2 Alat
Alat tulis
Lembar kerja
LCD/Proyektor
3.3.2 Pengamatan
Berdasarkan kasus diatas, mahasiswa melakukan :
1) Mencari nama generik (bahan aktif obat), absorbs, distribusi, metabolisme,
ekskresi, mekanisme kerja, serta efek dari obat yang dikonsumsi pasien tersebut.
2) Menganalisis interaksi obat yang terjadi dalam bentuk table berikut :
Dst
3. Menuliskan seluruh obat yang dikonsumsi pasien dalam satu lembar resep
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
GLIBENCLAMID
Nama generik: Glibenklamid
Absorpsi
Glibenclamide adalah obat yang bersifat lipofilik dengan kelarutan pada pH yang rendah.
Pada umumnya, hiperglikemia dapat menurunkan absorpsi sulfonilurea karena dapat
mempengaruhi motilitas dari usus, sehingga sebaiknya sulfonilurea dikonsumsi 30 menit
sebelum makan.
Peningkatan serum insulin dimulai dari menit ke 15 – 60 setelah konsumsi dengan durasi
kurang dari 24 jam. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak di plasma adalah
2–4 jam setelah konsumsi. Pada penelitian di manusia sehat, pemberian makanan tidak
berpengaruh terhadap penyerapan glibenclamide.
Distribusi
Glibenclamide sangat terikat pada albumin darah, seperti golongan sulfonilurea lainnya.
Glibenclamide berikatan dengan protein hingga hampir 99%.
Distribusi terbesar adalah ke ekstraselular. Jumlah yang masuk ke siklus enterohepatik sangat
sedikit bahkan hampir tidak ada.
Metabolisme
Glibenclamide dimetabolisme di hati hingga menjadi metabolit yang tidak aktif.
Metabolitnya adalah 4-trans-hydroxyglyburide, 3-cis-hydroxyglyburide (aktif dan lemah) dan
satu metabolit yang tidak teridentifikasi. Metabolit yang tidak aktif akan dieliminasi melalui
rute biliar dan renal secara imbang.
Ekskresi
Waktu paruh glibenclamide berbeda-beda dan bergantung pada bentuk serta kekuatan sediaan
oral. Ekskresi glibenclamide 50% melalui urin dan 50% melalui feses.
Efek samping
Peningkatan stimulasi insulin dari transpor kabohidrat di otot lurik
Peningkatan aksi insulin di liver
Menghambat lipase trigliserida
Membatasi pergerakan substrat anion melewati membran dalam dari mitokondria di sel
hepatik
Menghambat ketosis
Menghambat pengeluaran glukosa
Menghambat lipolisis
Menghambat lipase trigliserida
Menurunkan pemasukkan dan oksidasi dari glukosa
Aktivasi dari adenilil siklase
Menghambat adenosin 3’,5’ monofosfat diesterase
Menghambat pelepasan katekolamin in vitro
Mengubah jumlah asam amino yang membentuk protein
Menghambat aktivitas transaminase
Menghambat rasio pengikatannya terhadap insulin bebas
Menurunkan penyerapan glukosa di usus
Menghambat kerja insulinase
Meningkatkan kontraktilitas jantung
Mempengaruhi keseimbangan cairan (diuretik dan anti-diuretik)
Menghambat agregasi platelet
Mekanisme kerja
Glibenclamide bekerja menurunkan kadar gula darah dengan cara meningkatkan pelepasan
insulin dari pankreas. Mekanisme ini bergantung pada sel beta pankreas. Sulfonilurea
menempel pada reseptor yang spesifik di sel beta pankreas dan menyekat pemasukan kalium
melalui kanal ATP-dependent. Aksi ini kemudian mempengaruhi peningkatan kalsium ke sel
beta pankreas yang menyebabkan kontraksi filamen aktomiosin yang bertugas untuk memicu
eksositosis dari insulin. Sekresi insulin ini tidak bergantung pada kadar gula, sehingga dapat
menyebabkan hipoglikemia.
METFORMIN
Nama generic: Metformin
Absorpsi
Bioavailabilitas absolut dari metformin hidroklorida tablet 500 mg, diberikan pada kondisi
pasien berpuasa, adalah sekitar 50% ‒ 60%. Makanan menurunkan kecepatan absorpsi
metformin.
Waktu puncak plasma sediaan regular adalah 2-3 jam, sedangkan sediaan extended
release adalah 4-8 jam.
Konsentrasi plasma secara stabil dapat dicapai dalam waktu 24‒48 jam, umumnya <1 µg/mL.
Pada uji klinis, pemberian metformin hidroklorida tablet, bahkan pada dosis maksimum
sekalipun, kadar plasma maksimum tidak melebihi 5 mcg/mL Pada dosis reguler, efek
maksimum metformin dapat terjadi dalam dua minggu
Distribusi
Ikatan metformin dengan protein plasma adalah minimal, dan dapat diabaikan. Volume
distribusi: 650 L, pada obat kerja reguler. Metformin dapat terdistribusi masuk ke dalam
eritrosit.
Metabolisme
Metformin tidak melalui efek lintas pertama di hepar.
