Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI 2

Interaksi Obat Farmakokinetik dan Farmakodinamik

DISUSUN OLEH:

Nama: 1. Pinantri Agnes Sitanggang( 180600068)

2. Miranda Laurencia Turnip ( 180600153)

3. Grace Ginta Ginting ( 180600231)

Kelompok : B2

Meja : 2
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018/2019

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan yang menolong pembuatan


Laporan Praktikum Farmakologi 2 tentang “ Interaski Obat Farmakokinetik dan
Farmakodinamik”

Penulis tentu menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk laporan ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada laporan ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
dosen mata kuliah kami yang telah membimbing kami dalam menulis laporan
ini.Demikian, semoga laporan ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Medan, 15 September 2019


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masalah Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi
respon tubuh terhadap pengobatan. Obat dapat berinteraksi dengan makanan
atau minuman, zat kimia atau dengan obat lain. Dikatakan terjadi interaksi
apabila makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut mengubah efek
dari suatu obat yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Beberapa
obat sering diberikan secara bersamaan pada penulisan resep, maka mungkin
terdapat obat yang kerjanya berlawanan.
Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien yang
satu dengan yang lain. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan
pasien terhadap interaksi obat.
Pasien yang rentan terhadap interaksi obat antara lain:
1) Pasien lanjut usia
2) Pasien yang minum lebih dari satu macam obat
3) Pasien yang mempunyai ganguan fungsi hati dan ginjal
4) Pasien dengan penyakit akut
5) Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
6) Pasien yang mempunyai karakteristik genetik tertentu
7) Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa interaksi obat yang terjadi secara farmakokinetik?

2. Apa interaksi obat yang terjadi secara farmakodinamik?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Farmakodinamik dan Farmakokinetik Obat

Farmakokinetik
Secara farmakokinetik obat melewati beberapa interaksi yang
mempengaruhi absorbsi,distribusi,metabolisme atau eksresi obat lainnya
dalam tubuh. Dalam hal ini, obat yang satu mempengaruhi obat lainnya
yang menyebabkan perubahan efektivitas dan toksisitas obat. Akibat
interaksi, toksisitas bisa meningkat maupun menurun, efektivitas pun bisa
meningkat atau menurun.

Interaksi yang terjadi secara farmakokinetik antara lain:


 Absrobsi
Absorbsi obat umumnya terjadi di saluran cerna. Interaksi absorbsi
yang terjadi disaluran cerna antara lain: perubahan motilitas
saluran cerna dan perubahan pH saluran cerna.
Perubahan pH saluran cerna mengakibatkan obat yang seharusnya
diserap di organ tertentu misalnya obat yang diserap oleh lambung,
oleh karena obat sebelumnya adalah obat yang membuat suasana
lambung menjadi basa, sehingga obat yang seharusnya diabsorbsi
di lambung tidak diserap dan tidak efektif sama sekali.
Adapun 2 rute pemberian obat utama berdasarkan absorbsinya
yaitu:
1) Enteral : Obat yang akan melalui saluran cerna
Enteral terbagi atas oral, sublingual, rektal
2) Parenteral: Obat yang absorbsi nya buruk sehingga untuk
mempertahankan efektivitasnya harus diberikan melalui
intravena, intramuskular,sub kutan,
inhalasi,intraventrikular,topikal dan transdermal.
 Distribusi
Setelah melewati pengabsorbsian/penyerapan, obat didistribusikan
pada darah dan sistem sirkulasi, dari sini obat akan berikatan
dengan protein plasma(plasma binding property). Ikatan protein
dapat mempengaruhi waktu paruh obat dalam tubuh.
Obat yang berikatan dengan protein plasma yang sama akan
mengakibatkan efek bahaya. Misalnya obat A berikatan pada
protein albumin, obat B juga berikatan dengan albumin. Obat B
duluan mengikat albumin dan menggantikan obat A yang masuk
seteah obat B, akhirnya obat A akan bebas. Bebasnya obat A
berbahaya karena hanya fraksi yang tidak terikat pada proteinnya
yang dapat menunjukkan efeknya terutama toksisitasnya.

