Anda di halaman 1dari 156

AKTIVITAS IMUNOMODULATOR EKSTRAK ETANOL RIMPANG

Etlingera rubrolobaA.D Poulsen TERHADAP FAGOSITOSIS SEL


MAKROFAG DAN KADAR CD8 PADA TIKUS JANTAN
GALUR WISTAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian


Syarat Memperoleh Derajat Sarjana (S-1)

OLEH

LA ODE RONI SETIAWAN


O1A117028

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
APRIL 2021
HALAMAN PERSETUJUAN

ii
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Kendari, 21 April 2021

Penulis
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah


subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Sholawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wassalam yang telah menuntun umatnya dari lembah kegelapan
menuju jalan yang terang benderang. Skripsi yang berjudul “Aktivitas
Imunomodulator Ekstrak Etanol Rimpang Etlingera rubroloba A. D.
Poulsen Terhadap Fagositosis Sel Makrofag Dan Kadar CD8 Pada Tikus
Putih Jantan Galur Wistar” ini disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir
untuk mendapatkan galar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas
Farmasi Universitas Halu Oleo.
Melalui kesempatan ini dengan segala bakti penulis haturkan terima kasih
yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis ayahanda La Ode Sahrum
Rame dan ibunda Rina Wati, atas segala doa restu, semangat, arahan,
bimbingan, dan nasehat yang memberikan kedamaian hati serta ketabahan dalam
mendidik, membesarkan dan menitipkan harapan besar penulis. Semoga Allah
subhanahu wa ta’ala selalu melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya kepada
orang-orang yang penulis sayangi ini. Aamiin allahuma aamiin.
Melalui kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Prof. Dr. Sahidin, M.Si selaku pembimbing I dan pembimbing II dari
penulis Bapak apt. Muh. Ilyas Yusuf, S.Farm., M.Imun. yang telah banyak
penulis repotkan serta meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan perhatiannya
dengan tulus ikhlas dan penuh kesabaran dalam memberikan arahan dan
bimbingan kepada penulis sejak awal penyusunan proposal penelitian sampai
dengan selesainya skripsi ini.

Penulis juga tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun, M.Si., M.Sc. selaku Rektor Universitas
Halu Oleo.
2. Bapak Dr. Ruslin, S.Pd., M.Si. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Halu Oleo.
3. Bapak Dr. rer. nat. apt. Adryan Fristiohady Lubis, S.Farm., M.Sc. selaku
Ketua Senat Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.
4. Ibu apt. Suryani, S.Farm., M.Sc. selaku Wakil Dekan I Fakultas Farmasi
Universitas Halu Oleo.
5. Ibu apt. Henny Kasmawati, S.Farm., M.Sc. selaku Wakil Dekan II Fakultas
Farmasi Universitas Halu Oleo.
6. Bapak apt. Sunandar Ihsan, S.Farm., M.Sc. selaku Wakil Dekan III Fakultas
Farmasi Universitas Halu Oleo.
7. Ibu apt. Nuralifah, S.Farm., M.Kes. selaku Ketua Jurusan Fakultas Farmasi
Universitas Halu Oleo.
8. Bapak Yamin, S.Si., M.Sc. selaku Sekretaris Jurusan Fakultas Farmasi
Universitas Halu Oleo.
9. Ibu Wa Ode Zubaydah, S.Si., M.Sc. selaku Ketua Program Studi Jurusan
Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.
10. Bapak Dr. Muhammad Arba, S.Si., M.Si. selaku Kepala Laboratorium
Penelitian dan Praktikum serta Laboran Fakultas Farmasi Universitas Halu
Oleo.
11. Ibu dr. Arimaswati, M.Sc. selaku Kepala Laboratorium Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo, yang telah memberikan izin penelitian kepada
penulis.
12. Ibu. apt. Suryani, S.Farm., M.Sc. selaku Penasehat Akademik yang telah
banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
13. Ibu Dr. Wa Ode Salma.,SST.G.,M.Kes, ibu apt. Suryani, S.Farm., M.Sc. dan
Bapak Yamin, S.Pd.,M.Sc. selaku dewan penguji. Terima kasih untuk semua
kritik, saran serta bantuan yang diberikan kepada penulis.
14. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo
atas semua ilmu yang telah diberikan kepada penulis serta seluruh staff tata
usaha di ruang jurusan dan akademik atas segala fasilitas dan pelayanan yang
telah diberikan selama penulis menjalani proses perkuliahan di lingkungan
Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.
15. Saudara-saudara penulis Wa Ode Egri Dian, Dhean Raya, dan Abizar Altan
Mutaqin yang selalu memberi dukungan dansemangat kepada penulis selama
menjalani proses perkuliahan.
16. Terima kasih kepada sahabat-sahabat “SEPEDA” yang sudah seperti saudara:
Heris, Yamin, Agus, Citra, Syifa, Rusni dan Yulita yang telah banyak
membantu dan memberikan semangat kepada penulis mulai awal perkuliahan
hingga skripsi ini selesai.
17. Terima kasih kepada sahabat-sahabat seperjuangan saya “MARONE” yang
sudah seperti saudara sendiri : Arifin, Mucan, Elsa dan Denis yang telah
banyak membantu penulis dari proses perkuliahan semester 1 sampai
semester akhir, yang selalu mau direpotkan ada dari tahap proposal sampai
sidang skripsi dan memberikan semangat kepada penulis mulai awal
perkuliahan hingga skripsi ini selesai
18. Terima kasih kepada sahabat-sahabat saya : Livia, Jumarni, Dinar, Ayu, Umi,
Suleng, Feni, Nunu, Risma, Ika, Syani, Irma Lastri yang selalu membantu
penulis ketika dalam kesusahan selama perkulihaan.
19. Seluruh rekan-rekan seperjuangan kelas A: Ais, Afifa, Indra, Alma, Amel,
Arifin, Anisa, Arnika, Iva, Darsia, Elsa, Dinar, Erin, Fanny, Feni, Pipi,
Yanto, Imam, Jum, Arlan, Livia, Fadli, Suleng, Mumut, Nelisa, Nilu, Ayu,
Nining, Puput, Inun, Ica, Umi, Yani, Firah, Lia Dan Ijah yang telah banyak
berperan dan membantu penulis dalam masa-masa perkuliahan hingga bisa
sampai pada tahap penulisan skiripsi ini.
20. Terima kasih kepada TIM seninku: Nining dan Ayu yang selalu membantu
penulis dalam segala pengurusan.
21. Terima kasih kepada sobat-sobat seperjuangku Ikra, Lidya, Bekti dalam
mengurus dari maju proposal sampai sidang dalam segalah pengurusan dan
selalu mendukung penulis.
22. Solutio untuk kelas B,C dan D yang juga telah berjuang bersama selama
masa-masa perkuliahan dan membantu penulis dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini.
23. Tim farmakologi IMUN (kak Fitrah, kak Rani, kak Insan, kak Dila, kak
Dianty, kak Khanza, kak Ayu, Ria, Sri dan Adit) yang telah saling membantu
dan memberi semangat dalam menjalani masa-masa penelitian serta
penyelesaian penulisan skripsi ini.
24. Tim rimpang Etlingera rubroloba : Ria, Sri dan Adit yang telah banyak
membantu penulis dari awal hingga akhirnya penelitian ini selesai.
25. Tim CD8: kak Insan dan kak Finty yang telah banyak membantu penulis dari
awal hingga akhirnya penelitian ini selesai.
26. Pihak yang membantu dalam penelitian: Kak Gayu Agastia, S.Si., Kak
Saripuddin, S.Si., Ending dan Yanto yang telah membantu dan menemani
penulis dan tim untuk melakukan penelitian.
27. Seluruh mahasiswa farmasi yang lain (kakak tingkat dan adik tingkat) yang
juga telah membantu dan berperan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
28. Seluruh pihak yang membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
terima kasih atas segala keikhlasannya dalam membantu penulis.
Akhir kata penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak dan apabila masih terdapat kesalahan dalam skripsi ini,
sudilah kiranya memberikan koreksi untuk lebih baiknya tulisan ini. Semoga
Allah subhanahu wa ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk mencintai
ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shalih serta memberikan ridho balasan
yang sebaik-baiknya. Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dalam memperkaya
bidang ilmu pendidikan.

Kendari, 21 April
2021

Penulis.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................................ii
SURAT PERNYATAAN................................................................................iii
KATA PENGANTAR............................................................................................iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................xi
DAFTAR TABEL..................................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................xiii
ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN..............................................................xiv
ABSTRAK.............................................................................................................xv
ABSTRACT..........................................................................................................xvi
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan masalah......................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................4
1. 4 Manfaat Penelitian....................................................................................4
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5
2.1 Sistem Imun...............................................................................................5
2.2 Makrofag...................................................................................................8
2.3 Sel T Sitotoksik (CD8).............................................................................9
2.4 Interferon Gamma...................................................................................10
2.5 Hubungan CD8 dan Makrofag................................................................12
2.6 Imunomodulator......................................................................................13
2.7 Etlingera rubroloba A.D Poulsen..........................................................15
2.9 Stimuno®..................................................................................................20
2.10 Metabolit Sekunder.................................................................................21
2.12 Bakteri Staphylococcus aureus.................................................................33
2.13 Kerangkah Konsep....................................................................................35
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................36
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................36

ix
3.2 Jenis Penelitian........................................................................................36
3.3 Bahan Penelitian......................................................................................36
3.4 Alat/Instrumen Penelitian........................................................................36
3.5 Variabel...................................................................................................37
3.6 Definisi Operasional................................................................................37
3.7 Prosedur Penelitian..................................................................................38
3.8 Analisis Data...........................................................................................48
3.9 Jadwal Penelitiaan...................................................................................50
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................51
4.1 Determinasi Sampel................................................................................51
4.2 Penyiapan Sampel...................................................................................51
4.3 Ekstraksi..................................................................................................52
4.4 Skrining Fitokimia...................................................................................53
4.5 Karateristik Ekstrak.................................................................................55
4.2. Hasil Karakterisasi ekstrak E. rubroloba................................................55
4.6 Penentuaan Kadar Fenolik dan Flavonoid Total.....................................56
4.7 Uji Aktivitas Imonomdulator..................................................................60
BAB V. PENUTUP...............................................................................................78
5.1 Kesimpulan..................................................................................................78
5.2 Saran.............................................................................................................78
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................79
LAMPIRAN..........................................................................................................94

x
DAFTAR GAMBAR

Nomor
Teks Halaman
Gambar
Gambar 2.1 Diagram Respon Imun Innate Dan Adaptif 5
Gambar 2.2 Proses Fagositosis Makrofag 9
Gambar 2.3 Mekanisme Efektor Litik Dan Non-Litik Sel T CD8 10
Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Interferon Gamma 11
Gambar 2.5 Hubunan CD8 Dan Fagositosis Makrofag 13
a. Tanaman Etlingera rubroloba A.D Poulsen
Gambar 2.6 15
b. Rimpang tlingera rubroloba A.D Poulsen
Gambar 2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 19
Teknik Enzyme-linked Immunosorbent Assay
Gambar 2.8 30
(ELISA)
Gambar 2.9 Protokol indirect ELISA 31
Gambar 2.10 Protokol Direct ELISA 32
Gambar 2.11 Protokol sandwich ELISA 32
Gambar 2.12 Protokol Competitive ELISA 33
Gambar 2.13 BakteriStaphylococcus aureus 33
Gambar 2.14 Kerangkah Konsep 34
Gambar 4.1 Kurva Standar Kuersetin 57
Gambar 4.2 Kurva Standar Asam Galat 58
Apusan Darah Tipis Perbesaran 1000x
Gambar 4.3 a. Makrofag Aktif 63
b. Makrofag Tidak Aktif
Gambar 4.4 Grafik Rata-Rata Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag 66
Gambar 4.5 Grafik Rata-Rata Kadar CD8 71
DAFTAR TABEL

Nomor
Teks Halaman
Tabel
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Spesies Etlingera 17

Tabel 2.2 Aktifitas Farmakologi Spesies Etlingera 18


Hasil Uji Kandungan Senyawa Ekstrak Etanol Rimpang
Tabel 4.1 33
E.rubroloba
Hasil Karakterisasi Ekstrak Etanol rimpang E.
Tabel 4.2 55
rubroloba
Tabel 4.3 Tabel Kadar Fenolik Total 59
Tabel 4.4 Tabel Kadar Flavonoid Total 60
Tabel 4.5 Tabel Hasil Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag 64
Hasil Uji Aktivitas Fagositosis Makrofag menggunakan
Tabel 4.6 68
Post Hoc Tukey
Tabel 4.7 Hasil Pengukuran Kadar CD8 70
Hasil Uji Peningkatan kadar CD8 Menggunakan Post
Tabel 4.8 74
Hoc Tukey
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran Teks Halaman
Surat Izin Penelitian Laboratorium Fakultas
Lampiran 1 94
Farmasi UHO
Hasil Determinasi Sampel Buah
Lampiran 2 95
Etlingera rubroloba A.D. Poulsen
Hasil Kelayakan Etik (Ethical Clearance)
Lampiran 3 98
Hewan Uji Tikus
Lampiran 4 Skema alur penelitian 99

Lampiran 5 Perhitungan Rendamen 104

Lampiran 6 Skrining Fitokimia 105

Lampiran 7 Karakterisasi Ekstrak 108


Penetapan Kadar Total Fenolik dan Flavonoid
Lampiran 8 110
Total
Lampiran 9 Tabel Konversi Perhitungan Dosis 116

Tabel Volume Maksimum Pemberian Cairan


Lampiran 10 117
Untuk Hewan Uji

Lampiran 11 Pembuatan Sediaan Pembanding 118

Lampiran 12 Pembuatan Sediaan Uji 120


Hasil Uji Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag
Lampiran 13 dan Hasil Analisis Data Menggunakan 122
Aplikasi SPSS
Hasil Pengukuran Kadar CD8 dan Hasil
Lampiran 14 126
Analisis Data Menggunakan Aplikasi SPSS

Lampiran 15 Dokumentasi Penelitian 132


ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
% Persen
ANOVA Analysis of variance
APC Antigen Presenting Cells
BaCl2 Barium klorida
Bi Bismut
CD4 Cluster of differentiation 4
CD8 Cluster of differentiation 8
Cm Centimeter
E.brevilabrum Etlingera brevilabrum
E. calophrys Etlingera calophrys
E. coccinea Etlingera coccinea
E. elatior Etlingera elatior
E. rubroloba Etlingera rubroloba
EDTA Etilen diamina tetra asetat
ELISA Enzyme Linked Immunosorbent Assay
FeCl3 Feri 3 klorida
g BB Gram berat badan
H2O2 Hidrogen peroksida
HCL Asam klorida
HMS Hexosemonophosphate shunt
HSG Hyperimmune Serum Globulin
i.p. Intra peritoneal
IF Indeks fagositosis
IFN Interferon
IgG Imunoglobulin G
KF Kapasitas fagositosis
Kg Kilogram
LAF Laminar Air Flow
mg/Dl Milligram per desiliter
mg/kgBB Milligram per kilogram berat badan
mgEAG/g Mili gram ekuivalen asam galat/ gram
mgEQ/g Mili gram ekuivalen kuersetin/ gram
MHC I Major histocompatibility Complex I
mm millimeter
NA Nutrient Agar
NaCl Natrium klorida
Na-CMC Natrium-Carboxymethyl
p.o. Per oral
PBS Phosphate Buffered Saline
rpm Rotasi per menit
S. aureus Staphylococcus aureus
SPSS Statistical Product and Service Solution
Th 1 T helper 1
Th 2 T helper
AKTIVITAS IMUNOMODULATOR EKSTRAK RIMPANG Etlingera
rubroloba A.D. Poulsen TERHADAP FAGOSITOSIS SEL MAKROFAG
DAN KADAR CD8 PADA TIKUS JANTAN GALUR WISTAR

La Ode Roni Setiawan


O1A117 028

ABSTRAK

Imunomodulator berperan penting dalam menjaga keseimbangan kerja sistem


imun. Sistem imun bertanggung jawab atas perlindungan tubuh terhadap serangan
agen asing yang mampu menginfeksi melalui fagositosis makrofag. Makrofag
yang tidak mampu melawan mikrorganisme memerlukan bantuaan dari sistem
imun spesifik, seperti CD8. CD8 mampu mengaktifkan interferon gama sehingga
akan meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag. Tumbuhan yang berpotensi
sebagai imunomodulator salah satunya adalah E. rubroloba. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol rimpang E.
rubroloba terhadap fagositosis sel makrofag dan kadar CD8. Dua puluh empat
tikus jantan galur wistar dibagi ke dalam 6 kelompok perlakuan yaitu kontrol
positif (ekstrak meniran komersial), kontrol negatif (Na-CMC 0,5%), kontrol
normal (tanpa perlakuan), perlakuan I (dosis 200 mg/kgBB), perlakuan II (dosis
300 mg/kgBB) dan perlakuan III (dosis 400 mg/kgBB). Perlakuan diberikan
selama tujuh hari berturut-turut secara peroral. Pada hari kedelapan masing-
masing tikus diinjeksikan bakteri Staphylococcus aureus 150 x 106 CFU/mL
sebanyak 0,5 mL secara intra peritonial. Pengamatan fagositosis makrofag
mengunakan metode mikroskopis dengan perbesaran 100x sampai 1000x
sedangkan pengukuran kadar CD8 diukur menggunakan metode ELISA sandwich
dan data yang diperoleh dianalisa dengan one way ANOVA. Hasil penelitiaan
diatas menjukkan presentase aktivitas makrofag tetinggi yaitu pada perlakuan II
(77,25%) jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol positif (76,5%). Rata-rata
kadar CD8 tertinggi pada perlakuan II (650,71 ng/mL) jika dibandingkan dengan
kontrol positif (604,88 ng/mL). Berdasarkan hasil uji statistik post tukey
menunjukkan bahwa ekstrak etanol rimpang E. rubroloba A.D. Poulsen
dibandingkan dengan kontrol positif memiliki efektivitas sama sebagai
imunomodulator terhadap peningkatan aktivitas fagositosis sel makrofag dan
kadar CD8 (p>0.05).

Kata Kunci : Etlingera rubroloba A.D. Poulsen, ELISA, Imunomodulator,


Fagositosis Makrofag, CD8, Tikus Wistar.
IMMUNOMODULATOR ACTIVITY OF RIMP EXTRACT Etlingera
rubroloba A.D. Poulsen TOWARDS PHAGOSYTOSIS OF MACROPHAG
CELLS AND CD8 CONDITIONS IN WISTAR STAIN MALE RAT

La Ode Roni Setiawan


O1A117 028

ABSTRACT
Immunomodulators play an important role in maintaining the balance of the
immune system. The immune system is responsible for protecting the body
against invading foreign agents capable of infection through the phagocytosis of
macrophages. Macrophages that are unable to fight microorganisms require help
from a specific immune system, such as CD8. CD8 is able to activate interferon
gamma so that it will increase the activity of macrophage phagocytosis. One of
the plants that has the potential as an immunomodulator is E. rubroloba. This
study was conducted to determine the effect of E. rubroloba rhizome ethanol
extract on macrophage cell phagocytosis and CD8 levels. Twenty-four male
Wistar rats were divided into 6 treatment groups, namely positive control
(commercial meniran extract), negative control (Na-CMC 0.5%), normal control
(without treatment), treatment I (dose 200 mg / kgBW) , treatment II (dose 300
mg / kgBB) and treatment III (dose 400 mg / kgBB). The treatment was given
orally for seven consecutive days. On the eighth day, each rat was injected with
the bacteria Staphylococcus aureus 150 x 106 CFU / mL as much as 0.5 mL intra-
peritonial. Observation of macrophage phagocytosis using microscopic method
with magnification of 100x to 1000x, while the measurement of CD8 levels was
measured using the sandwich ELISA method and the data obtained were analyzed
by one way ANOVA. The results of the above research showed that the highest
percentage of macrophage activity was in treatment II (77.25%) when compared
to the positive control treatment (76.5%). The highest average CD8 level was in
treatment II (650.71 ng / mL) when compared to positive control (604.88 ng /
mL). Based on the results of the post-tukey statistical test, it showed that the
ethanol extract of E. rubroloba A.D. rhizomes. Poulsen compared with positive
control had the same effectiveness as an immunomodulator to increase
macrophage cell phagocytosis activity and CD8 levels (p> 0.05).

Keywords: Etlingera rubroloba A.D. Poulsen, ELISA, Immunomodulator,


Macrophage Phagocytosis, CD8, Wistar Rat.
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Imunomodulator berperan penting dalam menjaga keseimbangan dari kerja
sistem imun. Sistem imun yang hiperaktif akan ditekan oleh imunomodulator
(Imunosupresi) sehingga dapat mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai
penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti
autoimun. Ketika kerja sistem imun rusak, maka imunomodulator berkerja
amengembalikan fungsi dari sistem imun (imunorestorasi). Sistem imun yang
lemah akan ditingkatkan fungsi dan aktivitasnya oleh imunomodulator
(imunostimulan) (Sharma dkk., 2017).
Sistem imun bertanggung jawab atas perlindungan tubuh terhadap
serangan agen asing yang mampu menginfeksi dan dapat membahayakan
aktivitas seluler normal. Infeksi virus dan bakteri adalah salah satu serangan
mikroorganisme yang mampu mengaktifkan kekebalan tubuh (Sheshe dkk.,
2020). Dalam beberapa dekade terakhir, virus Corona telah menjadi ancaman
global bagi kesehatan masyarakat. Kebalan tubuh sangat penting untuk
mengendalikan dan menghilangkan infeksi. Respon terhadap patogen yang efektif
dari sistem imun bawaan salah satunya melalui fagositosis dan sistem imun
adaptif dengan cara meproduksi berbagai sitokin proinflamasi, aktivasi sel T,
CD4 dan sel CD8+ T, sangat penting untuk mengendalikan replikasi virus
membatasi penyebaran virus, peradangan dan membersihkan sel yang terinfeksi
(Tufan dkk., 2020).
Proses fagositosis sebagai pertahanan pertama tubuh untuk melawan
mikroorganisme. Fagositosis terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap pengenalan
dan menelan partikel atau mikroorganisme yang mengifeksi tubuh.
Mikroorganisme kemudian masuk kedalam fagososm untuk dicerna, fagososom
akan melaukan fusi berasama lisosom dan membentuk fagolisosom. Fagolisosom
akan mencerna mikroorganisme melalui enzim yang ada pada lisosom yaitu enzim
hidrolitik dan laktoferin.Sel yang berperang dalam proses fagositosi seperti
neutrofil, sel dendrit dan makkrofag, sel-sel ini bertanggung jawab untuk

1
menghilangkan mikroorganisme dan presentasi mikroorganisme ke sel-sel sistem
imun adaptif (Rosales dan Eileen, 2017).
Makrofag mempresentasikan ikatan antara antigen peptida yang telah
beriktaan kompleks dengan major histocompatibility complex kelas (MHC) I
ataupun II ke resepetor sel T. MHC-1 akan berikatan koreseptor CD4 sehingga
sel T- helper akan aktif. Ikatan MHC-2 dengan koreseptor CD8 akan
mengaktifkan sel T sitotoksik (Hirayama dkk., 2017).
CD8+ yang telah aktif kemudiaan akan mensekresikan sitokin interferon
gamma, dimanan sitokin ini yang akan mengaktifkan makrofag naif, dengan
aktifnya makrofag naif maka terjadi peningkatan proses fagositosis (Patricia dkk.,
2015). Limfosit T sitotoksik (CTL) adalah nama lain dari sel T sitotoksik, juga
dikenal sebagai sel T-killer, sel T sitolitik, CD8 selT atau sel T pembunuh. CD8+
berperan penting dalam proses sitotoksik sel mikroorganisme (Chakraborty
dkk., 2017).
Berbagai agen sintetik digunakan sebagai agen imunostimulant seperti
levamisol, thalidomide, namun terdapat berbagai efek samping dari agen-agen
tersebut seperti nefrotoksisitas, hepatotoksisitas, gangguan sumsum tulang,
gangguan saluran cerna dan sebagainya. Karena kertersediaanya sedikit dan efek
sampingnya relatif banyak, pengunanan imomodulator dari bahan alam menjadi
altenatif lain sebagai imunomodulator karena efek samping yang dihasilakan
lebih relative kecil (Savan dkk., 2014).
Hasil uji skrining fitokimia buah Etlingera rubroloba menunjukan bahwa
buah E. rubroloba memiliki kandungan senyawa flavonoid yang memiliki
kemampuan meningkatkan sistem imunomodulator dengan meningkatkan kadar
CD4 dan efektivitas proliferasi limfokin yang dihasilkan oleh sel T sehingga akan
merangsang sel- sel fagosit untuk melakukan respon fagositosis, sehingga
tanaman E. rubroloba bisa dijadikan sebagai imunomudulator (Yusuf dkk,
2020., Wahyuni dkk., 2017). E. rubroloba merupakan famili dari Zingiberaceae
yang dapat ditemukan di Indonesia. Senyawa aktif yang dapat ditemukan pada
buah E. rubroloba adalah tanin, terpenoid, saponin, dan flavonoid. Hasil
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa wualae yang memiliki aktivitas
sebagai imunostimulan karena ada kandungan flavonoid, alkaloid, saponin,
terpenod dan tanin (Yusuf dkk., 2020).
Kandungan flavonoid di dalam tumbuhan dapat mengaktivasi sel NK
untuk merangsang produksi IFN- γ. IFN- γ yang diproduksi oleh berbagai sel
imun merupakan sitokin utama dari Macrophage Activating Cytokine (MAC)
yang berperan dalam imunitas non spesifik seluler. Makrofag dapat diaktifkan
oleh IFN- γ dengan cepat dan efisien sehingga mengalami peningkatan aktivitas
fagositosis dalam menghancurkan antigen (Baratawidjaya, 2006).
SMAF (Spesific Makrofag Activating Factor) merupakan molekul-
molekul multipel, salah satunya adalah IFN-γ. IFN-γ (Interferon-γ) akan
mengaktifkan makrofag, sehingga makrofag akan mengalami peningkatan
aktivitas fagositosis. Hal ini akan menyebabkan makrofag dapat membunuh
bakteri lebih cepat. Flavonoid juga memiliki mekanisme kerja dengan cara
mengaktivasi sel NK untuk merangsang produksi IFN-γ. IFN-γ (Interferon-γ)
merupakan sitokin utama MAC (Macrophage Activating Cytokine) yang akan
mengaktifkan makrofag dan memacu peningkatan aktivitas fagositosis (Sulistiani
dan Hesti, 2015).
Kajian mengenai aktivitas imonomodulator mengenai rimpang E.
rubroloba A.D Poulsen belum pernah dilakukan, sehingga penulis tertarik untuk
mendalami lebih lanjut mengenai aktivitas imunomodulator ekstrak rimpang E.
rubroloba A.D. Poulsen dan pengarunya terhadap fagositosis sel makrofag dan
kadar CD8 pada tikus putih jantan galur wistar.

1.2 Rumusan masalah


Masalah yang dikaji pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kandungan metabolit sekunder apakah yang terdapat dalam rimpang E.
rubroloba A.D Poulsen?
2. Bagaimanakah aktivitas imunomodulator ekstrak etanol rimpang E. rubroloba
A.D Poulsen terhadap fagositosis sel makrofag pada tikus jantan galur
wistar?
3. Bagaimanakah aktivitas imunomodulatorekstrak etanol rimpang E. rubroloba
A.D Poulsen terhadap kadar CD8 pada tikus jantan galur wistar?

1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak
etanol rimpang E. rubroloba A.D Poulsen.
2. Untuk mengetahui aktivitas imunomodulatorekstrak etanol rimpang E.
rubroloba A.D Poulsen terhadap fagositosis sel makrofag pada tikus jantan
galur wistar.
3. Untuk mengetahui aktivitas imunomodulatorekstrak etanol rimpang E.
rubroloba A.D Poulsen terhadap kadar CD8 pada tikus jantan galur wistar.

1. 4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi antara lain
sebagai berikut :
1. Bagi peneliti sendiri, dapat menambah ilmu pengetahuan, keterampilan serta
keahlian mengenai pengujian pada tumbuhan yang berpotensi pengobatan
dengan menggunakan hewan coba tikus.
2. Bagi ilmu pengetahuan, dapat memberikan informasi penelitian lebih lanjut
mengenai aktivitas imunomodulatorekstrak rimpang E. rubrolobaA.DPoulsen
terhadap fagositosis sel makrofag dan kadar CD8 pada tikus jantan galur
wistar.
3. Bagi institusi, mewujudkan peranan Universitas Halu Oleo dalam mengkaji
permasalahan yang terjadi di masyarakat khususnya permasalahan terkait
sistem imunitas tubuh.
4. Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat
mengenai aktivitas imunomodulatorrimpang E. rubrolobaA.D Poulsen
terhadap sistem imun tubuh ditinjau dari CD8.
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Imun


Imunitas atau kekebalan pada tubuh manusia adalah kemampuan untuk
melawan berbagai macam agen penyakit seperti bakteri, virus, fungi, protozoa,
dan parasit. Efek infeksi agen penyakit maupun toksin dapat mengakibatkan
perubahan patologis dan klinis muncul sejalan dengan proses infeksi. Kekebalan
khusus/adaptif (acquired adaptive immunity) akan muncul apabila ada organisme
patogen yang menyerang tubuh, dengan mengaktivasi kerja limfosit dan
antibodi. Mekanisme pertahanan tubuh (host defence mechanism) akan
menentukan proses reaksi infeksi antara agen penyebab penyakit dan tubuh
manusia sebagai hospes (virulensi dan patogenesitas) faktor yang mempengaruhi
mekanisme pertahanan tubuh adalah usia, gender, etnis, genetik, dan status imun
(Sukendra, 2015).

