Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan berbagai proses

faalan dan patologik. Histamin pada manusia adalah mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator. Efek histamin adalah pada organ sasaran, direk atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel efektor yang berperan pada penyakit alergi. Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel. Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H1), histamin 2 (H2) dan histamin 3 (H3).1,2 Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses faalan dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Sejak penemuan antihistamin pada awal tahun 1940, antihistamin sangat terkenal diantara pasien dan dokter. Antara tahun 1940-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin digolongkan menjadi anti histamin penghambat reseptor H1 (AH1), penghambat reseptor H2 (AH2), penghambat reseptor H3 (AH3). 1 Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk mengobati kelainan kronik maupun rekuren. Dengan demikian dermatologist harus teliti dalam pemakaian antihistamin dan efek samping potensial pada kelompok-kelompok antihistamin yang berbeda untuk keperluan klinis sehingga dapat menggunakan antihistamin dengan baik. 3 BAB II ANTIHISTAMIN II.1. ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H1 (AH1) Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan antihistamin H1. Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun baru-baru ini, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis reseptor histamin H1. Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor atau menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik. 4

II.1.1. Struktur Kimia Struktur dasar AH1 adalah sebagai berikut : Ar1 H X CH2 CH2 N Ar2 H Dengan Ar = aril dan X dapat diganti dengan N, C, atau C O -. Pada struktur AH1 ini terdapat gugus etilamin yang juga ditemukan pada rumus bangun histamin. 1 II.1.2. Penggolongan Antihistamin H1 (AH1) Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga. Tabel II.1. Penggolongan Antihistamin H1 (AH1) Antihistamin ( AH1) Generasi Pertama 1. Azatadine 1. 1. 1. 1. 1. 1. 1. 1. 1. Azelastine Brompheniramine Chlorpheniramine Clemastine Cyproheptadine Dexchlorpheniramine Hydroxyzine Promethazine Tripelennamine

Antihistamin ( AH1) Generasi Kedua

1. 1.

Cetirizine Loratadine

Antihistamin ( AH1) Generasi Ketiga 1. Fexofenadine 1. Desloratadine

Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. 4 II.1.3. Farmakologi Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi permeabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir. Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor. Antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind,

placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.4 Selain itu efek yang dihasilkan dari antihistamin H1 antara lain : 1. Efek sedasi Antihistamin H1 generasi pertama memiliki efek sedasi yang cukup besar sehingga berguna sebagai bantuan tidur dan tidak sesuai untuk penggunaan pada siang hari. Pada anak anak (dan jarang terjadi pada dewasa) menimbulkan eksitasi daripada sedasi. Pada dosis toksik yang tinggi dapat menyebabkan agitasi, kejang, dan koma. Sedangkan Antihistamin H1 generasi kedua hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak mempunyai kerja sedatif atau stimulasi. Obat antihistamin H1 generasi kedua (atau metabolitnya) juga mempunyai efek autonomik yang lebih sedikit dari antihistamin H1 generasi pertama. 1. Efek anti mual dan anti muntah Beberapa antihistamin H1 generasi pertama mempunyai aktivitas bermakna dalam mencegah terjadinya motion sickness (mabuk kendaraan), tetapi kurang efektif jika sudah terjadi mabuk. 1. Efek anti parkinsonisme Diduga karena efek antikolinergik, beberapa antihistamin H1 mempunyai efek supresi akut yang bermakna pada gejala gejala parkinsonisme yang dikaitkan dengan penggunaan obat parkinsonisme tersebut. 1. Kerja antikolinoseptor Banyak agen dari generasi pertama, khususnya subgrup ethanolamine dan ethylendiamine, mempunyai efek menyerupai atropin yang bermakna pada reseptor muskarinik perifer. 1. Kerja penyekat adrenoseptor Efek penyekat reseptor alfa dapat dibuktikan untuk beberapa antihistamin H1, khususnya di dalam subgrup phenothiazine, misalnya promethazine. Kerja tersebut dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik pada orang-orang yang rentan. Penyekatan terhadap reseptor beta tidak terjadi. 1. Kerja penyekat serotonin Efek penyekatan yang kuat terhadap reseptor serotonin telah dibuktikan pada beberapa generasi pertama antihistamin H1, terutama cyproheptadine. Obat tersebut digunakan sebagai antiserotonin, tetapi obat tersebut mempunyai struktur kimia yang menyerupai antihistamin phenothiazine dan merupakan suatu obat penyekat H1 yang kuat.