 Metabolisme
Protein plasma yang berikatan dengan zat kimia dari obat akan
dimetabolisme dengan melakukan aktivasi atau inhibisi enzim.

 Eksresi
Setelah semua proses telah berakhir, sisa obat akhirnya di eksresi
kan ke ginjal dan ikut dibuang dalam urin yang mengakibatkan
perubahan warna, bau , pH dan kuantitas urin.
Interaksi antara obat kedua obat membuat pH berubah, yang
seharusnya urin itu 6-7,4 namun oleh karena interaksi obat
membuat urin bisa jadi asidosis atau alkalosis.
Farmakodinamik

Obat juga berinteraksi secara farmakodinamik, dalam hal ini obat


berinteraksi dengan obat lainnya untuk bekerja pada reseptor.

Secara Farmakodinamik interaksi dibagi atas:

1) Sinergik: interaksi yang meningkatkan kinerja obat


 Additive effect : 1 + 1 =2

Apabila kedua obat digabung akan berinteraksi lebih baik

 Synergistic effect : 1 +1 = 3

Apabila kedua obat digabung memberikan manfaat yang


sangat baik dan tepat sasaran, lebih baik dari efek adisi

 Potentiation effect : 1 + 0 =2

Apabila kedua obat digabung, yang satu memiliki efek dan


yang satu tidak memiliki efek , namun hasilnya ketika digabung
maka efek obat yang satu dibantu obat lainnya.

2) Antagonis: interaksi yang mengurangi kinerja obat bahkan


meningkatkan toksisitas.
 Antagonism : 1+1 = 0

Apabila kedua obat digabung akan saling menghilangkan


efek satu sama lain sehingga tidak punya efek.

Adapun yang termasuk dalam interaksi farmakodinamik antara lain:

 Interaksi pada reseptor


Contoh:interaksi beta blokerdengan agonis beta 2 pada
penderita asma
 Interaksi fisiologis
Contoh: reaksi aminoglikosida dengan furosemid yang bisa
menimbulkan brikardi berat bahkan gagal jantung
 Perubahan dalam Keseimbangan Cairan Elektrolit
Misalnya hipokalemia
 Gangguan mekanisme ambilan amin di ujung saraf adrenergik
 Interaksi dengan penghambat Mono Amino Oksidase (MAO)
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kasus

Ny. M berusia 55 tahun menderita diabetes sejak 2 tahun yang lalu dan
mendapatkan obat Glibenclamid 5 mg, 2 x 1 tablet dan Metformin 500 mg,
2 x1 tablet.Beberapa hari yang lalu pasien datang ke dokter gigi,dengan
keluhan gigi berlubang. Setelah dilakukan tindakan perawatan dengan
gigi,dokter memberi resep Natrium Diklofenanac 2 x 50 mg dan
Paracetamol 2 x 500 mg. Setelah diminum obat oenambah nyeri nya KGD
60 mg/dl.

3.1 Mencari Nama Generik( bahan aktif obat ), Absorbsi , Distribusi,


Metabolisme , Eksresi Mekanisme Kerja, serta Efek Obat
1. Glibenclamid
Nama generik: Glibenclamid
Farmakokinetik
a. Absorbsi

Pemberian glibenclamid secara oral akan diabsorbsi melalui


saluran cerna dengan cukup efektif dan memiliki waktu paruh
sekitar 4 jam. Dosis awal untuk diabetes melitus tipe 2 adalah 2,5
mg- 5mg, dilanjutkan dosis pemeliharaan 5 mg-10mg.

b. Distribusi

Setelah diabsorbsi,obat ini tersebarke seluruh cairan ekstrasel.