Gambar 2. 1 Diagram Respon Imun Innate Dan Adaptif


(Sumber : Abbas dkk., 2016)

Secara umum sistem imun dibagi menjadi dua lini: imunitas alamiah dan
imunitas adaptif. Imunitas alamiah (innate) adalah pertahanan lapis pertama,
berupa mekanisme non spesifik (antigen independent) untuk melawan dan
mengatasi patogen yang menerobos masuk ke dalam tubuh kita. Imunitas
adaptif bersifat spesifik terhadap antigen (antigen dependent), dan memiliki
memori sehingga tubuh kita mampu bereaksi dengan lebih cepat serta lebih
efisien pada saat terpapar ulang dengan antigen yang sama (Levani, 2018).
2.1.1 Respon Sistem Imun Innate
Pertahanan imunitas innate atau bawaan merupakan lini pertama dari
pertahanan non spesifik untuk melawan mikroorganisme.Respons imun innate
atau respons imun non-spesfik atau respons imun alami sudah ada sejak lahir
dan merupakan komponen normal yang selalu ditemukan pada tubuh sehat.
Respons ini meliputi: pertahanan fisik/mekanik, pertahanan biokimia,
pertahanan humoral, dan pertahanan selular. Dinamakan non spesfik karena
tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada, dan siap berfungsi sejak
lahir. Respons ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan
mikroba dan dapat memberikan respons langsung, siap mencegah mikroba
masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya. Jumlahnya dapat
ditingkatkan oleh infeksi, misalnya sel leukosit meningkat selama fase akut
penyakit (Sudiono,2014).
2.1.2 Sistem Imun Spesifik (Adaptive immune)
Sistem imun spesifik mengenali antigen membutuhkan waktu yang cukup
lama.Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang
dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali direspon dengan
tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan
senitasi, sehingga antigen yang sama dan masuk ke tubuh untuk kedua kalinya
akan dikenali lebih cepat dan mudah untuk dihancurkan (Bratawidjaja dan Iris,
2014 ). Respon imun adaptif merupakan respon imun yang didapat (acquired),
yang timbul akibat dari rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah
terpapar sebelumnya. Respon imun spesifik dimulai dengan adanya aktivitas
makrofag atau Antigen Precenting Cell (APC) yang memproses antigen
sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan respon sel-sel imun (Suardana,
2017).
Sistem imun adaptif terdiri atas sistem humoral dan sistem seluler. Pada
imunitas humoral, sel B melepaskan antibodi untuk menyingkirkan mikroba
ekstraseluler. Pada imunitas seluler sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor
untuk menghancurkan mikroba (Bratawidjaja dan Iris, 2014 ). Sistem imun
spesifik diperankan oleh limfosit B dan limfosit T dengan perbandingan 1:5.
Limfosit B bertanggung jawab terhadap respon imun yang dimediasi antibodi
(Syahrana dkk., 2017).
2.3.2.1 Limfosit B
Sel limfosit B termasuk dalam imunitas adaptif. Selain memiliki
kemampuan mengenali antigen secara spesifik, imfosit B bertanggung jawab
membentuk antibodi humoral dalam darah yang juga dikenal sebagai
immunoglobulin (Tiara dkk., 2016).
Sel limfosit B (bursal atau bone marrow) merupakan kumpulan populasi
sel yang mengekspresikan berbagai reseptor immunoglobulin (Ig) di permukaan
sel nya untuk mengenali berbagai macam epitop spesifik dari antigen. Sel
limfosit B diproduksi di hati janin (fetal liver) saat di dalam kandungan dan di
sumsum tulang belakang. Perkembangan sel limfosit B kemudian berlanjut di
organ limfoid sekunder seperti kelenjar getah bening (lymph node), limpa
(spleen), jaringan limfoid sekunder pada mukosa (mucosal associated lymphoid
tissue / MALT), jaringan limfoid sekunder pada usus (gut associated lymphoid
tissue / GALT) dan tonsil untuk menjadi sel plasma ataupun sel limfosit B
memori. Sel limfosit B memiliki lima kelas antibodi yaitu Ig-A, Ig-D, Ig-E, Ig-M
dan Ig-G (Levani, 2018).
2.3.2.2Limfosit T
Limfosit "T" berasal dari kata timus, yaitu suatu kelenjar dalam rongga
dada di atas jantung yang berperan dalam pematangan limfosit T setelah
diproduksi di sumsum tulang. Sel T berperan dalam pembentukan kekebalan
seluler yaitu dengan cara menyerang sel penghasil antigen secara langsung. Sel T
juga ikut membantu produksi antibodi oleh sel B plasma.Sel T dapat dibedakan
menjadi dua jenis berikut.
a. Sel T sitotoksik, berfungsi menyerang patogen yang masuk ke tubuh, sel tubuh
yang terinfeksi, serta sel kanker secara langsung.
b. Sel T helper, berfungsi menstimulasi pembentukan jenis sel T lainnya dan sel
B (Aripin, 2019).
Limfosit T berfungsi dalam berbagai respon imunologi seluler, misalnya
reaksi hipersensitifitas, pertahanan terhadap sel ganas dan banyak virus (Tiara
dkk., 2016). Fungsi Sel CD4+ mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya
mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba (Bratawidjaja dan Iris,
2014 ).Limfosit T akan memproduksi interferon dan meningkatkan kemampuan
makrofag sehingga dapat memfagosit antigen yang masuk kedalam tubuh
(Resmawati dkk., 2016).

2.2 Makrofag
Makrofag adalah sel darah putih yang berukuran besar, yang mencerna
mikroba, antigen dan zat-zat lainnya (Pratiwi dan Tri, 2017). Makrofag
merupakan sel fagosit mononuklear utama di jaringan dalam proses fagositosis
terhadap mikroorganisme dan kompleks molekul asing lainnya. Makrofag
diproduksi di sumsum tulang belakang dari sel induk mieloid yang mengalami
proliferasi dan dilepaskan ke dalam darah sesudah atau satu periode melalui fase
monobla - fase promonosit - fase monosit. Monosit yang telah meninggalkan
sirkulasi darah akan mengalami perubahan- perubahan untuk kemudian menetap
di jaringan sebagai makrofag (Susanti dkk., 2012).
Melalui mekanisme ini, makrofag berperan penting peran dalam respons
imun spesifik tubuh. Bahkan, makrofag dapat mengeluarkan molekul sitotoksik,
berfungsi sebagai sel pembunuh alami. Makrofag bisa mengeluarkan sitokin yang
mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Dengan demikian, makrofag adalah
mediator penting dari berbagai jenis fungsi kekebalan di dalam tubuh (Yu dkk.,
2012).
Makrofag memiliki kemampuan dalam melakukan proses fagositosis dan
merupakan antigen presenting cells (APCs) untuk mengaktivasi sel T. selama
aktivasi, makrofag berdiferensiasi menjadi dua subset yang secara fenotip dan
fungsinya berbeda, yaitu M1 dan M2. Makrofag M1 menggunakan mekanisme
pembunuhan mikroorganisme dengan cara oksidatif dan nitrosatif mekanisme
makrofag M1 merupakan mikrobisidal dan proinflamatori, sementara makrofag
M2 melalui sintesis RNS, NO melalui aksi iNOS sehingga dapat membunuh
mikrorganisme yang terfagositosis (Tania, 2020).
Makrofag berperan dalam proses peradangan sebagai reaksi tubuh
terhadap benda asing atau mikroba. Pada pertumbuhan neoplastik, makrofag
ditemukan pada ruang ekstraselular. Makrofag yang berada pada ruang
ekstraselular ini dikenal dengan tumor associated macrophages (TAMs)
(Chirstina dkk., 2015). Makrofag juga mempunyai peran yang penting dalam
imun adaptif, dalam hal ini makrofag akan mengambil antigen dan
mengantarkannya untuk dihancurkan oleh imun adatif (Taurina, 2016).

Gambar 2.2 Proses Fagositosis


Makrofag (Sumber: Aripin,2019).

2.3 Sel T Sitotoksik (CD8)


Sistem imun adaptif memiliki peranan penting khususnya limfosit T
sitotoksik (CD8) yang memiliki peran dalam mengontrol pertumbuhan tumor dan
metastasis. Limfosit T CD8 diperkirakan memiliki hubungan langsung dengan
respon anti tumor sehingga dipercaya dapat menjadi faktor prognostik pada pasien
kanker (Sakti dkk., 2019).
CD8 sebagian besar diekspresikan di permukaan sel T sitotoksik, tetapi
juga dapat ditemukan pada sel NK, timosit kortikal, dan sel dendritit (Obeagu
dkk.,2015). CD8 hanya bisa mengenali antigen yang di presentasikan oleh
makrofag yang berikatan kompleks bersama MHC-I (Ma’rufi dkk., 2017). Sel T
CD8 adalah bagian lain dari sel T yang diperlukan untuk membersihkan patogen
intra seluler pada mukosa. Beberapa fungsi utama sel T CD8 dalam melawan
mikroorganisme yaitu dengan cara melisis sel yang terinfeksi dipermukaan
mukosa (misalnya, makrofag dan DC), eliminasi langsung dari bakteri
intraseluler, dan produksi sitokin IFN-γ, interleukin 17 dan TNF-α (Syafa,ah dan
Resti, 2016).
CD8 sel T yang mengenali antigen target, berproliferasi dan
diferensiasi menjadi sel T-sitotoksik CD8 (Tc), yang membunuh antigen
target dengan mengirimkan sitokin berdosis letal (granzime B dan perforin)
atau langsung menyebabkan apoptosis. Turunan sel limfosit-T (CD8) yang
mengenali antigen asing (yang diekspresikan pada sel dan yang berikatan dengan
molekul MHC-1) dan membunuhnya dengan melepaskan sitokin perforin dan
granzime B. Sel T sitotoksik juga melepas sitokin lain yang menstimulasi
fagositosis dan menghambat replikasi pathogen (Sudiono, 2014).

Gambar 2.3 Mekanisme efektor litik dan non-litik sel T CD8


(Sumber : Celis dkk., 2019).

2.4 Interferon Gamma


Bakteri intra seluler menstimulasi makrofag mensekresikan IL-12 yang
mengaktifkan sel NK dan juga menstimulasi perkembangan sel Th1 dan
mengaktifkan sel T CD8+. Ketiga jenis sel yang teraktifkan tersebut
mensekresikan interferon gamma (IFN-γ) yang akan mengaktifkan makrofag
sehingga makrofag tersebut dapat membunuh bakteri intraseluler (Retno, 2013).
Pada sel T yang tidak teraktivasi (resting), gen IFN-γ tidak diekspresikan
sehingga proteinnya tidak dapat dideteksi. Namun, setelah terjadi aktivasi sel T,
IFN-γ dapat dideteksi dalam rentang waktu 6 – 8 jam, kadarnya akan mencapai
level maksimum pada 12 – 24 jam, dan kemudian setelah itu akan kembali
menurun hingga ke nilai baseline, IFN-γ ternyata juga dapat meningkatkan
polarisasi TH2 dan sel-sel yang memproduksi IL-4 bila IFN-γ muncul saat awal
priming sel T. IFN-γ juga dapat mengontrol produksi dan aktivasi sel Treg
(CD4+/CD25+regulatory T cell). Tregs berfungsi untuk menekan berbagai
macam respon imun dan juga menginduksi immune tolerance. Dengan adanya
peran tambahan ini disertai dengan peran klasiknya sebagai sitokin pro-inflamasi,
menunjukkan bahwa IFN-γ memilki peran yang luas dalam meregulasi respon
imun host ( Wahyuniati, 2017).
Interferon gamma (IFN-γ) memperkuat potensi fagosit dari makrofag dengan
menstimulasi fusi fagolisosom dan pembentukan reactive oxygen
intermediates/ reactive nitrogen intermediates (ROI/RNI) yang dapat
menghancurkan mikrorganisme. Sel T-CD8+ juga dapat memproduksi IFN-γ
untuk membantu menghancurkan mikrorganisme seperti bakteri (Wibowo dkk.,
2017).

Gambar 2.4 Mekanisme kerja interferon gamma


(Sumber : Martha, 2013).
2.5 Hubungan CD8 dan Makrofag
Limfosit termasuk salah satu jenis leukosit (sel darah putih) yang
mempunyai peranan penting dalam mekanisme sistem imun tubuh. Limfosit akan
memberikan respon terhadap suatu substansi benda asing (antigen) yang masuk ke
dalam tubuh melalui sistem imunitas seluler maupun imunitas humoral. Limfosit
terdiri dari limfosit T dan limfosit B yang berperan dalam respon imun seluler.
Kemampuan mengenal benda asing oleh limfosit disebabkan oleh adanya reseptor
pada permukaan sel. Reseptor sel T (TCR) dapat mengenal peptida antigen yang
terikat dengan molekul penyaji MHC. Limfosit T terdiri dari sel Th (T helper) dan
limfosit Tc (T cytotoxit ). CD8 merupakan molekul penanda limfosit T cytotoxit
dan mempunyai efek sitotoksit (Baratawijaya & Rengganis, 2014).
Peningkatan sistem imun melalui proses aktivasi sel imun dapat terjadi
jika sel terpapar senyawa asing atau antigen atau adanya kerusakan jaringan.
Makrofag merupakan sistem pertahan lini pertama dalam melawan antigen.
Makrofag yang tidak mampu menhancurkan antigen akan menyebabakan sel
limfosit teraktivasi. Proses aktivasi limfosit secara umum dibagi menjadi 3 fase,
yaitu fase induksi, fase ekspansi, dan fase efektor. Pada fase induksi diawali
dengan terjadinya pengikatan antigen ke reseptor spesifik limfosit. Limfosit T
mengenal antigen yang berikatan dengan MHC yang disajikan oleh makrofag
.Respon imun diawali oleh masuknya antigen yang disajikan makrofagke dalam
sel melalui TCR. Pada fase ekspansi limfosit yang telah mengalami induksi oleh
antigen akan berproliferasi dengan cepat sehingga jumlahnya banyak dan
mengaktifkan molekul sitokin seperti IL-2 serta mengaktifkan sistem mikrofag
dan sel B. Pada fase efektor akan diaktifkan mekanisme efektor sel imun untuk
mengeliminasi antigen atau benda asing lainnya sehingga dapat menyebabkan
destruksi, sitotoksisiti dan apoptosis .Antigen disajikan oleh makrofag, dimana
pada MHC kelas I akan berinteraksi dengan sel CD8. Binding reseptor CD8
dengan antigen akan menyebabkan aktivasi berbagai jalur signal. Jika CD8
terpapar dengan antigen, maka terjadi ikatan kompleks MHC1-peptida antigen
yang dipresentasikan oleh makrofag (Erniati dan Rizi, 2020).
CD8+ yang telah teraktivasi akibat adanya respon terhadap stimulus
antigen spesifik akan mengaktifkan IFN-γ (Wahyuniati,2017) . IFN-γ merupakan
sitokin sitokin utama yang berperan dalam aktivasi makrofag dan memiliki fungsi
yang sangat penting dalam cell mediated immunity terhadap mikroba intraseluler .
IFN-γ akan mengaktifkan makrofag naif sehingga proses fagositosis akan
meningkat (Kak dkk.,2018).

Gambar 2.5 Hubunang CD8 dan fagositosis makrofag


(Sumber : Martha,2013)

2.6 Imunomodulator
Imunomodulator adalah suatu zat yang dari bahan alam maupun sintetik
yang bisa merangsang, menekan, atau memodulasi sistem kekebalan tubuh baik
sistem kekebaln non spesifik maupun yang spesifik (Shantila dkk., 2018).
Imunomodulator merupakan suatu senyawa yang dapat digunakan untuk
meningkatkan fungsi dari sistem imun pada manusia. Imunomodulator adalah
bahan yang dapat memodulasi sistem imun tubuh Imunomodulator terdiri dari
imunostimulator, imunorestorator, dan imunosupresor (Sulistiawi dan maksum,
2014).
1. Imunorestorasi
Imunorestorasi, suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun
yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti:
immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune
Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi
sumsum tulang, hati dan timus (Haeria dkk., 2017).
2. Imunosupresi
Imunosupresi merupakan suatu tindakan untuk menekan respon imun.
Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi
penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan
atau gejala sistemik, seperti autoimun atau auto-inflamasi
3. Imunostimulan
Imunostimulan adalah bahan yang dapat merangsang sistem imun tubuh
melalui mekanisme respon imun non spesifik dan melalui respon imun spesifik
(Rauf dkk., 2016). Imunostimulan dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
infeksi patogen seperti bakteri dan virus. Imunostimulan dapat bertindak melalui
respons imun bawaan dan melalui respons imun adaptif. Pada individu sehat
imunostimulan diharapkan berfungsi sebagai agen profilaksis (pencegahan) yaitu
sebagai imunopotensiator dengan meningkatkan respon imun (Shantila dkk.,
2018). Imunostimulasi, yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara
memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang
sistem tersebut.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa tumbuhan dari familia
zingiberaceae berpotensi sebagai imunomodulator seperti kunyit (Curcuma
longa), jahe (Zingiber officinale var Rubrum) dan temulawak (Curcuma
zanthorrhiza). Pada kunyit dan temulawak senyawa metabolit sekunder yang
dapat digunakan sebagai imunomodulator adalah curcuma, metabolit sekunder
pada jahe yang dapat memberikan efek imumodulator adalah gingerol (Hartanti
dkk., 2020). Selain itu, tumbuhan yang masih tergolong dalam zingiberaceaeyaitu
E. elatior terbukti memberikan efek imunomodulator dikarenakan kandungan
metabolit sekundernya berupa flavonoid (Adryan dkk., 2019).
2.7 Etlingera rubroloba A.D Poulsen.
2.7.1 Morfologi

(a) (b)
Gambar 2.6 (a) Tanaman E. rubroloba, (b) Rimpang E. rubroloba.
(Sumber Dokumentasi Pribadi)

Tumbuhan E.rubrolobaA.D Poulsen merupakan tumbuhan yang juga


memiliki tinggi sekitar 2 hingga 4 meter dengan jumlah helai daun 11 hingga 22
daun. Jarak antara pucuk berdaun 17 sampai 25 cm. pangkal pucuk yang berdaun
berdiameter 5-8 cm, berwarna kuning coklat. Rimpang tanaman berwarna cokelat,
memiliki rasa pahit dengan selubung batang berhijau. Ukuran daun sekitar 65,5
sampai 79 9 sampai 21,5 cm, permukaan kasar, pada bagian atas daun berwarna
hijau tua sedang bagian bawah daun berwarna hijau pucat dengan bentuk bundar
berkerut pada bagian paling bawah, apeks berbentuk bundar dengan ujung
panjang 5 mm, tepi berbulu pada daun muda, sedangkan jika daun tua berbulu

di bagian puncak daun.Tangkai daun 1,5 sampai 2,5 cm. berwarna hijau, lembut
dengan rambut cokelat keemasan. Perbungaan tanaman berukuran 8 sampai 14 cm
dengan jumlah 46 bunga , 6 bunga membuka sekaligus, tangkai tanaman memiliki
panjang 5 sampai 7 cm, memiliki buah berwarna merah dengan 3-8 duri/kait

berukuran 2,7 2,3 cm, dan buah berbentuk bulat (Ardiyani ddk., 2012).
2.7.2 Klafikasi
Klasifikasi tumbuhan Etlingera sp. adalah sebagaiberikut(Tjitrosoepomo,
2005).
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Etlingera
Spesies : Etlingera rubroloba A.D Poulsen
2.7.3 Kandungan Kimia
Tumbuhan Etlingera sp mengandung senyawa bioaktif seperti polifenol
(seperti tannin) , alkaloid, flavonoid, steroid, saponin dan minyak. Hasil analisis
senyawa kimia dengan GC-MS menunjukkan adanya 39 senyawa kimia yang
terkandung dalam E. elatior dengan komponen utamanya adalah 1-dodecanol
(13.82%), dodecanal (12.10%), dan 17-pentatriaconten (10.52%) (Suwarni dan
Kadek, 2015). Hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa jenis minyak
esensial yang bersifat bioaktif pada daun, batang, bunga dan rimpang tumbuhan
ini. Kandungan minyak esensial pada daun sebesar 0.0735%, bunga 0.0334%,
batang 0.0029% dan rimpang 0.0021% (Rusanti dkk., 2017).
Beberapa kandungang kimia spesies Etlingera:

spesies Kandungan Kimia Golongan literatur


Katekin, quersirtin dan
E. elatior Flavonoid Chan dkk., 2009
isoquersirtin

E. calophrys Yakucinon A Terpenoid Sahidin dkk., 2018

E.brevilabrum Stigmasterol Fitosterol Mahdavi, 2014

E .rubroloba 1-(4-acetoxy-3,5- Fenil propena Janis dkk., 2019


dimethoxyphenyl) allyl
acetate

E. coccinea E)-2-dodekenal Alkena alifatik Jambun dkk., 2017

Tabel 2.1 Kandungang Kimia Spesies Etlingera

Beberapa rumus struktur yang ada didalam E. elatior:

Stuktur Dasar Saponin Stuktur Dasar Alkaloid


(Sumber: Sahidin,2018) (Sumber: Sahidin,2018)

Stuktur Dasar Steroid Stuktur Dasar Flavonoid


(Sumber :Sahidin,2018) Sumber :Sahidin,2018)
Stuktur Dasar Tanin
(Sumber :Sahidin,2018)

2.7.4 Aktifitas Farmakologi


Beberapa aktifitas farmakologi spesies Etlingera:
spesies Bagian tanaman Aktivitas biologi literature
E. elatior Batang Antibakteri dan Sahidin dkk., 2019
antioksidan
E. calophrys Batang Antioksidan Sahidin dkk., 2018
E. elatior Buah Antibakteri Sahidin dkk., 2019
E. elatior Buah Imunomodulator Wahyuni dkk.,
2017
E. elatior Daun Antioksidan Chan, 2009
Tabel 2.2 Aktifitas Farmakologi Spesies Etlingera

2.8 Tikus Galur Wistar


Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistarmenurutAkbar,
2010:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus

Gambar 2.7 Tikus (Rattus norvegicus)


(Sumber : Akbar, 2010).

Tikus (Rattus norvegicus) albino atau yang dikenal sebagai “tikus putih”
adalahhewan yang paling sering digunakan sebagai model dalam penelitian
biomedis. Oleh karena dapat mewakili sistem biologis mammal, maka hewan ini
tepat untuk dijadikan sebagai hewan coba dalam kajian praklinik. Salah satu
galur yang paling banyak digunakan adalah tikus Wistar (Fitria dkk., 2015).
Data biologis tikus putih galur wistar (R. norvegicus) sebagai berikut
(Gad, 2016) :
Masa hidup : 2,5 – 3,0 tahun
Konsumsi air : 10 – 12 mL/100 gram/hari
Konsumsi makanan : 20 – 40 gram/hari
Rata-rata suhu tubuh : 37,5 ºC
Pubertas (jantan dan betina) : 50 ± 10 hari
Masa pembiakan : sepanjang tahun
Panjang siklus estrus : 4 – 5 hari
Durasi estrus : 10 – 20 jam
Mekanisme ovulasi : spontan
Waktu ovulasi : 7 – 10 jam setelah onset estros
Waktu kehamilan : 21 – 23 hari
Berat lahir : 5 – 6 gram
Tekanan darah : 116/76 mmHg – 145/97 mmHg
Denyut jantung : 296 – 388 kali/menit
Volume darah : 64 mL/kg
Laju pernapasan : 100 – 140 kali/menit
Volume urin : 15 – 30 mL/ 24 jam.

2.9 Stimuno®
Stimuno merupakan salah satu obat yang dapat digunakan sebagai
imunomodulator. Stimuno dapat digunakan untuk meningkatkan sistem imun dan
merupakan salah satu jenis fitofarmaka yang mengandung extrak herbal meniran
(Maramis, 2016). Herba meniran mudah tumbuh dan cepat menyebar terutama
di tempat yang lembap dan terlindung, seperti di tepi jalan atau dekat sungai
sungai dan danau. Seluruh bagian tumbuhan meniran dapat digunakan yaitu daun,
batang, bunga, buah dan akar yang secara umum disebut herba meniran.
Tumbuhan meniran merupakan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh, sebagai diuretik, ekspektoran, peluruh haid,
penambah nafsu makan, obat demam, diare dan obat sakit kuning. Secara klinis,
ekstrak meniran telah terbukti bersifat immunomodulator atau mampu
merangsang daya tahan tubuh seseorang sehingga kebal terhadap serangan
penyakit (Tambuna dkk., 2019).
Meniran merupakan jenis herba dari famili Euphorbiaceae yang tumbuh
liar di tempat lembab dan berbatu, seperti semak- semak dan tanah di antara
rerumputan. Ciri dari herba meniran yaitu tumbuh tegak dengan tinggi 30 – 60
cm, batang hijau; daun bentuk bulat telur hingga memanjang, ujung daun
tumpul, pangkal membulat, permukaan bawah berbintik dan tepi daun rata; buah
terletak di bawah daun dan letak tertata sepanjang tangkai utama daun (Fitri dan
Widyawati, 2017).
Herbal meniran mengandung kandungan kimia herba minyak atsiri,
flavonoid, alkaloid, arbutin, glikosida, antrakuinon, senyawa golongan fenol,
dan tannin. senyawa flavoniod seperti kuersetin pada daun niruri, niruritenin, rutin
pada seluruh batang lignin seperti filantin, hipofilantin pada seluruh tanaman ,
triterpen seperti lupeol asetat dan betasitosterol (Rivai dkk., 2013).