Eliminasi
Renal clearance berkisar 3,5 kali lebih besar daripada creatinine clearance. Pada penggunaan
tablet metformin kerja reguler, renal clearance sekitar 450‒540 mL/menit.
Ekskresi metformin 90% terjadi di urin, dalam bentuk tidak berubah. Sekitar 90% dari dosis
obat yang diabsorpsi, diekskresikan ke urin dalam waktu 24 jam pertama, setelah konsumsi
metformin per oral.
Waktu paruh plasma sekitar 6,2 jam. Waktu paruh dalam darah adalah sekitar 17,6 jam. Hal
ini berkenaan dengan massa eritrosit yang dapat menjadi kompartemen dalam pendistribusian
obat ini.
NATRIUM DIKLOFENAK
Nama generik : natrium diklofenak
Absorpsi
Penyerapan natrium diklofenak adalah 100% setelah konsumsi per oral, dan konsentrasi
puncak obat tercapai dalam waktu 2 jam. Makanan tidak memengaruhi proses absorpsi obat.
Meski demikian, makanan dapat memperlambat absorpsi obat, yaitu sekitar 1‒4,5 jam, dan
juga terjadi penurunan kadar puncak obat dalam plasma darah, yaitu sekitar 30%. Obat sediaan
lepas lambat dan salut selaput memerlukan waktu sekitar 2‒5 jam untuk mencapai konsentrasi
puncak.
Distribusi
Sekitar lebih dari 99% obat natrium diklofenak ini terikat pada protein serum, terutama
albumin. Volume distribusi obat adalah 1,4 L/kg. Distribusi obat yang masuk ke dalam cairan
sinovial adalah dengan cara berdifusi, dan dapat dideteksi dua jam setelah obat masuk ke dalam
tubuh. Namun, konsentrasi obat tersebut lebih rendah daripada konsentrasinya dalam plasma
darah.
Metabolisme
Natrium diklofenak dimetabolisme di hepar menjadi beberapa metabolit, dengan metabolit
utamanya adalah 4-hydroxydiclofenac. Obat dan metabolitnya akan menjalani proses
glukuronidasi dan sulfasi, kemudian disalurkan ke cairan empedu.
Ekskresi
Waktu paruh terminal obat dalam bentuk tidak berubah adalah sekitar 2 jam. Sekitar 65% dari
dosis obat yang masuk ke dalam tubuh diekskresikan ke urine dan sekitar 35% ke feses melalui
sistem bilier.
Mekanisme kerja
Natrium diklofenak mengikatkan diri dan berkelat pada kedua isoform dari enzim
siklooksigenase 1 (COX-1) dan 2 (COX-2). Hal ini akan menghalangi konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin. Inhibisi natrium diklofenak terhadap COX-2 akan
meredakan rasa nyeri dan inflamasi, dan inhibisi obat terhadap COX-1, dapat menimbulkan
efek buruk terhadap gastrointestinal. Natrium diklofenak dapat lebih aktif terhadap COX-2,
daripada beberapa obat lain golongan antiinflamasi nonsteroid yang mengandung asam
karboksilat.
Efek samping
Efek Samping dari CATAFLAM yang mungkin terjadi rasa nyeri perut bagian atas, nafsu
makan hilang, mual, muntah, diare, kram perut, dispep-sia dan kembung, sakit kepala,
mengantuk, mati rasa, pusing, vertigo. Ruam kulit dan kemerahan. Pandangan kabur, gangguan
pengecapan, tuli. Epistaksis, asma dan edema laring.
PARACETAMOL
Nama generik : paracetamol
Absorpsi
Paracetamol diabsorbsi dengan baik di usus halus melalui transport pasif pada pemberian oral.
Pemberian dengan makanan akan sedikit memperlambat absorpsi paracetamol. Pada
pemberian melalui rektum, terdapat variasi konsentrasi puncak di plasma dan waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi puncak di plasma lebih lama.
Distribusi
Setelah pemberian oral, konsentrasi puncak pada plasma akan dicapai dalam waktu 10 – 60
menit pada tablet biasa dan 60 – 120 menit untuk tablet lepas-lambat. Konsentrasi rata-rata di
plasma adalah 2,1 μg/mL dalam 6 jam dan kadarnya hanya dideteksi dalam jumlah kecil setelah
8 jam. Paracetamol memiliki waktu paruh 1 – 3 jam.
Paracetamol memiliki bioavailabilitas yang tinggi. Sekitar 25% paracetamol dalam darah diikat
oleh protein.
Metabolisme
Metabolisme paracetamol terutama berada di hati melalui proses glukoronidasi dan sulfasi
menjadi konjugat non toksik. Sebagian kecil paracetamol juga dioksidasi melalui enzim
sitokrom P450 menjadi metabolit toksik berupa N-acetyl-p-benzo-quinone imine (NAPQI).
Pada kondisi normal, NAPQI akan dikonjugasi oleh glutation menjadi sistein dan konjugat
asam merkapturat. Ketika diberikan dosis dalam jumlah yang besar atau terdapat defisiensi
glutation, maka NAPQI tidak dapat terdetoksifikasi dan menyebabkan nekrosis hepar akut.