1. Anestesi lokal Antihistamin H1 generasi pertama merupakan anestesi lokal yang efektif karena menyekat kanal kalsium di membran yang eksitabel. Diphenhidramine dan promethazine kadang digunakan sebagai anestesi lokal pada pasien alergi terhadap obat-obat anestetik lokal yang konvensional. 1,5 II.1.4. Farmakokinetik Setelah pemberian oral atau parenteral, antihistamin H1 diabsorpsi secara baik. Pemberian antihistamin H1 secara oral efeknya timbul 15-30 menit dan maksimal setelah 1-2 jam, mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system, tetapi dapat juga melalui paru-paru dan ginjal. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati. Antihistamin H1 dieksresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya. Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti astemizole 1,1 hari sementara metabolit aktifnya, Ndesmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, dan pasien yang menerima ketokonazol, eritromisin, atau penghambat microsomal oxygenase lainnya. 1,4 II.1.5. Penggunaan Klinis II.1.5.1. Indikasi Antihistamin H1 berguna untuk pengobatan simptomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. Antihistamin generasi pertama digunakan untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation.1,4 Tabel II.2. Indikasi Antihistamin H1 Indikasi Generasi Pertama yang Diakui FDA

Drug Name Azatadine Azelastine Brompheniramine Chlorpheniramine Clemastine Cyproheptadine Dexchlorpheniramine Hydroxyzine

Indikasi PAR, SAR, CU PAR, SAR, VR, AC AR, HR Type 1 AR PAR, SAR, CU PAR, SAR, CU PAR, SAR, CU Pruritus, sedasi, analgesia, antiemetik Promethazine HR Type 1, Sedation, Motion sickness, Analgesia Tripelennamine > 1 bulan PAR, SAR, CU *PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CU = chronic urticaria, HR Type 1 = hypersensitivity reaction type 1, AR = allergic rhinitis, VMR = vasomotor rhinitis, AC = allergic conjunctivitis Indikasi Antihistamin Generasi II & III yang diakui FDA Nama Obat Batas Usia Indikasi Cetirizine > 2 tahun PAR, SAR, CIU Fexofenadine > 6 tahun SAR, CIU Loratadine > 2 tahun SAR, CIU Desloratadine > 12 tahun PAR, SAR, CIU *PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CIU = chronic idiopathic urticaria
1,4

Batas Usia > 12 tahun > 3 tahun > 6 tahun > 2 tahun > 6 tahun > 2 tahun > 2 tahun Bisa diberikan < 6 tahun > 2 years old

Indikasi dermatologi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Urtikaria atau angioedema Dermographisme simptomatik Pruritus Dermatitis atopik Mastositosis simptomatik Reaksi flushing 3

II.1.5.2. Dosis Dan Masa Kerja Tabel II.3. Dosis Dan Masa Kerja Antihistamin H1 5 Obat / efek sedatif Dosis reguler Masa kerja Aktivitas Keterangan

orangdewasa (jam) (mg) ANTIHISTAMIN GENERASI PERTAMA Ethanolamin / + +++ Carbinoxamin (listin) 4-8 3-4 Dymenhydrinate (garam) 50 4-6

antikolinergik

+++ +++

Sedasi ringanmenengah Sedasi lanjut; aktivitas anti motion sickness Sedasi lanjut; aktivitas anti motion sickness Sedasi lanjut; tersedia dalam bentuk obat pembantu tidur Sedasi menengah; komponen obat pembantu tidur Sedasi menengah Keterangan

Diphenydramine (dramamine) Diphenhydramine 25-50 (benadryl,dll) Doxylamine 1,25-25 Ethylamineddiamine / + ++ Pyrilamine (Neo-Antergen) 25-5-

4-6

+++

Pyrilamine (PB2,dll) Obat / efek sedatif

25-50 + Dosis reguler Masa kerja Aktivitas orangdewasa (jam) antikolinergik (mg) 6-24 12-24 -

Derivat piperazine / + +++ Hydroxyzine (Atarak,dll) 15-100 Cyclizine (marezine) 25-50 Meclizine (bonine,dll) Alkylamine / + ++ Bropheniramine (dimetane,dll) Chlorpheniramine (chlortrimeton,dll) 25-50

Sedasi lanjut Sedasi ringan; aktivitas anti motion sickness Sedasi ringan; aktivitas anti motion sickness Sedasi ringan Sedasi ringan; tersedia dalam komponen perawatan flu Sedasi lanjut; antiemetik Sedasi menengah; juga mengandung aktivitas antiserotonin

4-8 4-8

4-6 4-6

+ +++

Derivat phenothiazine / +++ Promethazine (phenergen,dll) 10-25 Lain-lain Cyproheptadine (periactin,dll) 4