2.10 Metabolit Sekunder


Metabolit sekunder berupa molekul-molekul kecil, bersifat spesifik (tidak
semua organisme mengandung senyawa sejenis), mempunyai struktur yang
bervariasi, setiap senyawa memiliki fungsi atau peranan yang berbeda-beda. Pada
umumnya senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk mempertahankan diri atau
untuk mempertahankan eksistensinya di lingkungan tempatnya berada. Metabolit
sekunder merupakan biomolekul yang dapat digunakan sebagai lead compounds
dalam penemuan dan pengembangan obat-obat baru. Senyawa metabolit sekunder
yang umum terdapat pada tanaman adalah : alkaloid, flavanoid, steroid, saponin,
terpenoid dan tannin (Ergina dkk., 2014).
1. Alkaloid
Senyawa alkaloid adalah suatu senyawa yang mengandung satu atau lebih
senyawa nitrogenpada bagian cincin heterosiklik (Anggraito dkk., 2018) Alkaloid
memiliki efek antioksidan, melalui aktivitasnya sebagai scavenger. Gugus indol
pada senyawa alkaloid, mampu menghentikan reaksi berantai radikal bebas secara
efisien. Sebagai antioksidan, alkaloid mampu melindungi sel dari toksisitas dan
kerusakan genetik akibat oksidan. Aktivitas farmakologis dari alkaloid sebagai
berikut:
- Sebagai alat perangsang (stimulan) pada sistem syaraf autonomy
- Sebagai bahan analgesic
- Sebagai bahan insektisida
- Sebagai bahan anti kanker (Radam dan Eni, 2016).
Menurut Sholikhah dkk., (2015) mekanisme alkaloid sebagai
imunomodulator pada tanaman lompong yaitu dengan meningkatkan aktivitas IL-
2 (interleukin 2) dan proliferasi limfosit. Sel Th1 (T helper 1) yang teraktivasi
akan mempengaruhi SMAF (Specific Macrofag Arming Factor), yaitu molekul-
molekul termasuk IFNγ (interferon gamma) yang dapat mengaktifkan makrofag.
Jika terdapat antigen yang masuk ke tubuh, misalnya bakteri, maka limfosit T dan
makrofag saling bekerja sama untuk membunuh bakteri tersebut. Makrofag akan
memfagosit bakteri dan limfosit T berdiferensiasi menjadi CD4+ dan CD8+. Sel
CD4+ berdiferensiasi menjadi Th1 yang kemudian menghasilkan sitokin IFNγ
dan TNFα serta memacu sel Natural Killer. Sel CD8+ pun menghasilkan sitokin
IFNγ. Sitokin tersebut akan mengaktifkan makrofag untuk menghasilkan senyawa
salah satunya nitrit oksida yang berguna membunuh bakteri.
Penelitiaan yang dilakukan oleh Amalia dkk., (2017) mengunakan daun
tanaman sembung berpotensi sebagai imunomodulator ditinjau dari aktivitas
fagositosis pada sel bakteri. Alkaloid bekerja sebagai antibakteri dengan cara
mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri sehingga lapisan
dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan terjadinya kematian sel.
Mekanisme kerja golongan alkaloid dengan menghambat sintesis asam nukleat,
karena menghambat enzim reduktase dihidrofolat di dalam sel. Mekanisme kerja
antibakteri dikaitkan dengan kemampuan senyawa aktif dalam interkalasi DNA,
penghambatan enzim (esterase, DNA-, RNA-polimerase), inhibisi pada respirasi
sel.
Dalam penelitiaan yang dilakukan Rosidah dkk., (2014) senyawa kimia
yang memiliki aktivitas antibakteri dalam ekstrak daun tanaman kendali yaitu
alkaloid. Alkaloid mempunyai mekanisme penghambatan dengan cara berikatan
dengan DNA. Hal ini diduga karena alkaloid memiliki gugus basa yang
mengandung nitrogen. Gugus basa ini akan bereaksi dengan senyawa asam yang
ada pada bakteri seperti DNA yang merupakan penyusun utama inti sel. Dengan
terganggunya DNA maka sintesis protein dan asam nukleat dalam sel akan
terganggu. Hal ini mengakibatkan metabolisme sel terganggu sehingga
pertumbuhan bakteri terhambat atau mengalami kematian.
Penelitiaan yang dilakukan Mawan dkk., (2018) senyawa alkaloid dalam
daun salam memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
kemampuan alkaloid dalam menghambat pertumbuhan bakteri dikaitkan dengan
kemampuan mereka berinterkalasi dengan DNA, sehingga menghambat sintesis
DNA dan reverse transcriptase, juga dengan melepaskan adhesin asam lipoteikoat
dari permukaan sel sehingga mengganggu permeabilitas membran sel.
2. Flavanoid
Flavonoid merupakan salah satu senyawa alami yang banyak ditemukan
dalam tumbuhan-tumbuhan dan makanan yang menjanjikan untuk mengobati
berbagai penyakit seperti kanker, antioksidan, bakteri patogen, radang, disfungsi
kardio-vaskular, dan mempunyai kemampuan antioksidannya dalam mencegah
terjadinya luka akibat radikal bebas. Hal ini dikarenakan kemampuan dalam
metilasi flavonoid yang dapat meningkatkan peranan flavonoid dalam bidang
obat-obatan. Metilasi dari flavonoid melalui kelompok hidroksil bebasnya atau
atom C yang dapat meningkatkan stabilitas metaboliknya dan meningkatkan
transportasi membran yang terjadi dalam tubuh. Kemampuan bioaktifitas
beberapa golongan senyawa flavonoid terutama dalam hal antioksidan, dimana
aktivitas antioksidan invitro flavonoid bergantung pada penataan gugus fungsi
pada struktur intinya. Konfigurasi dan jumlah total gugus hidroksil secara
substansial mempengaruhi mekanisme aktivitas antioksidan,antivirus, antikanker,
antibakteri, antipiretik dan imunomodulator (Arifin dan Ibrahim., 2018).
Menurut Rosnizar dkk., (2017) menyatakan bahwa daun flamboyan
berpotensi sebagai imunomodulator ditinjau dari aktifitas fagositosis makrofag.
Hal ini diduga karena kandungan metabolit sekundernya berupa flavonoid.
Senyawa flavonoid secara langsung dapat mengaktifkan efektor sel Th1 dan Th2
dalam memproduksi sitokin tanpa adanya respon imun terhadap antigen
intraseluler maupun antigen ekstraseluler. Sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1
dan Th2 juga dapat meningkatkan aktivasi makrofag, pembentukan antibodi serta
sel-sel imun lainnya. Dengan demikian, senyawa flavonoid dapat meningkatkan
kemampuan fagositosis secara cepat dalam menghancurkan antigen dan
mikroorganisme intraseluler serta meningkatkan pertahanan terhadap antigen
ekstraseluler.
Menurut Parlinaningrum dkk., (2014) menyatakan bahwa daun sirsak
berpotensi sebagai imunomodulator, hal ini diduga karena kandungan metabolit
sekundernya berupa flavonoid. senyawa flavonoid dapat meningkatkan produksi
IL-2 dan meningkatkan proliferasi limfosit. Proliferasi limfosit T yang dirangsang
oleh antigen, terutama diatur oleh pengaruh IL-2 terhadap reseptor IL-2 yang
dimiliki pada permukaan selnya. Selain itu, IL-2 juga merangsang proliferasi dan
diferensiasi sel B dan . Penambahan bahan yang bersifat inunostimulator dapat
meningkatkan respon pada limfosit dan merangsang pembelahan sel sehingga
terjadi proliferasi. Flavonoid memiliki efek imunostimulan dengan memacu
produksi IL-2 yang meningkatkan proliferasi.
Menurut Safitri dkk., (2017) menyatakan bahwa buah mahkota dewa
berpotensi sebagai imunomodulator, hal ini diduga karena kandungan metabolit
sekundernya berupa flavonoid. Senyawa flavonoid bersifat (bakterostatik) atau
memiliki kemampuan antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks
terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membran bakteri,
mengganggu proses metabolism, kemudian merusak dinding sel bakteri.
Mekanisme antibakteri dari senyawa flavonoid dapat terjadi akibat reaksi antara
senyawa lipid dan asam amino dengan gugus alkohol, sehingga dinding sel
mengalami kerusakan. dan mengakibatkan senyawa tersebut dapat masuk kedalam
inti sel bakteri. Senyawa ini kemudian akan bereaksi dengan DNA pada inti sel
bakteri. Akibat perbedaan kepolaran antara lipid dan penyusun DNA dengan
gugus alkohol pada senyawa flavonoid akan terjadi reaksi sehingga struktur lipid
dari DNA bakteri sebagai inti sel bakteri akan mengalami kerusakan dan lisis.
Menurut Haryati dkk., (2015) menyatakan bahwa daun tanaman pucuk
merah berpotensi sebagai imunomodulator, hal ini diduga karena kandungan
metabolit sekundernya berupa flavonoid. Senyawa flavonoid disintesis oleh
tanaman sebagai respon terhadap infeksi mikroba sehingga efektif sebagai zat
antibakteri yang ampuh melawan berbagai mikroorganisme. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh kemampuan flavonoid untuk membentuk kompleks dengan
protein ekstraseluler dan protein terlarut dan membentuk kompleks dengan
dinding sel bakteri. Flavonoid lipofilik juga dapat mengganggu membran
mikroba. Flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel
bakteri, mikrosom, dan lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan
DNA bakteri.
3. Saponin
Saponin adalah golongan senyawa glikosida, dapat membentuk larutan
koloidal dalam air dan membuih bila dikocok. Saponin memberikan rasa pahit
menusuk. Saponin bersifat iritator pada selaput lendir, sehingga memunculkan
respon bersin. Saponin merupakan antioksidan sekunder, mampu menghambat
peroksidasi lipid dengan cara membentuk hidroperoksida. Berdasarkan penelitian
saponin memiliki efek antioksidan dan antibakteri. Saponin berfungsi sebagai
antioksidan melalui mekanisme peningkatan pembentukan SOD dan katalase.
Aktivitas farmakologis saponin yaitu sebagai antiinflamasi, antibakteri,dan
analgesik (Anggraito dkk., 2018).
Menurut Octaviani dan Syafrina (2018) menyatakan bahwa daun kulit
batang sawo berpotensi sebagai imunomodulator ditinjau dari aktifitas fagositosis
bakteri. Hal ini disebabkan karena adanya metabolit sekunder yang terkandung
didalam buah sawo berupa saponin. Mekanisme kerja saponin dalam proses
fagositosis bakteri adalah menurunkan tegangan permukaan sehingga
mengakibatkan naiknya permeabilitas atau kebocoran sel dan mengakibatkan
senyawa intraseluler akan keluar. Senyawa ini berdifusi melalui membran luar dan
dinding sel yang rentan, lalu mengikat membran sitoplasma dan mengganggu dan
mengurangi kestabilan itu. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel
yang mengakibatkan kematian. sel. Agen antimikroba yang mengganggu
membran sitoplasma bersifat bakterisida.
Menurut Ernawati dan Kumala (2015) menyatakan bahwa buah kulit
alpukat berpotensi sebagai imunomodulator ditinjau dari aktifitas fagositosis
bakteri. Hal ini disebabkan karena adanya metabolit sekunder saponin yang
terkandung didalam buah alpukat. Saponin bekerja sebagai antimikroba karena
senyawa saponin dapat melakukan mekanisme penghambatan dengan cara
membentuk senyawa kompleks dengan membran sel melalui ikatan hidrogen,
sehingga dapat mengahancurkan sifat permeabilitas dinding sel bakteri dan
menimbulkan kematian sel bakteri. Interaksi saponin dengan dinding sel akan
menyebabkan rusaknya dinding dan membran sel hingga akhirnya bakterilisis.
Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri yaitu dapat menyebabkan kebocoran
protein dan enzim dari dalam sel. Saponin dapat menjadi anti bakteri karena zat
aktif permukaannya mirip detergen, akibatnya saponin akan menurunkan tegangan
permukaan dinding sel bakteri dan merusak permeabilitas membran. Rusaknya
membran sel ini sangat mengganggu kelangsungan hidup bakteri. Saponin
berdifusi melalui membran luar dan dinding sel yang rentan kemudian mengikat
membran sitoplasma sehingga mengganggu dan mengurangi kestabilan membran
sel. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel yang mengakibatkan
kematian sel.
Menurut Simanjuntak dan Kasta (2020) menyatakan bahwa Herba
tumbuhan balsem berpotensi sebagai imunomodulator ditinjau dari aktifitas
fagositosis bakteri. Hal ini disebabkan karena adanya metabolit sekunder saponin
yang terkandung didalam tumbuhan balsam. Senyawa saponin memiliki efek
antibakteri dan antijamur dengan mengganggu gugus monosakarida dan
turunannya Saponin bersifat polar, kepolaran senyawa inilah yang mengakibatkan
senyawa ini lebih mudah menembus dinding bakteri. Mekanisme kerja saponin
sebagai antibakteri yaitu dapat menyebabkan kebocoran protein dan enzim dari
dalam sel Saponin memiliki zat aktif permukaannya mirip detergen, akibatnya
saponin dapat menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak
kelangsungan hidup bakteri. Saponin berdifusi melalui membran sel dan dinding
sel yang rentan kemudian mengikat membran sitoplasma sehingga mengganggu
dan mengurangi kestabilan membran sel. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor
keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel.
Menurut Fiana dkk (2020) menyatakan bahwa sukun berpotensi sebagai
imunomodulator ditinjau dari aktifitas fagositosis bakteri saponin pada sukun
dapat berfungsi sebagai antibakteri antibakteri yang memiliki kemampuan
mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga
lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel,
sementara senyawa saponin bekerja dengan cara memecah atau melisis dinding
bakteri.
4. Tannin
Tannin adalah salah satu golongan senyawa polifenol yang juga banyak
dijumpai pada tanaman. Tanin dapat didefinisikan sebagai senyawa polifenol
dengan berat molekul yang sangat besar yaitu lebih dari 1000 g/mol serta dapat
membentuk senyawa kompleks dengan protein. struktur senyawa tannin terdiri
dari cincin benzena (C6) yang berikatan dengan gugus hidroksil (-OH). Tanin
memiliki peranan sebagai antibakteri, antivirus dan antiimflmasi (Noer dkk.,
2018).
Menurut Fitriah dkk., (2017) menyatakan bahwa daun tanaman johar
berpotensi sebagai imunomodulator, hal ini diduga karena kandungan metabolit
sekundernya berupa tanin. Mekanisme kerja tannin sebagai imunomodulator erat
kaitanya dengan proses fagosistosis bakteri, dimana tanin akan menyebabkan
kerusakan pada polipeptida yang terdapat pada dinding sel bakteri sehingga
mengganggu sintesa peptidoglikan yang menjadikan pembentukan dinding sel
tidak sempurna dan mengakibatkan inaktivasi sel bakteri pada sel inang.
Menurut Safitri dkk., (2017) menyatakan bahwa buah mahkota dewa
berpotensi sebagai imunomodulator, hal ini diduga karena kandungan metabolit
sekundernya berupa tannin. Tanin merupakan senyawa yang mampu membentuk
zat besi, sehingga menimbulkan gangguan pada membran sel bakteri. Pada bakteri
aerob, zat besi sangat dibutuhkan untuk melakukan berbagai fungsi, seperti
pengurangan perkusor ribonukleotida pada DNA, dan pembentukan haem.
Menurut Simanjutak dan Kasta (2020) menyatakan bahwa daun herba
tanaman balsam berpotensi sebagai imunomodulator, hal ini diduga karena
kandungan metabolit sekundernya berupa tanin Senyawa tanin merupakan
senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui mempunyai beberapa khasiat
yaitu antibakteri. Tanin dapat mengambat pertumbuhan mikroba dengan
mekanisme merusak dinding sel mikroba dan membentuk ikatan protein
fungsional sel mikroba. Tanin juga merupakan senyawa yang bersifat lipofilik
sehingga mudah terikat pada dinding sel dan mengakibatkan kerusakan dinding
sel. Senyawa tannin juga dapat mengambat enzim reverse transcriptase dan DNA
topoisomerase sehingga sel bakteri tidak terbentuk.
Senyawa tanin pada daun sirsak mempunyai aktivitas antibakteri yang
berhubungan dengan kemampuannya untuk menonaktifkan adhesin bakteri,
menghambat kerja enzim, menghambat transport protein pada selubung sel.
Mekanisme kerja tanin sebagai bahan antibakteri antara lain melalui perusakan
membran sel bakteri karena toksisitas tanin dan pembentukan ikatan komplek ion
logam dari tanin yang berperan dalam toksisitas tanin. Bakteri yang tumbuh dalam
kondisi aerob memerlukan zat besi untuk berbagai fungsi, termasuk reduksi dari
prekursor ribonukleotida DNA. Adanya ikatan antara tanin dan besi akan
menyebabkan terganggunya berbagai fungsi bakteri (Rahman dkk., 2017).
5. Terpenoid
Terpen atau terpenoid, merupakan kelas MS terbesar dengan ciri pada
umumnya tidak larut air. Terpen disintesis dari asetil-CoA atau intermediet
glikolisis dan dibentuk oleh penggabungan unit-unit isopren berkarbon lima.
Kelompok terpen disintesis melalui jalur asam mevalonat (MVA) dan
metileritritol fosfat. Senyawa-senyawa terpenoid memiliki sifat antimikroba,
antijamur, antivirus, antiparasit, antihiperglikemik, antialergenik, antiradang,
antipasmodik, imunomodulator, dan kemoterapetik, bermacam-macam tergantung
pada jenisnya. Terpen merupakan racun dan pencegah makan terhadap sejumlah
serangga dan mamalia herbivor, jadi berperan penting dalam pertahanan kingdom
tumbuhan (Anggraito dkk., 2018).
Menurut Haryati dkk., (2015) menyatakan bahwa daun tanaman pucuk
merah berpotensi sebagai imunomodulator, hal ini diduga karena kandungan
metabolit sekundernya berupa terpenoid. Mekanisme kerja senyawa terpenoid
sebagai zat antibakteri diduga melibatkan kerusakan membrane oleh senyawa
lipofilik. Terpenoid dapat bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada
membrane luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat dan
merusak porin, mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri sehingga sel bakteri
kekurangan nutrisi, pertumbuhan bakteri terhambat atau mati.
Menurut Rosidah dkk., (2014) menyatakan bahwa daun tanaman kendali
berpotensi sebagai imunomodulator, hal ini diduga karena kandungan metabolit
sekundernya berupa terpenoid. Mekanisme terpenoid sebagai antibakteri adalah
bereaksi dengan porin (protein trans membran) pada membran luar dinding sel
bakteri kemudian membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga mengakibatkan
rusaknya porin. Rusaknya porin yang merupakan pintu keluar masuknya senyawa
yang akan mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang akan
mengakibatkan sel bakteri akan kekurangan nutrisi, sehingga pertumbuhan
bakteriterhambat atau mati.
Menurut Rahmawat dkk., (2017) menyatakan bahwa daun tanaman
geranium berpotensi sebagai imunomodulator, hal ini diduga karena kandungan
metabolit sekundernya berupa terpenoid. Mekanisme kerja senyawa antibakteri
yang mengandung terpenoid biasanya dengan cara merusak struktur dinding sel,
mengganggu kerja transport aktif dan kekuatan proton di dalam membran
sitoplasma bakteri Aktivitas antimikroba terpenoid pada membran sitoplasma
dengan cara merusak membran luar, membran dalam serta dapat juga berinteraksi
dengan protein membrane.

2.11 ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay)


ELISA merupakan tes serologi yang bergantung pada deteksi antigen
dengan antibodi, dan perubahan enzimatik warna berkorelasi dengan kehadiran
antigen dan sangat sensitif. Akurasi terhadap hasil ELISA ditentukan oleh
beberapa faktor antara lain ditentukan cara preparasi dan konsentrasi antigen yang
digunakan dan metode preparasi antigen (Sumianti dkk., 2015).
Prinsip metode ELISA secara umum adalah mendeteksi adanya antibodi
atau antigen dalam sampel. Adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang
berpasangan ditandai dengan menggunakan enzim spesifik dan dideteksi melalui
penambahan substrat dan dapat dilihat secara visual melalui perubahan warna ,
atau dengan bantuan alat yang dikenal dengan ELISA reader dengan panjang
gelombang tertentu (Sumianti dkk., 2015). ELISA ini memiliki berbagai
keunggulan dibandingkan RIA antara lain tidak perlu menggunakan bahan
radioaktif, label yang stabil sehingga dapat disimpan lebih lama, deteksi aktivitas
enzim hanya memerlukan alat fotometri, cepat dan tidak mahal (Setiadi dkk.,
2014).
Berdasarkan sistem kerja dalam reaksinya ELISA terbagi menjadi tiga
kelompok yaitu Direct Elisa, Indirect ELISA dan Sandwich ELISA.
Pengelompokkan tersebut didasarkan pada kompetisi atau inhibisi dari ELISA.
Direct ELISA adalah salah satu jenis ELISA yang paling sederhana dalam
reaksinya. Jenis ELISA ini hanya membutuhkan antigen, antibodi, enzim dan
substrat. Tahapan pengujian ELISA menurut Crowther diataranya adsorpsi
antigen atau antibodi pada fase padat, penambahan sampel dan reagen, inkubasi,
pemisahan dengan reaktan, penambahan reagen enzim, penambahan enzim
pendeteksi, dan pembacaan hasil (Rohima,2018).

Gambar 2.8 Teknik Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA).


(Sumber : Gan dan Kruti, 2013).

1. Indirect ELISA
Prinsip dari indirect ELISA seperti halnya ELISA kompetitif langsung,
kompetisi akan terjadi antara standar dan sampel untuk berikatan dengan antibodi.
Setelah pencucian ditambahkan antibodi sekunder yang dilabel dengan enzim.
Adanya reaksi komplek antara antigen dengan antibodi akan memberikan warna
setelah penambahan substrat, yang dapat diukur dengan menggunakan ELISA
reader (Spektrofotometer) (Bunyamin dkk., 2015).
Gambar 2.9 Protokol indirect ELISA
(Sumber :Shah dan Maghsoudlou, 2016)

2. Direct ELISA
Prinsip direct ELISA adalah jenis ELISA ini hanya membutuhkan antigen,
antibodi, enzim dan substrat (Rohima dan Ina, 2018). Jenis Elisa ini merupakan
dasar untuk jenis ELISA lainnya. Dimana, antigen atau antibodi diimobilisasi
pada permukaan lempeng mikrotiter. Setelah permukaan dihalangi dengan protein
lain (misalnya albumin, gelatin, kasein, dan susu skim) untuk menghindari
adsorpsi non-spesifik dari protein lain, antibodi atau antigen berlabel enzim yang
sesuai dibiarkan bereaksi dengan target, diikuti oleh pengembangan warna dengan
substrat yang sesuai (Sakamoto dkk., 2018).

Gambar 2.10 Protokol Direct ELISA


(Sumber :Shah dan Maghsoudlou, 2016).
3. Sandwich ELISA

Gambar 2.11 Protokol sandwich ELISA


(Sumber :Shah dan Maghsoudlou, 2016).

Prinsip dari metode ini yaitu antigen target dideteksi melalui lapisan
antara dua antibodi, yang mengenali epitop yang berbeda, atau yang disebut
sistem sandwich. Sandwich ELISA dimulai dari imobilisasi antibodi, yang
disebut antibodi tangkap, pada lempeng mikrotiter. Setelah memblokir
permukaan pelat untuk menghindari adsorpsi protein lain yang tidak spesifik,
antigen dalam sampel dibiarkan bereaksi dengan antibodi tangkap yang
diimobilisasi, dan antigen yang terikat pada antibodi tangkap kemudian diapit
dengan antibodi berlabel enzim untuk perubahan warna (Sakamoto dkk., 2018).
4. Competitive ELISA
Prinsip ELISA kompetitif adalah adanyareaksi kompetitif antara target
(antigen atau antibodi) dalam sampel dan target berlabel enzim (antigen atau
antibodi) terhadap antibodi atau antigen yang sesuai. Untuk mendeteksi antigen
pada ELISA kompetitif, antigen berlabel enzim digunakan untuk bersaing dengan
antigen target terhadap antibodi yang diimobilisasi. Oleh karena itu, semakin
tinggi jumlah antigen dalam sampel, maka semakin rendah jumlah antigen
berlabel enzim yang berikatan dengan antibodi. Artinya, dengan meningkatnya
jumlah antigen target, maka sinyal berkurang (Sakamoto dkk., 2018).
Gambar 2.12 Protokol Competitive ELISA
(Sumber :Shah dan Maghsoudlou, 2016).

2.12 Bakteri Staphylococcus aureus.

Klasifikasi dari bakteri Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut


(Murwani dkk., 2017) :
Kingdom : Bacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus
aureus

Gambar 2.13 BakteriStaphylococcus aureus


(Sumber :Murwani, 2017).

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat


berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompokyang tidak teratur seperti buah
anggur, fakultatif anaerob, tida k membentuk spora, dan tidak bergerak. Lebih dari
90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida
atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri. (Rahmi dkk., 2015).
Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 6oC–48oC dalam kondisi kekurangan atau
ketiadaan oksigen, namun pertumbuhan optimalnya pada suhu 37oC (Arbi dkk.,
2019).
2.13 Kerangkah Konsep
BuahE.rubroloba
ah E. rubroloba memilikiaktivitas immunomodulator dengan meningkatkan kadar CD4 pada tikus jantan galur wistar. Kandu
A.D poulsen
-Dimaserasi menggunakan pelarut
etanol selama 3x24 jam
-Dievaporasi pada suhu 50O

Ekstrak etanol buah E.rubroloba A.D poulsen


Uji Kemampuan
Fagositosis Sel
Makrofag pada
rubroloba. dosis 200
tanin, flavonoid,
Uji Efek Imunomodulator pada dosis 200 mg/kgBB,300 mg/kgBB,400 mg/kgBB
mengandung mg/kgBB,300
terpenoid, Menggunakan CD8
mg/kgBB,400
alkaloid,saponin(Ilyas Cairan Peritonium
dkk.,2020). Kuersetin
senyawa
merupakan
flavonolturunandari
flavanoid yang berperan
Dilihat
Kadar CD8
Fagositosis Sel
Dengan
Analisis data
Mikroskop
Keterangan :
(10-1000 X)
: Variabel Bebas

: Variabel Terikat

Gambar 2.11 Kerangka Konsep


BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2020 hingga Maret 2021.
Pengujiaan skrining fitokimia, uji karakteristik ekstrak dan pengujiaan aktivitas
fagositosis makrofag bertempat di Laboratorium penelitiaan Farmasi Fakultas
Farmasi Universitas Halu Oleo. Pengujiaan kadar CD8 dan serta pengujiaan
flavonoid dan fenolik total bertempatan di Laboratorium Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Halu Oleo, untuk determinasi tanaman bertempatan di
lablatorium pendidikan Biologi fakultas Pendidikan dan Keguruuan Universitas
Halu Oleo.

3.2 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan
rancangan penelitian Randomized Post-test Only Control Design pada hewan uji
tikus jantan (Rattus norvegicus) galur wistar sebagai objek penelitian.

3.3 Bahan Penelitian


Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang Etlingera
rubroloba A.D. Poulsen, tikus jantan (Rattus norvegicus) galur wistar, bakteri
Staphylococus aureus ATCC 25923®, kapas, tissue, aluminium foil, etanol 96%,
alkohol 70%, Mc Farlan, kertas saring\, akuades, Na-CMC 0,5% (Food Grade®),
NaCl fisiologis, Phosphate Buffered Saline (PBS), Nutrient Agar (NA) (Merck®),
dan ekstrak meniran komersional (Stimuno®).

3.4 Alat/Instrumen Penelitian


Alat-alat yang digunakan adalah Rotary Vacum Evaporator (Buchi®),
seperangkat alat KIT Rat CD8 ELISA (Aviva Systems Biology®), mikroskop
elektrik (Olympus®), autoklaf (Daihan Lab Tech®), Oven (Inaco®), erlenmeyer
(Pyrex®), timbangan analitik (Precisa®), Spektrofotometer 20-D (Thermo
SPectronic®), kuvet, gelas ukur (Pyrex®), gelas kimia (Pyrex®), inkubator
(Memmert®), botol vial, water bath (Stuart®), Laminar Air Flow (LAF) (E-
Scientific®), mesin sentrifugasi (Boeco®),bunsen, pipet tetes, pipet ukur,
mikropipet, batang pengaduk, botol gelap, toples, cawan porselin, kaca preparat,
kaca objek, ose bulat, spoit (OneMed®), magnetik stirer, dan kandang tikus.

3.5 Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri atas 3 variabel yaitu variabel bebas,
variabel terikat dan variabel kontrol.
1. Variabel bebas : Konsentrasi ekstrak etanol rimpang Etlingera rubroloba
A.D Poulsen
2. Variabel terikat : Aktivitas fagositosis sel makrofag dan kadar CD8 tikus
putih jantan galur wistar
3. Variabel kontrol : Berat badan, kandang, makanan tikus, jenis kelamin dan
umur

3.6 Definisi Operasional


Berikut beberapa penjelasan definisi operasional variabel untuk
menghindari adanya kekeliruan :
1. Ekstrak rimpang Etlingera rubroloba A.D. Poulsen yaitu sediaan pekat yang
diperoleh dari proses ekstraksi rimpang E. rubrolobaA.D. Poulsen
menggunakan pelarut etanolyang kemudian diuapkan menggunakan alat rotary
vacum evaporator.
2. Skrining fitokimia merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis
kandungan metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak etanol buah
rimpangEtlingera rubroloba A.D. Poulsen dengan pereaksi warna.
3. Tikus putih (R. novergicus) adalah hewan uji yang digunakan dalam
penelitian sebagai objek penelitian yang berasal dari jenis galur wistar
4. Aktivitas fagositosis adalah jumlah sel fagosit dan sel makrofag yang secara
aktif melakukan proses fagositosis dalam 100 sel dengan banyaknya sel
makrofag yang dinyatakan dalam bentuk persen (%)
5. Efek imunomodulator ditandai dengan peningkatan kadar CD8 pemberian
dosis ekstral etanol rimpangEtlingera rubroloba A.D. Poulsen yang
dibandingkan dengan kelompok kontrol
6. Kit ELISA CD8 Rat adalah seperangkat alat yang digunakan dalam pengujian
untuk menentukan kadar CD8 dalam plasma darah tikus jantan galur wistar.

3.7 Prosedur Penelitian


3.7.1 Determinasi Sampel
Determinasi tanaman dilakukan untuk mengetahui apakah sampel
penelitian benar merupakan rimpangEtlingera rubroloba A.D. Poulsen.
Determinasi dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong.

3.7.2 Penyiapan Sampel


Sampel berupa rimpang Etlingera rubroloba A.D. Poulsen yang
dikumpulkan dari Desa Punggaluku, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe
Selatan. Rimpang dikumpulkan, dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar
matahari yang dilapisi kain hitam agar keringnya merata, kemudian dihaluskan
hingga diperoleh serbuk simplisia (Wahyuni dkk., 2017). Serbuk tersebut
kemudian ditimbang dan diperoleh bobotnya.