Ekskresi
Sekitar 85% paracetamol diekskresi dalam bentuk terkonjugasi dan bebas melalui urin dalam
waktu 24 jam. Pada paracetamol oral, ekskresi melalui renal berlangsung dalam laju 0,16 – 0,2
mL/menit/kg. Eliminasi ini akan berkurang pada individu berusia > 65 tahun atau dengan
gangguan ginjal.
Selain ginjal, sekitar 2,6% akan diekskresikan melalui bilier. Paracetamol juga dapat
diekskresikan dengan hemodialisa.
Farmakologi paracetamol memiliki efek inhibisi sintesis prostaglandin di jaringan dan sistem
saraf pusat.
Mekanisme kerja
Enzim siklooksigenase (COX) memiliki beberapa isoform. Yang paling dikenal adalah COX-
1 dan COX-2. Walaupun keduanya memiliki kesamaan karakteristik dan mengkatalisis reaksi
yang sama, terdapat perbedaan efek di antara keduanya.
Enzim COX-1 merupakan enzim yang diekspresikan oleh hampir semua jaringan di tubuh,
termasuk platelet, dan memiliki peran dalam produksi prostaglandin yang terlibat dalam
proteksi lambung, agregasi platelet, autoregulasi aliran darah renal, dan inisiasi parturisi.
Sementara itu, COX-2 berperan penting dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sitokin
inflamasi. COX-2 juga banyak diekspresikan di ginjal dan memproduksi prostasiklin yang
berperan dalam homeostasis ginjal.
Aktivasi COX-1 dan COX-2 dipengaruhi oleh kadar asam arakidonat. Ketika kadar asam
arakidonat rendah, maka prostaglandin akan dibentuk dari terutama dari COX-2, sementara
saat kadar asam arakidonat tinggi, prostaglandin akan dibentuk terutama dari COX-1. Kadar
asam arakidonat ini juga mempengaruhi kerja paracetamol. Kadar yang rendah memiliki efek
poten terhadap paracetamol dan kadar yang tinggi akan menghambat kerja paracetamol.
Paracetamol memiliki efek analgesik dan antipiretik yang setara dengan OAINS. Sebagai
analgesik, paracetamol menghambat prostaglandin dengan cara berperan sebagai substrat
dalam siklus peroksidase enzim COX-1 dan COX-2 dan menghambat peroksinitrit yang
merupakan aktivator enzim COX. Sebagai antipiretik, paracetamol menghambat peningkatan
konsentrasi prostaglandin di sistem saraf pusat dan cairan serebrospinal yang disebabkan oleh
pirogen.
Efek klinis paracetamol dapat terlihat dalam satu jam setelah pemberian. Dalam beberapa studi
ditemukan bahwa paracetamol dapat menurunkan suhu sebesar 1oC setelah satu jam
pemberian.
Paracetamol tidak seefektif OAINS dalam meredakan nyeri pada arthritis akut karena tidak
dapat menurunkan kadar prostaglandin di cairan sinovial. Dibandingkan dengan OAINS,
paracetamol memiliki efek samping ke sistem gastrointestinal yang lebih rendah. Oleh karena
itu paracetamol dapat digunakan untuk mengurangi nyeri pada pasien dengan riwayat ulkus
peptikum.
Efek samping
- mual, sakit perut bagian atas, gatal-gatal, kehilangan nafsu makan
- urine berwarna gelap, feses berwarna pucat
- kuning pada kulit dan mata
-reaksi alergi, yang dapat menyebabkan ruam dan bengkak
- flushing, tekanan darah rendah dan detak jantung cepat, ini kadang-kadang dapat terjadi
ketika paracetamol diberikan di vena lengan Anda
- kelainan darah, seperti trombositopenioa (jumlah sel trombosit yang rendah) dan leukopenia
(jumlah sel darah putih yang rendah)
- kerusakan hati dan ginjal jika Anda mengambil terlalu banyak (overdosis), ini bisa berakibat
fatal pada kasus yang berat
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Interaksi obat berarti saling pengaruh antar obat sehingga terjadi perubahan efek
2. Interaksi tidak hany aterjadi antara obay dengan obat tetapi dapat juga terjadi antar
aobat dengan komsumsi makanan tertentu.
3. Interaksi obat mampu memberikan keuntungan atau kerugian apabila obat dikonsumsi.
4. Interaksi obat dapat terjadi pada berbagai tahap mulai dari konsumsi obat samapu obat
tersebut dikeluarkan dari tubuh.
5.2 Saran
Pada praktikum diharapkan kepada praktikan untuk teliti dalam menganalisa obat dan interaksi
obat agar tidak terjadi kesalahan pada hasil akhir.
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore RA, Derry CJ, Derry S, et al. A conservative method of testing whether combination
analgesics produce additive or synergistic effects using evidence from acute pain and migraine.
Eur J Pain 2012;16:585-91.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=A+conservative+method+of+testing+whe
ther+combination+analgesics+produce+additive+or+synergistic+effects+using+evidenc
e+from+acute+pain+and+migraine