Dalam plasma sebagian besar terikat pada protein plasma terutama
albumin (70%-90%). Untuk mencapai kadar optimal glibenklamid
akan lebih efektif jika diminum 30menit sebelum makan.
Meskipun waktu paruh glibenclamid tergolong pendek namun efek
hipoglikemiknya berlangsung selama 12-24 jam, sehingga cukup
diberikan satu kali sehari.
Mula kerja(onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai
meningkat 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar
puncak dalam darah tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar
mulai menurun, 24 jam setelah pemberian kadar dalam plasma
hanya tinggal sekitar 5%. Masa kerja sekitar 15 sampai 24 jam.

c. Metabolisme

Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan


jalan hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid,
menghasilkan satu metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa
metabolit inaktif. Metabolit utama (M1) merupakan hasil
hidroksilasi pada posisi 4-trans, metabolit kedua (M2) merupakan
hasil hidroksil 3-cis,sedangkan metabolit lainnya belum
teridentifikasi. Semua metabolit tidak ada yang akumulasi.

d. Eksresi

Hanya 25%-50% metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian


besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkanbersama tinja.
Waktu paruh eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang
apabila terdapat kerusakan hati atau ginjal. Bila pemberian
dihentikan, obat akan bersih keluar dari serum setelah 36 jam.
Glibenklamid tidak diakumulasi di dalam tubuh, walaupun dalam
pemberian berulang.

e. Mekanisme kerja obat:


Glibenklamid obat diabeters oral golongan sulfonylurea.
Sulfonilurea meningkatkan insulin pada sekresi insulin basal dan
menstimulasi pelepasan insulin dari makanan. Beraksi dengan
mempengaruhi sel β di pancreas, menstimulasi pelepasan insulin.
Obat golongan Sulfonilurea juga meningkatkan penggunaan
glukosa perifer, menurunkan gluconeogenesis dihati, dan mungkin
meningkatkan jumlah dan sensitifitas reseptor insulin.
1. Merangsang sekresi insulin dari sel-sel β-Langerhans;
menurunkan keluaran glukosa dari hati; meningkatkan sensitivitas
sel-sel sasaran perifer terhadap insulin
2. Sulfonilurea seperti Glibenklamid mengikat kanal kalium ATP-
sensitif pada permukaan sel pankreas, mengurangi konduktansi
kalium dan menyebabkan depolarisasi membran. Depolarisasi
merangsang masuknya ion kalsium melalui tegangan saluran
kalsium -sensitif, meningkatkan konsentrasi intraseluler ion
kalsium, yang menginduksi sekresi, atau eksositosis, insulin.
3. Menstimulasi pelepasan insulin dan sel beta (β) Pankreas,
mengurangi output glukosa dari hati, sensitivitas insulin meningkat
di lokasi sasaran perifer.

f. Efek

Efek glibenklamid umumnya ringan dan frekuensinya rendah,


antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan sistem
saraf pusat.
 Gangguan saluran cerna berupa:
Mual,diare,sakit perut, dan hipersekresi asam lambung.
 Gangguan susunan saraf pusatberupa:
Sakit kepala,vertigo, bingung,ataksia, dan sebagainya.

Gejala hematologik termasuk leukopenia, tromositopenia,


agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang
sekali. Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat dan diet
terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada
lansia. Hipoglikemia sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik
oral dengan masa kerja panjang. Golongan sulflonilurea cenderung
menigkatkan berat badan.

2. Metformin 500 mg
Nama generik: Glidepatic 500 mg
a. Absorpsi
Bioavailabilitas absolut dari metformin hidroklorida tablet 500 mg,
diberikan pada kondisi pasien berpuasa, adalah sekitar 50% ‒ 60%.
Makanan menurunkan kecepatan absorpsi metformin. Waktu
puncak plasma sediaan regular adalah 2-3 jam, sedangkan sediaan
extended release adalah 4-8 jam. Konsentrasi plasma secara stabil
dapat dicapai dalam waktu 24‒48 jam, umumnya <1 µg/mL. Pada
uji klinis, pemberian metformin hidroklorida tablet, bahkan pada
dosis maksimum sekalipun, kadar plasma maksimum tidak
melebihi 5 mcg/mL Pada dosis reguler, efek maksimum metformin
dapat terjadi dalam dua minggu

b. Distribusi
Ikatan metformin dengan protein plasma adalah minimal, dan
dapat diabaikan. Volume distribusi: 650 L, pada obat kerja reguler.
Metformin dapat terdistribusi masuk ke dalam eritrosit.
c. Metabolisme
Metformin tidak melalui efek lintas pertama di hepar.Renal
clearance berkisar 3,5 kali lebih besar daripada creatinine
clearance. Pada penggunaan tablet metformin kerja reguler, renal
clearance sekitar 450‒540 mL/menit.