3.7.3 Ekstraksi
Metode ekstraksi yang digunakan yaitu metode maserasi. Serbuk
rimpang Etlingera rubroloba A.D. Poulsen sebanyak 2,8 kg dimasukan ke dalam
wadah tertutup dan direndam dengan menggunakan pelarut etanol 96% selama 3 x
24 jam. Perbandingan 1 : 2 (jumlah pelarut yang digunakan dua kali dari jumlah
serbuk halus tanaman) (Harborne, 1996). Setiap 1 x 24 jam dilakukan penyaringan
dan penggantian pelarut baru. Filtrat dikumpulkan dan dipekatkan dengan
menggunakan rotary vacum evaporator pada suhu 50ºC hingga diperoleh ekstrak
kental. Ekstrak ditimbang untuk mengetahui bobotnya (Wahyuni dkk., 2017).
3.7.4 Uji Kandungan Senyawa Metabolit Sekunder
a. Senyawa Flavonoid
Disiapakan sebanyak 1 mL ekstrak ditambahkan ke dalam 3 mL etanol
70% kemudian dikocok, dipanaskan dan dikocok kembali. Lalu disaring dan
diambil filtratnya. Filtrat ditambahkan serbuk magnesium dan 3 tetes HCl pekat.
Apabila terbentuk warna merah bata pada sampel menunjukkan adanya senyawa
flavonoid (Rohma dkk., 2019).
b. Senyawa Alkaloid
Disiapkan 1 mL ekstrak ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendrof, reaksi
positif ditandai dengan terbentuknya endapan menggumpal berwarna coklat
hingga jingga (Ikalinus dkk., 2015).
c. Senyawa Saponin
Disiapkan sebanyak 1 mL ekstrak ditambah 10 mL aquades dan didihkan
dalam penangas air. Kemudian campuran tersebut dikocok dan dibiarkan 15
menit. Adanya senyawa saponin ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang
stabil (Rohma dkk., 2019).
d. Senyawa Tanin
Ekstark diambil 1 mL dan didihkan beberapa menit.Ditambahkan beberapa
tetes FeCl3 1% dan terbentuknya warna coklat kehijauan atau ungu kehitaman
menunjukkan adanya tannin (Rohma dkk., 2019).
e. Senyawa Terpenoid (Uji Liebermann-Burchard)
Ekstrak maserasi sebanyak 1 ml masing-masing ditambahkan 2 Ml
kloroform dan 3 mL H2SO4pekat. Reaksi positif adanya terpenoid ditandai dengan
terbentuknya warna merah kecoklatan (Rohma dkk., 2019).

3.7.5 Uji Karakteristik Ekstrak


Karakteristik ekstrak meliputi penetapan kadar air, kadar abu, sari larut
air, dan sari larut etanol.
Penetapan Kadar Air
Masukan lebih kurang 1 gram ekstrak dan timbang saksama dalam
wadah yang telah ditara. Keringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam dan ditimbang.
Lanjutkan pengeringan dan timbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2
penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25 % (Depkes RI, 2000).
b. Penetapan Kadar Abu
Timbang dengan saksama lebih kurang 2 gram sampai 3 gram ekstrak
dan dimasukan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, pijarkan
perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan dan timbang. Jika cara ini arang
tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas lalu saring melalui kertas saring
bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukan
filtrat kedalam krus. Uapkan dan pijarkan hingga bobot tetap (Depkes RI, 2000).
c. Penetapan Sari Larut Air
Lebih kurang ditimbang 5 g ekstrak dimasukkan ke dalam botol
bertutupdan dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL air. Kemudian dikocok
dengan menggunakan shaker selama 6 jam kemudian disaring. Hasil saringan
diambil 20 mL filtrat dan masukkan ke dalam cawan yang sudah ditara. Cawan
dipanaskanpada suhu 110oC sampai berat konstan (Marpaung, dkk., 2017).
d. Penetapan Sari Larut Etanol
Lebih kurang ditimbang 5 gram ekstrak dinasukkan ke dalam botol
bertutup dan dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL etanol 95 %. Kemudian
dikocok dengan menggunakan shaker selama 6 jam kemudian disaring. Hasil
saringan diambil 20 mL filtrat dan masukkan ke dalam cawan yang susah ditara.
Cawan dipanaskan pada suhu 110°C sampai berat konstan (Marpaung, dkk.,
2017).
e. Penetapan Kadar Fenolik Total
1. Pembuatan Larutan Baku Asam Galat
Ditimbang 10 mg asam galat, dilarutkan dalam metanol p.a sebanyak 5
mL, dimasukan ke dalam labu ukur 10 mL, diencerkan hingga tanda tera dan
dikocok sampai homogen. Larutan induk asam galat 1000 ppm diambil masing-
masing 1 mL; 2 mL; 3 mL; 4 mL dan 5 mL. Kemudian diencerkan dengan
akuades sampai volume akhir 10 mL sehingga diperoleh larutan dengan
konsentrasi 10 ppm; 20 ppm; 30 ppm; 40 ppm dan 50 ppm. Dari masing-masing
konsetrasi dipipet 1 ml lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan
0,4 mL reagen Folin-Ciocalteu dan dikocok sampai homogen, didiamkan selama 8
menit. Ditambahkan 4 ml Na2CO3 7 % lalu dikocok homogen, dan selanjutnya
diamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Ukur serapan panjang gelombang
serapan maksimum (Serli,2019)
2. Penentuaan Panjang Gelombang Maksimum
Larutan induk asam galat 100 ppm dibuat dengan melarutkan 10 mg asam
galat dalam labu ukur 100 mL, tambahkan 1 mL etanol kemudian tambahkan
akuades sampai tanda batas. Larutan induk 100 ppm kemudian diambil 1 mL dan
dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL, ditambahkan 1 mL pereaksi Folin-
Ciocalteu, lalu dikocok hingga homogen. Diamkan selama beberapa menit
kemudian tambahkan 4 mL Na2CO3 7 %, diamkan selama 15 menit pada suhu
kamar. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer sinar tampak
pada panjang gelombang 600 hingga 800 nm untuk penentuan panjang gelombang
maksimum ( Serli, 2019).
3. Penentapan Kadar Fenolik Ekstrak
Sebanyak 10 mg ekstrak dilarutkan dengan akuades sampai 5 mL,
dimasukan ke dalam labu ukur 10 mL, diencerkan hingga tanda terah sehingga
diperoleh konsentrasi 1000 ppm. Masing-masing diambil sebanyak 1 mL larutan
setiaap larutan, kemudian di 0,4 1 mL reagen Folin-Ciocalteu dan didiamkan
selama 8 menit. Setelah itu ditambahkan 4 mL Na 2CO3 7% ke dalam larutan dan
ditambahkan aquades hingga 10 ml. Diukur absorbansinya pada panjang
gelombang (Serli, 2019).
f. Penetapan Kadar Flavonoid Total
1. Pembuatan Larutan Baku Kuersetin
Ditimbang 10 mg kuersetin, dilarutkan dalam metanol p.a sebanyak 5 mL,
dimasukan ke dalam labu ukur 100 ml, diencerkan hingga tanda tera dan dikocok
sampai homogen. Larutan induk asam galat 100 ppm diambil masing-masing 0,2
mL; 0,4 mL; 0,6 mL; 0,8 mL dan 1 mL. Kemudian diambil 1 mL dan
ditambahkan 3 mL methanol p.a, 0,2 mL AlCL 3 dan ditambahkan 0,2 mL kalium
asetat 1 M, diaddkan aquades 10 mL, diukur pada panjang absorbansi maksimum
(Serli, 2019).
2. Penentuaan Panjang Gelombang Maksimum
Larutan induk 100 ppm kemudian diambil 1 mL dan dimasukkan ke dalam
labu takar 10 mL, Kemudian diambil 1 mL dan ditambahkan 3 ml methanol p.a,
0,2 mL AlCL3 dan ditambahkan 0,2 mL kalium asetat 1 M, diaddkan aquades 10
mL, diukur pada panjang absorbansi maksimum, Selanjutnya dilakukan
pengukuran dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 400
hingga 600 nm untuk penentuan panjang gelombang maksimum (Serli, 2019).
3. Penentapan Kadar Flavonoid Ekstrak
Ditimbang 10 mg ekstak , dilarutkan dalam methanol p.a sebanyak 5 mL,
dimasukan ke dalam labu ukur 10 mL, diencerkan hingga tanda tera dan dikocok
sampai homogen. Larutan induk asam galat 1000 ppm diambil masing-masing
0,2 mL; 0,4 mL; 0,6 mL; 0,8 mL dan 1 mL. Kemudian diambil 1 mL dan
ditambahkan 3 ml methanol p.a, 0,2 mL AlCL3 dan ditambahkan 0,2 mL kalium
asetat 1 M, diaddkan aquades 10 ml, diukur pada panjang absorbansi maksimum
(Serli, 2019).

3.7.6 Pengelompokan Hewan Uji


Hewan uji dibagi menjadi 4 kelompok uji, pengelompokkan hewan uji
dilakukan secara acak lengkap dengan jumlah mengikuti rumus Federer, yaitu
(Kusuma dkk., 2016) :
( n – 1 ) ( t – 1 ) ≥ 15
( n – 1 ) ( 6 – 1 ) ≥ 15
(n – 1 ) (5) ≥ 15
5n – 5 ≥ 15
5n ≥ 15 + 5
20
n≥ 5

n≥ 4
Keterangan
:
n = Jumlah subyek tiap kelompok
t = Jumlah kelompok perlakuan
Berdasarkan rumus Federer, untuk 6 kelompok uji, setiap kelompok uji
minimal terdiri dari 4 hewan uji namun untuk meminimalkan terjadinya kesalahan
yang tidak diinginkan saat pengujian maka hewan uji yang digunakan sebanyak 5
ekor tiap kelompok. Kelompok tersebut terdiri dari kelompok normal, kelompok
perlakuan, kelompok kontrol positif (ekstrak meniran komersial®) dan kelompok
kontrol negatif (Na-CMC 0,5%). Kelompok kontrol positif digunakan sebagai
kelompok pembanding untuk melihat perbandingan pengaruh ekstrak dengan
obat/suplemen yang telah diketahui efektif dalam meningkatkan daya tahan tubuh,
sedangkan kelompok kontrol negatif digunakan untuk melihat perbandingan kadar
CD8 pada hewan uji antara kelompok yang diberikan perlakuan dan yang tidak
diberikan perlakuan.

3.7.7 Aklitimasi Hewan Uji


Tikus diadaptasikan dengan lingkungan kandang selama 7 hari.
Aklitimasi yang dilakukan bertujuan untuk memberikan adaptasi pada tikus putih
(Rattus norvegicus) terhadap lingkungan yang baru. Tikus diletakkan dalam
kandang yang berisi sekam, berfungsi untuk menyerap kotoran tikus dan diberi
makan dan minum Masing-masing kandang berisi 6 ekor tikus dimana standar
minimal penggunaan hewan uji pada setiap kelompok adalah sebanyak 5 ekor
(Nurfaat, 2016). Tikus yang digunakan adalah tikus sehat yang memperlihatkan
perilaku normal. Apabila terdapat hewan coba yang sakit atau mati,atau BB turun
> 10%, maka akan dikeluarkan dari penelitian (Annisa dan Hasanah, 2015).

3.7.8 Penyiapan Bahan


a. Pembuatan Suspensi Na-CMC 0,5%
Serbuk Na-CMC ditimbang sebanyak 500 mg, kemudian dilarutkan
dalam sebagian akuades hangat, diaduk dan ditambah akuades sambil terus
diaduk. Setelah larut semua sisa akuades ditambahkan sampai didapatkan volume
larutan Na-CMC 100 mL (Zikriah, 2014).
b. Pembuatan Sediaan Uji
Sediaan uji dibuat dengan cara mensuspensikan ekstrak uji ke dalam Na-
CMC 0,5% (Parlinaningrum dkk., 2014) dengan volume pemberian disesuaikan
dengan berat badan hewan uji. Suspensi yang telah siap diberikan peroral ke
hewan uji (Wahyuni dkk., 2017).
c. Pembuatan Sediaan Pembanding
Sediaan pembanding yang digunakan adalah Stimuno®. Sediaan
pembanding stimuno® diberikan dalam bentuk suspensi dalam Na-CMC 0,5%
sesuai dosis oral efektif manusia 50 mg. Dosis pemberian pada tikus
dikonversikan berdasarkan perhitungan konversi dosis.
d. Perlakuan Hewan Uji
Sebanyak 24 ekor tikus sehat dibagi menjadi 4 kelompok secara acak.
Perlakuan hewan uji dilakukan setiap 1 hari sekali selama 7 hari secara peroral
sesuai volume pemberian (Wahyuni dkk., 2017) dengan ketentuan masing-masing
sebagai berikut :
KN : kelompok normal tanpa perlakuan
K+ : kelompok kontrol positif diberikan stimuno®
K- : kelompok kontrol negatif diberikan Na-CMC 0,5 %
K1 : kelompok uji 1 diberikan ekstrak dosis 200 mg/kgBB
K2 : kelompok uji 2 diberikan ekstrak dosis 300 mg/kgBB
K3 : kelompok uji 3 diberikan ekstrak dosis 400mg/k

3.7.9 Penyiapan Bakteri Uji


a. Sterilisasi Alat
Semua alat yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu
dibersihkan kemudian dikeringkan. Cawan petri dibungkus dengan kertas buram.
Setelah itu, peralatan yang tahan panas disterilkan dalam oven pada suhu 160-180
°C selama 2 jam dan untuk alat- alat yang tidak tahan panas disterilkan dalam
autoklaf dengan suhu 121°C pada tekanan 1 atm selama 15 menit (Tandah, 2016)

.
b. Pembuatan Media
Pembuatan media dilakukan dengan cara menyiapkan bahan-bahan untuk
medium yaitu dengan menimbang media Nutrient Agar (NA) sebanyak 2,3 g
kemudian dilarutkan dengan akuades sebanyak 100 mL dalam erlenmeyer
kemudian ditutup dengan alumunium foil. Selanjutnya dipanaskan dan diaduk
menggunakan magnetik stirer hingga mendidih. Kemudian disterilkan dalam
autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 15 Psi selama 15 menit (Irdawati dkk.,
2010).
c. Penyiapan Bakteri Uji
Bakteri uji yang digunakan adalah bakteri Staphylococcus aureus yang
dibiakkan dari stok bakteri ke media Nutrient Agar (NA) miring yang masih baru.
Kemudian diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 24 jam (Santoso dkk., 2014).
d. Pembuatan standar kekeruhan larutan (Mc. Farland)
Larutan Mc. Farland dibuat dengankomposisi larutan asam sulfat
sebanyak 9,95 mL dicampurkan dengan larutan BaCl2 1% sebanyak 0,05 mL
(Ginting, 2012; Assidqi, dkk., 2012). dimana larutan standar tersebut setara
dengan kepadatan bakteri 150 x 106 CFU/mL (Ilyas, dkk., 2019). Larutan tersebut
dimasukkan kedalam Erlenmeyer kemudian dikocok sampai terbentuk larutan
yang keruh. Kekeruhan ini dipakai sebagai standar kekeruhan suspensi bakteri uji.
e. Penyiapan Suspensi Bakteri Uji
Bakteri Staphylococcus aureus yang telah diinkubasi selama 24 jam,
disuspensikan dalam NaCl fisiologis 0,9%. Kekeruhan bakteri diukur sesuai
dengan standar Mc Farlan 0,5. (Wahyuni dkk., 2017; Arista dkk., 2013).

3.7.10 Uji Fagositosis


a. Perlakuan Uji Fagositosis
Pada hari ke delapan setiap mencit diinfeksi dengan 0,5 mL suspensi
bakteri SA secara intraperitoneal, dibiarkan selama satu jam. Mencit dianastesi
dengan eter lalu dibedah perutnya dengan menggunakan gunting bedah dan pinset
steril. Jika ditemukan cairan peritoneum dalam jumlah sedikit pada perut, maka
ditambahkan larutan Phosphat buffered saline (PBS) pH 7,8 steril sebanyak 1-2
mL, digoyang-goyangkan secara perlahan kemudian diambil cairan peritoneum
dengan spoit 1 cc. Cairan peritoneal dipulas pada gelas obyek dan difiksasi
dengan metanol selama 5 menit, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Giemsa
10%, didiamkan 20 menit, dibilas dengan air mengalir. Setelah sediaan kering,
dilihat di bawah mikroskop menggunakan minyak emersi dengan perbesaran
(10x–1000x) (Ilyas dkk., 2019).
b. Menghitung Aktivitas Fagositosis
Aktivitas imunostimulan ditentukan dengan menghitung aktivitas
fagositosisnsel makrofag peritonium tikus. Nilai aktivitas fagositosis (SPA)
adalah persentase sel makrofag yang aktif melakukan proses fagositosis di antara
100 sel makrofag (Wahyuni dkk., 2019).
Jumlah Sel Makrofag Aktif
Aktivitas Fagositosis x 100 %
= Jumlah Sel Makrofag
Total

3.7.11 Uji Kadar CD8 dengan Elisa kit Sandwich


a. Pengambilan Darah dan Penyimpanan
Pada hari ke-8 pengujian setiap tikus diinfeksi dengan 0,5 mL suspensi
bakteri Staphylococcus aureus melalui injeksi intraperitoneal dibiarkan selama 1
jam (Wahyuni dkk., 2017). Tikus dianastesi dengan eter lalu diambil sampel darah
pada bagian vena ekor lateral. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam
tabung vacutainer yang berisi antikoagulan EDTA 0,1% dan disentrifugasi pada
3000 rpm pada suhu 25ºC selama 20 menit, plasma yang muncul dimasukkan ke
dalam tabung eppendorf lalu disimpan pada suhu -20˚C sampai waktu
pemeriksaan CD8 dengan ELISA (Rangaraj dkk., 2014 ; Hartati dkk., 2013).
b. Pengukuran Kadar CD8
Pada hari ke-8 pengujian setiap tikus diinfeksi dengan 0,5 mL suspensi
bakteri Staphylococcus aureus melalui injeksi intraperitoneal dibiarkan selama 1
jam (Wahyuni dkk., 2017). Tikus dianastesi dengan eter lalu diambil sampel darah
pada bagian vena ekor lateral. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam
tabung vacutainer yang berisi antikoagulan EDTA 0,1% dan disentrifugasi pada
3000 rpm pada suhu 25ºC selama 20 menit, plasma yang muncul dimasukkan ke
dalam tabung eppendorf lalu disimpan pada suhu -20˚C sampai waktu
pemeriksaan CD8 dengan ELISA (Rangaraj dkk., 2014 ; Hartati dkk., 2013).
Berdasarkan Kit ELISA CD8, penyimpanan sampel darah tikus yaitu:
1. Sampel yang dapat digunakan pada kit ELISA ini adalah sampel plasma
EDTA, plasma heparin, plasma natrium sitrat; serum; atau kultur supernatan
sebanyak 50 mL.
2. Simpan sampel yang akan diuji pada suhu 2-8°C untuk penyimpanan selama
24 jam. Untuk penyimpanan jangka panjang simpan beku sampel pada suhu -
2°C sampai -8°C.
3. Hindari siklus simpan beku secara berulang saat menyimpan sampel
4. Sampel uji dan standar harus diuji sebanyak dua kali setiap kali ELISA
dilakukan.
5. Secara bertahap seimbangkan sampel ke suhu kamar sebelum memulai
pengujian. Jangan menggunakan waterbath untuk mencairkan atau
memanaskan sampel.
6. Sampel dicampur dengan membalik tabung secara perlahan.
7. Jika sampel menggumpal, hemolisis, lipemik atau terkontaminasi mikroba,
atau jika integritas sampel terganggu, buat catatan pada templat dan
interpretasikan hasilnya dengan hati-hati.

Pengukuran kadar CD8 pada sampel plasma darah tikus dilakukan


menggunakan kit ELISA CD8 (Rat). Adapun prosedur kerjanya yaitu sebagai
berikut :Persiapkan semua reagen, larutan standar dan sampel. Tempatkan semua
reagen pada suhu ruang sebelum digunakan. Lakukan perlakuan dalam suhu
ruang.
1. Tambahkan 50 µl standar pada sumur standar. Catatan : jangan tambahkan
antibodi pada sumur standar karena larutan standar sudah mengandung
antibodi terbiotinasi.
2. Tambahkan 40µl sampel pada sumur sampel lalu tambahkan 10µl antibodi
anti CD8 pada sumur sampel, kemudian tambahkan Streptavidin-HRP pada
sumur sampel dan sumur standar (tidak pada sumur kosong). Campur dan
homogenkan. Tutup plat dengan pembungkus lalu inkubasi selama 60 menit
pada suhu 37oC.
3. Buka pembungkus dan cuci plat lima kali dengan menggunakan buffer
pencuci. Bilas sumur dengan buffer pencuci sebanyak sekitar 0,35 ml selama
30 deik sampai 1 menit untuk setiap pencucian.
4. Tambahkan 50µl larutan substrat A pada tiap sumur lalu tambahkan 50µl
larutan substrat B pada tiap sumur. Inkubasi plat yang sudah ditutupi dengan
pembungkus baru selama 10 menit pada suhu 37oC pada ruang gelap.
5. Tambahkan 50µl larutan stop pada tiap sumur, warna biru akan berubah
menjadi kuning.
6. Ukur densitas optik menggunakan microplate reader pada panjang
gelombang 450 nm 10 menit setelah penambahan larutan stop.
7. Pengukuran Absorbansi
8. Evaluasi plate ELISA dilakukan dalam 10 menit setelah reaksi dihentikan.
Ukur absorbansi pada plate reader ELISA yang telah ditetapkan pada panjang
gelombang 450 nm.

3.8 Analisis Data


Metode statistik yang banyak digunakan untuk menganalisis data dari
suatu percobaan yang terancang adalah teknik analisis ragam atau sering disebut
dengan ANOVA. Analisis ragam adalah sebuah metode untuk memeriksa
hubungan antara dua atau lebih set data. Dengan kata lain ada hubungan antara
set data dengan melakukan analisis varians. Analisis varian kadang-kadang
disebut sebagai F-test. Suatu ciri analisis ragam adalah model ini
terparameterisasikan secara berlebih, artinya model ini mengandung lebih banyak
parameter dari pada yang dibutuhkan untuk mempresentasikan pengaruh-
pengaruh yang diinginkan. Salah satu tipe dari analisis ragam adalah analisis
varians satu jalur atau juga dikenal dengan istilah one-way ANOVA (Fajrin dkk.,
2016).
Data diolah menggunakan aplikasi SPSS (Statistical Product and Service
Solution). Analisa kadar CD8 dilakukan menggunakan metode Analysis of
Variance (ANOVA) one-way dengan syarat terdistribusi normal,dengan taraf
kepercayaan 95% dan tingkat signifikansi (tingkat kesalahan 5% (α = 0,05)).
ANOVA One-Way digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan efek karena
perlakuan yang berbeda antar 4 kelompok. Perbedaan dinyatakan signifikan
apabila p< 0,05 (Hartati dkk., 2013).
3.9 Jadwal Penelitiaan
Pelaksanaan penelitian ini diperkirakan akan berlangsung selama 3 bulan
dengan jadwal kegiatan pada tabel 3
Bulan ke-
Kegiatan I II III IV V VI
Pengumpulan sampel
Preparasi sampel
Ekstraksi
Skrining fitokimia dan uji
karakteristik ekstrak
Uji kadar Flavoinoid dan
fenolik total
Uji fagositosis dan kadar
CD8
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Sampel


Determinasi tumbuhan sangat penting dalam suatu penelitiaan kerena
merupakan proses untuk menetapkan atau memastikan spesifikasi suatu tumbuhan
dengan membandingkan terhadap tumbuhan lain yang telah dikenal atau diketahui
sebelumnya (Rantika dkk., 2019). Sehingga dengan hal tersebut perlu dilakukan
determinasi tumbuhan Etlingera rubroloba A.D. Poulsen dilakukan untuk
memastikan kebenaran sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Determinasi
sampel dilakukan di labolatorium pendidikan Biologi, Universitas Halu Oleo.
Hasil determinasi menunjukkan bahwa tumbuhan yang diteliti merupakan
tumbuhan Etlingera rubroloba A.D. Poulsen. Rincian determinasi sampel dapat
dilihat pada Lampiran 2.

4.2 Penyiapan Sampel


Sampel rimpang E. rubroloba A.D. Poulsen yang digunakan pada
penelitian ini diperoleh dari Desa Punggaluku, Kecamatan Laeya, Kabupaten
Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Buah E. rubroloba A.D. Poulsen
yang dikumpulkan sebanyak 5 kg. Rimpang E. rubroloba A.D. Poulsen
kemudiaan dilakukan sortasi basah, tujuaan dilakukanya sortasi basah untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari tumbuhan
sebelum pencucian dengan cara membuang bagian-bagian yang tidak perlu
seperti tanaman inang, sehingga didapatkan rimpang yang layak untuk digunakan.
Cara ini dapat dilakukan secara manual mengunakan tangan. Proses pencucian
bertujuaan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada
tumbuhan. Pencucian dilakukan dengan air bersih dan sebaiknya pada air yang
mengalir (Mayasari dan Melfin, 2018).
Perajangan dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan hal ini
disebabakan karena jika ukuran sampel semakin kecil maka luas permukaanya
akan semakin besar sehingga akan membantu memperbesar sudut kontak antara
matahari dan sampel. Untuk sampel yang keras seperti rimpang perajangan bisa
mengunakan bantuaan mesin sedangakan untuk sampel seperti daun dan buah
proses perajangan bisa mengunakan pisau (Amelia dkk., 2016). Selanjutnya
dilakukan pengeringan yang bertujuaan untuk mengurangi kadar air dalam
sampel, sehinggan simplisia yang terbentuk tidak akan mudah ditumbuhi mikroba.
Jika pengeringan mengunakan cahaya matahari sebaiknya ditutup mengunakan
kain hitam, karena kain hitam menyerap kalor dari matahari dengan sempurna,
sehingga panas akan mengenenai sampel dengan sempurna (Kawiji dkk., 2010).
Kemudiaan dilakukan sortasi kering untuk memisahkan benda-benda asing seperti
bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan seperti simplisia yang rusak atau
tidak berkulitas dan pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal
pada simplisia kering. Proses ini dilakukan secara manual mengunakan tangan.
Simplsia yang telah jadi kemudiaan disimpang dalam wadah yang cocok . Wadah
yang cocok untuk penyimpanan adalah wadah yang inert seperti wadah kaca.
Penyimpanan simplisia kering biasanya dilakukan pada suhu kamar (15 0 C sampai
300 C) (Wahyuni dkk., 2014 dan Patin dkk., 2018).

4.3 Ekstraksi
Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitiaan ini adalah metode
maserasi. Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan.
Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri . Metode maserasi
dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat termolabil
(Mukhriani, 2014). Maserasi dilakukan dengan memasukkan simplisia tanaman
dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar
(Amelinda dkk., 2018). Ekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan
etanol 96% selama 3x24 jam pada suhu kamar (Saputra dkk., 2018).
Pemilihan etanol 96% sebagai pelarut karena etanol merupakan pelarut
organik dengan polaritas medium dengan sifat mudah menguap. Etanol
merupakan pelarut paling aman karena tidak beracun (Amelinda dkk., 2018).
Pelarut etanol 96% tidak mudah ditumbuhi mikroorgansime seperti kapang dan
kuman, tidak beracun dan netral netral. Selain itu metabolit sekunder yang
berefek farmakologis sebagai imunomodulator yaitu flavonoid larut dalam etanol
96% (Endrawati dan Feni, 2016). Hasil maserasi berupa maserat diuapkan dengan
rotary evaporator pada suhu 50oC hingga diperoleh ekstrak yang dapat dituang
dan masih mengandung pelarut dalam volume yang sedikit. Penguapan pelarut
ekstrak dilanjutkan dengan menggunakan waterbath dengan suhu 50oC hingga
diperoleh ekstrak kental (Cahyani, dkk., 2019).