4-6

+++

ANTIHISTAMIN GENERASI KEDUA Piperidine Fexofenadine (allegra) 60

Resiko rendah dari

aritmia Lain-lain Loratadine (claritin) Catirizine (Zyrtec) II.1.6. Efek Samping Pada dosis terapi, semua antihistamin H1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam toleransi obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini sangat mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan.1 Efek Samping Antihistamin H1 Generasi Pertama : 1. Alergi : fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis. 2. Kardiovaskular : hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis vena pada sisi injeksi (IV prometazin) 3. Sistem Saraf Pusat : drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi 4. Gastrointestinal : epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray) 5. Genitourinari : urinary frequency, dysuria, urinary retention 6. Respiratori : dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal spray) Antihistamin Generasi kedua dan ketiga : 1. 2. 3. 4. Alergi : fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis. SSP : mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi Respiratori : mulut kering Gastrointestinal : nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine) 10 5-10 12 Aksi yang lebih lanjut

Efek samping SSP sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama. Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi pertama. 4 Beberapa efek samping lain dari antihistamin : 1. Efek sedasi Dari hasil penelitian oleh perocek, dibandingkan difenhidramin 250 mg dengan loratadine dosis tunggal 20 mg. Hasilnya memperlihatkan efek sedasi difenhidramin lebih besar dibanding loratadine. Jadi loratadine tidak mempengaruhi kemampuan mengendarai, tingkat kewaspadaan siang hari dan produktifitas kerja. Juga loratadin menghilangkan gejala rhinitis alergi musiman secara efektif dan absorbsi oralnya sangat cepat serta memiliki masa kerja yang panjang, sehingga cukup diberikan sekali dalam sehari.

1. Gangguan psikomotor Yaitu gangguan dalam pekerjaan yang melibatkan fungsi psikomotor, merupakan masalah yang menjadi perhatian dalam terapi yang menggunakan antihistamin. Efek samping terlihat saat pasien melakukan kegiatan dengan resiko fisik seperti mengendarai mobil, berenang, gulat, atau melakukan pekerjaan tangan. Gangguan fungsi psikomotor adalah efek yang berbeda dari terjadinya sedasi (rasa mengantuk). 1. Gangguan kognitif Adalah gangguan terhadap kemampuan belajar, konsentrasi atau ketrampilan di tempat bekerja. Dari hasil penelitian memperlihatkan antihistamin generasi pertama terutama difenhidramin menyebabkan gangguan kemampuan belajar, konsentrasi, atau ketrampilan di tempat kerja. Sedangkan loratadin meniadakan efek negative dari rhinitis alergi terhadap kemampuan belajar. 1. Efek kardiotoksisitas Antihistamin selama ini dianggap sebagai obat yang aman, tetapi sejak akhir tahun 80-an mulai muncul beberapa jenis antihistamin yang digunakan dengan dosis yang berlebihan. Sehingga dapat menyebabkan pasien yang menggunakan mengalami gangguan pada jantung (kardiotoksisitas). Untuk pasien yang aktif bekerja harus berhati-hati dalam menggunakan antihistamin, karena beberapa antihistamin memiliki efek samping sedasi (mengantuk), gangguan psikomotor dan gangguan kognitif. Akibatnya bila digunakan oleh orang yang melakukan pekerjaan dengan tingkat kewaspadaan tinggi sangat berbahaya. 6 II.1.7. Kontraindikasi Antihistamin generasi pertama: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural Bayi baru lahir atau premature Ibu menyusui Narrow-angle glaucoma Stenosing peptic ulcer Hipertropi prostat simptomatik Bladder neck obstruction Penyumbatan pyloroduodenal Gejala saluran napas atas (termasuk asma)

10. Pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI) 11. Pasien tua. Antihistamin generasi kedua dan ketiga :

1. Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural 4 II.1.8. Interaksi Obat Tabel II.4. Interaksi Obat 4 Precipitant Drug Antihistamin Object Drug Alkohol, depresan SSP Effect Menambah efek depresan SSP dan efek lebih kecil pada antihistamin generasi kedua dan ketiga. loratadine, desloratadine Meningkatkan kadar plasma object drug

Antifungi Azole dan Antibiotik Makrolida : azithromycin, clarithromycin, erythromycin, fluconazole, itraconazole, ketoconazole, miconazole Cimetadine Levodopa MAOIs: phenelzine, isocarboxazid, tranylcypromine

loratadine promethazine Antihistamin generasi pertama

Protease Inhibitors: ritonavir, indinavir, saquinavir, nelfinavir Serotonin Reuptatke Inhibitors (SSRIs): fluoxetine, fluvoxamine, nefazodone, paroxetine, sertraline