d. Ekskresi
Ekskresi metformin 90% terjadi di urin, dalam bentuk tidak
berubah. Sekitar 90% dari dosis obat yang diabsorpsi,
diekskresikan ke urin dalam waktu 24 jam pertama, setelah
konsumsi metformin per oral. Waktu paruh plasma sekitar 6,2 jam.
Waktu paruh dalam darah adalah sekitar 17,6 jam. Hal ini
berkenaan dengan massa eritrosit yang dapat menjadi
kompartemen dalam pendistribusian obat ini.

e. Mekanisme kerja obat:


Agen hipoglikemik oral dari kelompok binguanides
(dimethylbinguanide). Mekanisme kerja Metformin berhubungan
dengan kemampuan untuk menghambat glukoneogenesis, asam
lemak bebas, dan oksidasi lemak. Metformin tidak mempengaruhi
jumlah insulin dalam darah, tetapi perubahan farmakodinamik
dengan mengurangi rasio terkait untuk membebaskan insulin dan
meningkatkan rasio proinsulin terhadap insulin. Sebuah elemen
penting dalam mekanisme kerja Metformin stimulasi penyerapan
glukosa oleh sel-sel otot. Metformin meningkatkan aliran darah ke
hati dan mempercepat konversi glukosa menjadi glikogen. Ini
mengurangi tingkat trigliserida, LDL, VLDL. Metformin
meningkatkan sifat fibrinolitik darah dengan menghambat
plasminogen inhibitor jenis jaringan.
f. Efek
Asidosis laktat
Meski jarang terjadi, asidosis laktat berpotensi menjadi efek
samping metformin yang paling serius. Asidosis laktat adalah
penumpukan asam laktat dalam tubuh, yang dapat berakibat fatal.
Metformin mampu menghasilkan asam laktat dalam jumlah besar.
Hal tersebut bisa menghambat gangguan tertentu yang lantas
memaksa sel-sel tubuh untuk melakukan metabolisme anaerob
(proses pembentukan energi yang tidak menggunakan oksigen).
Kekurangan vitamin B12
Mengonsumsi metformin dalam jangka panjang menyebabkan
menurunnya kadar vitamin B12. Kekurangan vitamin B12 dapat
menyebabkan risiko kesehatan yang cukup berarti karena vitamin
ini penting untuk menjalankan fungsi DNA, produksi sel darah
merah, dan fungsi biokimia lain di dalam tubuh.

3. Natrium Diklofenac
Nama generik: Cataflam
a. Absorpsi
Penyerapan natrium diklofenak adalah 100% setelah konsumsi per
oral, dan konsentrasi puncak obat tercapai dalam waktu 2 jam.
Makanan tidak memengaruhi proses absorpsi obat. Meski
demikian, makanan dapat memperlambat absorpsi obat, yaitu
sekitar 1‒4,5 jam, dan juga terjadi penurunan kadar puncak obat
dalam plasma darah, yaitu sekitar 30%. Obat sediaan lepas lambat
dan salut selaput memerlukan waktu sekitar 2‒5 jam untuk
mencapai konsentrasi puncak.