4.4 Skrining Fitokimia


Skrining fitokimia merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi kandungan senyawa metabolit sekunder suatu bahan alam.
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan yang dapat memberikan
gambaran mengenai kandungan senyawa tertentu dalam bahan alam yang akan
diteliti. Metode skrining fitokimia secara kualitatif dapat dilakukan melalui reaksi
warna dengan menggunakan suatu pereaksi tertentu. Hal penting yang
mempengaruhi dalam proses skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan
metode ekstraksi. Pelarut yang tidak sesuai memungkinkan senyawa aktif yang
diinginkan tidak dapat tertarik secara baik dan sempurna (Rissa dkk., 2018,
Agustina dkk, 2017). Hasil skiring fitokimia rimpang E. rubroloba dapat dilihat
pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil skiring fitokimia rimpang E. rubroloba


Uji
Kandungan Pereaksi Hasil Kesimpulan
Senyawa

Flavonoid Mg + Hcl Terbentuk warna merah bata Positif


Alkaloid Dragendrorf Terbentuk merah kecoklatan. Positif
Tanin FeCl3 Terbentuk warna hijau Positif

Libermann Terbentuk Warna Coklat


Terpenoid Buchard Kemerahan Positif
Saponin Air + HCl 2 N Terbentuk Busa Stabil Positif
Skrining fitokimia yang dilakukan untuk mengidentifikasi senyawa
flavonoid dalam sampel rimpang Etlingera rubroloba yaitu dengan cara
penambahan reagen HCl dan logam Mg untuk mereduksi inti benzopiron yang
terdapat dalam senyawa flavonoid sehingga terbentuk warna merah tua jingga
pada senyawa tersebut (Agustina dkk, 2017).
Hasil rimpang Etlingera rubroloba yang diperoleh positif mengandung
saponin. Saponin bersifat polar sehingga dapat larut dalam pelarut seperti air dan
saponin juga bersifat non polar karena memiliki gugus hidrofob yaitu aglikon
(sapogenin). Busa yang dihasilkan pada uji saponin disebabkan karena adanya
glikosida yang dapat membentuk busa dalam air dan terhidrolisis (Agustina dkk,
2017 ).
Uji alkaloid menunjukkan hasil positif dengan pereaksi Dragendorff
menghasilkan endapan jingga hingga merah kecokelatan. Pada reaksi ini terjadi
penggantian ligan dimana nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas
pada alkaloid membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion K+ dari kalium
tetraiodobismutat menghasilkan kompleks kalium-alkaloid yang mengendap
(Habibi dkk., 2018).
Uji steroid dan terpenoid menggunakan pereaksi Liebermann-Bouchard,)
menunjukkan hasil positif dengan adanya perubahan warna menjadi merah
kecoklatan untuk steroid dan coklat-ungu untuk terpenoid. Reaksi terpenoid
dengan pereaksi Liebermann menghasilkan warna merah-ungu sedangkan steroid
memberikan warna hijau-biru. Hal ini didasari oleh kemampuan senyawa
terpenoid dan steroid membentuk warna oleh H2SO4 dalam pelarut asam asetat
anhidrid. Perbedaan warna yang dihasilkan oleh terpenoid dan streoid disebabkan
perbedaan gugus pada atom C-4 (Habibi dkk., 2018).
Uji tanin mengunakan perekasi FeCl3 menunjukan hasil dengan warna
hijau kehitaman dan biru kehitaman setelah ditambahkan FeCl3, jika berwarna
hijau biru (hijau-hitam) berarti positif adanya tanin katekol sedangkan jika
berwarna biru hitam berarti positif adanya tanin pirogalol ( Muthmainnah, 2017)
Berdasarkan hasil skrining fitokimia sampel rimpang E.rubroloba seperti
pada tabel 4.1 positif mengandung flavonoid, tannin, saponin, alkaloid dan
terpenoid. Hal ini selaras dengan penelitiaan yang dilakukan oleh Ilyas dkk (2020)
dalam hasil skrining fitokimia buah E.rubroloba menunjuhkan hasil yang sama
yaitu positif mengandung flavonoid, tannin, saponin, alkaloid dan terpenoid.

4.5 Karateristik Ekstrak


Besarnya potensi rimpang E. rubroloba sebagai obat, maka perlu
dilakukan standardisasi ekstrak E. rubroloba. Tujuan dari standardisasi sendiri
adalah menjaga stabilitas dan keamanan, serta mempertahankan konsistensi
kandungan senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia maupun ekstrak
(Utami dkk., 2017). Penentuan karakteristik ekstrak yang dilakukan meliputi
parameter spesifik (kadar sari larut etanol dan kadar sari larut air) dan parameter
non spesifik (kadar abu dan kadar air). Hasil Karakterisasi ekstrak dapat dilihat
pada Tabel 4.2

4.2. Hasil Karakterisasi ekstrak E. rubroloba


Jenis Karakterisasi Hasil Pustaka (Depkes RI,
karakterisasi 2000)
(%)
Kadar Air 7,33 % ≤ 10

Kadar Abu 5,56% <7

Kadar Sari Larut Air 56,3% -

Kadar Sari Larut Etanol 67,48% -

Pemeriksaan kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral


baik eksternal maupun internal dalam simplisia yang akan kita uji. Prosesnya
melalui pemanasan sampai terbentuk abu yang mengindikasikan yang tersisa
adalah bagiat zat anorganik saja. Berdasarkan hasil karakterisasi kadar abu
diperoleh nilai kadar abu yang diperoleh sebesar 5,56%, yang menunjukan bahwa
ekstrak tidak tercemar logam-logam dan telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan yaitu kadar abu ekstrak tidak lebih dari 7% (Depkes, 2008).
Penentuan kadar sari larut air dan etanol bertujuan untuk menunjukkan
jumlah bahan-bahan yang dapat disari oleh air maupun etanol, sehingga dapat
memberikan gambaran mengenai besarnya bahan-bahan yang terlarut dan bagian
yang dimanfaatkan sebagai bahan obat. Berdasarkaan pengujian yang dilakukan
maka diperoleh hasil kadar sari larut etanol dan kadar sari larut air ekstrak etanol
rimpang Etlingera rubroloba A.D Poulsen yaitu sebesar 67,48 % dan 56,3 %.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah senyawa polar yang dapat terlarut
dalam air lebih kecil daripada jumlah senyawa kurang polar (semi polar maupun
non polar) yang dapat terlarut dalam etanol. Kadar sari larut etanol dan air juga
menunjukkan senyawa kimia yang diduga berperan dalam menentukan efek
farmakologi. Semakin tinggi persentasi kadar sari maka semakin baik ekstrak
tersebut (Wahyuni dkk., 2019).
Kadar air merupakan parameter untuk menetapkan residu air setelah
proses pengeringan. Kadar air yang diperoleh pada ekstrak rimpang Etlingera
rubroloba yaitu 7,33 % , hal ini sesuai dengan syarat mutu yaitu ≤ 10%. Ekstrak
kental memilki kadar air antara 5 – 30. Penentuan kadar air juga terkait dengan
kemurnian ekstrak. Kadar air yang terlalu tinggi (> 10%) menyebabkan
tumbuhnya mikroba yang akan menurunkan stabilitas ekstrak (Utami dkk., 2017).

4.6 Penentuaan Kadar Fenolik dan Flavonoid Total


1. Penetuaan Panjang Gelombang Maksimum.
Langkah pertama dalam pengujiaan kadar fenolik dan flavonoid
total adalah melakukan penentuaan panjang gelombang maksimum. Panjang
gelombang maksimum merupakan panjang gelombang yang dapat memberikan
absorbansi maksimum pada saat pengukuran (Arikalang dkk., 2018). Berdasarkan
hasil scanning panjang gelombang maksimum pada asam galat diperoleh panjang
gelombang maksimum 700 nm dengan hasil absorbansi 0.479 dan untuk panjang
gelombang maksimum quersetin diperoleh panjang gelombang maksimum 400
nm dengan hasil absorbansi 0,55.
2. Penentuaan operating time
Tujuan penetapan operating time untuk mendapatkan waktu pengukuran
pada saat reaksi telah berjalan optimal yang ditandai dari absorbansi yang stabil,
sehingga dapat memaksimalkan pengukuran. Kenaikan absorbansi secara terus-
menerus dari menit ke menit tidak dapat dijadikan sebagai operating time karena
perubahan absorbansi masih terus berjalan, sehingga pengukuran menjadi tidak
maksimal jika dilakukan pada waktu tersebut. Sebaliknya ketika absorbansi mulai
stabil merupakan waktu yang tepat dijadikan sebagai operating time (Arikalang
dkk., 2018). Hasil penentuan operating time flavonoid dan fenolik dapat dilihat
pada Lampiran 8 .
3. Pembuatan Larutan Kurva Baku
Kurva baku atau kurva kalibrasi adalah kurva yang diperoleh dengan
memplotkan nilai absorbansi dengan konsentrasi larutan standar yang diukur pada
panjang gelombang maksimum. Kurva ini merupakan hubungan antara absorbansi
dengan konsentrasi (Aryasa dkk., 2018). Kurva standar kuersetin dibuat dengan
cara mengukur absorbansi larutan kuersetin pada konsentrasi 2, 4, 6, 8 dan 10
μg/mL (ppm) pada panjang gelombang maksimum yaitu 400 nm. Hasil
pengukuran absorbansi larutan standar kuersetin dapat dilihat pada gambar 4.1.

Kurva Standar Kuersetin


0.300
y = 0.0182x + 0.0579 R² = 0.9932
Absorbansi (µg/mL)

0.250
0.200
0.150
0.100
0.050
0.000

0246810 12
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.1 : Kurva Standar Kuersetin


Kurva standar asam galat dibuat dengan cara mengukur absorbansi larutan
asam galat pada konsentrasi 10, 20, 30, 40 dan 50 μg/mL (ppm) pada panjang
gelombang maksimum yaitu 700 nm.

Kurva Standar Asam Galat


Absorbansi (µg/mL) 0.500
0.400
0.300 y = 0.061x + 0.143 R² = 0.975
0.200
0.100
0.000

0246
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.2 : Kurva Standar Asam Galat

4. Penetapan Kadar Fenolik Dan Flavonoid Total


Senyawa fenolik adalah senyawa yang memiliki gugus hidroksil yang
menempel pada cincin aromatik. Penetapan kadar fenol total dalam ekstrak dapat
dilakukan dengan pereaksi Folin Ciocalteu . Metode Folin-Ciocalteu merupakan
metode yang umum digunakan sebagai standar penentuan kandungan fenolik total
karena merupakan metode yang cepat dan sederhana yang dinyatakan sebagai
masa ekuivalen asam galat tiap mg sampel (Fu dkk, 2011).
Larutan standar atau pembanding yang digunakan dalam analisis kadar
fenolik total yakni asam galat yang merupakan salah satu fenolik alami dan stabil.
Digunakan asam galat sebagai larutan standar karena merupakan salah satu fenol
alami dan stabil, serta relatif murah dibanding lainnya. Asam galat termasuk
dalam senyawa fenolik turunan asam hidroksibenzoat yang tergolong asam fenol
sederhana. Asam galat menjadi pilihan sebagai standar ketersediaan substansi
yang stabil dan murni (Ahmad dkk., 2015).
Prinsip reaksi pada metode Folin-Ciocalteu adalah ion fenolat akan
mereduksi asam fosfomolibdat-fosfotungstat dalam suasana basa menjadi
senyawa kompleks molybdenum-tungsten berwarna biru. Ion fenolat dibentuk
melalui disosiasi proton dalam suasana basa yang didapatkan dari suatu senyawa
alkali. Semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka ion fenolat yang
terbentuk pun semakin banyak, sehingga semakin banyak pula ion fenolat yang
mereduksi fosfomolibdat-fosfotungstat yang menyebabkan warna biru yang
terbentuk semakin pekat, hal ini menyebabkan absorbansi yang terukur pun akan
semakin besar (Wirasti,2019)..
Penetapan kadar fenolik total dapat dihitung dengan memasukkan data
nilai serapan sampel ke dalam persamaan garis linear y = ax + b yang diperoleh
dari kurva kalibrasi asam galat .Kadar fenolik total ekstrak etanol rimpang E.
rubroloba dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3 : Kadar Fenolik Total


Kandungan Kandungan
Absorbansi
Rata-rata Fenolik Fenolik
1 2 3 Awal (mg/L) Total (mgEAG/g)

0,716 0,742 0,728 0,729 9,606 96,06

Penentuan kadar flavonoid total ini dilakukan dengan menggunakan


metode chang dan sebagai pembanding digunakan larutan baku standar kuarsetin.
Analisis kuantitatif senyawa flavonoid total dengan menggunakan
spektrofotometri UV-Vis dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kadar
flavonoid total yang terkandung pada ekstrak etanol buah Etlingera rubroloba
A.D Poulsen. Penggunaaan Spektrofotometri UV-Vis dalam analisis tersebut
dikarenakan flavonoid mengandung senyawa aromatik yang terkonjugasi sehingga
menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum sinar ultraviolet dan
spektrum sinar tampak.
Senyawa flavonoid diduga memiliki sifat imunostimulan dengan memicu
prolifersai sel makrofag dan limfosit. Peningkatan jumlah sel limfosit T dapat
memicu peningkatan aktivitasi makrofag sehingga akan memicu peningkatan
sekresi sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-12 dan TNF alpha yang dapat meningkatkan
fagositosis bakteri oleh makrofag (Yusuf dkk., 2019), oleh karena itu perlu
dilakukan pengukuran kadar flavonoid total pada penelitiaan.
Prinsip penetapan kadar flavonoid total dengan metode AlCl3 adalah
terjadinya pembentukan kompleks antara AlCl3 dengan gugus keton pada atom C-
4 dan gugus hidroksida pada atom C-3 atau C-5 yang bertetangga dari golongan
flavon dan flavonol. Senyawa yang digunakan sebagai standar pada penetapan
kadar flavonoid total ini adalah kuersetin, karena kuersetin merupakan flavonoid
golongan flavonol yang memiliki gugus keton pada atom C-4 dan juga gugus
hidroksil pada atom C-3 dan C-5 yang bertetangga. Pembanding positif kuersetin
menghasilkan warna ungu pada reksi ini (Wirasti,2019). Kadar flavonoid total
ekstrak etanol rimpang E. rubroloba dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut

Tabel 4.4 : Kadar Flavonoid Total


Kandungan
Absorbansi Rata- Kandungan Flavonoid
Flavonoid
rata
1 2 3 Awal (mg/L) Total (mgEQ/g)

0,098 0,094 0,097 0,096 2,166 21,66

4.7 Uji Aktivitas Imonomdulator


A. Aktifitas Fagositosis
Pengujian aktivitas imunomodulator pada penelitian ini dilakukan dengan
dua cara yaitu penentuaan aktivitas fagositosis makrofag secara mikroskopik dan
penentuaan kadar CD8 (Cluster of Differentiation 8) mengunakan metode
ELISA. Alasan pemilihan dilakukanya pengujiaan aktivitas fagositosis dan CD8
karena pentingya kedua parameter tersebut dalam pertahan sistem imun kita. Sel
sitotoksik (CD8) berperan penting dalam proses penghancuran mikroorganisme,
sedangkan makrofag merupakan lini pertama dalam pertahan tubuh dalam
melawan mikroorganisme, kedua parameter ini juga memiliki keterkaitan yaitu
CD8 dapat mengaktifkan interferon gamma sehingga dapat meningkatan aktivitas
fagositosis makrofag (Isnaeni dkk., 2012).
Hewan uji yang sudah mengalami tahap aklimatisasi kemudiaan dibagi
menjadi 6 kelompok, dimana setiap kelompok terdiri dari 4 ekor tikus, yang akan
diberikan perlakuan berbeda tiap kelompok. Kelompok kontrol negatif diberikan
suspensi Na-CMC 0,5%, kelompok positif diberikan Stimuno ® dosis 0,0069
mg/kgBB, kelompok perlakuan 1 diberikan ekstrak etanol rimpang E. rubroloba
A.D Poulsen dosisi 200 mg/kgBB, kelompok perlakuan 2 diberikan ekstrak etanol
rimpang E. rubroloba A.D Poulsen dosisi 300 mg/kgBB dan kelompok
perlakuan 3 diberikan ekstrak etanol rimpang E. rubroloba A.D Poulsen dosis 400
mg/kgBB.
Dasar pemilihan tiga variasi dosis yakni dosis 200, 300 dan 400 mg/kgBB,
berpatokan pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Ilyas dkk.
(2020) menggunakan buah Etlingera rubroloba. Berdasarkan penelitian tersebut
dosis 200, 300 dan 400 mg/kgBB menunjukan adanya peningkatan kadar CD4
pada tikus jantan galur wistar yang diinfeksi dengan bakteri Staphylococcus
aureus.
Imunomodulator pembanding atau sebagai kontrol positif yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu ekstrak komersial meniran (Phylantus niruri L.).
Meniran salah satu imunomodulator yang telah teruji secara klinik dan praklinik
dapat meningkatkan fungsi sistem imun (Sunarno, 2009). Hasil identifikasi
meniran menunjukkan bahwa ekstrak etanol herba meniran mengandung
metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid dan tannin (Kusumawati dkk.,
2017). Senyawa yang berperan sebagai imunomodulator pada meniran adalah
flavonoid, flavonoid dapat meningkatkan aktivitas IL-2 dan proliferasi limfosit.
Proliferasi limfosit akan mempengaruhi sel CD4, kemudian sel Th1 teraktivasi.
Flavonoid juga dimungkinkan dapat memicu proliferasi dan diferensiasi sel T
dan sel B yang diduga melalui produksi sitokin IL-2, IL-4, dan IL- 1. Flavonoid
jenis flavonol (kuersetin) dapat menjadi imunostimulan yang dapat memacu
peningkatan IL-2 ( Parlinaningrum dkk., 2014).
Kontrol negatif digunakan sebagai pembanding dan agen pensuspensi
kontrol positif dan ekstrak rimpang Etlingera rubroloba (Kumayas, 2016).
Penggunaan Na CMC sebagai kontrol negatif kerena dapat menghasilkan suspensi
yang stabil, kejernihannya tinggi dan bersifat inert sehingga tidak mempengaruhi
zat berkhasiat, mempunyai toksisitas yang rendah dan terdispersi di dalam air
dibandingkan dengan pensuspensi lain (Sinata dkk., 2019).
Tikus yang sudah melalui tahap pengelompokan kemudiaan diberi
perlakuaan pemberian ekstrak, stimuno maupun Na-CMC dilakukan selama 7
hari dengan rute pemebriaan oral. Ekstrak, stimuno maupun Na-CMC diberikan
selama 7 hari berturut-turut secara per oral sebanyak satu kali sehari dengan
tujuan untuk menstimulasi system imun dari hewan uji (Ilyas dkk., 2020).
Pemilihan rute secara oral karena pemberian secara oral merupakan rute yang
paling umum digunakan karena relatif lebih aman dan keuntungan lainnya
seperti kemudahan penggunaannya, sangat fleksibel, dan dosis yang akurat
(Safitri dkk., 2019). Pada hari ke 8 hewan coba diinfeksikan dengan bakteri
Staphylococcus aureus (150 x 106 CFU) sebanyak 0,5 mL secara intraperitoneal.
Infeksi dengan rute ini lebih efektif dalam menginfeksi organ bagian dalam. Di
daerah peritoneal lebih banyak mengandung sel-sel polimorfonuklear dan
makrofag (Felistiani, 2017).
Tujuaan penginfeksian S. aureus adalah sebagai antigen yang dapat
dikenali oleh makrofag. Bakteri ini dinding selnya terdiri dari peptidlogikan
dimana akan dikenali oleh reseptor TLR2 (Toll Like Reseptor) pada permukaan
sel makrofag (Bratawijaya dan Rengganis 2014). TLR2 berfungsi sebagai
molekul stimulator untuk aktivasi CD8, TLR2 akan membantu CD8 dalam
proses penyimpanan memori dan meregulasi toleransi limfosit T (Lee dkk.,
2009). Stimulasi TLR2 juga mampu meninduksi CD8 untuk memproduksi
sitokin yaitu interferon gamma (sitokin utama dalam pengaktivan makrofag naif )
(Imanishi dkk., 2020). S. aureus merupakan bakteri gram positif yang mampu
mengikat pewarna giemsa dengan jelas dan berbentuk bulat (kokus) yang
memudahkan saat penghitungan kapasitas fagositosis makrofag (Rosnizar dkk.,
2017).
Dalam proses fiksasi cairan peritoneum tikus akan diwarnai dengan
pewarna giemsa. Giemsa sangat baik untuk mengidentifikasi berbagai sel
granulosit dan sel-sel darah lainnya, menghasilkan gambaran inti yang jelas. dan
keunggulan utama Giemsa ialah lebih tahan lama dalam iklim tropis
dibandingkan perwarna lain seperti Wright (Ardina, 2018). Giemsa merupakan
zat warna yang terdiri dari eosin, metilen azur dan metilen blue yang memberi
warna merah muda pada sitoplasma dan warna lembayung tua pada inti. Hasil
dari pewarnaan giemsa menunjukkan adanya pewarnaan pada inti sel makrofag
yang ditandai dengan perubahan warna menjadi ungu kebiruan (Rosnizar dkk.,
2017).
Selanjutnya kaca preparat dapat diamati di bawah mikroskop perbesaran
1000x. Perbedaan antara makrofag aktif dan tidak aktif dapat dilihat pada
Gambar 4.3 yang merupakan apusan darah tipis yang diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 1000x

Gambar 4.3 : Apusan Darah Tipis Perbesaran 1000x


(a) Makrofag Aktif, (b) Makrofag Tidak Aktif

Berdasarkan hasil pengamatan preparat apus yang dilakukan di bawah


mikroskop, seperti pada (Gambar 4.3) menunjuhkan sel makrofag aktif berbentuk
amoeboid (tidak beraturan), ukuran inti relatif lebih besar dengan penjuluran
pseudopodi yang sangat bervariasi, fagosomnya muncul membran yang menjadi
lebih berliku-liku, lisosom menjadi lebih banyak, aparat golgi membesar dan
retikulum endoplasma kasar berkembang sedangkan sel yang tidak aktif tampak
bulat dengan ukuran inti sel lebih kecil (Ilyas dkk., 2020, Bratawidjaja, 2014).
Kemampuan aktivitas fagositosis makrofag dilakukan dengan menghitung
nilai aktivitas fagositosis makrofag peritonim tikus. Nilai aktivitas fagositosis
makrofag peritonium tikus dapat dihitung dari makrofag yang aktif melakukan
fagositosis diantara 100 jumlah sel yang dinyatan dalam bentuk persen (Wahyuni
dkk., 2017). Aktivitas fagositosis makrofag rimpang E. rubroloba dapat dilihat
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Presentase Aktivitas Fagositosi Sel Makrofag.
Aktivitas Fagositosis Rata-
kelompok/ perlakuan Makrofag (%) Rata
1 2 3 4 (%)
Kontrol negatif (Na-CMC
0,5%) 49% 45% 40% 46% 45 %
kontrol positif (Stimuno) 70% 79% 80% 77% 76,5%
Dosis 200 mg/kgBB 74% 76% 79% 80% 77.25%
Dosis 300 mg/kgBB 79% 80% 86% 81% 81.5%
Dosis 400 mg/kgBB 70% 74% 78% 76% 74.5%

Berdasarkan tabel 4.5 kontrol positif memiliki rata-rata persentase


aktivitas fagositosis yang lebih tinggi dibandingkan kelompok negatif, karena
stimuno yang mengandung ekstrak meniran yang telah teruji berkhasiat sebagai
imunomodulator sehingga memiliki rata-rata persentase yang lebih tinggi dalam
meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag, sedangkan kelompok negatif hanya
diberikan suspensi Na CMC 0,5 % sehingga aktivitas fagositosis hanya berasal
dari imunitas alami hewan uji (Rosnizar dkk., 2017).
Pemberian ekstrak rimpang E. rubroloba dosis 200 dan 300 mg/kg BB
memiliki rata-rata persentase aktivitas fagositosis yang lebih tinggi dari pada
kontol positif. Pada pemberian ekstrak rimpang E. rubroloba dosis 400 mg/kg
BB aktivitas fagositosnya lebih rendah dari kelompok positif, akan tetapi nilai
persentase aktivitas fagositosinya tidak jauh berbeda dari kontrol positif. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak rimpang E. rubroloba dengan dosis dosis 200, 300
dan 400 mg/kg BB memiliki aktivitas fagositosis yang sama sama dengan ekstrak
meniran. Hal ini disebabkan adanya kadungan metabolit sekunder ekstrak E.
rubroloba berupa flavonoid, tannin, terpen, alkaloid dan saponin (Ilyas dkk.,
2020).
Penelitiaan yang dilakukan Makiyah dkk., (2016) menyatakan bahwa
flavonoid dapat direspon dengan baik oleh sistem imun tubuh, sehingga memacu
peningkatan sekresi sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel imunokompeten, antara
lain interleukin-1 dan interleukin-6 yang membantu meningkatkan aktivitas
fagositosis makrofag. Saponin merupakan senyawa kimia yang dapat
meningkatkan aktivitas sistem imun tubuh. Saponin merupakan senyawa kimia
yang mempunyai sifat anti bakteri dan anti virus. Saponin juga telah diteliti dapat
mengurangi penggumpalan pada darah Bone dkk., (2013).
Mekanisme kerja saponin dalam memfagositosis bakteri yaitu dengan
mendanaturasi protein. Karena zat aktif permukaan saponin mirip deterjen maka
saponin dapat digunakan sebagai antibakteri dimana tegangan permukaan dinding
sel bakteri akan diturunkan dan permeabilitas membrane bakteri dirusak
Kelangsungan hidup bakteri akan terganggu akibat rusaknya membran sel.
Kemudian saponin akan berdifusi melalui membran sitoplasma sehingga
kestabilan membran akan terganggu yang menyebabkan sitoplasma mengalami
kebocoran dan keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel (Sudarmi dkk.,
2017). Alkaloid dapat menggantikan peran IFNγ dalam mempertahankan respon
kekebalan tubuh dan meningkatkan respon imunnonspesifik dalam bentuk
peningkatanresponsivitas leukosit atau respon imunspesifik untuk mengaktifkan
makrofageu ntuk melakukan fungsinya dalammelakukan fagositosis agen
infeksius yang memasuki tubuh ( Priyani, 2020).
Tanin dapat berperan sebagai imunostimulator. Tanin berperan membantu
mengoptimalkan fungsi sistem imun, sistem utama yang berperan penting dalam
mekanisme pertahanan tubuh terhadap mikroba atau penyakit. Tanin dapat
meningkatkan aktivitas fagositosis dari makrofag dalam menghancurkan mikroba
Bone dkk., (2013). Mekanisme kerja tanin dalam mefagisitosis mikroba antara
lain melalui perusakan membran sel bakteri karena toksisitas tanin dan
pembentukan ikatan komplek ion logam dari tanin yang berperan dalam toksisitas
tanin. Bakteri yang tumbuh dalam kondisi aerob memerlukan zat besi untuk
berbagai fungsi, termasuk reduksi dari prekursor ribonukleotida DNA. Adanya
ikatan antara tanin dan besi akan menyebabkan terganggunya berbagai fungsi
bakteri (Rahman dkk., 2017).
Terpenoid mempunyai mekanisme fagositosis bakteri dengan cara
pengrusakan membran sel bakteri. Kerusakan membran sel dapat terjadi ketika
senyawa aktif antibakteri bereaksi dengan sisi aktif dari membran atau dengan
melarutkan konstituen lipid dan meningkatkan permeabilitasnya. Membran sel
bakteri terdiri dari fosfolipid dan molekul protein. Adanya peningkatan
permeabilitas maka senyawa antibakteri dapat masuk ke dalam sel dan dapat
melisis membran sel atau mengkoagulasi sitoplasma dari sel bakteri tersebut
(Rahman dkk., 2017).

Grafik aktivitas fagositosis makrofag dapat dilihat pada gambar 4.4.

81.5
76.5 77.25
Aktivitas Fagositosis Makrofag (%)

90 74.5
80
70
60 45
50
40
30
20
10
0

KontrolKelompok Kelompok
Kontrol Kelompok PositifDosis 200 Dosis 300 Dosis 400 mg/kg BB mg/kg BB mg/ k
Negatif
Perlakuaan

Gambar 4.4 : Grafik Rata-rata Aktivitas Fagositosis


Sel Makrofag Setiap Kelompok Perlakuan

Data aktivitas fagositosis yang diperoleh kemudian diolah dengan


aplikasi SPSS versi 22 mengunakan metode one way ANOVA. Dalam
pengujiaan mengunakan ANOVA (Analysis Of Variance) ada dua syarat yang
harus dipenuhi yaitu data harus normal dan homogen. Pada normalitas data yang
diperoleh menggunakan Shapiro-Wilk Test karena data yang diuji kurang dari 50,
populasi data dikatakan terdistribusi secara normal apabila hasil tes Kolmogorov-
Sminov (p)> 0,05 (Rojihah dkk., 2015).
Pada pengujian normalitas Shapiro-Wilk Test menunjukkan bahwa data
terdistribusi secara normal dan pada uji homogenitas juga diperoleh data yang
homogen. Uji normalitas bertujuaan untuk melihat apakah data berdistribusi
normal atau tidak. Tingkat kenormalan data sangat penting karena dengan data
yang terdistribusi normal, maka data tersebut dianggap dapat mewakili populasi
jika nilai signifikansi yang diperoleh > 0,05. Uji homogenitas sebagai salah satu
uji syarat analisa, selain uji normalitas dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa
dua atau lebih kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki varians
yang sama jika signifikansi yang diperoleh > 0,05 (Priyono, 2014, Rojihah dkk.,
2015). Hasil data yang diperoleh yaitu dengan nilai sig. 0,946 maka dapat
dinyatakan bahwa data aktivitas fagositosis tiap kelompok bervariansi homogen,
sehingga dapat dilanjutkan pada pengujian ANOVA.
Pengujian ANOVA yang dilakukan bertujuan untuk melihat apakah
terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata lebih dari 2 kelompok dalam
hal ini potensi dan dosis efektif dari tiga variasi dosis pemberian ekstrak etanol
rimpang E. rubroloba terhadap peningkatan aktivitas fagositosis sel makrofag
(Rahmawati dan Erina, 2020). Berdasarkan hasil uji ANOVA satu arah pada
Lampiran 13 ditunjukan bahwa data memiliki nilai sig. < 0,05 yang berarti
bahwa hipotesis H0 (tidak terdapat perbedaan efek imunomodulator pada
perlakuaan pemberiaan ekstrak rimpang E. rubroloba) ditolak dan hipotesis H1
(terdapat perbedaan efek imunomodulator pada perlakuaan pemberiaan ekstrak
rimpang E. rubroloba) diterima. Untuk melihat pemberian ekstrak dosis 200,
300, dan 400 mg/kgBB efektif dalam meningkatan aktivitas fagositosis sel
makrofag maka analisis statistik dilanjutkan dengan analisis Post Hoc dengan
metode Tukey pada Tabel 4.5
Tabel 4.6 Hasil Uji Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag menggunakan Post Hoc
Tukey
Mean
Difference (I-
(I) KELOMPOK (J) KELOMPOK J) Std. Error Sig.
*
K+ K- 31,500 2,515 ,000
Kelompok dosis 200
-,750 2,515 ,998
mg/kg BB
Kelompok dosis 300
-5,000 2,515 ,317
mg/kg BB
Kelompok dosis 400
2,000 2,515 ,928
mg/kg BB
*
K- K+ -31,500 2,515 ,000
Kelompok dosis 200
-32,250* 2,515 ,000
mg/kg BB
Kelompok dosis 300
-36,500* 2,515 ,000
mg/kg BB
Kelompok dosis 400
-29,500* 2,515 ,000
mg /kg BB
Kelompok dosis 200 mg/kg K+ ,750 2,515 ,998
BB K- 32,250* 2,515 ,000
Kelompok dosis 300
-4,250 2,515 ,468
mg/kg BB
Kelompok dosis 400
2,750 2,515 ,807
mg/kg BB
Kelompok dosis 300 mg/kg K+ 5,000 2,515 ,317
BB K- 36,500* 2,515 ,000
Kelompok dosis 200
4,250 2,515 ,468
mg/kg BB
Kelompok dosis 400
7,000 2,515 ,087
mg/kg BB
Kelompok dosis 400 mg/kg K+ -2,000 2,515 ,928
BB K- 29,500* 2,515 ,000
Kelompok dosis 200
-2,750 2,515 ,807
mg/kgBB
Kelompok dosis 300
-7,000 2,515 ,087
mg/kgBB

Ket. : Nilai Sig > 0,05 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan
Nilai Sig < 0,05 artinya terdapat perbedaan signifikan

Berdasarkan pengujiaan tukey pada kelompok dosis 200, 300 dan 400
mg/kgBB dibandingkan dengan kontol positif memiliki nilai signifikan > 0,05
(tidak terdapat perbedaan signifikan) ini menujukkan bawah rimpang Etlingera
rubroloba memiliki efektivitas fagositosis sama dengan kontrol positif. Berbeda
halnya antara kelompok dosis 200, 300 dan 400 mg/kgBB dibandingkan dengan
kontrol negatif memiliki nilai signifikan < 0,05 (terdapat perbedaan signifikan)
hal ini menunjukkan aktivitas fagositosis antara ekstak Etlingera rubroloba A.D.
Poulsen dengan kontrol negatif tidak sama, sehingga kelompok ekstrak berpotensi
sebagai imunomodulator melalui aktivitas fagositosis makrofag.