Antihistamin generasi pertama, loratadine Antihistamin generasi pertama

Meningkatkan kadar plasma object drug Menurunkan efek levodopa Bisa memperlama dan memperkuat efek antikolinergik dan sedative antihistamin, sehingga bisa terjadi hipotensi dan efek samping ekstrapiramidal Meningkatkan kadar plasma object drug Meningkatkan kadar plasma object drug

II.2. ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H2 (AH2) Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan lambung, perangsangan jantung. Beberapa jaringan seperti otot polos pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.1 Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial antihistamin H2 cimetidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine ditemukan pula sebagai antihistamin H2. Baik simetidin maupun raditidin diberikan dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit. Kedua obat tersedia dalam bentuk injeksi intramuskular dan intravena. 3 II.2.1. Struktur

Antihistamin H2 secara struktur hampir mirip dengan histamin. Simetidin mengandung komponen imidazole, dan ranitidin mengandung komponen aminomethylfuran moiety.3 II.2.2. Farmakodinamik Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat.1 II.2.3. Farmakokinetik Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin dieksresi dalam bentuk asam dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam. Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan memanjang pada orangtua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya dieksresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral dieksresi dalam urin dalam bentuk asal. 1 II.2.4. Mekanisme Aksi Walaupun simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu menghambat reseptor H2, namun ranitidin lebih poten. Simetidin juga menghambat histamin N-methyl transferase, suatu enzim yang berperan dalam degrasi histamin. Tidak seperti ranitidin, simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen, suatu efek yang diketahui tidak berhubungan dengan kemampuan menghambat reseptor H2. Aktivitas antiandrogen didapatkan dari inhibisi kompetitif dyhidrotestosterone pada reseptor androgen perifer. Simetidin tampak meningkatkan sistem imun dengan menghambat aktivitas sel T supresor. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh blokade reseptor H2 yang dapat dilihat dari supresor limfosit T. Imunitas humoral dan sel dapat dipengaruhi. 3 II.2.5. Penggunaan Klinis II.2.5.1. Indikasi : Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Simetidin, ranitidin atau antagonis reseptor H2 mempercepat penyembuhan tukak lambung dan tukak duodenum. Antihistamin H2

sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Antihistamin H2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison. 1 Penggunaan Antihistamin H2 dalam bidang dermatologi seringkali digunakan ranitidin atau simetidin untuk pengobatan gejala dari mastocytosis sistemik, seperti urtikaria dan pruritus. Pada beberapa pasien, pengobatan diberikan dosis tinggi. 3 II.2.5.2. Dosis : Tabel II.5. Dosis Antihistamin H2 1 Obat Simetidin Ranitidin Famotidin Nizatidin II.2.6. Efek Samping : Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain : 1. nyeri kepala 2. pusing 3. malaise 4. mialgia 5. mual 6. diare 7. konstipasi 8. ruam kulit 9. pruritus 10. kehilangan libido 11. impoten 1 Dosis 4 x 300 mg 2 x 150 mg/hari 1 x 40 mg/hari ( u/ tukak lambung atau tukak duodenum aktif) 1 x 300 mg/hari

II.2.7. Kontraindikasi 1. Kehamilan 2. Ibu menyusui 3 II.3. ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H3 (AH3) II.3.1. Obat-obatan yang termasuk antihistamin H3

1. Thioperamide 2. Iodophenpropit 3. Clobenpropit II.3.2. Perbandingan Efek Histamin Dan Antihistamin H3 Pada Organ Tabel II.6. Perbandingan Efek Histamin Dan Antihistamin H3 Pada Organ 5 Organ Histamin Kardiovaskuler (Pembuluh Dilatasi darah kecil) Peningkatan permeabilitas Sistem Imun Sel mast menghasilkan histamin dan substansi lain dalam reaksi alergi Merangsang sekresi kelenjar saliva, lambung dan sekresi bronkus Antihistamin Mencegah dilatasi Mencegah peningkatan permeabilitas Menjaga histamin dari respons alergi Mencegah sekresi kelenjar saliva, lambung dan sekresi bronkus