b. Distribusi
Sekitar lebih dari 99% obat natrium diklofenak ini terikat pada
protein serum, terutama albumin. Volume distribusi obat adalah
1,4 L/kg. Distribusi obat yang masuk ke dalam cairan sinovial
adalah dengan cara berdifusi, dan dapat dideteksi dua jam setelah
obat masuk ke dalam tubuh. Namun, konsentrasi obat tersebut
lebih rendah daripada konsentrasinya dalam plasma darah.
c. Metabolisme
Natrium diklofenak dimetabolisme di hepar menjadi beberapa
metabolit, dengan metabolit utamanya adalah 4-hydroxydiclofenac.
Obat dan metabolitnya akan menjalani proses glukuronidasi dan
sulfasi, kemudian disalurkan ke cairan empedu.
d. Ekskresi
Waktu paruh terminal obat dalam bentuk tidak berubah adalah
sekitar 2 jam. Sekitar 65% dari dosis obat yang masuk ke dalam
tubuh diekskresikan ke urine dan sekitar 35% ke feses melalui
sistem bilier.
e. Mekanisme kerja obat:
Natrium diclofenac adalah dengan menghambat kerja enzim
siklooksigenase (COX). Enzim ini berfungsi untuk membantu
pembentukan prostaglandin saat terjadinya luka dan menyebabkan
rasa sakit dan peradangan. Dengan menghalangi kerja enzim COX,
prostaglandin lebih sedikit diproduksi, yang berarti rasa sakit dan
peradangan akan mereda.Umumnya obat ini dipasarkan dalam
bentuk natrium diclofenac 25 mg atau Natrium diclofenac 50 mg.

e. Efek
 Distensi abdomen dan perut kembung.
 Nyeri perut atau kram.
 Sembelit.
 Diare.
 Pusing.
 Pencernaan yang terganggu.
 Retensi cairan.
 Sakit kepala.

4. Paracetamol
Nama generik: Paracetamol
a. Absorpsi
Paracetamol diabsorbsi dengan baik di usus halus melalui transport
pasif pada pemberian oral. Pemberian dengan makanan akan
sedikit memperlambat absorpsi paracetamol.
Pada pemberian melalui rektum, terdapat variasi konsentrasi
puncak di plasma dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
konsentrasi puncak di plasma lebih lama.

b. Distribusi
Setelah pemberian oral, konsentrasi puncak pada plasma akan
dicapai dalam waktu 10 – 60 menit pada tablet biasa dan 60 – 120
menit untuk tablet lepas-lambat. Konsentrasi rata-rata di plasma
adalah 2,1 μg/mL dalam 6 jam dan kadarnya hanya dideteksi dalam
jumlah kecil setelah 8 jam. Paracetamol memiliki waktu paruh 1 –
3 jam.
Paracetamol memiliki bioavailabilitas yang tinggi. Sekitar 25%
paracetamol dalam darah diikat oleh protein.
c. Metabolisme
Metabolisme paracetamol terutama berada di hati melalui proses
glukoronidasi dan sulfasi menjadi konjugat non toksik. Sebagian
kecil paracetamol juga dioksidasi melalui enzim sitokrom P450
menjadi metabolit toksik berupa N-acetyl-p-benzo-quinone imine
(NAPQI). [6]
Pada kondisi normal, NAPQI akan dikonjugasi oleh glutation
menjadi sistein dan konjugat asam merkapturat. Ketika diberikan
dosis dalam jumlah yang besar atau terdapat defisiensi glutation,
maka NAPQI tidak dapat terdetoksifikasi dan menyebabkan
nekrosis hepar akut.

d. Eskresi
Sekitar 85% paracetamol diekskresi dalam bentuk terkonjugasi dan
bebas melalui urin dalam waktu 24 jam. Pada paracetamol oral,
ekskresi melalui renal berlangsung dalam laju 0,16 – 0,2
mL/menit/kg. Eliminasi ini akan berkurang pada individu berusia >
65 tahun atau dengan gangguan ginjal. Selain ginjal, sekitar 2,6%
akan diekskresikan melalui bilier. Paracetamol juga dapat
diekskresikan dengan hemodialisa.
e. Mekanisme kerja obat:
Parasetamol bekerja langsung di pusat saraf dengan mempengaruhi
ambang rasa sakit dengan menghambat enzim cyclooxsygenase,
COX-1, COX-2 dan COX-3 yang terlibat dalam pembentukan
prostaglandin, substansi yang bertindak mengatur rasa sakit dan
diketahui juga sebagai regulator panas pada hipotalamus.
f.Efek
Efek samping dari paracetamol sebenarnya jarang terjadi, tapi tetap
bisa muncul, seperti: mual, sakit perut bagian atas, gatal-gatal,
kehilangan nafsu makan. urine berwarna gelap, feses berwarna
pucat. kuning pada kulit dan mata.