B. Kadar CD8
Pengukuran kadar CD8 menggunakan metode ELISA. ELISA merupakan
tes serologi yang bergantung pada deteksi antigen dengan antibodi, dan perubahan
enzimatik warna berkorelasi dengan kehadiran antigen dan sangat sensitif.
Akurasi terhadap hasil ELISA ditentukan oleh beberapa faktor antara lain
ditentukan cara preparasi dan konsentrasi antigen yang digunakan dan metode
preparasi antigen (Sumianti dkk., 2015).
Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi sampel mengandung antigen
dengan menggunakan konjugat antibodi yang dilabel enzim. Enzim ini akan
bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat
ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan
pembacaan nilai absorbansi (OD) pada ELISA plate reader. (Iromo dan Nuril,
2014). Hasil kadar CD8 pada tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.7

Tabel 4.7 Kadar Pengukuran CD8


Kadar CD8 Rata-rata
Kelompok Absorbansi Kadar CD8
(ng/mL)
(ng/mL)
0.712 722
0.685 691.55
Kontrol Normal 684.16
0.581 576
0.735 747.11
0.353 323
0.452 432.666
Kontrol Negatif 353.78
0.348 317.111
0.371 342.666
0.557 549.33
0.596 592.66
Kontrol Positif 604.88
0.691 698.22
0.584 579.33
0.595 591.55
Kontrol Dosis 200 mg/ 0.653 656
612.66
kg BB 0.585 580.44
0.623 622.66
0.612 610.44
Kontrol Dosis 300 mg/ 0.597 573.77
650.71
kg BB 0.742 754.88
0.66 663.77
0.582 577.11
Kontrol Dosis 400 mg/ 0.62 619.33
593.49
kk BB 0.595 591.55
0.59 586

Berdasarkan Tabel 4.7 diperoleh nilai rata-rata kadar CD8 untuk masing
masing kelompok yaitu kelompok kontrol normal 684.16 ng/mL, kontrol negatif
sebesar 357.78 ng/mL, kontrol positif sebesar 604.88 ng/mL, dosis 200 mg/kgBB
sebesar 612.66 ng/mL, dosis 300 mg/kgBB sebesar 650.71 ng/mL, dan dosis 400
mg/kgBB sebesar 593.49 ng/mL. Grafik rata-rata kadar CD8 dapat dilihat pada
Gambar 4.6
684.16
650.71
700
604.88 612.66 593.49

600
Kadar CD8 (ng/mL)

500

400 353.77

300

200

100

0
KontrolKontrolKontrolKelompok Kelompok Kelompok NormalNegatifPositifDosis 200Dosis 300Dosis 400
mg/kg BB mg/kg BB mg/ kg BB
Perlakuaan

Gambar 4.5 : Grafik Rata-rata Kadar CD8 Setiap Kelompok Perlakuan.

Berdasarkan Gambar 4.5 grafik rata-rata kadar CD8 peningkatan kadar


CD8 pada kelompok kontrol positif yang diberikan ekstrak meniran komersial
(Stimuno®) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif yang
diberikan Na-CMC, hal tersebut disebabkan karena meniran salah satu
imunomodulator yang telah teruji secara klinik dan praklinik dapat meningkatkan
fungsi sistem imun (Sunarno, 2009), sedangkan pada kelompok kontrol negatif
yang diberikan Na-CMC memiliki kadar CD8 paling rendah karena mekanisme
pertahanan imunitas tubuh hewan uji hanya berasal dari imunitas alami hewan uji.
Hal ini juga menandahkan bahwa Na-CMC tidak memberikan efek farmakologis
sebagai imunomodulator (Rosnizar dkk.,2017).
Sedangkan pada grafik rata-rata setiap kelompok perlakuan dapat dilihat
bahwa terdapat perbedaan peningkatan kadar CD8. Pada kelompok kontrol
normal memiliki kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
perlakuan dosis 200, 300 dan 400 mg/kgBB hal ini disebabkan karena pada
kelompok kontrol normal tidak diberikan perlakuan apapun. CD8 adalah bagian
lain dari sel T yang diperlukan untuk membersihkan patogen intra seluler pada
mukosa. Beberapa fungsi utama sel T CD8 dalam melawan mikroorganisme yaitu
dengan cara melisis sel yang terinfeksi dipermukaan mukosa. Kadar CD8 normal
yaitu 218–1396 ng/mL (Uppal dkk., 2003).
Pada kelompok perlakuan kadar CD8 yang diperoleh lebih rendah
daripada kelompok normal hal ini kemungkinan terjadi akibat waktu
penginfeksian bakteri S.aureus hanya 1 jam lamanya, sedangkan berdasarkan
literatur sistem imun spesifik dalam hal ini sel limfosit T (Th/CD8) untuk
megalami aktivasi setelah terpapar oleh patogen penyebab infeksi dibutuhkan
waktu ≥12 jam untuk sistem imun spesifik teraktivasi sehingga dapat membantu
sel fagosit makrofag untuk melakukan fagositosis terhadap patogen yang masuk.
Sehingga pada saat pengukuran kadar CD8 kelompok perlakuan dosis memiliki
hasil yang lebih rendah daripada kelompok kontrol normal dikarenakan karena sel
CD8 belum merespon sinyal yang dikirimkan oleh sistem imun non spesifik
(Abbas, 2016)
Peningkatan dosis seharusnnya meningkatkan respon sebanding dengan
dosis pemberian, tidak demikian pada penelitian ini, dimana pada kelompok
pemberian 200 dan 300 mg/kgBB menunjukan peningkatan kadar CD8 yang lebih
baik dari pada dosis 400 mg/kgBB. Hal ini sering terjadi pada obat bahan alam,
karena komponen senyawa yang dikandungnya tidak tunggal melainkan terdiri
dari berbagai macam senyawa kimia, karena boleh jadi komponen komponen
tersebut saling berinteraksi untuk menimbulkan efek. Namun dengan peningkatan
dosis, jumlah senyawa kimia yang dikandung semakin banyak sehingga terjadi
interaksi yang menurunkan efek imunomodulator (Tari dkk., 2019). Selain itu,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hardianti (2017) diketahui dosis 400
mg/kgBB mempengaruhi organ usus dalam hal ini terjadi kerusakan pada vili usus
(pada permukaan sel epitel usus).
Hal ini juga selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Fristiohady
dkk.,(2020) menyatakan bahwa pada pemberian ekstrak E. elatior dengan dosis
400 mg/kgBB dapat menyebabkan terjadinya nekrosis. Oleh karena itu
diperkirakan terjadinya penurunan kadar CD8 pada pemberian dosis ekstrak
dengan dosis 400 mg/kgBB hewan uji disebabkan akibat sel fagosit makrofag
tidak mampu melakukan fagositosis terhadap antigen yang masuk sehingga
menyebabkan terjadinya nekrosis sel dari hewan uji. Nekrosis merupakan proses
kematian sel yang terjadi pada organisme hidup yang disebabkan oleh kondisi
patologis, seperti infeksi atau inflamasi (Endang, 2014).
Data aktivitas kadar CD8 masing-masing kelompok kemudiaan dianalisis
secara statistik menggunakan SPSS versi 22 (Statistical Package For Social
Science). Sebelum melakukan uji ANOVA data yang diperoleh harus di uji
homogenitas dan normalitasnya. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui
apakah populasi data berdistribusi normal atau tidak dinyatakan normal jika
signifikansi (>0,05). Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah
beberapa varian populasi data adalah sama atau tidak dengan nilai signifikan
(>0,05) (Rezeki, 2017).
Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh nilai sig (>0,05) dan uji
homogenitas diperoleh nilai sig sebesar 0,381. Nilai sig (>0,05) menunjukkan
bahwa data yang diperoleh terdistribusi secara normal dan homogen sehingga
dapat dilanjutkan pada pengujian One Way ANOVA. Pengujian One Way
ANOVA untuk mengetahui perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan
secara keseluruhan. Berdasarkan hasil uji One Way ANOVA pada lampiran 14
diketahui bahwa data memiliki nilai sig. < 0,05 yaitu 0,000 yang hipotesis H0
ditolak dan H1 diterima artinya ekstrak rimpang E.rubroloba memberikan
perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan secara keseluruhan terhadap
peningkatan kadar CD8. Kemudian dilanjutkan dengan uji post hoc dengan
metode tukey bertujuan untuk membandingkan data hasil pengamatan dari setiap
kelompok uji dengan kelompok uji lain agar dapat diketahui dosis yang efektif
sebagai imunomodulator terhadap kadar CD8. Hasil uji kadar CD8 mengunakan
Post Hoc Tukey dapat diliihat pada table 4.8
Tabel 4.8 Hasil Uji kadar CD8 menggunakan Post Hoc Tukey

(I) kelompok (J) kelompok Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
*
K+ K- ,226000 ,036317 ,000
KN -,071250 ,036317 ,400

K1 -,007000 ,036317 1,000

K2 -,045750 ,036317 ,802


K3 ,010250 ,036317 1,000
K- K+ -,226000* ,036317 ,000
*
KN -,297250 ,036317 ,000
*
K1 -,233000 ,036317 ,000
*
K2 -,271750 ,036317 ,000
*
K3 -,215750 ,036317 ,000
KN K+ ,071250 ,036317 ,400
*
K- ,297250 ,036317 ,000
K1 ,064250 ,036317 ,508
K2 ,025500 ,036317 ,979
K3 ,081500 ,036317 ,266
K1 K+ ,007000 ,036317 1,000
*
K- ,233000 ,036317 ,000
KN -,064250 ,036317 ,508
K2 -,038750 ,036317 ,888
K3 ,017250 ,036317 ,996
K2 K+ ,045750 ,036317 ,802
*
K- ,271750 ,036317 ,000
KN -,025500 ,036317 ,979
K1 ,038750 ,036317 ,888
K3 ,056000 ,036317 ,644
K3 K+ -,010250 ,036317 1,000
*
K- ,215750 ,036317 ,000

KN -,081500 ,036317 ,266

K1 -,017250 ,036317 ,996


K2 -,056000 ,036317 ,644
.
Ket. : Nilai Sig > 0,05 artinya tidak terdapat perbedaan signifikan
Nilai Sig < 0,05 artinya terdapat perbedaan signifikan
Berdasarkan pengujiaan tukey pada kelompok dosis 200, 300 dan 400
mg/kgBB dibandingkan dengan kontol positif memiliki nilai signifikan > 0,05
(tidak terdapat perbedaan signifikan) ini menunjukkan bahwa rimpang Etlingera
rubroloba memiliki efektivitas peningkatan kadar CD8 sama dengan kontrol
positif. Berbeda halnya antara kelompok dosis 200, 300 dan 400 mg/kgBB
dibandingkan dengan kontrol negatif memiliki signifikan < 0,05 (terdapat
perbedaan signifikan) hal ini menunjukkan peningkatan kadar CD8 antara ekstak
Etlingera rubroloba dengan kontrol negatif tidak sama, sehingga kelompok
ekstrak berpotensi sebagai imunomodulator melalui peningkatan kadar CD8.
Data kadar CD8 setelah pemberian ekstrak etanol rimpang E. rubroloba
dosis 200, 300 dan 400 mg/kgBB menunjukan perbedaan dengan kontrol negatif
sehingga disimpulkan bahwa ke-tiga dosis tersebut memiliki potensi sebagai
imunomodulator. Hal didukung oleh penelitiaan sebelumnya yang dilakukan oleh
Ilyas dkk., (2020) diperoleh bahwa buah E. rubroloba berpotensi sebagai
imunomodulator, ditinjau dari peningkatan kadar dari CD4 pada tikus jantan
galur wistar. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan metabolit sekunder
seperti flavonoid, tannin, alkaloid, terpenoid dan saponin yang terdapat dalam
ekstak rimpang E. rubroloba yang diduga sebagai agen imunomodulator.
Mekanisme flavonoid sebagai imunomodulator yaitu dengan
meningkatkan aktivitas IL-12 dan proliferasi limfosit. Sel CD4+ akan
mempengaruhi proliferasi limfosit kemudian menyebabkan sel Th-1 teraktivasi.
Sel Th-1 yang teraktivasi akan mempengaruhi IFN- Ɣ yang dapat mengaktifkan
makrofag yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas fagositosis secara cepat
dan lebih efisien dalam membunuh antigen (Putra dkk., 2020). Mekanisme kerja
senyawa terpenoid dalam memfagostosis bakteri diduga melibatkan kerusakan
membran oleh senyawa lipofilik. Terpenoid dapat bereaksi dengan porin (protein
transmembran) pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer
yang kuat dan merusak porin, serta mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri.
Akibatnya sel bakteri kekurangan nutrisi dan pertumbuhannya akan terhambat
atau mati. Kemampuan aktibakteri dari tanin diduga karena tanin dapat
mengkerutkan dinding sel sehingga menganggu permeabilitas sel itu sendiri dan
menyebabkan kerusakan dinding sel (Thresia dkk., 2016). Mekanisme kerja
saponin dalam memfagositosis bakteri yaitu dengan cara menyebabkan kebocoran
protein dan enzim dari dalam sel bakteri (Madduluri dk, 2011). Saponin
merupakan zat aktif yang dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga
terjadi hemolisis pada sel. Apabila saponin berinteraksi dengan sel bakteri, bakteri
tersebut akan pecah atau lisis (Poeloengan dan Praptiwi, 2012).
Menurut Sholikhah dkk., (2015) Mekanisme alkaloid sebagai
imunomodulator dengan meningkatkan aktivitas IL-2 (interleukin 2) dan
proliferasi limfosit. Sel Th1 (T helper 1) yang teraktivasi akan mempengaruhi
SMAF (Specific Macrofag Arming Factor), yaitu molekul-molekul termasuk
IFNγ (interferon gamma) yang dapat mengaktifkan makrofag. Jika terdapat
antigen yang masuk ke tubuh, misalnya bakteri, maka limfosit T dan makrofag
saling bekerja sama untuk membunuh bakteri tersebut. Makrofag akan
memfagosit bakteri dan limfosit T berdiferensiasi menjadi CD4+ dan CD8+. Sel
CD4+ berdiferensiasi menjadi Th1 yang kemudian menghasilkan sitokin IFNγ
dan TNFα serta memacu sel Natural Killer. Sel CD8+ pun menghasilkan sitokin
IFNγ. Sitokin tersebut akan mengaktifkan makrofag untuk menghasilkan senyawa
salah satunya nitrit oksida yang berguna membunuh bakteri.
Penelitiaan sebelumnya yang dilakukan oleh Jabbar dkk., (2021) batang
batang E. rubroloba juga berpotensi sebagai antioksidan. Antioksidan adalah
penentu keseimbangan dari fungsi sistem imun, termasuk menjaga integritas dan
fungsi membran lipid, protein seluler, asam nukleat, mengontrol signal transduksi
dan ekspresi gen dari sistem imun, antioksidan dibutuhkan untuk
mempertahankan respon imun dan juga meningkatkan kerja sel-sel CD8+
(Kondororik dkk., 2017).
Berdasarkan penelitiaan yang diperoleh menunjukkan hubungan antara
peningkatan kadar CD8+ dengan fagositosis sel makrofag, dimana CD8+ yang
telah teraktivasi akibat adanya respon terhadap stimulus antigen spesifik akan
mengaktifkan IFN-γ (Wahyuniati, 2017) . IFN-γ merupakan sitokin utama yang
berperan dalam aktivasi makrofag dan memiliki fungsi yang sangat penting dalam
cell mediated immunity terhadap mikroba intraseluler. IFN-γ akan mengaktifkan
makrofag naif sehingga proses fagositosis akan meningkat (Kak dkk., 2018).
BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut
1. Kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam rimpang Etlingera
rubroloba A.D Poulsen adalah alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan
triterpenoid.
2. Pemberian ekstrak rimpang Etlingera rubroloba A.D Poulsen memiliki
aktivitas sebagai imunomodulator berdasrkan peningkatan aktivitas fagositosis
sel makrofag pada tikus jantan galur wistar.
3. Pemberian ekstrak rimpang Etlingera rubroloba A.D Poulsen memiliki
aktivitas sebagai imunomodulator berdasarkan kadar CD8 pada tikus jantan
galur wistar.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh ekstrak rimpang Etlingera rubroloba A.D
Poulsen terhadap kadar CD8 dengan memperhatikan lama waktu penginfeksian
lebih dari 12 jam untuk mengetahui peningkatan kadar CD8.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Litchman AH, Pillai S, 2016, Basic immunology: Function and
Disorders of the Immune System, Edisi 5, Elsevier Inc.

Adryan F, Siti Z,Wahyuni, Mirda, Saripuddin, Rina A, Muhammad JP, Sahidin,


2019, Immunomodulator Activity of Effervescent Granule of Wualae
Fruit (Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith) Based on Specific Phagocytic
Activity,Borneo Journal of Pharmacy, Vol 2 (2).

Agustina W, Nurhamidah, Dewi H , 2017, Skrining Fitokimia Dan Aktivitas


Antioksidan Beberapa Fraksi Kulit Batang Jarak (Ricinus communis L),
Jurnal Pendidikan dan Ilmu Kimia, Vol. 1(2).

Agustina ZA, Suharmiati, Mara I, 2016, Penggunaan Kecombrang (Etlingera


Elatior) sebagai Alternatif Pengganti Sabun dalam Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat Suku Baduy, Media Litbangkes, Vol. 26 (4).

Ahmad, Juwita, Siti A DR, Abdul M,2015, Penetapan Kadar Fenolik dan
Flavonoid Total Ekstrak Metanol Buah dan Daun Patikala (Etlingera
elatior (Jack) R.M.SM) Aktsar Roskiana, Pharm Sci Res, Vol. 2 (1).

Akbar B, 2010, Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi


sebagai Bahan Antifertilitas, Adabia Press : Jakarta.

Amalia A, Irma S, Risa N, 2017, Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat Daun
Sembung(Blumea Balsamifera (L.) Dc.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Prosiding Seminar
Nasional Biotik ISBN: 978-602-60401-3-8387.

Amelia K, Iqbal S, Daniel, 2016, Uji Kinerja Alat Perajang Rimpang, Jurnal
AgriTechno, Vol. 9 (2).

Amelinda E, I Wayan WR, Luh PTD, Pengaruh Waktu Maserasi Terhadap


Aktivitas Antioksidan Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.), Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan,Vol. 7 (4).

Andriyani M, Yessi S, Jin HP, Anshary M, Axel DP, 2012, Gingers of Lombok.
Jurnaal Floribunda, Vol. 4 (5).

Anggraito YU, Susanti R, Iswari R, Yuniastuti A, Lisdiana, Nugrahaningsih W,


Habibah NA, Bintari SH, 2018, Metabolit Sekunder dari Tanaman:
Aplikasi dan Produksi, Fakultas Ilmu Matematka dan Pengetahua Alam:
Semarang.
Annisa, Hasanah, 2015, Efek Jus Bawang Bombay (Allium Cepa Linn.)
Terhadap MotilitasSpermatozoa Mencit Yang Diinduksi Streptozotocin
(Stz),Jurnal Biomedik, Vol. 11 (2).

Arbi TA, Putri DSN, Novita, Vindy V, 2019, Gambaran Perlekatan Bakteri
Staphylococcus Aureus Pada Berbagai BenangBedah (Studi Kasus Pada
Tikus Wistar) Cakradonya Dent J, Vol. 11 (1).

Ardina R, Sherly R, 2018, Morfologi Eosinofil Pada Apusan Darah Tepi


Menggunakan Pewarnaan Giemsa, Wright, Dan Kombinasi Wright-
Giemsa, Jurnal Surya Medika, Vol. 3 (2).

Arifin B, Ibrahim S, 2018, Struktur Bioaktivitas dan Antioksidan Flavonoid,


Jurnal Zarah, Vol 6 (1).

Aripin I, 2019, Pendidikan Nilai Pada Materi Konsep Sistem Imun, Jurnal Bio
Educatio, Vol. 4 (1).

Arikalang TG, Sri S, Johnly AR, 2018, Optimasi Dan Validasi Metode Analisis
Dalam Penentuan Kandungan Total Fenolik Pada Ekstrak Daun Gedi
Hijau (Abelmoschus manihot L.) Yang Diukur Dengan Spektrofotometer
UV-VIS, Pharmaconjurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 2 (1).

Aryasa IWT, Ni PRA, Desak PRVA, Ni KDA, 2018, Penentuan Kadar


Parasetamol pada Obat dan Jamu Tradisional Menggunakan Metode
Spektrofotometri UvVis, Jurnal Media Sains, Vol. 10 2 (1).

Baid A, 2016, Elisa a Mini Review, Journal of Pharmaceutical Analysis, Vol. 1


(1).

Bone K, Mills 2013, Principles and Practice of Phytotherapy Modern Herbal


Medicine. Elseveir, USA.

Bratawidjaja, K.G., dan Rengganis, Iris, 2014, Imunologi Dasar, Badan Penerbit
Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia:Jakarta.

Bunyamin M, Mulyana, Angela ML, 2015, Produksi Serum Rabbit Anti-Catfish


Terhadap Penyakit Motile Aeromonas Septicemia (Mas) pada Ikan Patin
Siam (Pangasius hypophthalmus), Jurnal Mina Sains I, Vol. 1 (1).

Cahyani NP, Susiarni KC, Dewi NL, Melyandri, Putra DA, 2019, Karakteristik
Dan Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol70% Batang Kepuh (Sterculia
Foetida L.), Jurnal Kimia, Vol. 13 (1).

Celis FP, Natalia AT, Maria T. R., 2019, CD8+ T-Cell Response to HIV Infection
in the Era of Antiretroviral Therapy, Frontiers In Immunology, Vol.10 (1).
Chakraborty dkk., 2017, Cytotoxic T Cells And Cancer Therapy,Journal Of
Experimental Biology And Agricultural Sciences,Vol. 5 (4).

Chan EWC, Lim YY, Ling SK, Tan SP, Lim KK, Khoo MGH, 2009,
Caffeoylquinic Acids from Leaves of Etlingera spesies (Zingiberaceae),
LWT - Food Science and Technology,Vol. 42 (1).

Depkes RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat,


Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Depkes RI, 2008, Farmakope Herbal Indonesia, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Endang P, 2014, Pemendekan Telomer Dan Apoptosis, Jurnal Kedokteran Yarsi


22, Vol. 1 (2).

Endrawati S, Feni I, 2016, Uji Efek Tonikum Ekstrak Etanol Daun Sambiloto
(Andrographis paniculata, Nees.) Terhadap Mencit Jantan (Mus musculus
L.) Galur Swiss, Jurnal Photon, Vol. 6 (2).

Ergina, Nuryanti S, Pursitasar, ID, 2014, Uji Kualitatif Senyawa Metabolit


Sekunder pada Daun Palado (Agave Angustifolia) yang Diekstraksi dengan
Pelarut Air dan Etanol, Jurnal Akademika Kimia, Vol 3 (3).

Ernawati, Kumala S, 2015, Kandungan Senyawa Kimia Dan Aktivitas Antibakteri


Ekstrak Kulit Buah Alpukat (Persea Americana P.Mill) Terhadap Bakteri
Vibrio alginolyticus, Jurnal Kajian Veteriner Desember, Vol. 3 (2).

Erniati, Riri , Ezraneti, 2020, Aktivitas Imunomodulator Ekstrak Rumput Laut,


Aquatic Sciences Journal, Vol.7 (2).

Fajrin J, Pathurahman, Lalu GP, 2016, Aplikasi Metode Analysis Of Variance


(Anova) UntukMengkaji Pengaruh Penambahan Silica FumeTerhadap
Sifat Fisik Dan Mekanik Mortar, Jurnal Rekaya Sipil, Vol. 12 (1).

Felistiani, V., 2017, Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Biji Alpukat (Persea americana
Mill.) Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar dan Limpa pada Mencit
(Mus musculus) yang diinfeksi Staphylococcus aureus, Skripsi, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim,
Malang.

Fiana FM, Naelaz ZWK, Ery P, 2020, Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun
Sukun (Artocarpus altilis) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli, Pharmacon: Jurnal Farmasi Indonesia, Vol. 1 (1).
Fitri, Widiyawati, 2017, Efektivitas Antibakteri Ekstrak Herba Meniran
(Phylanthus Niruni) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Salmonella Sp. Dan
Propionibacterium Acnes, Jurnal Sains Dan Teknologi,Vol. 6(2).

Fitria, Mulyati, Cut MT, dan Andreas SB, 2015, Profil Reproduksi Jantan Tikus
(Rattus norvegicus Berkenhout, 1769) Galur Wistar Stadia Muda
Pradewasa dan Dewasa, Jurnal Biologi Papua, Vol.7(1).

Fristohady A, Wahyuni, Muhammad I, Mentarry B, La Ode MJP, Firasmi S,


Muhammad HM, Fadhliyah M, Junli H, Agung WM, Sahidin, 2020,
Nephroprotective Effect Of Extract Etlingera Elatior (Jack) R.M Smith On
CCl4-Induced Nephrotoxicity In Rats, Current Research On Biosciences
And Biotechnology, Vol. 1 (2).

Fu,L, Xu, BT, Gan, RY, Zhang, Y. 2011, Total Phenolic Contents and
Antioxidant Capacities o Herbal and Tea Infusion, International Journal
of Molecular Sciences. 12: 2112-2124.

Gad SC, 2016, Animal Models in Toxicology 3rd Edition, CRC Press, United
States.

Gan SD, Kruti R. P., 2013, Enzyme Immunoassay and Enzyme-Linked


Immunosorbent Assay, Journal of Investigative Dermatology, Vol. 133
(1).

Habibi AI, Arizal F, Sitti MS, Skrining Fitokimia Ekstrak N- Heksana Korteks
Batang Salam (Syzygium polyanthum), Indo. J. Chem. Sci. Vol. 7 (1).

Haeria Nurshalati T, Nur HR, 2017, Uji Efektivitas Imunomodulator Ekstrak


Etanol Korteks Kayu Jawa (Lannea Coromandelica Hout. Merr.) Terhadap
Aktivitas Dan Kapasitas Fagositosis Makrofag Pada Mencit (Mus
Musculus) Jantan. JF Fik Uinam,Vol. 5 (4).

Harborne, J.B., 1996, Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan Terbitan ke-2, Cetakan ke-4, ITB Press, Bandung.