Otot Polos

BAB III PEMILIHAN SEDIAAN Banyak golongan antihistamin H1 yang digunakan dalam terapi, tetapi efektivitasnya tidak banyak berbeda, perbedaan antar jenis obat hanya dalam hal potensi, efek samping dan jenis sediaan yang ada. Sebaiknya dipilih antihistamin H1 yang efek terapinya paling besar dengan efek samping seminimal mungkin, tetapi belum ada antihistamin H1 yang ideal seperti ini. Selain ditentukan berdasarkan potensi terapeutik dan beratnya efek samping, pemilihan sediaan perlu dipertimbangkan berdasarkan variasi antar individu. Karena itu perlu dicoba dan diperhatikan efek yang menguntungkan dan efek samping apa yang timbul akibat pemberian antihistamin H1. Walaupun antagonis reseptor H2 lebih kuat menghambat sekresi asam lambung daripada obat antikolinergik, antagonis reseptor H2 tidak lebih efektif daripada terapi intensif dengan antasida pada pasien esofagitis refluks, tukak lambung, tukak duodeni atau pencegahan tukak lambung akibat stres. Antagonis reseptor H2 disediakan sebagai obat alternatif untuk pasien yang tidak memberikan respons baik terhadap pengobatan antasida jangka panjang. 1 BAB IV STRATEGI TERAPI ANTIHISTAMIN AM-PM Keputusan untuk memilih suatu antihistamin untuk mengatasi gangguan alergi semisal rhinitis alergica atau urtikaria idiosinkratik kronik harus berdasarkan pada harga, frekuensi dosis, ketersediaan, kontraindikasi, dan efek samping. Semua antihistamin generasi pertama kini telah ada dalam sediaan generik serta sediaan OTC dengan harga lebih murah. Namun tidak demikian

halnya dengan antihistamin generasi kedua dan ketiga. Masalah perbedaan harga ini menjadi suatu pertimbangan. Meski sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara klinis menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik dari generasi pertama. Sebenarnya rasa sedasi dan drowsiness sangatlah subjektif, hanya dirasakan oleh individu dan tidak bisa jadi bukti klinis. Sebuah studi mengevaluasi efek fexofenadine, diphenhydramine, alkohol, dan placebo terhadap kemampuan mengendarai. Subjek yang memperoleh fexofenadine mampu mengendarai selayaknya placebo. Sedang subjek yang menerima diphenhydramine memiliki kemampuan mengendarai paling buruk, diikuti dengan subjek yang menerima alcohol. The Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma, and Immunology menekankan bahwa efek sedasi dan gangguan performance dari antihistamin generasi pertama adalah berisiko baik untuk individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi rhinitis alergi dan gangguan alergi kronis lainnya direkomendasikan suatu strategi baru, yakni terapi antihistaminAM/PM. Penderita diberikan antihistamin generasi kedua dan ketiga yang lebih sedikit atau bahkan tidak ada efek sampingnya sebelum pemberian antihistamin generasi pertama. Jadi, dosis siang hari generasi kedua dan ketiga, sedangkan dosis malam hari diberikan generasi pertama. Selain bisa mengoptimalkan terapi dengan efek samping minimal, strategi ini juga lebih murah karena tetap bisa menggunakan antihistamin generasi pertama yang lebih murah. 4 BAB V KESIMPULAN Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamine pada reseptorreseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi antagonis reseptor H1, reseptor H2 dan reseptor H3. Penghambat reseptor H1 digunakan pada terapi alergi yang diperantai IgE. Obat-obat tersebut telah tersedia, tetapi penggunaan generasi antihistamin pertama (klorfeniramin, bromfeniramin, difenhidramin, klemastin, hidroksizin) terbatas, karena adanya efek samping sedasi primer dan menyebabkan keringnya membran mukosa. Antihistamin generasi kedua (loratadin, cetirizin) dan ketiga (feksofenadin, desloratadin) bekerja menghambat reseptor histamin H1, di samping efek antiinflamasi. Pemakaian di klinik hendaknya mempertimbangkan cara kerja obat, farmakokinetik dan farmakodinamik, indikasi dan kontra indikasi, cara pemberian, serta efek samping obat dan interaksi dengan obat lain. Beberapa antihistamin mempunyai efek samping yang serius jika dikonsumsi bersamaan dengan obat lain atau menggunakan antihistamin tanpa alasan yang jelas. DAFTAR PUSTAKA 1. Udin Sjamsudin, Hedi RD : Histamin dan Antihistamin dalam Farmakologi Dan Terapi ,edisi 4, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta, 1995, p. 252-260. 2. Rengganis Iris : Alergi Merupakan Penyakit Sistemik : Cermin Dunia Kedokteran 2004; 142: 42-45.

3. Del Rosso Q. James : Antihistamines dalam Systemic Drugs For Skin Disease, W.B. Saunders Company, United States of America, 1991, p.285-316. 4. Andra : Optimalisasi terapi Antihistamin dalam Majalah Farmacia, Volume 6, Jakarta, 2006, p.64. 5. Sjabana Dripa : Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta, 2005, p. 467487. 6. http:// http://www.galenium.com diterbitkan 2006.a

Anda mungkin juga menyukai