3.2 Menganalisis interaksi obat yang terjadi dalam bentuk tabel berikut

Natrium
Glibenclamid Metformin Paracetamol
Diklofenac
Sinergisme Sinergisme
Glibenclamid - Potensiasi
negatif positif
Sinergisme Sinergisme
Metformin Potensiasi -
positif positif
Natrium Sinergisme Sinergisme Sinergisme
-
Diklofenac negatif positif negatif
Sinergisme Sinergisme Sinergisme
Paracetamol -
positif positif negatif

KETERANGAN :

I. Antidiabetika Oral Kombinasi Glibenklamid dan Metformin


Biguanid dan thiazolidinedion dikategorikan sebagai sensitizer insulin, dengan
cara menurunkan resistensi insulin. Sulfonilurea dan meglitinid dikategorikan
sebagai insulin secretagogues karena kemampuannya merangsang pelepasan
insulin endogen.

Contoh :

Sulfonilurea : sulfonilurea generasi pertama (acetohexamid, clorproramid,


tolbutamid, talazamid) dan generasi kedua (glimepirid, gilipizie, dan
glibenklamid)

Biguanid : metformin

Sulfonilurea dan biguanid tersedia paling lama dan secara tradisional merupakan
pilihan pengobatan awal untuk diabetes tipe 2.

Kombinasi ini sangat cocok digunakan untuk penderita diabetes melitus


tipe dua pada pasien yang hiperglikemianya tidak bisa dikontrol dengan single
terapi (metformin atau glibenklamid saja), diet, dan olahraga. Di samping itu,
kombinasi ini saling memperkuat kerja masing-masing obat, sehingga regulasi
gula darah dapat terkontrol dengan lebih baik. Kombinasi ini memiliki efek
samping yang lebih sedikit, apabila dibandingkan dengan efek samping apabila
menggunakan monoterapi (metformin atau glibenklamid saja). Metformin dapat
menekan potensi glibenklamid dalam menaikkan berat badan pada pasien diabetes
melitus tipe 2, sehingga cocok untuk pasien diabetes melitus tipe 2 yang
mengalami kelebihan berat badan (80% dari semua pasien diabetes melitus tipe 2
adalah terlalu gemuk dengan kadar gula tinggi sampai 17-22 mmol/l).

II. Kombinasi Glibenklamid dan Natrium diklofenac

Pemberian bersamaan dengan antiinflamasi nonsteroid sistemik dapat


menambah terjadinya efek samping. Meskipun pada uji klinik diklofenak tidak
mempengaruhi efek antikoagulan, sangat jarang dilaporkan adanya penambahan
resiko perdarahan dengan kombinasi diklofenak dan antikoagulan, oleh karena itu
dianjrkan untuk dilakukan pemantauan yang ketat terhadap pasien tersebut.
Seperti dengan anti inflamasi nonsteroid lainnya, diklofenak dalam dosis tinggi
(200 mg) dapat menghambat agrregasi platelet untuk sementara.

Pemberian bersamaan Glibenklamid dan Natrium Diklofenac


menyebabkan tinggi risiko terjadinya hipoglikemia. Efeknya sinergis namun
termasuk ke dalam sinergisme negatif karena bekerja terlalu berlebihan,

III. Kombinasi Glibenklamid dan Paracetamol

Glibenklamid merupakan derifat sulfonilurea dengan mekanisme kerja


merangsang sekresi insulin di pankreas dan menghambat penghancuran insulin
oleh hati. Glibenclamid menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang
tubuh untuk mengeluarkan lebih banyak insulin.