Hardianti R, 2017, Efektivitas Ekstrak Etanol Buah Wualae (Etlingera elatior


(Jack) R.M.Smith) Terhadap Kadar Bilirubin Total, Bilirubin Direct, dan
Bilirubin Indirect pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar yang Mengalami
Hepatotoksik, Skripsi, Universitas Halu Oleo, Kendari.

Harmita dan Maksum R., 2006, Buku Ajar Analisis Hayati Edisi 3, EGC, Jakarta
Hartanti D, Binar AD, Shintia LC, Retno W, 2020, The Potential Roles of Jamu
for COVID-19: A Learn from the Traditional Chinese Medicine,
Pharmaceutical Sciences and Research (PSR), Vol. 7 (1).

Hartati HS, Sarsono, Siti A, Dinding H. P, 2013, Ekstrak Etanol Propolis


Menurunkan Kadar IL-17 Serum pada Mencit Balb/C Modal Asma
Kronik, MKB, Vol. 45 (4).

Haryati NA, Chairul S, Erwin, 2015, Uji Toksisitas Dan Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Daun Merah Tanaman Pucuk Merah (Syzygium Myrtifolium
Walp.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli,
Jurnal Kimia Mulawarman ,Vol. 13 (1).

Hirayama D,Tomoya I, Danhiroshi, Nakase, 2018, The Phagocytic Function Of


Macrophage-Enforcing Innate Immunity And Tissue Homeostasis,
International Journal of Molecular Sciences,,Vol. 10 (1).

Ikalinus R, Sri KW, Ni Luh, 2015, Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol KulitBatang
Kelor (Moringa oleifera), Indonesia Medicus Veterinus, Vol. 4 (1).

Ilyas MY, Firdayanti, Wahyuni, 2019, Peningkatan Imunitas Non Spesifik (Innate
Immunity) Mencit Balb/C yang Diberi Ekstrak Etanol Daun Tumbuhan
Galing (Cayratia trifolia L. Domin), Medical Sanis, Vol 3 (2).

Ilyas MY, Asriullah J, Mentarri B, Muhammad HM, Firdayanti, Sahidin, 2020,


Aktivitas Imunomodulator Ekstrak Etanol Spons, Callyspongia sp.
Terhadap Fagositosis Makrofag Pada Mencit Jantan BALB/C. Jurnal
Ilmiah Ibnu Sina, Vol.5(1).

Ilyas MY dkk., 2020, Immunomodulatory Potentials of Etlingera rubroloba A.D.


Poulsen Against CD4 Levels in Wistar Male Rats, ICPHAS.

Imanishi T, Midori U, Wakana K, Natsumi Y, Shizuo A, Takashi , 2020,


mTORC1 Signaling Controls TLR2-Mediated T-Cell Activation by
Inducing TIRAP Expression, Cell Reports 32, Vol. 1 (1).

Iromo H, Nuril F, 2014, Analisis Kandungan Hormon Tiroksin Dengan Metode


Elisa Pada Induk Betina Kepiting Bakau (Scylla serrata), Jurnal
Harpodon Borneo , Vol. 7 (1).

Isnaeni U, Retno SI, Nugrahaningsih WH, 2012, Pengaruh Pemberian Vitamin A


Terhadap Penurunan Parasitemia Mencit yang Diinfeksi Plasmodium
berghei, Unnes Journal of Life Science, Vol. 1 (1).

Jabbar A, Subagus W, I Sahidin, Ika P, 2021, Free radical scavenging activity of


methanol extract and compounds isolated from stems of Etlingera
rubroloba A.D Poulsen, International Journal of Pharmaceutical
Research, Vol. 13 (1).

Jambun DD, Dwiyanto J, Lim YY, Tan JBL, Muhamad A, Yap SW, Lee SM,
2017, Investigation on The Antimicrobial Activities of Gingers (Etlingera
coccinea (Blume) S. Sakai & Nagam and Etlingera sessilanthera R. M.
Sm.) Endemic to Borneo, Journal of Applied Microbiology,Vol. 123 (4).

Janis, J., A., 2019, Isolasi Dan Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder Dari
Ekstrak Metanol Rimpang Etlingera rubroloba A.D. POULSEN Dan Uji
Aktivitasnya Sebagai Antimikroba, Skripsi, Universitas Halu Oleo.

Kak G, Mohsin R, Brijendra K, Tiwari, 2018, Interferon-Gamma (IFN-Γ):


Exploring Its Implications In Infectious Diseases,BioMol Concepts,Vol. 9
(1).

Kawiji, Windi A, Agung AN , 2010, Kajian Kadar Kurkuminoid, Total Fenol Dan
Aktivitas Antioksidan Oleoresin Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza
Roxb) Dengan Variasi Teknik Pengeringan Dan Warna Kain Penutup,
Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. 3 (2).

Kondororik , F, Martanto M, Susanto, Peranan β-karotendalam Sistem Imun untuk


Mencegah Kanker, Jurnal Biologi & Pembelajarannya, Vol. 4 (1).

Kusuma AM, YupinY, Susanti, 2016,Efek Ekstrak Bawang Dayak (Eleutherine


Palmifolia (L.)Merr) dan Ubi Ungu (Ipomoea Batatas L) Terhadap
Penurunan Kadar Kolesterol dan Trigliserida Darah pada Tikus
Jantan,JurnalKefarmasian Indonesia,Vol. 6 (2).

Kusumawati E, Anita A, Selvitawati, 2017, Identifikasi Senyawa Metabolit


Sekunder Dan Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Herba Meniran (Phyllanthus
niruri L.) Terhadap Candida Albicans Menggunakan Metode Difusi
Cakram, Jurnal Ilmiah Manuntung, Vol. 3 (1).

Lee SM, Young DJ Dan Su KL, 2009, Expression and Function of TLR2 on
CD4 Versus CD8 T Cells, Immune Network, Vol. 9 (4).

Levani, Yelvi, 2018, Perkembangan Sel Limfosit B Dan Penandanya Untuk


Flowcytometry, Jurnal.Unimus.Ac.Id,Vol. 1 (5).

Lutpiatina, Leka, 2017, Cemaran Staphylococcus Aureus Dan Pseudomonas


Aerogenosa Pada Steteskop Di Rumah Sakit,Jurnal Teknologi
Laboratorium,Vol. 6 (2).
Ma’rufi I, Kuntoro, Soejdajadi, Keman, 2017, Peningkatan CD8 Pada
Hypersensitivity Pneumonitis (Hp) Akibat Pajanan Debu Penggilingan
Padi,Unnes Journal Of Public Health, Vol.6 (4)

Mahdavi B, 2014, Chemical Constituents of The Aerial Parts of


Etlingerabrevilabrum (Zingiberaceae), Ber Pharma Chemica, Vol. 6 (2).

Madduluri S, Rao KB, Sitaram B, 2013, In vitro evaluation of antibacterial


activity of five indigenous plants extract against five bacterial pathogens of
human. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science;
Vol. 5 (4).

Makiyah A, Usep AH, Ramlan S, 2016, Efek Imunostimulasi Ekstrak Etanol


Umbi Iles-iles Terhadap Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag pada Tikus
Putih Strain Wistar yang Diinokulasi Staphylococcus aureus, MKB, Vol.
48 (2).

Marpaung M. P, Alwi A, Witri W, 2017, Karakterisasi dan Skrining Fitokimia


Ekstrak Kering Akar Kuning (Fibraurea chloroleuca Miers), Prosiding
Seminar Nasional Kimia Uny., Vol. 1 (14).

Martha K, 2013, Propolis Sebagai Imunostimultor Terhadap Infeksi


Micobacterium tuberculosis, Prosiding FMIPA Universitas Pattimura.

Mayasari U, Melfin Tl, 2018, Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimiadaun


Jeruk Lemon (Citrus limon (L.) Burm.f.), Klorofil, Vol. 2 (1).

Mawan AR, Sri IE, Suhadi, 2018, Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Buah
Syzygium polyanthum terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherchia coli,
Bioeksperimen, Vol. 4 (1).

Mukhriani, 2014, Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, Dan Identifikasi Senyawa


Aktif, Jurnal Kesehatan, Vol. 7 (2).

Murwani, Dahliatul, Indah, 2017, Penyakit Bakterial pada Ternak Hewan Besar
dan Unggas, UB Press, Malang.

Muthmainnah B, 2017, Skrining Fitokimia Senyawa Metabolit Sekunder Dari


Ekstrak Etanol Buah Delima (punica granatum L.) Dengan Metode Uji
Warna, Media Farmasi, Vol. 8 (2).

Noer S, Pratiwi RD, Gresint E, 2018, Penetapan Kadar Senyawa Fitokimia


(Tanin, Saponin dan Flavonoid Sebagai Kuersetin) pada Ekstrak Daun
Inggu (Ruta angustifolia L.), Jurnal Ilmu-ilmu MIPA, Vol. 1 (1).
Ningsih DR, Zusfahair, Dwi Kartika, 2016, Indentifikasi Senyawa Metabolit
Sekunder Serta Uji Aktivitas Ekstrak Daun Sirsak Sebagai Antibakteri,
Molekul, Vol. 11 (1).

Nurfaat DL, Wiwiek I, 2016, Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Benalu Mangga
(Dendrophthoe petandra) Terhadap Mencit Swiss Webster, IJPST, Vol. 3
(2).

Obeagu E, Ifeanyia, Obeagu, Getrude U, 2015, CD8 T cells in HIV Infection: A


Review, International Journal of Current Research in Medical
Sciences,Vol. 1 (4).

Octaviani M, Syafrina, 2018, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Dan
Kulit Batang Sawo (Manilkara Zapota (L.) Van Royen), Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia, Vol. 16 (2).

Panigrahi, B, Manish V., 2015, Semecarpus ancardium Linn. : A Potent Herbal


Immunomodulator, International Journal of Pharma and Bio Sciences,
Vol. 6 (4).

Parlinaningrum D, Sri W, Muhaimin R, 2014, Pengaruh Pemberian Ekstrak


Etanol Annona muricata Linn. Terhadap Peningkatan Jumlah B220 pada
Mus musculus, Jurnal Biotropika,Vol. 2 (5).

Patin EW, Mohammad AZ, Yeni S, 2018, Pengaruh Variasi Suhu Pengeringan
Terhadap Sifat Fisiko Kimia Teh Daun Sambiloto (Andrographis
paniculata), Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan, Vol. 4 (1).

Patricia, Araujo s, Steffi C. H, Hanschke, Joao PBV,2015, Epigenetic Control of


Interferon-GammaExpression in CD8 T Cells,Journal of Immunology
Research, Vol. 1(1).

Poeloengan M, Praptiwi P, 2012, Uji aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah


manggis (Garcinia mangostana Linn). Media Litbang Kesehatan. Vol. 20
(2).

Priyani R, 2020, Manfaat Tanaman Sambiloto (Andrographis Paniculata Ness)


Terhadap Sistem Imun Tubuh, Jurnal Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan,
VoL. 7 (3).

Putra B, Rizqi NA, Eka MN, 2020, Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Herba
Krokot (Portulaca oleracea L.) terhadap Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Jantan dengan Parameter Delayed Type Hypersensitivity (DTH) Jurnal
Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy), Vol. 6 (1).
Qiao J, Zhida L, Chunbo D,Chuanhui H., Ting X, Yang-Xin F., 2019, Targeting
Tumors With IL-10 Prevents Dendritic Cell- Mediated CD8+ T Cell
Apoptosis, Cancer Cell Journal, Vol.1 (1).

Radam RR, Erni P, Uji Fitokimia Senyawa Kimia Aktif Akar Nipah (Nyfa
Fruticans Wurmb) Sebagai Tumbuhan Obat Di Kalimantan Selatan,
Jurnal Hutan Tropis, Vol. 4 (1).

Rahman FA, Tetiana H, Trianna WU, 2017, Skrining Fitokimia Dan Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona Muricata L.) Pada
Streptococcus mutans ATCC 35668, Majalah Kedokteran Gigi Indonesia,
Vol 3 (1).

Rahmawati, Maria B, Made A, 2017, Aktivitas Antibakteri dan Analisis Fitokimia


Daun Geranium homeanum Turez, Current Biochemistry, Vol. 4 (3).

Rahmawati AS, Richie E, Rancangan Acak Lengkap (Ral) Dengan Uji Anova
Dua Jalur Optika: Jurnal Pendidikan Fisika, Vol. 4 (1).

Rahmi Y, Darmawi, Mahdi A, Faisal J, Fakhrurrazi , Yudha, Fahrima, 2015,


Identifikasi Bakteri Staphylococcus Aureus Pada Preputium Dan Vagina
Kuda (Equus Caballus) Identification Of Staphylococcus Aureus In
Preputium And Vagina Of Horses (Equus Caballus),Jurnal Medika
Veterinaria,Vol. 9 (2).

Rangaraj, N., Vaghasiya, K., Jaiswal, S., Sharma, A., Shukla, M., dan Lal, J.,
2014, Do Blood Sampling Sites Affect Pharmacokinetics, Chemistry and
Biology Interface,Vol. 4 (3).

Rantika N, Framesti F, Sriarumtias, Mega F, 2019, Formulasi Dan Aktivitas


Antibakteri Sediaan Mouthwash Dari Ekstrak Etanol Daun Sukun
(Artocaprus Altilis (Parkinson) Forsbeg), Jurnal Ilmiah Farmako Bahari,
Vol. 10 (1).

Rauf A, Haeria, Dina, DA, 2016, Efek Imunostimulan Fraksi Daun Katuk
(Sauropus Androgynus L. Merr.) Terhadap Aktivitas Dan Kapasitas
Fagositosis Makrofag Pada Mencit Jantan (Mus Musculus),Jf Fik Uinam,
Vol. 4 (1).

Resmawati MB, Woro H.S., dan Hari Suprapto,2016, Pemberian Ekstrak Air
Panas Spirulina platensis melalui Perendaman Terhadap Total leukosit,
Indeks fagositosis dan konsentrasi TNF-α Osphronemous gouramy ,JBP
Vol. 18 (3).

Retno S I, 2013, Studi Imunostimulan Ekstrak Tomat Pada Infeksi Plasmodium


Berghei,Jurnal Saintenol, Vol. 11 (2).
Rezeki A, 2017, Hasil Belajar Biologi Materi Sistem Gerak Dengan Menerapkan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Rotating Trio Exchange (Rte) Pada
Siswa Kelas Xi Sman 4 Bantimurung, Jurnal Dinamika, Vol. 8 (1).

Rissa LV, Yustisia DA, 2018, Skrining Fitokimia, Karakterisasi, dan Penentuan
Kadar Flavonoid Total Ekstrak dan Fraksi-Fraksi Buah Parijoto (Medinilla
speciosa B.), Prosiding Seminar Nasional Unimus, Vol. 1 (1).

Rohima IE, Ina SN, 2018,Identifikasi Protein Hewani Pada Produk Bumbu Instan
dengan Metode Elisa (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), Pasundan
Food Technology Journal,Vol. 5 (3).

Rohmah J, Chylen SR, Fitria, EW, 2019, Uji Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Selada
Merah (Lactuca Sativa Var.Crispa)Padaberbagaipelarutekstraksidengan
Metode Bslt (Brine Shrimp Lethality Test),Jurnal Kimia Riset, VoL. 4 (1).

Rojihah, Lusy AA, Nur H, 2015, Perbedaan Political Awareness Dilihat Dari
Peran Gender Pemilih Pemula, Jurnal Mediapsi Vol. 1 (1).

Rosales C, Eileen UQ, 2017, Phagocytosis: A Fundamental Process in Immunity,


BioMed Research International, Vol. 1(1).

Rosidah AN, Pujiana EL, Pudji A, Daya Antibakteri Ekstrak Daun Kendali
(Hippobroma longiflora LG. Don) terhadap Pertumbuhan Streptococcus
mutans, Jurnal Pustaka Kesehatan Vol. 1 (1).

Rosnizar, Siti M, Kartini E, Suwarno, 2017, Potensi ekstrak daun flamboyan


(Delonix regia (Boj. Ex Hook.) Raf.) terhadap peningkatan aktivitas dan
kapasitas makrofag BIOLEUSER, Vol. 1 (3).

Rosnizar, Eriani K, Iskandar MR, Fajar M,2015, Uji Efek Imunostimulan Buah
Kurma (Phoenix Dactylifera) Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Galur
BALB/C, Prosiding Seminar Nasional Biotik, ISBN: 978-602-18962-5-9.

Safitri I, Sulistiyaningsih, Anis YC, 2019, Review : Superdisintegran dalam


Sediaan Oral, Majalah Farmasetika, Vol. 4 (3).

Safitri L, Tri ES, Puguh S, 2017, Evaluasi Aktivitas Antimikroba (Streptococcus


Agalactiae) Menggunakan Exstrak Buah Mahkota Buah (Phaleria
Macrocarpa L.) Dengan Pelarut Yang Berbeda, Jurnal Ilmu dan Teknologi
Hasil Ternak, Vol. 12 (1).

Sahidin I, 2018, Mengenal Senyawa Alami Pembetukan Dan Pengelompokan


Secara Kimia, Unhalu Presss : Kendari
Sahidin I, Salsabila S, Wahyuni, Fristiohady A, Imran, 2019, Potensi Antibakteri
Ekstrak Metanol dan Senyawa Aromatik dai Buah Wualae (Etlingera
elatior), Jurnal Kimia Valensi, Vol. 5(1).

Sahidin I, Wahyuni , M H Malaka, Adryan., Ahmad S., A Marianti, 2019,


Antibacterial and radical scavenger activities of extract and compounds of
Wualae (Etlingera elatior) stems from Southeast Sulawesi, IOP
Publishing : Materials Science and Engineerin.

Sahidin, Wahyuni, Muh. Hajrul M, Jabbar A, Imran, Marianti AM, 2018,


Evaluation of Antiradical Scavenger of Extract and Compounds from
Etlingera calophrys Stems, Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical
Research,Vol.11 (2).

Sakamoto ., Waraporn , Sornkanok V, Waranyoo P, Yukihiro S, Hiroyuki T,


Satoshi M, 2018, Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
For The Quantitative/Qualitative Analysis Of Plant Secondary
Metabolites, Journal of Natural Medicines, Vol. 72 (1).

Sakti A, Henny, Sulastri dan Suly A, 2019, Hubungan Kepadatan Limfosit T


Sitotoksik CD8 Dengan Karakteristik Klinikopatologi Adenokarsinoma
Kolorektal ,Sriwijaya Journal of Medicine, Vol. 2 (30).

Saputra TK,Agustinus N, Yunus TS, Penggunaan metode ekstraksi maserasi dan


partisi pada tumbuhan cocor bebek (kalanchoe pinnata) dengan kepolaran
berbeda, Fullerene Journ. Of Chem , Vol. 3 (1).

Savant C, Narasimhachar J, Suyodhana R, Basheerahmed A, Mannasaheb HJ,


2014, Immunomodulatory Medicinal Plants Of India, International
Journal Of Pharmacology & Toxicology, Vol .4 (2).

Serli W, 2019, Uji aktivitas antioksidan kombinasi ekstrak daun kelor (Moringa
oleifera) dan daun Ghoenu (Abelmoscus manihot) serta penetapan kadar
flavonoid dan fenolik total Skripsi, Universitas Halu Oleo.

Setiadi DR, Iman, Supriatna, Muhammad, Agil, 2014, Validasi Kit Enzyme-
Linked Immunosorbent Assay Komersial Untuk Analisis Hormon Estradiol
Dan Progesteron Darah Kambing Kacang, Jurnal Veteriner Desember,Vol.
15 (4).

Setiawan H, Jusak N, 2016, Analisis Kadar IFN-γ dan IL-10 pada PBMC
Penderita Tuberkulosis Aktif, Laten dan Orang Sehat, Setelah di Stimulasi
dengan Antigen ESAT-6, JBP, Vol. 18 (1).

Shah K., Maghsoudlou, P, 2016, Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA):


The Basics, British Journal of Hospital Medicine, Vol. 77 (7).
Shantilal S, Vaghela JS, Sisodia SS, 2018, Review On Immunomodulation And
Immunomodulatory Activity Of Some Medicinal Plant, European Journal
Of Biomedical and Pharmaceutical Sciences,Vol. 5 (8).

Sharma P, Pradeep K, Rachn S, Gaurav, G, Anuj, C, 2017, Immunomodulators:


Role Of Medicinal Plants In Immune System,National Journal Of
Physiology, Pharmacy And Pharmacology, Vol.7 (6).

Sheshe S dkk, 2020, Mechanism Of Antiviral Immune Response And COVID-19


Infection, Asian Journal Of Immunology, Vol. 3 (3).

Sholikhah AR, Hesti MR, 2016, Pengaruh Ekstrak Lompong (Colocasia


Esculenta L. Schoot) 30 Menit Pengukusan Terhadap Aktivitas Fago
Sitosis Dan Kadar No (Nitrit Oksida) Mencit Balb/C Sebelum Dan
Sesudah Terinfeksi Listeria monocytogenes, Journal of Nutrition College,
VoL. 4 (2).

Simanjuntak HA, Kasta G, 2020, Uji Aktivitas Antibakteri Dari Sediaan Krim
Ekstrak Etanol Herba Tumbuhan Balsem (Polygala Paniculata L.)
Terhadap Bakteri Propionebacterium acnes Penyebab Jerawat, Jurnal
Penelitian dan Pembelajaran MIPA, Vol. 2 (5).

Sinata N, Erniza P, Nisa A, Uji Efek Analgetik Infusa Daun Sukun (Artocarpus
Altilis Forst) Terhadap Mencit Putih (Mus Musculus L) Jantan Yang
Diinduksi Asam Asetat 1%, Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia,Vol. 8
(1).

Singh R, 2016, Chemotaxonomy: A Tool for Plant Classification, Journal of


Medicinal Plants Studies, Vol. 4 (2).

Siregar FM, 2019, Immunosenescence : Penuaan Pada Sel Makrofag, JIK, Vol, 13
(1).

Sotto AI, Annabella V, Silvia DG, Plant-Derived Nutraceuticals and Immune


System Modulation: An Evidence-Based Overview,Vaccines,Vol 8 (1).

Sudarmi K, Ida BGD, Ketut M, Uji Fitokimia Dan Daya Hambat Kstrak Daun
Juwet (Syzygium Cumini) Terhadap Pertumbuhan Escherichia coli DAN
Staphylococcus aureus ATCC, Jurnal Simbiosis V0L. 5 (2 ).

Sudiono J, 2014, Sistem Kekebalan Tubuh, Penerbit Buku Kedokteran EGC


Jakarta.
Sukendra DM, 2015, Efek Olahraga Ringan Pada Fungsi Imunitas Terhadap
Mikroba Patogen : Infeksi Virus Dengue,Jurnal Media Ilmu
Keolahragaan Indonesia .Vol. 5 (2).

Sukmayadi AE, Sri AS, Melisa IB, 2014, Aktivitas Imunomodulator Ekstrak
Etanol Daun Tempuyung (Sonchus arvensis Linn.) terhadap Peningkatan
IL-2 pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar, IJPST, Vol. 1 (2).

Sulistiani RP,Hesti Murwani Rahayuningsih, 2015, Pengaruh Ekstrak Lompong


Mentah ( Colocasia Esculenta L Schoot) Terhadap Aktivitas Fagositosis
Dan Kadar No (Nitrit Oksida) Mencit Balb/C Sebelum Dan Sesudah
Terinfeksi Listeria Monocytogenes, Journal of Nutrition College, VoL. 4
(2).

Sulistiawati, Farid, Maksum, Radji, 2014, Potensi Pemanfaatan Nigella Sativa L.


Sebaga Imunomodulator Dan Antiinflamasi ,Pharm Sci Res,Vol. 1(1).

Sumiati T, Sukenda, Sri N, Angela ML, 2015, Pengembangan Metode Elisa


Untuk Mendeteksi Respon Imun Spesifik Pada Ikan Nila (Oreochromis
Niloticus) Yang Divaksinasi Terhadap Aeromonas Hydrophila Dan
Streptococcus Agalactiae, Jurnal Riset Akuakultur, Vol. 10 (2).

Sunarno, 2009, Pengaruh Meniran (Phyllanthus niruri L.) terhadap Patogenesis


Infeksi Salmonella, Jurnal Kefarmasian Indonesia, Vol. 1 (2).

Suwarni E, Kadek D. C, 2016, Aktivitas Antiradikal Bebas Ekstrak Etanol Bunga


Kecombrang (Etlingera elatior) dengan Metode DPPH, Medicamento,
Vol. 2 (2).

Syafa’ah I, Resti, Yudhawati, 2016, Peran Imunitas Mukosa Terhadap Infeksi


Mycobacterium Tuberculosis, Jurnal Respirasi,Vol. 2 (2).

Syahrana NA, Akrom , dan Endang D, 2017, Efek Serbuk Bunga Rosella Merah
(Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Ekspresi IL-10 Pada Sukarelawan
Sehat, Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol. 4 (1).

Tambunan RM., Greesty, FS, Sarah, Zaidan, 2019, Uji Aktivitas Antioksidan
Dari Ekstrak Etanol 70% Herba Meniran (Phyllanthus Niruri L.)
Terstandar,Sainstech Farma, Vol. 12 ( 2).

Tandah, Muhamad R, 2016 Daya Hambat Dekokta Kulit Buah Manggis (Garcinia
Mangostana L.) Terhadap Bakteri Escherichia Coli. Jurnal Kesehatan
Tadulako, Vol. 2 (1).

Tania, Putu, PA, 2020, Mekanisme Escape Dan Respon Imun Innate Terhadap
Candida Albicans ,Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. Vol. 9 (1).
Tiara, D, Murniati, Tiho, Yanti MM, 2016, Gambaran kadar limfosit pada pekerja
bangunan, Jurnal e-Biomedik,Vol. 4 (2).

Tjitrosoepomo G, 2005, Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta), UGM-Press,


Yogyakarta
Thresia, Sapara, Olivia W, Juliatri, 2016, Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun
Pacar Air (Impatiens balsamina L.) Terhadap Pertumbuhan
Porphyromonas gingivalis, Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 5 (4).

Tufan A, Aslihan AG, Marco MC, 2020, Covid-19 Immune System Response,
Hyperinflammation And Repurposing Antirheumatic Drugs,Turkish
Journal Of Medical Sciences, Vol. 1 (1).

Uppal, Shashi V, Dhot, 2003, Normal Values Of CD4 And CD8 Lymphocyte
Subsets In Healthy Indian Adults And The Effects Of Sex, Age, Ethnicity,
And Smoking, Clinical Cytometry, Vol. 1 (1).

Wahyuni Hajrul MM, Adryan F, Ilyas MY, Sahidin, 2017, Potensi


Imunomodulator Ekstrak Etanol Buah Kecombrang (Etlingera elatior
(Jack) R.M.Smith) terhadap Aktivitas Fagositosis Makrofag Mencit
Jantan Galur Balb/c, Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 6 (3).

Wahyuni, Mesi L, Adryan F, Muhammad IY, Fadhliyah M, Hendra F, dan


Sahidin, 2019, Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Spons Xestospongia
Sp. Terhadap Aktivitas Fagositosis Makrofag Pada Mencit Jantan Galur
Balb/C, Jurnal Mandala Pharmacon Indonesia, Vol. 5 (1).

Wahyuni R,,Guswandi, Harrizul R, 2014, Pengaruh Cara Pengeringan Dengan


Oven, Kering Angin Dan Cahaya Matahari Langsung Terhadap Mutu
Simplisia Herba Sambiloto , Jurnal Farmasi Higea, Vol. 6 (2).

Wahyuniati, Nur, 2017, Peran Interferon Gamma Pada Infeksi Mycobacterium


Tuberculosis, Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Vol. 17 (2).

Wibowo dkk., 2017, 201Ekspresi IFN-Γ oleh Sel T CD4+ dan CD8+ Setelah
Stimulasi Antigen Fusi ESAT-6- CFP-10 pada Pasien Tuberkulosis Paru
Aktif, Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 45 (2).

Wirasti, 2019, Penetapan Kadar Fenolik Total, Flavonoid Total, dan Uji Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Daun Benalu Petai (Scurrula atropurpurea Dans.)
Beserta Penapisan Fitokimia, Journal of Pharmaceutical and Medicinal
Science, Vol. 4 (1).
Yu, dkk, 2015,Immunomodulatory Effects of Cinobufagin on Murine
Lymphocytes and Macrophages,Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine Journal,Vol. 1 (1).

Yusuf , dkk, 2020, Aktivitas Imunomodulator Ekstrak Etanol Spons callyspongia


Sp. Terhadap Fagositosis Makrofag Padamencit Jantan Balb/C, Jurnal
Ilmiah Ibnu Sina, Vol. 5 (1).