Paracetamol tergolong obat analgetik antipiuretik. Mekanisme kerja


parasetamol yang utama adalah menghambat sintesis prostaglandin dalam
jaringan tubuh dengan menghambat 2 enzim cyclooksygenase yaitu
cyclooksygenase-1 (COX-1) dan cyclooksygenase-2 (COX-2). Namun efeknya
lebih selektif terhadap COX-2 sehingga tidak menghambat pembentukan
tromboksan yang bertanggung jawab terhadap pembekuan darah. Walaupun
memiliki efek analgesik dan antipiretik seperti kebanyakan obat Anti Inflamasi
Non-Steroid (AINS), namun parasetamol tidak termasuk golongan obat AINS
karena efek anti radangnya yang sangat lemah. Selain itu, obat ini juga bekerja di
sistem syaraf pusat dengan mempengaruhi hipotalamus untuk menurunkan
sensitifitas reseptor nyeri dan termostat yang mengatur suhu tubuh. Di dalam
tubuh parasetamol paling banyak dimetabolisme di dalam hati.

IV. Kombinasi Metformin dan Natrium diklofenac

Metformin merupakan satu-satunya obat golongan biguanid yang tersedia.

Natrium diklofenac golongan obat NSAID dengan mekanisme kerja


menghambat enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2) ataupun menghambat
secara selektif cox-2 saja sehingga tidak terbentuk mediator-mediator nyeri yaitu
prostaglandin dan tromboksan.
Uji klinik memperlihatkan bahwa diklofenak dapat diberikan bersamaan
dengan anti diabetic oral tanpa mempengaruhi efek klinis dari masing-masing
obat. Sangat jarang dilaporkan efek hipoglikemik dan hiperglikemik dengan
adanya diklofenak sehingga diperlukan penyesuaian dosis obat-obat hipoglikemik.
Perhatian harus diberikan bila antiinflamasi nonsteroid diberikan kurang dari 24
jam sebelum atau setelah pengobatan dengan methotrexate dalam darah dapat
meningkat dan toksisitas dari obat ini bertambah.

V. Kombinasi Metformin dan Paracetamol

Metformin satu-satunya golongan biguanid yang tersedia, mempunyai


mekanisme kerja yang berbeda dengan sulfonilurea, keduanya tidak dapat
dipertukarkan. Efek utamanya adalah menurunkan glukoneogenesis dan
meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Karena kerjanya hanya bila ada
insulin endogen, maka hanya efektif bila masih ada fungsi sebagian sel islet
pankreas. Metformin merupakan obat pilihan pertama pasien dengan berat badan
berlebih dimana diet ketat gagal untuk mengendalikan diabetes, jika sesuai bisa
juga digunakan sebagai pilihan pada pasien dengan berat badan normal. Juga
digunakan untuk diabetes yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
sulfonilurea.

Mekanisme kerja parasetamol yang utama adalah menghambat sintesis


prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat 2 enzim
cyclooksygenase yaitu cyclooksygenase-1 (COX-1) dan cyclooksygenase-2
(COX-2). Namun efeknya lebih selektif terhadap COX-2 sehingga tidak
menghambat pembentukan tromboksan yang bertanggung jawab terhadap
pembekuan darah. Walaupun memiliki efek analgesik dan antipiretik seperti
kebanyakan obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS), namun parasetamol tidak
termasuk golongan obat AINS karena efek anti radangnya yang sangat lemah.
Selain itu, obat ini juga bekerja di sistem syaraf pusat dengan mempengaruhi
hipotalamus untuk menurunkan sensitifitas reseptor nyeri dan termostat yang
mengatur suhu tubuh. Di dalam tubuh parasetamol paling banyak dimetabolisme
di dalam hati.

VI. Kombinasi Natrium diklofenac dan Paracetamol

Natrium diklofenac golongan obat NSAID dengan mekanisme kerja


menghambat enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2) ataupun menghambat
secara selektif cox-2 saja sehingga tidak terbentuk mediator-mediator nyeri yaitu
prostaglandin dan tromboksan.