Zikriah, 2014, Uji Imunomodulator Ekstrak Etanol Jinten Hitam (Nigellas sativa
L.) Terhadap Jumlah Total Leukosit, Persentase Limfosit, Persentase
Monosit, dan Kadar Interleukin-1β, Skripsi,UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian Laboratorium Fakultas Farmasi UHO

94
Lampiran 2. Hasil Determinasi Sampel Rimpang Etlingera rubroloba A.D. Poulsen
Lampiran 3. Hasil Kelayakan Etik (Ethical Clearance) Hewan Uji Tikus
Lampiran 4. Skema Alur Penelitian

Rimpang Etlingera rubroloba A.D

Ekstrak kental

Skrining Fitokimia Uji Karakteristik Uji Kadar


UjiTotal
Aktivitas Fagositosis Sel Mkarofag
Uji Efek imunomodulator

Analisis profil kandungan metabolit


Sarisekunder
larut air Peningkatan
Flavonoid Aktivitas Fagositosis Peningkatan
Sel Makrofagkadar CD8
Sari larut etanol Fenolik
Kadar air
Kadar abu

Hasil
1. Diagram Alur Pembuatan Ekstrak Kental Etlingera rubroloba A.D Poulsen

Rimpang Etlingera rubroloba A.D Poulsen

1.Disortasi basah
2.Dicuci dengan air dingin
3.Dipisahkan dari pengotor
4.Dilakukan perajangan
5.Disimpan dalam wadah untuk dimaserasi

Potongan kecil
Rimpang Etlingera rubroloba A.D

1. Dimaserasi segar dengan pelarut etanol


96% selama 3×24 jam
2. Diuapkan pelarut dengan alat Rotary
Vacuum Evaporator
3. Dipekatkan ekstrak hasil evaporasi
dengan waterbath

Ekstrak kental
Rimpang Etlingera rubroloba A.D
2. Uji Efek Imunomodulator
a. Perlakuan Hewan Uji

Tikus Jantan

Kelompok K+ Kelompok K- Kelompok KN Kelompok K1 Kelompok K2 Kelompok K3

Diberikan obat Stimuno®


Diberikan Na-CMCTidak
0,5% Diberikan
Diberikan
Perlakuan
pemberian
Diberikan
dosis ekstrak
pemberian
200Diberikan
mg/kgBB
dosis ekstrak
pemberian
300 mg/kgBB
dosis ekstrak 400

Diberikan perlakuan masing-masing kelompok selama 7 hari berturut-turut secara oral


Diinfeksikan secara I.P suspensi bakteri S. aureus 0,5 mL pada hari ke- 8
Dibiarkan selama 1 jam

Tikus

Dibedahbagianthorakstikus menggunakan alat bedah steril


1. Dibedah bagian perut tikus
Diambildarahtikusdarijantung menggunakan spoit 3 mL
menggunakan alat bedah steril
Dimasukan dalam tabung vacutainer
2. Ditambahakan PBS padacairan berisi antikoagulan EDTA 0,1%
peritoneum tikus Disentrifuge pada 3000 rpm selama 20 menit
3. Diambilcairanperitoneumtikus
menggunakan spoit 1 mL

Cairan Peritonium

Mikroskop 101 Residu Plasma Darah

Kit ELISA CD8 (Rat)


b. Uji Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag

Cairan Peritonium

- Diteteskan pada gelas objek sebanyak 1 tetes


- Dibuat preparat apusan tipis lalu difiksasi diudara hingga mengering
- Diberikan cairan methanol dan didiamkan 5 menit
- Diberikan pewarnaan giemsa 10% dan dibiarkan selama 20 menit
- Dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan
- Ditambahkan minyak emersi pada preparat
- Diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x - 1000x
- Dihitung aktivitas fagositosis makrofag

Hasil

102
c. Uji Kadar CD8

Kit ELISA CD8 Rat

- Ditambahkan 50 µl standar pada sumur standar


- Ditambahkan 40µl sampel pada sumur sampel
- Ditambahkan 10µl antigen CD8 pada sumur sampel
- Ditambahkan Streptavidin-HRP pada sumur sampel dan sumur standar
- Dicampur dan dihomogenkan
- Ditutup plat dengan pembungkus
- Diinkubasi selama 60 menit pada suhu 37oC
- Dibuka pembungkus
- Dicuci plat lima kali dengan menggunakan Wash buffer
- Dibilas sumur dengan Wash buffer sebanyak sekitar 0,35 ml selama 30
deik sampai 1 menit untuk setiap pencucian
- Ditambahkan 50µl larutan substrat A pada tiap sumur
- Ditambahkan 50µl larutan substrat B pada tiap sumur
- Diinkubasi plat yang sudah ditutupi dengan pembungkus baru selama
10 menit pada suhu 37oC pada ruang gelap
- Ditambahkan 50µl larutan stop pada tiap sumur, warna biru akan
berubah menjadi kuning
- Diukur densitas optik menggunakan microplate reader pada panjang
gelombang 450 nm 10 menit setelah penambahan larutan stop.

Hasil
Lampiran 5. Perhitungan Rendamen

Perhitungan Rendamen

Berat simplisia kering : 2.006 gram

Berat total ekstrak : 80,6 gram

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘


Rendamen ekstrak = Berat simplisia kering 𝑥 100 %

80,6 𝑔𝑟𝑎𝑚
2.006 gram 𝑥 100 %
=

= 4,01%
Lampiran 6. Skrining Fitokimia

1. Pembuatan Pereaksi Skrining Fitokimia


a. Pereaksi Dragendrof

0,85 gram Bismuth (III)


8 gram KI dalam 20
nitrat dalam 10 mL asam
mL aquadest
asetat P

Campur dan diamkan hingga


memisah sempurna, larutan yang
jernih kemudian diambil dan
encerkan dengan aquadest ad
100 mL

b. Pereaksi FeCl3 1 %

FeCl3

- Ditimbang 1 gram
- Dimasukan dalam labu takar 100 mL
- Ditambahkan samapi tanda tera

Pereaksi FeCl3 1%
c. Lieberman- Buchard

5 ml Asam Asetat

- Di tambahkan 5ml H2SO4


- Ditambahkan 50 ml etanol

Pereaksi Lieberman- buchard


2. Hasil Uji Kandungan Senyawa Metabolit Sekunder

Uji Kandungan Pereaksi Hasil Kesimpulan


Senyawa
Terpenoid Liebermann Terbentuk Positif
Buchard warna coklat
kemerahan

Alkaloid Dragendorf Terbentuk Positif


endapan
kekuningan

Tannin FeCl3 Terbentuk Positif


warna coklat
kehijauan

Saponin Air + HCl 2 Terbentuk busa Positif


N

Flavanoid Mg + HCl Terbentuk Positif


pekat warna merah
dan terdapat
endapan
Lampiran 7. Karakterisasi Ekstrak

1. Uji Kadar Air


Berat awal ekstrak = 1,0267 gram
Berat cawan kosong = 79,7801 gram
Berat cawan + ekstrak setelah dikeringkan = 80,7315 gram
Berat akhir ekstrak = 0,9514 gram
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒂𝒘𝒂𝒍 𝒆𝒌𝒔𝒕𝒓𝒂𝒌 −𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒆𝒌𝒔𝒕𝒓𝒂𝒌
Kadar Air (%) = 𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒂𝒘𝒂𝒍 𝒆𝒌𝒔𝒕𝒓𝒂𝒌 x 100 %

𝟏,𝟎𝟔𝟐𝟕−𝟎,𝟗𝟓𝟏𝟒
= 𝟏,𝟎𝟓𝟐𝟗

= 7,33 %

2. Uji Kadar Abu


Berat awal ekstrak = 2 gram
Berat cawan kosong = 76,4456 gram
Berat cawan + ekstrak setelah dipijarkan = 76,5568 gram
Berat abu = 0,1112
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒂𝒃𝒖
Kadar Abu (%) = x 100 %
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒆𝒌𝒔𝒕𝒓𝒂𝒌

𝟎,𝟏𝟏𝟏𝟐
= 𝟐 𝒙100%

= 5,56 %

3. Uji Kadar Sari Larut Etanol


Berat ekstrak (a) = 5 gram
Berat cawan kosong (b) = 34,8243 gram
Berat cawan + ekstrak setelah diuapkan (c) = 35,4991 gram
Kadar sari larut air (%) = 𝒄 −𝒃 x 𝟏𝟎𝟎 100 %
𝒂 𝟐𝟎
35,4991 gram − 34,8243 gram
= 𝟓 𝒈𝒓𝒂𝒎 𝑥 5 x 100 %

= 67,48 %

4. Uji Kadar Sari Larut Air


Berat ekstrak (a) = 5 gram
Berat cawan kosong (b) = 52,9153 gram
Berat cawan + ekstrak setelah diuapkan (c) = 53,4783 gram
Kadar sari larut air (%) = 𝒄 −𝒃 x 𝟏𝟎𝟎 100 %
𝒂 𝟐𝟎

53,4783 gram − 52,9153 gram


= 𝟓 𝒈𝒓𝒂𝒎 𝑥 5 x 100 %

= 56.3%
Lampiran 8. Penetapan Kadar Total
1. Penetapan Kadar Total Fenolik
a. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum dan Operating Time
Tabel 1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Panjang Gelombang Absorbansi

600 0.215
620 0.273
640 0.277
660 0.392
680 0.431
700 0.479
720 0.437
740 0.452
760 0.432
780 0.385
800 0.357

Absorbansi
0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0 0 200 400 600 800 1000


Tabel 2. Data Operating Time

Absorbansi
Waktu Rata-rata
1 2 3
10 0.258 0.261 0.26 0.260
Panjang 20 0.264 0.261 0.263 0.263
Gelombang 30 0.267 0.267 0.267 0.267
(700 nm)
40 0.259 0.259 0.259 0.259
50 0.258 0.26 0.258 0.259
60 0.257 0.259 0.26 0.259

b. Kurva Baku Standar Asam Galat

Konsentrasi Absorbansi
10 0.199
20 0.267
30 0.327
40 0.414
50 0.433

Kurva Standar Asam Galat


0.500
Absorbansi (µg/mL)

0.400
y = 0.061x + 0.143 R² = 0.975
0.300
0.200

0.100

0.000 0 2 4 6
Konsentrasi (ppm)
c. Hasil Pengukuran Absorbansi Sampel

Absorbansi Rata-
Sampel
1 2 3 rata
Rimpang 0,716 0,742 0,728 0,729

d. Perhitungan Kadar Fenolik Awal


y = ax + b
y = 0,061x + 0,143
0,729 = 0,061x + 0,143
0,061x = 0,729 – 0,143
0.061x = 0,586
0,586
x = 0,061
x = 9,606 μg/mL

e. Perhitungan Kadar Fenolik Total


Diketahui
Kadar fenolik awal (c) : 9.606 μg/mL = 9.606 mg/L
Volume ekstrak : 0,01 L
Faktor pengenceran (fp) 10
Berat ekstrak (m) : 10 mg = 0,01 g

𝑐 x 𝑣 x 𝑓𝑝
PH = 𝑚
mg
9.606 x 0,01 L x 10
L
= 0,01 g

= 96.06 mgEAG/g eks


2. Penetapan Kadar Total Flavonoid
a. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum dan operating time
Tabel 1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Panjang Gelombang Absorbansi


400 0.55
420 0.545
440 0.527
460 0.512
480 0.511
500 0.492
520 0.479
540 0.472
560 0.469
580 0.463
600 0.422

Absorbansi
0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1
0 100 200 300 400 500 600 700
0
Tabel 2. Data Operating Time
Panjang Absorbansi
Gelombang Waktu Rata-rata
1 2 3
(nm)
10 0.270 0.272 0.271 0.271
20 0.273 0.274 0.273 0.273
30 0.277 0.275 0.276 0.276
40 0.273 0.273 0.274 0.273
50 0.273 0.273 0.272 0.273
60 0.271 0.271 0.272 0.271

b. Kurva Baku Standar Kuersetin

Konsentrasi Absorbansi
2 0.099
4 0.128
6 0.160
8 0.206
10 0.242

Kurva Standar Kuersetin


0.300 y = 0.0182x + 0.0579 R² = 0.9932
Absorbansi (µg/mL)

0.250
0.200
0.150
0.100
0.050
0.000

024681012
konsentrasi (ppm)
c. Hasil Pengukuran Absorbansi Sampel

Absorbansi
Sampel Rata-rata
1 2 3
Rimpang 0.098 0.094 0.097 0.096

d. Perhitungan Kadar Flavonoid Awal


y = ax + b
y = 0,018x + 0,057
0,096 = 0,018x + 0,057
0,018x = 0,096 - 0,057
0,018x = 0,039
0,039
x = 0,018
x = 2,166 μg/mL

e. Perhitungan Kadar Flavonoid Total


Diketahui
Kadar flavonoid awal (c) : 2,166 μg/mL = 2,166 mg/L
Volume ekstrak : 0,01 L
Faktor pengenceran (fp) 10
Berat ekstrak (m) : 10 mg = 0,01 g
𝑐 x 𝑣 x 𝑓𝑝
F = 𝑚
mg
2,166 x 0,01 L x 10
L
= 0,01 g

= 21,66 mgEQ/g eks


Lampiran 9. Tabel Konversi Perhitungan Dosis
Tabel 1 Dosis Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh (FDA, 2005)
Lampiran 10. Tabel Volume Maksimum Pemberian Cairan Untuk Hewan Uji

Tabel 2. Volume Maksimum Larutan Sediaan Uji yang dapat diberikan pada
beberapa hewan uji (Harmita dan Maksum, 2006)

Volume maksimum (mL) sesuai jalur pemberian


Jenis Hewan Uji
i.v. i.m. i.p. s.c. p.o.
Mencit (20 – 30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5 – 1,0 1,0
Tikus (200 g) 1,0 0,1 2–5 2–5 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1–2 2,5 2,5
Marmut (250 g) - 0,25 2–5 5,0 10,0
Kelinci (2,5 kg) 5 – 10 0,5 10 – 20 5 – 10 20,0
Kucing (3 kg) 5 – 10 1,0 10 – 20 5 – 10 50,0
Anjing (5 kg) 10 - 20 5,0 20 – 50 10,0 100,0

Keterangan :
i.v. = Intra vena
i.m. = Intra muskular
i.p. = Intra peritoneal
s.c. = Subkutan
p.o. = Pemberian oral
Lampiran 11. Pembuatan Sediaan Pembanding
Sediaan banding yang digunakan adalah obat stimuno dengan dosis 50 mg
untuk manusia dewasa. Maka perlu dilakukan konversi dosis untuk pemberian pada
tikus. Perhitungan konversi sebagai berikut :
50 𝑚𝑔
Dosis untuk manusia = 60 𝑘𝑔𝐵𝐵

= 0,833 𝑚𝑔/kgBB
𝐾𝑀 𝑇𝑖𝑘𝑢𝑠
Dosis untuk tikus = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑥
𝐾𝑀 𝑀𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎
6
= 0,833 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑥
37

= 0,135 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

Dosis untuk tikus dengan berat badan rata 161,18 gram


Dosis untuk tikus / Kg BB = 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑥 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎
1000 𝑔

= 0,135 𝑚𝑔 𝑥 161,18 𝑔
1000 𝑔

= 0,02177 𝑚𝑔
Jadi, dosis obat stimuno untuk tikus dengan berat rata-rata 161,18 gram
adalah 0,02177 mg
 Menentukan jumlah obat stimuno yang dibutuhkan untuk membuat 150 mL

Volume pemberian oral tikus = 3,0 mL

Berat rata-rata stimuno = 0,327 mg


𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛
Larutan Stok = 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑎𝑥. 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
150 𝑚𝐿
= 𝑥 0,02177 𝑚𝑔
3 𝑚𝐿

= 1,05 𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛
Berat yang ditimbang = 𝑥 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑠𝑡𝑖𝑚𝑢𝑛𝑜
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑡𝑖𝑘𝑒𝑡
1,05 𝑚𝑔
= 𝑥 0,327 𝑚𝑔
50 𝑚𝑔
= 0,006867 𝑚𝑔

a. Pembuatan Na-CMC 0,5%.

Ditimbang Na-CMC sebanyak 5 g ke dalam gelas kimia ditambahkan 1000 mL

akuades diaduk sambil dipanaskan di atas hot plate. Didinginkan selama 15 menit

hingga diperoleh massa yang transparan, lalu diaduk sampai homogen.

b. Pembuatan sediaan obat stimuno

Ditimbnag 0,006867 obat stimuno, dimasukan ke dalam lumpang, digerus,

disuspensikan dengan sedikit Na-CMC 0,5% kemudian dimasukan ke dalam labu

takar, dicukupkan volumenya hingga 150 mL dengan Na-CMC 0,5%.


Lampiran 12. Pembuatan Sediaan Uji

Dosis suspensi ekstrak etanol yang akan dibuat adalah dosis 200 mg/kgBB ,
300 mg/kgBB dan 400 mg/kgBB.
Berat badan tikus rata-rata :

Kelompok dosis 200 mg/kgBB : 139,6 gram

Kelompok dosis 300 mg/kgBB : 112,96 gram

Kelompok dosis 400 mg/kgBB : 180,14 gram

Perhitungan dosis pemberian :

a. Kelompok dosis 200 mg/kgBB

- Konversi dosis dari kg ke g

200 𝑚𝑔
= 1000 𝑔 = 0,2 mg/g BB

Untuk tikus dengan berat rata-rata 139,36 gram

= Dosis konversi x berat rata-rata tikus

= 0,2 mg/gBB x 139,36 gram

= 27,87 mg

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 150 mL


𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛
Ekstrak butuh = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑎𝑥. 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠

150 𝑚𝐿
= 𝑥 27,87 mg𝑚𝑔
3 𝑚𝐿

= 1,3939 mg
b. Kelompok dosis 300 mg/kgBB

- Konversi dosis dari kg ke g

300 𝑚𝑔
= 1000 𝑔 = 0,3 mg/gBB

Untuk tikus dengan berat rata-rata 112, 96 gram

= Dosis konversi x berat rata-rata tikus

= 0,3 mg/gBB x 112,96 gram

= 33,88 mg/ekor

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 150 mL


𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛
Ekstrak butuh = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑎𝑥. 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠

150 𝑚𝐿
= 𝑥 33, 88mg
3 𝑚𝐿

= 1,694 mg

c. Kelompok dosis 400 mg/kgBB

- Konversi dosis kg ke
g

=
400 𝑚𝑔 = 0,4 mg/gBB
1000 𝑔

Untuk tikus dengan berat rata-rata 180,14 gram

= Dosis konversi x berat rata-rata tikus

= 0,4 mg/gBB x 180, 14 gram

= 72,056 mg

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 150 mL


𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛
Ekstrak butuh = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑎𝑥. 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
150 𝑚𝐿
= 𝑥 72,056 mg
3 𝑚𝐿

= 3,602 mg

Lampiran 13. Hasil Uji Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag dan Hasil Analisis Data

Menggunakan Aplikasi SPSS

- Hasil Pengamatan Fagositosis Sel Makrofag

Jumlah Sel Yang


kelompok/ perlakuan Teraktivasi (%) Rata-Rata (%)
1 2 3 4
Kontrol negatif (Na-CMC
0,5%) 49% 45% 40% 46% 45 %
kontrol positif (Stimuno) 70% 79% 80% 77% 76,5%
Dosis 200 mg/kgBB 74% 76% 79% 80% 77.25%
Dosis 300 mg/kgBB 79% 80% 86% 81% 81.5%
Dosis 400 mg/kgBB 70% 74% 78% 76% 74.5%
- Rata-rata Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag Setiap Kelompok Perlaku

81.5
76.5 77.25
Aktivitas Fagositosis Makrofag (%)

90 74.5
80
70
60 45
50
40
30
20
10
0

KontrolKelompok
Kontrol
Kelompok
Negatif
Kelompok PositifDosis 200 Dosis 300 Dosis 400 mg/kg BB mg/kg BB mg/ k
Perlakuaan

- Hasil Uji Normalitas

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
KELOMPOK Statistic df Sig. Statistic df Sig.
HASIL K+ ,294 4 . ,851 4 ,230
K- ,250 4 . ,961 4 ,783
Kelompok dosis 200 mg/Kg
,237 4 . ,939 4 ,650
BB
Kelompok dosis 300 mg/kg
,314 4 . ,854 4 ,240
BB
Kelompok dosis 400 mh/Kg
,192 4 . ,971 4 ,850
BB
a. Lilliefors Significance Correction
- Hasil Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances


HASIL
Levene df1 df2 Sig.
Statistic
,178 4 15 ,946

- Hasil Uji One Way Anova

ANOVA
HASIL
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3471,200 4 867,800 68,601 ,000
Within Groups 189,750 15 12,650
Total 3660,950 19

- Hasil Uji Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag menggunakan Post Hoc Tukey

Multiple Comparisons
Dependent Variable: HASIL Tukey HSD

Mean Difference
(I) KELOMPOK (J) KELOMPOK (I-J) Std. Error Sig.
K+ K- 31,500* 2,515 ,000
Kelompok dosis 200 mg/Kg BB -,750 2,515 ,998
Kelompok dosis 300 mg/kg BB -5,000 2,515 ,317
Kelompok dosis 400 mh/Kg BB 2,000 2,515 ,928
*
K- K+ -31,500 2,515 ,000
*
Kelompok dosis 200 mg/Kg BB -32,250 2,515 ,000
*
Kelompok dosis 300 mg/kg BB -36,500 2,515 ,000
*
Kelompok dosis 400 mh/Kg BB -29,500 2,515 ,000
Kelompok dosis 200 K+ ,750 2,515 ,998
mg/Kg BB K- 32,250* 2,515 ,000
Kelompok dosis 300 mg/kg BB -4,250 2,515 ,468
Kelompok dosis 400 mh/Kg BB 2,750 2,515 ,807
Kelompok dosis 300 K+ 5,000 2,515 ,317
*
mg/kg BB K- 36,500 2,515 ,000
Kelompok dosis 200 mg/Kg BB 4,250 2,515 ,468
Kelompok dosis 400 mh/Kg BB 7,000 2,515 ,087
Kelompok dosis 400 K+ -2,000 2,515 ,928
mh/Kg BB K- 29,500*
2,515 ,000
Kelompok dosis 200 mg/Kg BB -2,750 2,515 ,807
Kelompok dosis 300 mg/kg BB -7,000 2,515 ,087
Lampiran 14. Hasil Pengukuran Kadar CD8 dan Hasil Analisis Data Menggunakan
Aplikasi SPSS

- Hasil uji Kadar CD8 menggunakan ELISA

Path: C:\Program Files\BMG\SPECTROstar


User: USER Nano\User\Data\
Test Name: CD8
Absorbance Absorbance values are displayed as OD

1. Raw Data (450)


1 2 3 4 5 6
A 0,363 0,371 0,353 0,595 0,582
B 0,071 0,252 0,452 0,653 0,62
C 0,121 0,133 0,348 0,585 0,595
D 0,099 0,119 0,371 0,623 0,59
E 0,082 0,109 0,712 0,612
F 0,065 0,808 0,685 0,597
G 0,557 0,691 0,581 0,742
H 0,596 0,584 0,735 0,66

1A-F dan 2A-F = Larutan standar


1G-H dan 2G-H = Kelompok positif
3A-D = Kelompok kontrol negatif
3E-H = Kelompok kontrol normal
4A-D = Kelompok ekstrak rimpang E. rubroloba 200 mg/KgBB
4E-H = Kelompok ekstrak rimpang E. rubroloba 300 mg/KgBB
5A-D = Kelompok ekstrak rimpang E. rubroloba 400 mg/KgBB
- Absorbansi Larutan Standar
konsentrasi absorbansi
0 0.065
25 0.109
50 0.119
100 0.133
200 0.252
400 0.371
800 0.808

- Grafik Larutan Standar

absorbansi
0.9 y = 0.0009x + 0.0626
0.8 R² = 0.989
0.7
Axis Title

0.6
0.5
0.4
0.3 absorbansi
0.2 Linear (absorbansi )
0.1
0

02004006008001000
Axis Title
- Tabel Rata-Rata Hasil Peningkatan Kadar CD8

Rata-rata
Kadar CD8 kadar
Kelompok Absorbansi
(ng/mL)
(ng/mL)
0.557 549.33
0.596 592.66
Kontrol Positif 604.88
0.691 698.22
0.584 579.33
0.353 323
0.452 432.666
Kontrol Negatif 353.777
0.348 317.111
0.371 342.666
0.712 722
0.685 691.55
Kontrol Normal 684.16
0.581 576
0.735 747.11
0.595 591.55
Kontrol Dosis 200 mg/ 0.653 656
612.66
kg BB 0.585 580.44
0.623 622.66
0.612 610.44
Kontrol Dosis 300 mg/ 0.597 573.77
650.71
kg BB 0.742 754.88
0.66 663.77
0.582 577.11
Kontrol Dosis 400 mg/ 0.62 619.33
593.49
kk BB 0.595 591.55
0.59 586

128
- Grafik Rata-Rata Hasil Peningkatan Kadar CD8

684.16
650.71
700
604.88 612.66 593.49

600
Kadar CD8 (ng/mL)

500

400 353.77

300

200

100

0
KontrolKontrolKontrolKelompok Kelompok Kelompok
NormalNegatifPositifDosis 200Dosis 300Dosis 400
mg/kg BB mg/kg BB mg/ kg BB
Perlakuaan

- Uji Normalitas

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.
hasil K+ ,325 4 . ,867 4 ,288
K- ,332 4 . ,791 4 ,087
KN ,290 4 . ,878 4 ,331
K1 ,233 4 . ,942 4 ,666
K2 ,234 4 . ,906 4 ,462
K3 ,292 4 . ,900 4 ,432
a. Lilliefors Significance Correction

- Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances


hasil
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1,127 5 18 ,381

- Uji One Way Anova


ANOVA
Hasil
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,225 5 ,045 17,075 ,000
Within Groups ,047 18 ,003
Total ,273 23

- Hasil Uji CD8 menggunakan Post Hoc Tukey

Multiple Comparisons
Dependent Variable: hasil Tukey
HSD

(I) kelompok (J) kelompok Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
*
K+ K- ,226000 ,036317 ,000
KN -,071250 ,036317 ,400

K1 -,007000 ,036317 1,000

K2 -,045750 ,036317 ,802


K3 ,010250 ,036317 1,000
*
K- K+ -,226000 ,036317 ,000
*
KN -,297250 ,036317 ,000
*
K1 -,233000 ,036317 ,000
K2 -,271750* ,036317 ,000
*
K3 -,215750 ,036317 ,000
KN K+ ,071250 ,036317 ,400
*
K- ,297250 ,036317 ,000
K1 ,064250 ,036317 ,508
K2 ,025500 ,036317 ,979
K3 ,081500 ,036317 ,266
K1 K+ ,007000 ,036317 1,000
*
K- ,233000 ,036317 ,000
KN -,064250 ,036317 ,508
K2 -,038750 ,036317 ,888
K3 ,017250 ,036317 ,996
K2 K+ ,045750 ,036317 ,802
*
K- ,271750 ,036317 ,000
KN -,025500 ,036317 ,979
K1 ,038750 ,036317 ,888
K3 ,056000 ,036317 ,644
K3 K+ -,010250 ,036317 1,000
*
K- ,215750 ,036317 ,000

KN -,081500 ,036317 ,266

K1 -,017250 ,036317 ,996


K2 -,056000 ,036317 ,644
Lampiran 15. Dokumentasi Penelitian

1. Pembuatan simplisia

Pengambilan
Sortasi basah Pencuciaan
Sampel

Perajangan
Penjemuran Sortasi kering
Sampel
Sampel

2. Ekstraksi

Maserasi Penyaringan Evaporasi


Pengentalan Ekstrak rimpang E.
rubrolaba

3. Pengujian Skrining Fitokimia

4. Pengujian Karakterisasi Ekstrak serta Pengujiaan Fenolik dan Flavonoid Total


- Kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol

Penimbangan Larutan Kadar Sari


Ekstrak Larut Air dan Proses Shaker
Etanol
Penyaringan Kadar Sari
Filtrat Larut Etanol

Kadar Sari
Larut Air

- Kadar Air dan Kadar Abu

Penimbangan
Kadar Air Kadar Abu
Ekstrak
- Pengujian Kadar Fenolik Dan Flavonoid Total

-
5.Pengujian Aktivitas Fagositosis Sel Makrofag dan Pengujian Imunomodulator

Aklimatisasi Hewan Penimbangan Hewan Penimbangan


Uji Uji Sediaan Uji

Pembuatan Sediaan Sediaan Uji


Uji

Pemberian Sediaan Pembuatan Penginduksian


secara Peroral Suspensi S.aureus secara IP
Bakteri
Pembiusan Pembedahan Hewan Pemberian PBS
Hewan Coba Coba pada Bagian Perut (Phosphat Buffer Saline)

Pengambilan Cairan Pembuatan Apusan


Peritonium Proses Fiksasi dan
Tipis Pewarnaan

Pengamatan Aktivitas
Fagositosis Makrofag
Pembedahan Thoraks
Pada Hewan Uji Pengambilan Darah Penyimpanan Darah
secara Intra Cardial pada Tabung EDTA

Proses Sentrifugasi Pengambilan Plasma Darah


Plasma Darah

Penambahan Larutan Pencuian Menggunakan


Standar, Sampel dan Penambahan Larutan
Wash Buffeer pada Substrat A, Substrat B
Streptavidin HRP pada Well Plate ELISA
Well Plate ELISA dan Larutan Stop
Reaksi Penambahan Proses Pembacaan Optical
Larutan Substrat A, Density (OD) dengan
Substrat B dan Panjang Gelombang 450
Larutan dan larutan
Stop

Anda mungkin juga menyukai