Mekanisme kerja parasetamol yang utama adalah menghambat sintesis


prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat 2 enzim
cyclooksygenase yaitu cyclooksygenase-1 (COX-1) dan cyclooksygenase-2
(COX-2). Namun efeknya lebih selektif terhadap COX-2 sehingga tidak
menghambat pembentukan tromboksan yang bertanggung jawab terhadap
pembekuan darah. Walaupun memiliki efek analgesik dan antipiretik seperti
kebanyakan obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS), namun parasetamol tidak
termasuk golongan obat AINS karena efek anti radangnya yang sangat lemah.
Selain itu, obat ini juga bekerja di sistem syaraf pusat dengan mempengaruhi
hipotalamus untuk menurunkan sensitifitas reseptor nyeri dan termostat yang
mengatur suhu tubuh. Di dalam tubuh parasetamol paling banyak dimetabolisme
di dalam hati.

Kombinasi natrium diklofenac dan paracetamol tidak menguntungkan


dikarenakan mekanisme kerja yang searah dengan menghambat cox-1 dan cox-2.

3.3 Resep

R/Glibenclamid 5 mg
S 2 dd tab I
R/Metformin 500 mg
S 2 dd tab I

R/Paracetamol 500 mg
S 2 dd tab I

R/Ntarium Diklofenac 20 mg
S 2 dd tab I

Pro: Ny M
Umur: 55 tahun

3.4 Penanganan terhadap pasien ini adalah:

Dokter harus menyarankan kepada pasien untuk menghentikan


penggunaan Glibenklamid dan Natrium Diklofenac harusnya dari awal kombinasi
obat ini boleh namun dengan dosis lebih kecil, kombinasi antara dua obat ini
menyebabkan potensiasi namun potensiasinya berlebihan dan membuat teradinya
sinergisme negatif, yang awalanya obat mau menurunkan gula darah agar kembali
normal malahan menjadi terlalu rendah dan hipoglikemia

Selain itu dokter harus menghentikan penggunaan obat Paracetamol dan


Natrium Diklofenac . Natrium diklofenac golongan obat NSAID dengan
mekanisme kerja menghambat enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2) ataupun
menghambat secara selektif cox-2 saja sehingga tidak terbentuk mediator-
mediator nyeri yaitu prostaglandin dan tromboksan. Kerja Paracetamol akan
dihambat oleh Natrium Diklofenac dan pasien akan mengalami toksisitas yang
jauh lebih tinggi dari efektivitasnya salah satu nya adalah lambung akan behenti
memproduksi mukus dan terjadilah tukak lambung.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Pemberian bersamaan Glibenklamid dan Natrium Diklofenac seharusnya


dikurangi, kalau bisa dihentikan karena itulah penyebaab pasien menderita
perubahan drastis dari hiperglikemia menjadi hipoglikemia sehingga gula darah
pasien jadi 60 mg/dl.
2. Pemberian bersamaan Natrium Diklofenac dan Paracetamol harus dihindari
karena bisa memberi efek samping yaitu tukak lambung

4.2 Saran

Pada skenario seharusnya dokter lebih sigap dan cermat dalam


mengkombinasikan obat. Dokter harus tau obat apa yang bagus dan obat apa yang
tidak bisa dikombinasikan sehingga dampak positif dari obat lebih banyak dari
toksisitasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Craig, R.Craig and Robert E.Stitzel. 2007. Modern Pharmacology With Clinical
Application-6th Ed. Lippncott Williams & Wilkin. Virginia.

Ditjen POM, 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Depkes RI . Jakarta.

Ganiswarna, Sulistia, 2007.Farmakologi dan Terapi Edisi V. Departemen


Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI : Jakarta.
Goodman and Gilman. 2006. The Pharmacologic Basis of Therapeutics – 11th
Ed.,McGraw-Hill Companies. Inc, New York.

Katzung, G.Bertram. 2007. Basic & Clinical Pharmacology – 10th Ed. The
McGraw-Hill Companies. Inc, New York.

Lüllmann, Heinz, [et al.]. 2000. Color Atlas of Pharmacology 2nd Ed. Thieme.
New York.

Anda mungkin juga menyukai